Lapsus Ensefalopati Dengue (PKM)
Lapsus Ensefalopati Dengue (PKM)
Oleh :
dr. Farida Yuni Pertiwi
Dokter Pembimbing :
dr. Lusy Dwitama Lery
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanyadengan
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus yang berjudul
“Seorang Anak Laki-laki Usia 5 Tahun 1 Bulan dengan susp. Ensefalopati Dengue et
Edema Pulmonal” tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat dalam rangka mengikuti
kegiatan Program Internsip DokterIndonesia (PIDI) Wilayah Nusa Tenggara Barat
Angkatan IV. Tugas ini juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran dan
peningkatan pemahaman terhadap penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat ditemukan
pada fasilitas kesehatan primer.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman yangtelah
memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada dr. Lusy Dwitama
Lery selaku dokter pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga
tugas ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima kasih
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
dr. Farida Yuni Pertiwi
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
2.9. Prognosis......................................................................................................12
3.4. Epidemiologi................................................................................................15
iii
3.6. Perjalanan Penyakit Dengue........................................................................21
BAB IV DISKUSI
BAB V PENUTUP
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
masalah kesehatan masyarakat di Provinsi NTB karena penyebarannya yang cepat,
berpotensi kematian dan semua kabupaten/kota pernah terjangkit penyakit ini. Kasus
infeksi dengue tertinggi yaitu Kabupaten Lombok Timur sebanyak 484 kasus. 7
Dengue di Indonesia memiliki sifat endemic-epidemik dengan keterulangan siklus
epidemic anatara 6-8 tahun secara nasional.4 Keempat serotipe dengue yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 bersirkulasi di Indonesia dengan dominasi serotipe yang
dinamis menurut waktu dan area, hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara
hiperendemik dengue.2 Manifestasi neurologis paling sering pada kasus DBD yaitu
ensefalopati dan ensefalitis. Insidensi ensefalopati dengue secara umum bervariasi
dari 0,5-20,9% dengan mortalitas 22%. Namun sayangnya laporan mengenaui
ensefalopati dengue masih sangat terbatas. 8
2
BAB II LAPORAN
KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
- Demam dan tampak mengantuk
3
diketahui, namun tidak ada perbaikan. Batuk (+) terkadang muncul dan pilek (-).
Pasien dikatakan mulai sesak dan penurunan kesadaran (+) dimana anak tampak
mengantuk dan linglung sejak 1 hari yang lalu. Ruam merah pada kulit (-) dan kejang
(-). Nafsu makan menurun (+). BAB (-) sejak 2 hari yang lalu, flatus (+), BAK tidak
terdapat keluhan.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan, cuaca, ataupun obat-obatan tertentu.
Riwayat Pengobatan
Pasien hanya mengkonsumsi Paracetamol syr 3 x 1 cth yang dibeli di apotek.
Pasien tidak memiliki riwayat pengobatan terhadap penyakit tertentu.
Pasien tidak memiliki riwayat pengobatan ataupun perawatan dalam beberapa
bulan terakhir.
4
Riwayat Sosial Lingkungan
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Kebersihan rumah dikatakan cukup
dimana Ibu pasien kerap membersihkan rumah dan halaman. Pasien tinggal dalam
lingkungan padat penduduk. Aktivitas pasien dengan lingkungannya baik. Ayah pasien
adalah perokok. Berdasarkan keterangan keluarga pasien, tidak terdapat warga di
lingkungannya yang juga mengalami keluhan yang sama dengan pasien. riwayat
berpergian ke daerah endemis tertentu disangkal.
Riwayat Nutrisi
Pasien mengkonsumsi ASI eksklusif sejak lahir hingga usia 6 bulan dengan
frekuensi yang sering ± 12 kali, kemudian ditambah dengan susu formula
hingga usia 2 tahun dengan frekuensi yang sering.
5
Pasien mengkonsumsi bubur susu sejak usia 6 bulan dengan frekuensi
pemberian 3 kali sehari.
Pasien mengkonsumsi nasi tim saat usia 9 bulan dengan frekuensi pemberian
3 kali sehari.
Pasien mengkonsumsi makanan dewasa sejak usia 12 bulan dengan frekuensi
3 kali sehari hingga usia saat ini.
Pasien saat ini dikenal sebagai anak yang picky terhadap makanan. Pasien lebih
kerap mengkonsumsi jajanan di luar rumah atau selain makanan rumahan.
Riwayat Imunisasi
Berdasarkan keterangan Ibu pasien, status imunisasi anak sudah lengkap
(imunisasi dasar)
6
- Respirasi Rate : 45 x/menit
- Suhu : 38,3℃
- Saturasi Oksigen : 70% room air
89% O2 NK 4-5 lpm
Status Generalis
Kepala Normochepali.
Rambut lebat (+), pertumbuhan rambut merata, rambut kusam
dan merah (rambut jagung) (-).
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
refrek pupil (+/+), mata cowong (-)
Thorax Pulmo
7
Cor
+ + - - - -
Status Neurologis :
1. Kesadaran (GCS) : Delirium (E2V3M5)
2. Meningeal sign
- Kaku kuduk : (-)
- Kernig sign : (-)
- Brudzinski sign I : (-)
- Brudzinski sign II : (-)
8
3. Kekuatan otot : tidak terdapat kesan lateralisasi
4. Nervus kranialis : tidak di evaluasi
5. Refleks fisiologis
D S
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patella +2 +2
6. Refleks patologis
D S
Hoffman – Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Rossolimo - -
Mendel-Bechtrew - -
7. Tonus : normal
8. Trofik : normal
9. Sensibilitas : tidak di evaluasi
9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan pada 21/06/2023)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Index Eritrosit
10
RDW-SD 35,3 37,0 – 54,0 fL Menurun
2.5 Resume
Pasien anak laki-laki usia 5 tahun 1 bulan datang dengan keluhan demam sejak 6 hari
sebelum masuk PKM. Keluhan muncul mendadak dan tidak membaik dengan obat
penurun panas. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati, ngilu pada badan, nyeri kepala,
batuk, nafsu makan menurun dan mimisan. Dimana 1 hari sebelumnya, pasien
dikatakan mengeluhkan sesak dan selalu tampak mengantuk dan linglung. Pasien juga
diketahui tidak memiliki riwayat perawatan terkait dengan infeksi dengue dalam
beberapa bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien lemah
dengan skor GCS 10 (delirium). Tekanan darah 90/60 mmHg, HR 73 x/menit kuat
angkat, RR 45 x/menit, Suhu 38,3℃, SpO2 70% room air dan 89% O2 NK 5 lpm.
Berdasarkan pemeriksaan head to toe temuan berarti seperti terdapat retraksi subcostal
(+) dan rhonki (+) dikedua basal lapang paru. Tidak didapakan ptekie pada kulit
pasien. Berdasarkan pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan parameter
berarti yaitu, tromositopenia (PLT : 87), penurunan HCT (30,8), leukopenia (WBC :
1,0), dan anemia ringan (Hb : 10,8).
11
- Anemia aplastik
2.7 Diagnosis
- Obs. Penkes ec susp. Ensefalopati dengue et obs. Dyspneu ec susp. Edema
pulmonal
2.8 Tatalaksana
Non-Medikamentosa
1. Bedrest
2. Urin tampung (evaluasi cairan masuk dan keluar)
Medikamentosa
1. O2 NK 4-5 lpm
2. IVFD RL 20 ml/kgBB 200 ml dalam 1 jam pertama
3. Termoregulasi (infus Paracetamol 200 mg / 20 cc) extra
4. Nebu Combivent ½ respul + NS 2 cc (extra)
Pasien pro-rujuk RSUD Dr. R. Soedjono Selong
2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
13
air hujan sehingga dapat emnjadi wadah bagi telur-telur nyamuk. Telur-telur nyamuk
tersebut juga dapat tetap hidup selama bebera bulan tanpa air. 2,6,9
Masa inkubasi infeksi virus dengue adalah 4-10 hari. Infeksi virus dengue dapat
menimbulkan spektrum penyakit mula dari yang asimptomatik, flu like syndrome,
demam dengue, demam berdarah dengue, simdroma syok dengue hingga kematian.
Infeksi virus dengue dapat memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe
virus yang sama namun hanya dapat memberikan kekebalan selama 2-3 bulan terhadap
serotipe yang berbeda (proteksi silang).11,12,13
Faktor risiko individu turut menentukan tingkat keparahan penyakit,
diantaranya seperti adanya infeksi sekunder, usia, etnis, bayi, obesitas, lansia, ibu
hamil, menstruasi, dan kemungkinan adanya penyakit kronis lain seperti asma
bronkiale, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan, gagal ginjal kronik, sirosis,
pengobatan yang menggunakan steroid atau NSAID, dan lain sebagainya. 2,10
Berikut beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi dengue
berdasarkan WHO (2011), diantaranya :
Perubahan sosial-demografi, dimana hal ini mengarah pada urbanisasi yang
tidak terkendali sehingga dapat berujung pada timbulnya kendala fasilitas sipil,
terutama pasokan air dan pembuangan limbah padat, sehingga dapat
meningkatkan potensi perkembangbiakan vector.
Pengumpulan dan pengelolaan imbah padat yang tidak memadai
Kurangnya infrastruktur pengendalian nyamuk
Konsumerisme terhadap produk plastik non-biodegradasi, yang mana hal ini
turut meningkatkan perkembangbiakan dan penyebaran pasif penyakit ke
daerah baru.
Meningkatnya perjalanan udara dan globalisasi perdagangan, dimana hal ini
turut berkontribusi secara signifikan terhadap pengenalan semua serotipe
DEN-V.12
14
3.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes
Berdasarkan AMCA (2015), nyamuk mengalami empat tahap perkembangan
yang terpisah dan berbeda dari siklus hidupnya yaitu, telur, larva, pupa dan dewasa.
Umur nyamuk Aedes sp. rata-rata 2 minggu, tetapi diantaranya dapat hidup hingga 2-
3 bulan. Seekor nyamyk betina dapat bertelur kurang lebih 125 butir, kemudian akan
menghisap darah kembali.9,10
3.4 Epidemiologi
Berdasarkan data persebaran penyakit pada awal tahun 2020, WHO
memasukkan dengue sebagai salah satu ancaman kesehatan global di antara 10
penyakit lainnya.3 Insiden dengue meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam
beberapa dekade terakhir. Dengue yang tidak tertangani dapat memicu terjadinya
kejadian luar biasa (KLB), dengue berat, bahkan kematian. Kondisi tersebut
15
menimbulkan beban yang besar pada populasi, sistem kesehatan, dan ekonomi di
sebagian besar negara tropis di dunia. 2
Dengue masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. 4 Infeksi virus
dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, yang mana saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijjfdaagse
koorts) atau terkadang disebut demam sendi (knokkel koorts).6 Dengue merupakan
penyebab utama kasus demam yang memerlukan perawatan di rumah sakit. 5 Dalam
enam tahun terakhir, semua provinsi melaporkan keberadaan kasus dengue dan lebih
dari 80% kabupaten di Indonesia melaporkan kejadian dengue. 6 Angka kesakitan
(incident rate atau IR) di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 39,9 per 100.000
penduduk.2 Berdasarkan data Riskesdas (2021) dengue masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Provinsi NTB karena penyebarannya yang cepat, berpotensi
kematian dan semua kabupaten/kota pernah terjangkit penyakit ini. Kasus infeksi
dengue tertinggi yaitu Kabupaten Lombok Timur sebanyak 484 kasus. 7 Dengue di
Indonesia memiliki sifat endemic-epidemik dengan keterulangan siklus epidemic
antara 6-8 tahun secara nasional.1 Insidens ensefalopati dengue di India 20,9%,
sedangkan pada tahun 1992 dilaporkan bahwa insidens ensefalopati dengue di
Indonesia yaitu 6,2%.9,12
3.5 Patofisiologi
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda
yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi
yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu
disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada
demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat
reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran
darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum
16
timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera
bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak
virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodoi netralisasi, antibodi hemaaglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen.11,13
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS
yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).11,13
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian
terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen. 11,13
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa
jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut
dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh
merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan
penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya
17
akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di
dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan keadaan hipovolemik dan syok.11,13
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. 11,13
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam.
Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding
pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites).
Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.11,13
18
Gambar 2. Patofisiologi Kebocoran Plasma pada Infeksi Dengue
19
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif
pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. 11,13
20
3.6 Perjalanan Penyakit Dengue
Perjalanan penyakit akibat infeksi dengue ini sangat erat kaitannya dengan
menghitung hari demam. Pada umumnya setelah masa inkubasi penderita akan
mengalami 3 fase penyakit. Fase pertama adalah fase demam, dimana pada fase ini
dapat terjadi dalam kurun waktu 2-7 hari namun pada umumnya terjadi selama 3 hari.
Fase demam (demam hari 1-3), fase kritis selama 2-3 hari (demam hari 4-6), dan fase
pemulihan (fase reabsorpsi / konvalens).6,10
Menghitung hari demam ada infeksi dengue sangat penting dilakukan karena
dengan menghitung hari demam tersebut, kita dapat memperkirakan penderita sedang
berada dalam fase tertentu. Dengan melakukan hal ini kita dapat mengantisipasi
tindakan apa yang harus kita lakukan dan dengan demikian dapat menekan angka
morbiditas dan mortalitas.6
a. Fase Demam
Demam mendadak tinggi merupakan gejala yang khas pada fase ini. demam
mendadak tinggi biasanya berlangsung selama 2-7 hari dan sering disertai
21
facial flushing, eritema kulit, sakit di seluruh tubuh, myalgia, atralgia, nyeri
kepala, anoreksia, mual, dan muntah. Nyeri tenggorokan, faring hiperemis,
dan injeksi konjungtiva terkadang dapat ditemukan juga pada pasien. fase
viremia dengan suhu tertinggi umumnya terjadi tiga sampai empat hari pertama
setelah onset demam namun kemudian turun dengan cepat hingga tidak
terdeteksi dalam beberapa hari berikutnya. Tingkat viremia dan demam
biasanya mengikuti satu sama lain, dan antibodi IgM meningkat seiring
turunnya demam.6,10
Pada awal perjalanan penyakitnya manifestasi penderita DHF dapat terlihat
seperti DF. Manifestasi perdarahan yang terjadi pada fase awal DHF paling
sering terdiri dari manifestasi perdarahan ringan seperti yang dapat terjadi pada
DF. Manifestasi perdarahan yang tidak terlalu sering timbul seperti, epistaksis,
perdarahan gusi, atau perdarahan gastrointestinal serig terjadi saat penderita
masih dalam fase demam (perdarahan gastrointestinal dapat dimulai pada fase
itu).6,10
b. Fase Kritis
Awal fase kritis umumnya ditandai dengan penurunan suhu tubuh hingga
37,5 – 38,0C atau kurang dan tetap di bawah level ini (penurunan suhu yang
drastic ini disebut juga sebagai masa defervesens), dan umumnya terjadi pada
hari ke 3-7 perjalanan penyakit. Walaupu fase ini disebut fase kritis, itu bukan
berarti bahwa keadaan penderita akan selalu kritis. Disebut fase kritis karena
pada fase inilah biasanya terjadi kebocoran plasma (biasanya berlangsung
selama 24-48 jam). Saat demam turun atau mereda, penderita memasuki
periode dengan risiko tertinggi terjadi manifestasi berat akibat kebocoran
plasma.6,10
Pada periode ini penting sekali memantau timbulnya perdarahan dan
kebocoran plasma ke rongga pleura dan abdomen, menerapkan terapi yang
22
tepat, dan menstabilkan volume cairan dalam tubuh. Jika tidak ditangani
dengan baik, keadaan tersebut dapat menyebabkan deplesi volume
intravaskular dan dekompensasi kordis. Tanda-tanda kebocoran plasma
meliputi terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit mendadak
≥20% dari awal), adanya asites, efusi pleura, albumin serum atau protein yang
rendah (sesuai dengan usia dan jenis kelamin). 6,10
23
hipotonik atau penggunaan cairan isotonik yang berlebihan selama fase
penyembuhan (fase konvalens).6,10
24
Gejala dan tanda klinis infeksi dengue dapat berupa flu-like syndrome, demam
mendadak tiggi, myalgia, atralgia, nyeri retro-orbital, ruam merah (ptekie), mimisan,
gusi berdarah, limfadenopati, trombositopenia, leukopenia, peningkatan hematokrit,
hypoalbuminemia, diatesis hemoragik, hingga syok dan kematian. 6
Undifferentiated fever
Individu yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk pertama
kalinya (infeksi primer), dapat mengalami demam sederhana yang tidak dapat
dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Ruam maculopapular dapat menyertai
demam atau pada saat terjadi penuruanan suhu. Gejala lain seperti masalah
pernapasan atas dan gastrointestinal turut kerap terjadi.9,13
Dengue fever
Dengue fever paling kerap terjadi pada anak-anak yang lebih besar,
remaja, dan orang dewasa. Penyakit ini umumnya merupakan penyakit demam
akut, yang terkadang merupakan demam bifasik dengan nyeri kepala hebat,
25
myalgia, artralgia, ruam, leukopenia, dan trombositopenia. Walaupun demam
dengue terkesan ringan, namun dapat terjadi perdarahan yang tidak biasa
seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenore, dan epistaksis massif. Pada
daerah yang dikenal dengan endemic DHF, kasus dengue fever terkesan jarang
terjadi.13
Dengue haemorrheagic fever (DHF)
Dengue haemorrheagic fever (DHF) lebih kerap terjadi pada anak
dibawah usia 15 tahun di daerah yang dikenal hiperendemik, dimana terkait
dengan infeksi dengue berulang. Namun saat ini kejadian DHF pada orang
dewasa mulai meningkat. DHF ditandai dengan demam akut yang tinggi dan
berhubungan dengan tanda dan gejala yang mirip dengan DF pada fase awal
demam. Dimana disertai dengan tourniquet test yang positif, ptekie,
perdarahan GI tract, dan epistaksis. Pada akhir fase demam, terdapat
kecenderungan untuk berkembang menjadi syok hipovolemik (Dengue shock
syndrome) akibat kebocoran plasma.13
Munculnya warning sign seperti muntah yang terus menerus, nyeri
perut, lesu atau gelisah, letargi, dan oligouria penting untuk di intervensi guna
mencegah pasien jatuh ke kondisi syok. Adanya hemostasis yang abnormal
dan kebocoran plasma merupakan ciri patofisiologi utama adanya DHF.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi) adalah
temuan konstan sebelum fase konvalens atau awal dari onset syok. DHF paling
sering terjadi pada anak-anak dengan infeksi dengue sekunder. Hal ini
didokumentasikan pada pada infeksi primer DENV-1 dengan DENV-3.13
Expanded dengue syndrome
Merupakan kondisi manifestasi yang tidak biasa dari pasien dengan
keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal, otak, ataupun jantung yang
berhubungan dengan infeksi dengue semakin banyak dilaporkan pada DHF dan
juga pada pasien infeksi dengue yang tidak terdapat tanda kebocoran
26
plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini dapat dikaitkan dengan koinfeksi,
komorbiditas, atau komplikasi syok yang berkepanjangan. Sebagian besar
pasien DHF yang memiliki manifestasi yang tidak biasa diakibatkan oleh syok
yang berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien dengan
komorbiditas atau koinfeksi. 13
Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat berupa kejang, spastik,
penurunan kesadaran, hemiparesis. Penyebab yang mendasari tergantung pada
waktu menifestasi sehubungan dengan fase viremia, kebocoran plasma,
ataupun fase konvalens.13
Ensefalopati merupakan kasus yang fatal (berat) telah dilaporkan di
India, Malaysia, Myanmar, India, dan Puerto Rico. Namun, dalam banyak
kasus tidak ada otopsi untuk menyingkirkan perdarahan atau oklusi pembuluh
darah. Meskipun terbatas, ada beberapa bukti bahwa pada kesempatan yang
jarang, virus dengue dapat melewati sawar darah otak dan menyebabkan
ensefalitis.13
27
Gambar. 8 Klasifikasi Expanded Dengue Syndrome
Warning signs
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam antara hari sakit
ke-3 sampai ke-7, berupa peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler bersamaan
dengan peningkatan kadar hematokrit. Warning signs merupakan tanda perburukan
dengue yang perlu diwaspadai.4,6
28
Gambar. 9 Warning sign’s
29
Sebuah studi multisenter klinis prospektif di daerah endemis dengue yang
didukung WHO/TDR mengumpulkan bukti untuk membuat kriteria klasifikasi
dengue berdasarkan derajat keparahan. Temuan studi mengkonfirmasi bahwa
dengan menggunakan satu set parameter klinis dan/atau laboratorium dapat menilai
perbedaan yang jelas antara pasien dengan dengue berat dan dengue tidak berat.
Namun untuk alasan praktis, kelompok pasien dengan dengue tidak berat dibagi
menjadi dua subkelompok yaitu pasien dengue dengan warning signs dan tanpa
warning signs, untuk itu klasifikasi diagnosis dengue, sebagai berikut :6
30
Severe Dengue
Kasus severe dengue di Asia Tenggara menempati tempat tertinggi,
yaitu 15% dari seluruh kasus severe dengue. Diantara kasus severe dengue,
244 (90%) mengalami perembesan plasma, perdarahan hebat 39 (14%), dan
disfungsi organ berat 28 (10%). Frekuensi tertinggi kejadian perembesan
plasma dialami oleh kelompok usia <15 tahun. Severe dengue ditentukan dari
satu atau lebih kondisi berikut, (a) perembesan plasma yang menyebabkan syok
(syok dengue) dan/atau akumulasi cairan dengan/tanpa distres napas, dan/atau
(b) perdarahan hebat (umumnya karena perdarahan saluran cerna), dan/atau (c)
kerusakan organ yang berat.2,6
Peningkatan permeabilitas vaskular diikuti hipovolemia hebat sampai
terjadi syok, berlangsung pada saat defervescence. Pada awal syok, terjadi
mekanisme kompensasi untuk menjaga agar tekanan sistolik normal,
menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer. Pada saat ini tekanan
diastolik meningkat sehingga tekanan nadi menyempit diikuti dengan
kenaikan tahanan perifer.6
Pasien dengue yang mengalami syok akan tetap sadar. Pada akhir syok,
akan terjadi dekompensasi yaitu tekanan sistolik dan diastolik akan turun tiba-
tiba. Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia dapat memicu kegagalan
multi organ yang merupakan kondisi klinis yang sangat kompleks, untuk itu
perlu dilakukan penilaian ada/tidaknya suatu proses perubahan hemodinamik
dengan menilai kondisi pasien secara menyeluruh. Pedoman ini memberikan
cara sederhana untuk mengetahui adanya perubahan hemodinamik. 6
Pasien dikatakan mengalami syok apabila tekanan nadi (perbedaan
antara tekanan sistolik dan diastolik) ≤20 mmHg pada anak. Klinis
menunjukkan tanda-tanda perfusi kapiler yang menurun (ekstremitas dingin,
pemanjangan pengisian waktu kapiler, atau denyut nadi yang cepat). Hipotensi
pada umumnya dihubungkan dengan syok berkepanjangan dengan penyulit
perdarahan hebat.6
31
Jika terdapat perdarahan hebat hampir selalu dipastikan terjadi karena
syok yang berat dan lama (profound shock) diikuti dengan trombositopenia,
hipoksia, dan asidosis dengan kegagalan multiorgan yang mengakibatkan
koagulasi intravaskular diseminata (DIC) berat. Perdarahan hebat dapat terjadi
tanpa kondisi syok berkepanjangan yaitu pada riwayat pemberian asam
asetilsalisilat (aspirin), NSAID (ibuprofen, ketorolak), atau kortikosteroid.6
Manifestasi yang tidak lazim (unusual manifestation), termasuk gagal
hati akut dan ensefalopati dapat terjadi sekalipun tidak ada perembesan plasma
atau syok. Kardiomiopati dan ensefalitis juga dilaporkan pada sebagian kecil
kasus dengue. Ensefalitis dengue dilaporkan di Indonesia dengan ditemukan
dengue serotipe 3 dari cairan serebro spinal yang juga ditemukan di negara
Asia Tenggara lainnya. Pada umumnya kematian karena dengue terjadi dengan
syok berat (profound shock), terlebih jika diperberat dengan kelebihan cairan.6
Severe dengue harus dicurigai jika seorang yang tinggal di daerah
risiko infeksi dengue datang dengan gejala demam 2–7 hari disertai beberapa
gejala berikut:
- Terdapat bukti perembesan plasma seperti hematokrit yang meningkat
cepat/tinggi dan/atau efusi pleura, asites.
- Syok dengan gejala takikardia, ekstremitas lembab dan dingin, pengisian
waktu kapiler lebih dari dua detik, denyut nadi yang lemah atau tidak
teraba, tekanan nadi sempit atau pada syok lanjut tekanan darah tidak
terukur.
- Terdapat perdarahan yang signifikan/masif/hebat (seperti perdarahan
saluran cerna berupa hematemesis melena, menstruasi hebat, perdarahan
saluran napas berupa hemoptisis, perdarahan saluran kemih berupa
hematuria, perdarahan kulit luas berupa purpura, ekimosis atau lebam di
tempat suntikan).
- Terdapat perubahan kesadaran (letargi atau gelisah, koma, kejang).
32
- Terdapat gangguan gastrointestinal berat.
- Terdapat kerusakan organ yang berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati atau ensefalitis, kardiomiopati atau manifestasi yang tidak
lazim lainnya).6
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya, ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang
tidak disertai dengan syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hyponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati. Melihat
ensefalopati dengue bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan
oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravascular yang menyeluruh. Ensefalopati dengue kerap dikaitkan dengan
kegagala fungsi hepar. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun
hingga koma, bahkan disertai dengan kejang. Apabila pada pasien DHF
dengan syok terdapat penurunan kesadaran, maka syok harus diatasi terlebih
dahulu. Apabila syok telah teratasi, maka kesadaran pasien dapat dinilai
kembali.8,12
Edema Pulmonal
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima demam sesuai
dengan panduan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Namun apabila pada fase reabsorbsi dari
ruang ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebihan, maka pasien
akan mengalami distress pernapasan disertai dengan edema palpebra dan di
tunjang dengan gambaran edema paru pada pemeriksaan rongent thoraks. 13
33
3.8 Diagnosis
Dalam penegakkan diagnosis pada pasien dengan infeksi dengue diperlukan
berbagai data secara subjektif dan objektif yang diketahui dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara umum, kriteria untuk
mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning signs) dan severe dengue dapat
dilihat dari bagan berikut :
34
Pasien dikatakan mengalami syok apabila tekanan nadi (perbedaan antara
tekanan sistolik dan diastolik) ≤20 mmHg pada anak. Klinis menunjukkan tanda-
tanda perfusi kapiler yang menurun (ekstremitas dingin, pemanjangan pengisian
waktu kapiler, atau denyut nadi yang cepat). Hipotensi pada umumnya
dihubungkan dengan syok berkepanjangan dengan penyulit perdarahan hebat. 6,12,13
Jika terdapat perdarahan hebat hampir selalu dipastikan terjadi karena syok
yang berat dan lama (profound shock) diikuti dengan trombositopenia, hipoksia,
dan asidosis dengan kegagalan multiorgan yang mengakibatkan koagulasi
intravaskular diseminata (DIC) berat. Perdarahan hebat dapat terjadi tanpa kondisi
syok berkepanjangan yaitu pada riwayat pemberian asam asetilsalisilat (aspirin),
NSAID (ibuprofen, ketorolak), atau kortikosteroid. 12
Manifestasi yang tidak lazim (unusual manifestation), termasuk gagal hati
akut dan ensefalopati dapat terjadi sekalipun tidak ada perembesan plasma atau
syok. Kardiomiopati dan ensefalitis juga dilaporkan pada sebagian kecil kasus
dengue. Ensefalitis dengue dilaporkan di Indonesia dengan ditemukan dengue
serotipe 3 dari cairan serebro spinal yang juga ditemukan di negara Asia Tenggara
lainnya. Pada umumnya kematian karena dengue terjadi dengan syok berat
(profound shock), terlebih jika diperberat dengan kelebihan cairan. 12,13
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi
virus. Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu
untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi
virus dan serologis.9,11
35
- Darah Lengkap
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit
yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator terjadinya
perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan
trombositopenia, dan leukopenia.6
- Isolasi virus
Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan, diantaranya :
Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino usia 1-3 hari
Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk
A.albopictus
Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri
pada larva.6,13
- Metode Reverse Transcriptase Polymerase Chai Reaction (RT-PCR)
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular,
diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang
disebut Reverse Transcriptase Polymerase Chai Reaction (RT-PCR).
spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang
dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang
berasal dari darah, jaringan tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun
sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi
oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga
tidak mempengaruhi hasil dari PCR.6,13
- Pemeriksaan Serologi
Viremia dengue pada pasien berlangsung singkat, biasanya selama 2-3
hari setelah munculnya demam. Selama periode ini, asam nukleat dari
36
virus dengue dan antigen virus yang bersirkulasi dapat dideteksi. Antigen
IgM akan terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah munculnya gejala, dimana
akan meningkat cepat hingga dua minggu dan menurun setelah 2-3 bulan
setelahnya. Antibodi Ig-G dapat dideteksi pada level rendah pada akhir
minggu pertama, kemudian meningkat dan bertahan pada waktu yang lama
(bertahun-tahun).6
Karena munculnya antibodi IgM yang terlambat, yaitu setelah 5 hari
timbulnya demam, tes serologi berdasarkan antibodi ini yang dilakukan
sebelum 5 hari pertama biasanya akan negative. Selama infeksi dengue
sekunder, titer antibodi meningkat dengan cepat. Antibodi IgG terdeteksi
pada tingkat tinggi, bahkan di fase awal dan bertahan hingga seumur
hidup. Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus
infeksi sekunder. Oleh karena itu, rasio IgM/IgG umumnya digunakan
untuk membedakan antara infeksi primer atau sekunder. 6,11
37
b. Pemeriksaan penunjang lainnya
38
3.9 Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis
chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain. 9,12
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi
uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC
tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.6
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula
kelihatan sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear
(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.6
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-
hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.6
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis
39
leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demamtimbul karena infeksi
sekunder.6
3.10 Tatalaksana
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk
Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi
6
antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.
40
1. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs
dan mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan
memproduksi urine minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat
jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit
yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi
edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang
cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus
diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar
secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah.2,6
2. Grup B
Yang termasuk grup B Pasien perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan sekunder (rumah sakit) untuk pemantauan yang lebih ketat utamanya
ketika memasuki fase kritis. Selama pemantauan rawat inap pasien dengue di
rumah sakit, 52 (28%) dari 185 demam dengue dapat berkembang mejadi
sindrom syok dengue (severe dengue), maka pemantauan tanda vital, warning
signs, dan pemeriksaan hematologi perlu dilakukan secara berkala. Tata
laksana grup B adalah untuk pasien dengan warning signs atau dengan penyakit
penyerta (faktor risiko) yang akan membuat tata laksana menjadi lebih
kompleks, contohnya bayi, obesitas, komorbiditas (diabetes melitus, penyakit
hemolitik, gagal ginjal), atau jika dijumpai kondisi sosial khusus misalnya
tempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan dengan keterbatasan akses
transportasi, hidup sendiri (tanpa keluarga) walaupun tidak dijumpai warning
signs.2,6
41
Gambar. 16 Monitoring Fase Demam
Jika pasien tidak dijumpai warning signs, rencana tindakan yang harus
dilakukan sebagai berikut.
Anjurkan pasien untuk minum lebih banyak. Jika tidak terpenuhi, mulai
terapi cairan intravena dengan NaCl 0,9% (normal saline) atau ringer laktat
dengan atau tanpa dekstrose dengan tetesan rumatan. Untuk pasien dengan
obesitas atau kelebihan berat badan (overweight), gunakan berat badan ideal
untuk menghitung jumlah cairan yang diberikan. Berikan cairan intravena
secukupnya untuk mempertahankan perfusi yang baik dan diuresis cukup. Cairan
intravena pada umumnya hanya diperlukan selama 24-48 jam.6
Untuk IBW >50 kg, 1,5-2 ml/kg digunakan untuk penghitungan cepat
pemberian cairan rumatan per jam. Untuk IBW ≤50 kg, 2- 3 ml/kg digunakan
untuk penghitungan cepat pemberian cairan rumatan per jam. Pasien harus
dipantau untuk mengetahui pola suhu, volume cairan yang masuk dan keluar,
jumlah urine (volume dan frekuensi), warning signs, kadar hematokrit, jumlah
leukosit dan trombosit (Tabel 13). Pemeriksaan laboratorium lain (seperti fungsi
hati, ginjal, jantung, dan hemostasis) bisa dilakukan, bergantung pada gambaran
klinis dan fasilitas yang tersedia di pelayanan kesehatan.6
42
Jika pasien memiliki warning signs, rencana tindakan yang harus
dilakukan meliputi sebagai berikut.
1. Lakukan pemeriksaan hematokrit sebelum memberikan terapi cairan.
Berikan larutan isotonik seperti NaCl 0,9% (normal saline), Ringer laktat,
atau cairan Hartmann’s. Dimulai dengan tetesan 5–7 ml/kg/jam selama 1–
2 jam sesuai indikasi klinis dan/atau laboratoris (mis.: dehidrasi,
kebocoran plasma), kemudian dikurangi menjadi 3–5 ml/kg/jam untuk 2–
4 jam, dan diturunkan menjadi 2–3 ml/kg/jam atau kurang berdasarkan
respons klinis.
2. Periksa kembali kondisi klinis dan ulangi pemeriksaan hematokrit. Jika
hematokrit tetap sama atau hanya sedikit meningkat, lanjutkan pemberian
cairan tersebut dengan tetesan sama (2–3 ml/kg/jam untuk 2–4 jam
berikutnya. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan
pesat, naikkan tetesan cairan menjadi 5–10 ml/kg/jam untuk 1–2 jam
berikutnya. Nilai kembali kondisi klinis, lakukan pemeriksaan hematokrit
ulang dan tentukan jumlah tetesan cairan sesuai kondisi.
3. Berikan cairan intravena secukupnya untuk menjaga perfusi jaringan tetap
baik dan mempertahankan diuresis 1 ml/kgBB/jam. Cairan intravena
umumnya diberikan hanya dalam waktu 24–48 jam. Kurangi cairan
intravena secara bertahap apabila tingkat perembesan plasma berkurang.
Hal ini dapat diketahui dari jumlah pengeluaran urin dan/atau asupan
cairan secara oral yang membaik, atau turunnya hematokrit di bawah nilai
dasar (baseline) dengan kondisi pasien yang stabil
4. Pasien dengan warning signs harus dipantau oleh tenaga kesehatan (dokter
dan/atau perawat) hingga fase kritis berlalu. Keseimbangan cairan harus
dijaga. Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi
perifer (setiap 1–4 jam hingga melewati fase kritis), urin output (setiap 4–
6 jam), hematokrit (sebelum dan setelah pemberian cairan, kemudian
43
setiap 6–12 jam berikutnya), glukosa darah, dan fungsi organ lainnya
(seperti fungsi ginjal, fungsi hati, koagulasi, diperiksa sesuai indikasi).6
44
Gambar. 18 Algoritma Terapi Kategori B
5. Grup C
Pasien yang membutuhkan rujukan segera dan perawatan darurat
(severe dengue). Pasien yang membutuhkan perawatan darurat dan rujukan
segera jika pada fase kritis dijumpai kondisi berikut :
- Kebocoran plasma hebat yang menyebabkan syok dan/atau akumulasi
cairan yang disertai dengan distress napas.
- Perdarahan hebat
- Kerusakan organ yang hebat (gagal ginjal, gangguan fungsi ginjal,
kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis).
Pasien severe dengue memerlukan rawat inap di rumah sakit yang
memiliki fasilitas perawatan intensif dan unit transfusi darah. Pemberian
cairan intravena yang adekuat dan tepat waktu menjadi sangat penting dan
45
merupakan satu-satunya terapi yang diperlukan. Cairan kristaloid isotonik
merupakan pilihan dan harus diberikan dalam jumlah yang memadai untuk
menjaga sirkulasi jaringan tetap baik selama fase perembesan plasma. Volume
plasma yang hilang harus segera digantikan dengan cairan kristaloid isotonik,
atau pada syok hipotensif menggunakan cairan koloid, namun cairan koloid
tidak terbukti lebih baik daripada cairan kristaloid. Apabila memungkinkan,
lakukan pemeriksaan hematokrit sebelum dan sesudah pemberian cairan.6,13
Pemberian cairan harus dilanjutkan untuk mengganti plasma yang
hilang dan mempertahankan agar sirkulasi tetap baik dalam 24–48 jam
berikutnya. Untuk pasien dengan berat badan lebih atau obesitas, digunakan
berat badan ideal untuk menghitung jumlah tetesan cairan yang diberikan
Pemeriksaan golongan darah dan cross matched test harus dilakukan untuk
semua pasien yang mengalami syok. Transfusi darah hanya diberikan untuk
kasus dengan dugaan perdarahan hebat, misalnya pada perdarahan saluran
cerna.6,13
Terdapat pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien
dengan kondisi DHF grade III-IV atau kondisi severe dengue, diantarnya :
46
Gambar. 20 Algoritma Terapi kategori C
47
4
Menejemen Ensefalopati Dengue
Beberapa pasien dengan DF / DHF menunjukkan manifestasi yang tidak biasa
dengan tanda dan gejala yang melibatkan sistem saraf pusat, seperti kejang ataupun
penurunan kesadaran. Hal ini secara umum telah terbukti sebagai ensefalopati dengue,
bukan ensefalitis. Yang mana hal ini dapat disebebkan oleh perdarahan intracranial
atau oklusi yang terkait dengan DIC atau hyponatremia. Dalam beberapa tahun
terakhir, telah terjadi peningkatan jumalah kasus yang dilaporkan dengan infeksi SSP
yang didokumentasikan oleh isolasi virus dari cairan serebrospinal. 12
Sebagian besar pasien dengan ensefalopati melaporkan ensefalopati hepatic.
Pengobatan utama ensefalopati hepatic adalah mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intracranial (TIK). Pemeriksaan CT-Scan dan MRI direkomendasikan jika
tersedia guna menyingkirkan perdarahan intracranial. Berikut rekomendasi terapi
suportif untuk kondisi ini :
1. Pertahankan jalan nafas yang adekuat dengan terapi oksigen. Cegah / kurangi
TIK dengan Langkah-langkah berikut :
- Berikan cairan guna mempertahankan volume intravascular yang
adekuat, idealnya total cairan tidak boleh >80% dari cairan rumatan.
- Cairan koloid dapat diberikan lebih awal jika nilai hematokrit terus
meningkat.
- Berikan diuretik pada kondisi yang dicurigai overload cairan
- Posisikan kepala pasien lebih dari 30 derajat.
- Intubasi dapat dilakukan guna melindungi jalan napas
- Dapat dipertimbangkan pemberian steroid untuk mengurangi
kemungkinan peningkatan TIK dengan memberikan Dexamethasone
0,15 mg/kgBB/dosis IV diberikan setiap 6-8 jam.12
2. Kurangi produksi ammonia dengan Langkah-langkah berikut :
- Berikan Lactulosa5-10 ml setiap 6 jam untuk induksi diare osmotic.
48
- Antibiotik lokal guna menghilangkan flora usus tidak perlu diberikan
jika pasien sudah mendapatkan terapi antibiotik sistemik. 12
3. Pertahankan kadar gula darah pada 80-100 mg/dl. Pemberian infus glukosa yang
disarankan berkisar 4-6 mg/kg/jam
4. Koreksi ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit (contoh :
hipo/hypernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia, dan asidosis).
5. Pemberian vitamin K1 IV 3 mg untuk anak <1 tahun, 5 mg untuk <5 tahun, dan
10 mg untuk anak >5 tahun dan pasien dewasa.
6. Antikonvulsan harus diberikan guna mengontrol kejang seperti, fenobarbital dan
diazepam IV sesuai indikasi.
7. Transfusi darah, sebaiknya seperti PRC dapat diberikan sesuai indikasi.
Komponen darah lain seperti trombosit dan plasma konvalens sebaiknya tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat menyebabkan peningkatan TIK.
8. Terapi antibiotik empiris dapat diindikasikan jika diduga terdapat ko-infeksi.
9. H2-Blocker atau PPI dapat diberikan untuk meringankan perdarahan
gastrointestinal.
10. Hindari obat yang dirasa tidak diperlukan karena sebagaian besar akan
dimetabolisme oleh hati.
11. Pertimbangkan plasmafaresis atau hemodialisa pada kasus-kasus dengan
perburukan klinis.12
3.11 Komplikasi
Komplikasi pada infeksi dengue biasanya dikaitkan dengan syok berat /
berkepanjangan yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik, perdarahan
hebat / Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan kegagalan multiorgan
seperti disfungsi hepar dan ginjal. Pemberian cairan yang berlebihan selama periode
kebocoran plasma dapat menyebabkan efusi pleura massif yang dapat menimbulakan
gangguan pernapasan, kongesti paru akut, dan gagal jantung.
49
Syok berat / berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak tepat juga dapat
menimbulkan gangguan metabolisme dan elektrolit. Kelainan metabolic yang kerap
ditemukan seperti hipoglikemia, hyponatremia, hipokalsemia, dan terkadang
hiperglikemia. Dimana hal ini dapat menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak
biasa seperti, ensefalopati. 9,10
3.12 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.8,9
3.13 Pencegahan
Infeksi dengue merupakan penyakit yang harus diwaspadai karena dapat
menyebabkan kematian dan dapat terjadi karena lingkungan yang kurang bersih.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah merebaknya wabah DHF. Salah satu
caranya adalah dengan melakukan PSN 3M Plus.
1. Menguras, merukan kegiatan membersihkan/menguras tempat yang sering
menjadi penampungan air seperti bak mandi, kendi, toren air, dan lain
sebagainya. Dinding bak maupun penampungan air juga harus digosok untuk
membersihkan adan membuang telur nyamuk yang menempel erat. Saat musim
hujan ataupun pancaroba, kegiatan ini harus dilakukan setiap hari untuk
memutus siklus nyamuk yang dapat bertahan di tempat kering hingga 6 bulan.
50
2. Menutup, merupakan kegiatan menutup rapat tempat-tempat penampungan air
seperti bak mandi maupun drum. Menutup juga dapat diartikan sebagai kegiatan
mengubur barang bekas di dalam tanah agar tidak membuat lingkungan semakin
kotor dan dapat berpotensi menjadi sarang nyamuk.
3. Memanfaatkan kembali limbah barang bekas yang bernilai ekonomis (daur
ulang), kita juga disarankan untuk memanfaatkan kembali atau mendaur ulang
barang-barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk demam berdarah.
51
- Memberikan larvasida pada penampungan air yang sudah dikuras
- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar
- Menanam tanaman pengusir nyamuk. 3
52
BAB IV
PEMBAHASAN
Infeksi dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini yang mana memiliki 4 janis serotipe
yaitu, DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Kondisi infeksi ini memiliki berbagai
manifestasi klinis yang secara umum terbagi atas asimptomatis dan simptomatis,
walaupun sebagian besar kasus, individu yang terjangkit virus ini akan bersifat
simptomatis. Berdasarkan klasifikasi WHO terkait dengan infeksi dengue
diantaranya, undifferentiated fever, dengue fever, dengue haemoragic fever, dan
expanded dengue syndrome.
Pada kasus ini, dimana anak laki-laki usia 5 tahun 1 bulan datang dengan
keluhan tampak mengantuk dan linglung sejak 1 hari yang lalu. Dimana keluhan ini
diawali dengan demam tinggi sejak 6 hari yang lalu disertai dengan atralgia, myalgia,
nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah, dan epistaksis. Berdasarkan hasil
anamnesis ini, pasien dapat dikategorika sebagai probable dengue. Adanya keluhan
penurunan kesadaran yakni anak tampak linglung dan selalu mengantuk harus
dicurigai sebagai bentuk komplikasi kasus infeksi virus ini. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan glasglow coma scale pasien E2V3M5 (delirium), retraksi dalam pada
subcostal dan rhonki pada basal kedua lapang paru pasien. Dari pemeriksaan abdomen
didapatkan hepatomegali (1 jari di bawah arcus costae) dan nyeri tekan epigastrium,
sedangkan pada pemeriksaan neurologis lainnya tidak terdapat defisit neurologis lain
ataupun tanda peradangan pada sistem saraf pusat. Kecurigaan pasien jatuh dalam
kondisi expanded dengue syndrome (severe dengue) ini turut didukung dari hasil
laboratorium, dimana terdapat penurunan dari nilai parameter penting pada infeksi
dengue yaitu, nilai trombosit, hematokrit, leukosit, dan Hb.
Expended dengue syndrome merupakan kondisi manifestasi yang tidak biasa
dari pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal, otak, ataupun
53
jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue semakin banyak dilaporkan pada
DHF dan juga pada pasien infeksi dengue yang tidak terdapat tanda kebocoran plasma.
Manifestasi yang tidak biasa ini dapat dikaitkan dengan koinfeksi, komorbiditas, atau
komplikasi syok yang berkepanjangan. Sebagian besar pasien DHF yang memiliki
manifestasi yang tidak biasa diakibatkan oleh syok yang berkepanjangan dengan
kegagalan organ atau pasien dengan komorbiditas atau koinfeksi.
Beberapa pasien dengan DF / DHF menunjukkan manifestasi yang tidak biasa
dengan tanda dan gejala yang melibatkan sistem saraf pusat, seperti kejang ataupun
penurunan kesadaran. Hal ini secara umum telah terbukti sebagai ensefalopati dengue,
bukan ensefalitis. Yang mana hal ini dapat disebebkan oleh perdarahan intracranial
atauoklusi yang terkait dengan DIC atau hyponatremia. Sebagian besar pasien dengan
ensefalopati melaporkan akibat adanya ensefalopati hepatic. Untuk membuktikan
kecurigaan ini seharusnya diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti laboratorium
berupa fungsi hati, fungsi ginjal, glukosa darah, elektrolit, dan uji serologi.
Pemeriksaan pencitraan seperti rongent thoraks dapat dilakukan mengingat keluhan
sesak dengan retraksi dalam serta suara tambahan paru berupa rhonki untuk
mengetahui apakah terdapat indikasi edema pulmonal atau efusi pleura, mengingat
pasien sebelumnya telah mendapatkan terapi cairan infus di rumahnya salama 2 hari
tanpa pemantauan cairan masuk dan keluar. Pemeriksaan CT-Scan kepala dan MRI
direkomendasikan jika tersedia guna menyingkirkan perdarahan intracranial.
Tatalaksana pasien ini menggunakan alur terapi kategori C, dimana pasien
diberikan cairan infus ringer laktat 10 ml/kgBB dalam 1-2 jam pertama. Urin tamping
dapat dilakukan guna mengevaluasi acairan yang masuk dan keluar guna mencegah
timbulnya overload cairan. Pemberian paracetamol berguna sebagai penurun
temperatur suhu tubuh pasien. Berdasarkan kondisi klinis pasien yang lemah maka
disarankan untuk di rujuk IGD RSUD Dr.R.Soedjono Selong untuk mendapatkan
intervensi lebih lanjut.
54
BAB V
KESIMPULAN
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendroko, Hario Tri. 2014. 6 Years Old Child with Dengue Haemorrhagic Fever.
Lampung : Unila
2. Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 2021. Strategi Nasional Penanggulangan Dengue
2021-2025. Jakarta : Kemenkes
3. Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 2019. Upaya Pencegahan DBD dengan 3M Plus.
Jakarta : Kemenkes
4. Harapan, et all. 2019. Dengue Viruses Circulating in Indonesia : A Systematic Review
and Phylogenetic Analysis of Data from Five Decades. Indonesia : Review in Medical
Virology
5. Utama, et all. 2019. Dengue Viral Infection in Indonesia : Epidemiology, Diagnostic
Challenge, and Mutations from an Observational Cohort Study. Indonesia : Neglected
Tropical Disease
6. Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 2021. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
– Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak-Remaja. Jakarta : Kemenkes
7. Riskesdas. 2021. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
8. Dhevianty, Afriani, et all. 2017. Profil Klinis dan Laboratoris Ensefalopati Dengue
pada Anak di RSUP Dr. Sarjito. Yogyakarta : UGM
9. Wang, Wen Hung, et all. 2020. Dengue Haemorrhagic Fever – A Systematic Literature
Review of Current Perpectives on Pathogenesis, Prevention and Control. Taiwan :
Siencedirect
10. Sohail, Shehreen, et all. 2021. Pathogenesis of Dengue Virus in Host Immune System
and Its Genetic Variation. Pakistan : AJP
11. Rodrigo, Chaturaka, et all. 2021. Plasma Leakage in Dengue : A Systematic Review of
Prospective Observational Studies. Australia : BMC Infection Disease
12. Rampengan, N Hometa. 2011. Ensefalopati Dengue pada Anak. Manado : Researchgate
56
13. World Health Organization (WHO). 2011. Comprehensive guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Revised and Expanded
Edition – Regional Office for South East Asia. India : SAERO Technical
57