Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Definisi

Sedangkan WHO mendifinisikan stroke sebagai gangguan fungsional otak yang


terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam serta dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh ganguan
peredaran darah otak.5

2.3. Epidemiologi

Di negara berkembang, insinden stroke meningkat. Di China, 1,3 juta orang


mengalami stroke setiap tahunnya dan 75% mengalami disabilitas.3 Di Indonesia sendiri
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan
diagnosis Nakes/gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). Berdasarkan
diagnosis Nakes maupun diagnosis/ gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki estimasi jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4‰) dan 533.895 orang (16,6‰),
sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling sedikit yaitu sebanyak
2.007 orang (3,6‰) dan 2.955 orang (5,3‰). Sedangkan di Sumatera Selatan Sendiri terdapat
87.676 orang mengalami stroke pada tahun 2013.6

2.4. Klasifikasi Stroke

Stroke dapat dibagi dua kelompok besar yaitu:

1. Stroke iskemik
Terganggunya sel neuron dan glia karena kekurangan darah akibat sumbatan arteri yang
menuju otak atau perfusi otak yang inadekuat. Sumbatan dapat dibedakan oleh 2 keadaan
yaitu:
 Berdasarkan kausal
a. Trombosis dengan gambaran defisit neurologis dapat memberat dalam 24 jam
pertama atau lebih
b. Emboli dengan gambaran defisit neurologi pertama kali muncul sangat berat,
biasanya serang timbul saat beraktifitas.

 Berdasarkan manifestasi
a. Serangan Iskemik Sepintas/ Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas (Reversible Ischemic Neurological Deficit)
Gejala neurologi yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24
jam, tetapi tidak lebih dari satu minggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke). Gejala neurologi makin lama makin berat
d. Stroke Komplet (Completed Stroke/permanent Stroke). Kelainan neurologi
sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

2. Stroke perdarahan
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problem 10th Revision, stroke perdarahan dibagi atas7:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh
darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini
banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah
aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang
tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular. Gejala yang sering djumpai pada
perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah
di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala penyerta
yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu beraktivitas dan saat
emosi/marah. Kesadaran iasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi
kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke
dalam ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma
(50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%)
dan 25% kausanya tidak diketahui. Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri
kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan
Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka
telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi
demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian
obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan
perubahan pada EKG.

c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena jembatan
( bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus
di dalam durameter atau karena robeknya araknoidea. Pada penderita perdarahan
subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema
papil yang terjadi, tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala
ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma
kepala.

2.5. Patofisiologi Stroke


Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk Sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya.
Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai
20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di
suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh
arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologinya dapat berupa:
(1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan;
(2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran 12 darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah;
(3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak
atau ruang subaraknoid.8

a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat
terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke
dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular
yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan
malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian
kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan
intraserebrum atau subarakhnoid.
Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akibat
cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang
menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan 15 otak
menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak
perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna. Penyebab pecahnya
aneurisma berhubungan dengan ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada
diameter dan perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes
ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan
serebrospinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat
melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah,
serta mengiritasi selaput otak.9

2.6. Faktor risiko


A. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat
diintervensi, karena sudah merupakan karateristik dari seseorang dari awal mula
kehidupannya. Berikut ini faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1. Umur
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap penambahan usia
tiga tahun akan meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20%. Dari semua stroke,
orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling tinggi yaitu 71%,
sedangkan 25% terjadi pada orang yang berusia 65-45 tahun, dan 4% terjadi
pada orang berusia <45 tahun. Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP
Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, umur berpengaruh
terhadap terjadinya stroke dimana pada kelompok umur ≥45 tahun risiko
terkena stroke dengan OR: 9,451 kali dibandingkan kelompok umur < 45 tahun.
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata laki-laki banyak
menderita stroke dibandingkan perempuan.3 Insiden stroke 1,25 kali lebih besar
pada laki-laki dibanding perempuan.
3. Riwayat penyakit keluarga
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,
jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam keluarga,
terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada
usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
4. Ras
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada orang kulit putih. Hal
ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Pada tahun 2004 di
Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih sebesar
37,1% dan yang berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita yang
berkulit putih sebesar 41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%.

B. Faktor yang dapat Dimodifikasi


1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk kejadian infark
serebral dan ICH. Hubungan antara tekanan darah dan resiko stroke sangat
kuat. Resiko stroke meningkat secara progresif dengan peningkatan tekanan
darah, dan sejumlah besar individu yang memiliki tekanan darah dibawah
ambang yang harus diterapi. Berdasarkan JNC7 pada kondisi diatas
pendekatan non farmakologi dan perubahan gaya hidup direkomendasikan
untuk mengurangi tekanan darah
Pasien dengan hipertensi memiliki peningkatan resiko terhadap
stroke. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi akan menyebabkan
hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen
pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena
pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa
untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik.3

Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi


ke jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik
serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka
tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi
edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak atau stroke hemoragik.
Penanganan pada pasien hipertensi pada saat stroke akut mempunyai resiko
kurang baik pada prognosis stroke. Penurunan tekanan darah secara
mendadak pada penderita stroke akut dapat mengakibatkan perburukan
kelainan neurologis yang disebabkan karena adanya penurunan tekanan
perfusi di daerah infark. Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila
hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat
mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro
menunjukkan bahwa perbaikan yang sempurna pada stroke iskemik
dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema
otak berkembang sehinggga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang
adekuat. 6

2. Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat
pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 ( tanpa ada penyesuaian untuk
faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan
bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir
dengan kematian sekitar 12% sampai 14%. 3

3. Diabetes
Seseorang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap
aterosklerosis dan peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama
hipertensi dan lipid darah yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta
atau 5,9% orang Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case
control pada pasien stroke dan studi epidemiologi prospektif telah
mengkonfirmasikan bahwa diabetes dapat meningkatkan resiko stroke
iskemik dengan resiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali
lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention
1997-2003 menunjukkan bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia
sekitar 9% stroke terjadi pada pasien dengan penyakit diabetes pada usia
lebih dari 35 tahun.3

4. Dislipidemia
Plasma lipid dan lipoprotein (kolesterol total, trigeliserida, Low-
density Lipoprotein (LDL), High-density Lipoprotein ( HDL) dan
lipoprotein (a)) berepengaruh terhadap resiko infark serebral. Data dari
studi prospektif pada pasien pria dengan nilai total kolesterol >240-270
mg/dL menunjukkan adanya peningkatan resiko terhadap stroke iskemik.
Secara umum, resiko stroke iskemik pada kedua jenis kelamin jelas terkait
dengan dyslipidemia. Pada pria, kadar HDL yang rendah merupakan faktor
resiko untuk iskemia serebral. Karena tingginya tingkat LDL yang jelas
terkait dengan resiko kerdiovaskular yang lebih tinggi. Kadar trigliserida
yang tinggi merupakan komponen dari sindrom metabolic. Dalam sebuah
penelitian pada 11.117 pasien dengan penyakit jantung koroner, memiliki
resiko infark serebral terkait dengan peningkatan kadar trigliserida dan
rendahnya HDL.3

2.7. Diagnosis

Gejala stroke dapat dibedakan atas gejala/ tanda akibat lesi dan gejala/tanda yang diakibatkan
oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis akan tetapi
dapat sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien dapat
datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang
bekerja akan tetapi tidak jarang pasien datang dalam keadaan koma sehingga memerlukan
penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke. 12
Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak yang menyebabkan gejala
dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (iskemik atau perdarahan) secara
umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis perdarahan
sering kali ditandai dengan nyeri kepala hebat terutama terjadi saat bekerja. 13

Perbedaan manifestasi klinisa antara stroke hemoragik dan iskemik:


Hemoragik Iskemik
intraserebral Subaraknoid Trombosis Emboli
 Sering pada usia  Penyebab terbanyak  Sering didahului  Gejala
dekade 5-8 pecahnya aneurisma dengan TIA mendadak
 Tidak ada gejala  Sering terjadi pada  Sering terjadi  Sering terjadi
prodormal yang pada waktu pada waktu
jelas. Kadang dekade 3-5 dan 7 istirahat dan bergiat
hanya berupa nyeri  Gejala prodormal yaitu bangun pagi  Umumnya
kepala hebat, mual, nyeri kepala hebat  Biasanya kesadaran
muntah.  Kesadaran sering kesadaran bagus bagus
 Sering terjadi terganggu  Sering terjadi  Sering terjadi
waktu siang, waktu  Rangsang meningeal pada dekade 6-8 pada dekade
bergiat, waktu positif 2-3 dan 7.
emosi  Harus ada
 Sering disertai sumber
penurunan emboli
kesadaran
Hasil CT Scan: Hasil ct scan: hiperdens Hasil ct scan Hasil ct scan
hiperdens hipodens hipodens
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, kita dapat mengarahkan jenis troke
yang terjadi, apakah jenis penyumbatan (iskemik) ataupun perdarahan (hemoragik)
dengan mengguunakan beberapa metode, diantaranya adalah skor stroke siriraj,
algoritma gajah mada dan skor junaidi.

Gambar 5. Skor Siriraj


PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT scan
• Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke infark
dengan stroke perdarahan.
• Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah didapatkan
gambaran hipodense sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran
hiperdens.
2. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat
sensitif).
3. Pemeriksaan Angiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis atau
vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada
pembuluh darah.
4. Pemeriksan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial , menentukan ada
tidaknya stenosis arteri karotis.
5. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau MRI.
Pada stroke PIS didaptkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna
kekuningan.
Pada PSA didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan
perdarahan (jernih).
6. Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor resiko seperti darah rutin, komponen kimia darah
(ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah,
Thoraks Foto, EKG, Echocardiografi.

2.7 Penatalaksanaan
Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan
dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi. Penanganan medik fase
akut dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah
sistemik yang tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang biasanya kerja cepat untuk
mencapai tekanan darah premorbid atau diturunkan kira-kira 20% dari tekanan darah
waktu masuk rumah sakit. Jika keadaan penderita cukup berat karena peninggian tekanan
intrakranial (TIK) disertai dengan deteriorasi fungsi neurologik progresif, intubasi,
hyperventilation terkontrol dan pemantauan diuresis dapat dilakukan dalam setting ICU. 16
Tindakan bedah pada perdarahan intraserebral sampai sekarang masih kontroversial
terutama pada perdarahan daerah basal ganglia, prognosis biasanya buruk secara
fungsional. Meskipun ada beberapa indikasi untuk tindakan bedah, misalnya volume
darah >55 cc dan pergeseran garis tengah >5 mm. Pada kasus perdarahan intraserebral,
pasien dapat bertahan hidup, tetapi level fungsionalnya kurang baik.16
Perdarahan intraserebral dibedakan atas perdarahan supratentorial dan infratentorial
dengan gejala klinis yang khas pada masing-masing lokasi. Tindakan pembedahan pada
perdarahan intra-serebral primer tergantung tujuan tingkat keparahan klinis dan indikasi
bedahnya. Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah16
a. Aspirasi sederhana
b. Kraniotomi
Indikasi untuk dilakukannya tindakan pembedahan adalah:
- Lesi dengan efek massa, edema, atau pergeseran garis tengah (berpotensi
terjadinya herniasi)
- Lesi di mana gejalanya terjadi akibat peningkatan TIK atau efek massa dari
klot ataupun edema sekitar lesi
- Volume hematoma sedang (10-30 cc), hematom luas (30-85 cc) dengan GCS>8
- Dijumpai tanda peningkatan TIK yang menetap atau persisten meskipun telah
diberikan terapi
- Penurunan kesadaran secara cepat (terutama dengan adanya tanda penekanan
batang otak)
- Terjadi pada pasien-pasien usia muda (<50 tahun)
- Onset kejadian stroke <24 jam
- Lokasi lesi yang cukup aman yaitu lobar, kapsula eksternal, hemisfer non-
dominan, serebelum (GCS <13 atau dengan volume hematoma >4 cm)
c. Open surgery
d. Evakuasi endoskopik
e. Aspirasi stereotaksik
Aspirasi sederhana jarang dilakukan karena biasanya darah hanya sedikit yang
dapat disedot dan di samping itu dapat menimbulkan “blind in rebleeding”. Sedangkan
open surgery telah dibuktikan kurang bermanfaat karena pada uji klinis menyebabkan
kematian dan cacat berat meningkat sekitar 13%. Evakuasi endoskopik yang dilakukan
uji klinis menyebutkan bahwa prosedur ini berguna untuk perdarahan subkortikal dengan
syarat penderita <60 tahun dan kesadaran baik atau turun sedikit/somnolen. Metode ini
tidak dapat dipakai pada perdarahan putamen dan thalamus. Akan tetapi re-evaluasi
penelitian menunjukkan bahwa metode ini belum dapat direkomendasikan karena perlu
uji klinis yang lebih besar.16
Aspirasi stereotaksik tanpa endoskopi telah banyak dilakukan terutama di Jepang
pada perdarah supratentorial baik intraparenkim maupun interventrikuler. Diperlukan uji
klinis yang mapan untuk memastikan bahwa metode ini cukup berhasil. Pembedahan
perdarahan serebelum lebih pasti dalam indikasinya dibandingkan perdarahan
supratentorial dan jika dilakukan sesuai indikasi akan menolong hiduo penderita.16
Indikasi yang jelas yaitu:16
a. Adanya penurunan kesadaran yang disertai dengan kompresi batang otak yang
prograsif atau diameter hematoma >3 cm.
b. Jika penderita menurun kesadarannya disertai hidrosefalus dan diameter hematoma
<3 cm, maka tindakan ventrikulostomi dapat dilakukan sebagai tindakan awal dan
kemudian observasi penderita akan menentukan selanjutnya.
2.8 Komplikasi

Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi masalah fisik
dan emosional diantaranya:
a. Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan, pembengkakan
(edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang
terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.
b. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit.
Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.
c. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini menyebabkan cairan
terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan pneumoni.
d. Atrofi dan kekakuan sendi (kontraktur) Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan
immobilisasi.
e. Depresi dan kecemasan Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan
reaksi emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan
fungsi tubuh. 16

2.9 Prognosis dan Outcome


Prognosis stroke adalah dubia. Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death,
disease, disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis
tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut
tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati
terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh
secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke. 17
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments,
disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut:
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang
disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk
menetapkan kelainan ini.
2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang
seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan melihat
akibat pengaruh stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai
manusia normal akibat ”impairment” atau disability” tersebut. Pada berbagai penelitian klinis,
skala Barthel Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome
karena mudah digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan
memperlihatkan interrater reliability.18
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam H.P., Zoppo G.J.D. & Kummer R.V. 2002. Management of stroke : A practical
guide for the prevention, evaluation, and treatment of acute stroke, Professional
Communications, NC, A Medical Publishing Company.
2. Chusid, JG. 1993; Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional, cetakan ke
empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
3. Feigin, V, 2006; Stroke , Bhuana Ilmu Populer Jakarta.
4. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran “Edisi 6” : alih
bahasa Lilianan Sugiharto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Indonesia
5. WHO. 2011.Global status report on noncommunicable diseases 2010, Geneva.
6. Rilantono, Lily. 2013. Penyakit Kardiovaskular. Badan Penerbit .FK UI. Jakarta
7. Depkes RI.2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta.
8. Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit tidak menular solusi pencegahan dari
aspek perilaku dan lingkungan. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
9. WHO Monica. Project Investigators. The World Health Organization MONICA
Project (Monitoring trends and determinants in cardiovascular disease). J Clin
Epidemiol 41, 105-114. 1988
10. Kemenkes. 2014. Info Datin, Situasi Kesehatan Jantung.
11. Price,S.A,et.al. 2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.EGC:Jakarta
12. Wahjoepramono, Eka j. 2005. Stroke dan tatalaksana fase akut. Jakarta, UPH
13. Aliah, A. et al., 2007. Kapita Selekta Neurologi 1st ed. Harsono, ed., Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
14. Price,S.A,et.al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.EGC:Jakarta
15. Widiastuti, Priska, Ngurah Nuartha. 2015. Sistem Skoring Diagnostik untuk Stroke:
Skor Siriraj. Program Studi Ilmu Penyakit Saraf, *Bagian Ilmu Penyakit Saraf,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Bali, Indonesia
16. Perdossi. 2011.Guideline Stroke 2011.
17. Pudiastuti, Ratna D. (2011). Penyakit Pemicu Stroke. yogyakarta: nuha medika.
18. Asmedi A & Lamsuddin R. 1998. Prognosis Stroke. Dalam : Manajemen Stroke
Mutakhir. h. 89-94. Suplemen BKM XIV.
19. Hernawati, Y.I. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paska Stroke
Hemorage Dextra Recovery. Karya Tulis Ilmiah. Fisioterapi Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
20. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2012. Farmakologi dan Terapi, edisi
5. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. Hal. 305, 337-338-349, 359, 399, 819

13

Anda mungkin juga menyukai