Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP TEORI STROKE


1. Pengertian Stroke
Menurut WHO, stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)
Perdarahan intracerebral adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan
bukan oleh karena trauma kapitis. (UPF, 1994)
Penyakit serebrovaskuler menunjukkan adanya beberapa kelaianan otak baik
secara fungsional maupun structural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari
pembuluh darah serebral atau dari seluruh system pembuluh darah otak. Patologis
ini menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding
pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh lumen
pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen.
(Doenges,1999)
Dengan demikian stroke dapat didefinisikan adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih disebabkan oleh perdarahan
primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis.
Patologis ini menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada
dinding pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh
lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen.
2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
a. Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala
adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang
tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme
serebral.
Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah
tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang –
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Haemorhagi serebral
1) Haemorhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawata n segera. Keadaan ini
biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri
meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk mempertahankan hidup.
2) Haemorhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi
epidural, kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena
robek. Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda
atau gejala.
3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4) Haemorhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis
serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas
deficit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran
dan abnormalitas pada tanda vital.
3. Faktor Resiko pada Stroke (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi
dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak.
Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan
apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan
terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut
kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya
akan menyebabkan infark sel – sel otak.
c. Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
Faktor risiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak
karena jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah mati
ke
dalam aliran darah.
d. Hiperkolesterolemi
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density
lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya
arteriosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti
penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL dan
penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko
untuk terjadinya
penyakit jantung koroner.
e. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke
adalah tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.
f. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
g. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark
jantung.
h. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
i. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
j. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar
estrogen tinggi)
k. Penyalahgunaan obat ( kokain)
l. Konsumsi alcohol
m. Lain – lain
Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit darah, asam urat
yang berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko secara teori.
4. Klasifikasi Stroke
Menurut Satyanegara(1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
1) Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode
serangan sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan
vaskuler dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling
lama 24 jam.
2) Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurologi Defisit(RIND) Gejala dan tanda gangguan neurologis
yang berlangsung lebih lama dari 24 jam dan kemudian pulih
kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga minggu).
3) In Evolutional atau Progressing Stroke merupakan Gejala gangguan
neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau lebih.
4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke ) merupakan
Gejala gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama
periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya progesifitas lanjut.
b. Stroke Haemorrhagi
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perda rahannya,
yakni di rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim otak
(intraserebral). Ada juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada kedua
tempat di atas seperti: perdarahan subarakhnoid yang bocor ke dalam otak
atau sebaliknya. Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang menimbulkan
perdarahan otak spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran dan lokasi
regional otak.
5. Patofisiologi
a. Stroke Non Hemoragic

Gambar 2. Otak Stroke Iskemik (Non Hemoragic)


Terbagi atas 2 yaitu :
1) Pada stroke trombotik, oklusi disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena thrombus yang
makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak
lancer. Penurunan aliran arah ini menyebabakan iskemi yang akan
berlanjut menjadi infark. Dalam waktu 72 jam daerah tersebut akan
mengalami edema dan lama kelamaan akan terjadi nekrosis. Lokasi
yang tersering pada stroke trombosis adalah di percabangan arteri
carotis besar dan arteri vertebra yang berhubungan dengan arteri
basiler. Onset stroke trombotik biasanya berjalan lambat.
2) Sedangkan stroke emboli terjadi karena adanya emboli yang lepas
dari bagian tubuh lain sampai ke arteri karotis, emboli tersebut
terjebak di pembuluh darah otak yang lebih kecil dan biasanya pada
daerah percabangan lumen yang menyempit, yaitu arteri carotis di
bagian tengah atau Middle Carotid Artery (MCA). Dengan adanya
sumbatan oleh emboli akan menyebabkan iskemi.
b. Stroke Hemoragic

Gambar 1. Pembuluh Darah Normal dan pada Stroke Hemoragic


Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama
kasus gangguan pembuluh darah otak. Perdarahan serebral dapat terjadi di
luar duramater (hemoragi ekstradural atau epidural), dibawah duramater,
(hemoragi subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarachnoid) atau
di dalam substansi otak (hemoragi intraserebral).
1) Hemoragi ekstradural (epidural) adalah kedaruratan bedah neuro
yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur
tengkorak dengan robekan arteri dengan arteri meningea lain.
2) Hemoragi subdural (termasuk hemoragi subdural akut) pada dasarnya
sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematoma subdural
biasanya jembatan vena robek. Karenanya, periode pembentukan
hematoma lebih lama (intervensi jelas lebih lama) dan menyebabkan
tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin mengalami hemoragi
subdural kronik tanpa menunjukkan tanda dan gejala.
3) Hemoragi subarachnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisma
pada area sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena kongenital pada
otak. Arteri di dalam otak dapat menjadi tempat aneurisma.
4) Hemoragi intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi
dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif karena
penyakit ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah. pada
orang yang lebih muda dari 40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya
disebabkan oleh malformasi arteri-vena, hemangioblastoma dan
trauma, juga disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu, adanya
tumor otak dan penggunaan medikasi (antikoagulan oral, amfetamin
dan berbagai obat aditif).
Perdarahan biasanya arterial dan terjadi terutama sekitar basal
ganglia. Biasanya awitan tiba-tiba dengan sakit kepala berat. Bila
hemoragi membesar, makin jelas defisit neurologik yang terjadi
dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda
vital. Pasien dengan perdarahan luas dan hemoragi mengalami
penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.
6. Manifestasi Klinis Stroke
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan,
penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai
jarak.
2) Kehilangan penglihatan perifer
Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau
batas objek.
3) Diplopia
Penglihatan ganda.
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis
wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2) Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan kaki,
perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4) Disfagia
Kesulitan dalam menelan.

c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin
mampu bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mam pu bicara
tetapi tidak
masuk akal.
3) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
4) Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek
dan panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan
untuk berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
5) Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan
stress, depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah,
perasaan isolasi.
7. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer (2002,hal 2131)
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan
akhirnya menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal.
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit
vaskular perifer.
8. Pencegahan
Pencegahan stroke yang efektif dengan cara menghindari faktor
resikonya,banyak faktor resiko stroke yang bisa di modifikasi.
Sebagian dari pencegahan stroke caranya :
a. Kontrol tekanan darah. hipertensi merupakan penyebab serangan stroke.
b. Kurangi atau hentikan merokok. Karena nikotin dapat menempel di
pembuluh darah dan menjadi plak, jika plaknya menumpuk bisa
menyumbat pembuluh darah.
c. Olahraga teratur. Olahraga teratur bisa meningkatkan ketahanan jantung
dan menurunkan berat badan
d. Perbanyak makan sayur dan buah. Sayur dan buah mengandung banyak
antioksidan yang bisa menangkal radikal bebas, selain itu sayur dan
buah rendah kolesterol
e. Suplai Vitamin E yang cukup. Para peneliti dari Columbia Presbyterian
Medical Center melaporkan bahwa konsumsi vitamin E tiap hari
menurunkan resiko stroke sampai 50% vitamin E juga menghaluskan
kulit.
9. Penatalaksanaan
a. Perawatan umum stroke
Mengenai penatalaksanaan umum stroke, konsensus nasional
pengelolaan stroke di Indonesia, 2001 mengemukakan hal-hal berikut:
1) Penatalaksanaan awal selama fase akut dan mempertahankan fungsi
tubuh;
2) Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu
berikan oksigen 0-2 liter/menit sampai ada hasil gas darah;
3) Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten;
4) Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus.
Asia Pacific Consensus on Stroke Manajement, 1997,
mengemukakan bahwa peningkatan tekanan darah yang sedang tidak
boleh diobati pada fase akut stroke iskemik. Konsensus nasional
pengelolaan stroke di Indonesia, 1999, mengemukakan bahwa
tekanan darah diturunkan pada stroke iskemik akut bila terdapat salah
satu hal berikut :
a) Tekanan sistolik > 220 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit.
b) Tekanan diastolik >120 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit.
c) Tekanan darah arterial rata-rata > 130-140 mmHg pada dua
kali pengukuran selang 30 menit.
d) Disertai infark miokard akut/gagal jantung atau ginjal akut.
Pada umumnya peningkatan tekanan darah pada fase akut stroke
diakibatkan oleh:
a) Stres dari pada stroke
b) Jawaban fisiologis dari otak terhadap keadaan hipoksia
c) Tekanan intrakranial yang meninggi.
d) Kandung kencing yang penuh
e) Rasa nyeri.
Tekanan darah dapat berkurang bila penderita dipindahkan ke
tempat yang tenang, kandung kemih dikosongkan, rasa nyeri
dihilangkan, dan bila penderita dibiarkan beristirahat.
5) Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi.
Keadaan hiperglikemia dapat dijumpai pada fase akut stroke,
disebabkan oleh stres dan peningkatan kadar katekholamin di dalam
serum. Dari percobaan pada hewan dan pengalaman klinik diketahui
bahwa kadar glukosa darah yang meningkat memperbesar ukuran
infark. Oleh karena itu, kadar glukosa yang melebihi 200 mg/dl harus
diturunkan dengan pemberian suntikan subkutan insulin.
Konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia mengemukakan
bahwa hiperglikemia (>250 mg%) harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu sekitar 150 mg% dengan insulin intravena secara drips
kontinyu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia harus diatasi segera
dengan memberikan dekstrose 40% intravena sampai normal dan
diobati penyebabnya.
6) Suhu tubuh harus dipertahankan normal.
Suhu yang meningkat harus dicegah, misalnya dengan obat
antipiretik atau kompres. Pada penderita iskemik otak, penurunan
suhu sedikit saja, misalnya 2-3 derajat celsius, sampai tingkat 33 ºC
atau 34 °C memberi perlindungan pada otak. Selain itu, pembentukan
oxygen free radicals dapat meningkat pada keadaan hipertermia.
Hipotermia ringan sampai sedang mempunyai efek baik, selama
kurun waktu 2-3 jam sejak stroke terjadi, dengan memperlebar
jendela kesempatan untuk pemberian obat terapeutik.
7) Nutrisi peroral
Hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik, bila
terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran
menurun, dianjurkan melalui pipa nasogastrik.
8) Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan.
Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid atau koloid,
hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik.
9) Bila ada dugaan trombosis vena dalam, diberikan heparin dosis
rendah subkutan, bila tidak ada kontra indikasi.
Terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien stroke:
a) Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non
haemoragic, diberikan dalam 24 jam sejak serangan
gejala-gejala dan diberikan secara intravena.
b) Obat antipletelet, obat ini untuk mengurangi pelekatan
platelet. Obat ini kontraindikasi pada stroke haemorhagic.
c) Bloker kalsium untuk mengobati vasospasme serebral,
obat ini merilekskan otot polos pembuluh darah.
d) Trental dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah
kapiler mikrosirkulasi, sehingga meningkatkan perfusi
dan oksigenasi ke jaringan otak yang mengalami iskemik.
10) Kebutuhan psikososial
Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi
merupakan masalah umum yang dijumpai pada penderita pasca
stroke. Korban stroke dapat memperlihatkan masalah-masalah
emosional dan perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum
mengalami stroke. Emosinya dapat labil, misalnya pasien mungkin
akan menangis namun pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang
jelas. Untuk itu, peran perawat adalah untuk memberikan pemahaman
kepada keluarga tentang perubahan tersebut.
Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi
perilaku pasien seperti seperti mengendalikan simulasi di lingkungan,
memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah
pasien dari kelelahan yang berlebihan, memberikan umpan balik
positif untuk perilaku yang dapat diterima atau perilaku yang positif,
serta memberikan pengulangan ketika pasien sedang berusaha untuk
belajar kembali satu keterampilan.
11) Rehabilitasi selama di rumah sakit
Rehabilitasi di rumah sakit memerlukan pengkajian yang
sistematik dan evaluasi dari defisit dan perbaikan fungsi pasien.
Fokus perawatan adalah langsung membantu pasien belajar kembali
kehilangan keterampilan yang dapat membentu kembali
kemungkinan kemandirian pasien. Pada fase ini pasien dimonitor
secara hati-hati untuk mencegah berkembangnya komplikasi yang
lebih lanjut. Adapun intervensi yang dapat kita lakukan adalah
sebagai berikut :
a) Anjurkan pasien untuk mengerjakan sendiri “personal
hygiene” semampunya.
b) Ajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan menghargai
cara pasien mengkompensasi ketidakmampuan pasien.
c) Anjurkan pasien untuk latihan di tempat tidur.
d) Berikan spesial perawatan kulit.
e) Berikan privasi dengan menggunakan penutup jika klien
belajar keahlian baru seperti belajar makan sendiri.
f) Berikan support emosional.
g) Berikan empati pada perasaan klien.anjurkan keluarga untuk
berpartisipasi.
12) Perencanaan pasien pulang
Untuk mencegah kembalinya klien ke rumah sakit, diperlukan
suatu program untuk membimbing klien dan keluarga yang tercakup
dalam perencanaan pulang. Perencanaan pulang dilakukan segera
setelah klien masuk rumah sakit, yang dilakukan oleh semua anggota
tim kesehatan. Perencanaan pulang yang baik adalah perencanaan
pulang yang tersentralisasi, terorganisir, dan melibatkan berbagai
anggota tim kesehatan.
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan melalui asuhan keperawatan mutlak harus
mengikuti dan berperan aktif dalam mementukan rencana
pemulangan klien, sehingga klien mendapatkan pelayanan yang
holistik dan komprehensif.
Tujuan perencanaan pulang :
a) Mempersiapkan klien untuk menyesuaikan diri dengan
rumah dan masyarakat;
b) Agar klien dan keluarga mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan serta sikap dalam memperbaiki dan
mempertahankan status kesehatannya;
c) Agar klien dan keluarga dapat menerima keadaan diri
klien jika terdapat gejala sisa (cacat);
d) Membantu merujuk klien ke pelayanan kesehatan lain.
Mengingat banyaknya informasi dan pendidikan yang harus
diterima oleh klien selama perawatan maupun dalam persiapan untuk
pulang, maka prinsip belajar mengajar juga harus diperhatikan dalam
proses rencana pemulangan. Informasi untuk klien dan keluarga:
a) Gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan ringkas.
b) Jelaskan langkah-langkah dalam melaksanakan perawatan.
c) Perkuat penjelasan lisan dengan instruksi tertulis, jika klien
bisa membaca.
d) Motivasi klien mengikuti langkah-langkah tersebut selama
perawatan dan pengobatan.
e) Kenali tanda-tanda dan gejala komplikasi yang harus
dilaporkan kepada tim kesehatan.
f) Anjurkan keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam
pengawasan dan perawatan klien.
g) Berikan keluarga nomor penting yang dapat dihubungi bila
klien perlu pertolongan medis.

B. Konsep Perawatan Paliatif Pada Pasien Dengan Stroke Kronis


1. Konsep Kehilangan
a. Pengertian
Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang
membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika
sesuatu atau seseorang tidak lagi ditemui atau diraba, didengar, diketahui,
atau dialami. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap
kehilagan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin
menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan
peliharaan, tetapi bagi seseorang yang hidup sendiri kematian hewan
peliharaan menyebabkan distress emosional lebih besar dibandingkan
dengan saudaranya yang tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Makin dalam makna dari
apa yang hilang maka akan makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien
mungkin mengalami kehilangan maturasional (kehilangan yang
diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya),
kehilangan situsional (kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam
merespon kejadian eksternal seperti kematian mendadak dari orang yang
dicintai), atau keduanya.
1) Kehilangan obyek eksternal, yaitu mencakup segala kepemilikan
yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak
karena bencana alam.
2) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal, yaitu meninggalkan
lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau
perpindahan secara permanen.
3) Kehilangan orang terdekat, yaitu mencakup kehilangan orang tua,
pasangan, anak-anak, dan orang-orang yang dikenal.
4) Kehilangan aspek diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, dan psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup
anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi
fisiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus,
mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi
psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri,
percaya diri, kekuatan repspect atau cinta. Orang tersebut tidak
hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat
mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5) Kehilangan hidup. Seseorang yang menghadapi kematian menjalani
hidup, didasarkan berpikir dan merespon terhadap kejadian dan
orang sekitarnya sampai terjadi kematian. Sebagian menganggap
kematian menjadi jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian
yang akan mempersatukannya dengan orang yang akan dicintai di
surga. Sedangkan orang lain takut berpisah, dilalaikan, kesepian,
atau takut cedera. Ketakutan terhadap kematian sering
menyebabkan individu lebih tergantung. Klien dihadapkan pada
serangkaian keputusan, termasuk keputusan medis, interpersonal,
psilkologis, seperti halnya dalam menghadapi awal krisis penyakit.
Dalam fase kronis, klien bertempur dengan penyakit dan
pengobatannya. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal.
Kadang dalam fase akut atau kronis seseorang dapat mengalami
pemulihan. Klein yang mencapai fase terminal ketika kematian
bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi bisa terjadi.
b. Duka, Bergabung dan Kehilangan karena Kematian
Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran,perasaan dan
aktifitas yang mengikuti kehilangan.keadaan ini mencangkup dukacita dan
berkabung.dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis ,sosial, fisik
terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon ini termasuk
keputusan,kesepian, ketidakberdayaan ,kesedihan, rasa bersalah dan marah.
Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilanmgan dan
mencangkup berupaya untuk melewati dukacita. Proses dukacita dan
berkabung bersifat mendalam,internal, menyedihkan, berkepanjangan.
Tujuan dukacita adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintregasikankehilangan kedalam pengalaman hidup klien.
c. Respon dukacita khusus, dukacita adaptif dan dukacita terselubung
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi,
perencanaan dan pengenalan psikososial. Dukacita yang adaptif terjadi
pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka
panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eriktomatosus
sistemik,klien mungkin merasa sangat sehat tetapi mulai berduka dalam
merespon informasi tentang kehilangan dimasa mendatang yang berkaitan
dengan penyakit.dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal mencangkup
melepas harapan, impian dan harapan terhadap masadepan jangka panjang.
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan
yang tidak atau tidak dapat dikenali,rasa berkabung yang luas,atau
didukung secara sosial. Konsep mengenali bahwa masyarakat mempunyai
serangkaian norma mengenai aturan berduka yang berupaya untuk
mengkhususkan siapa,kapan, dimana, bagaimana, berapa lama dan kepada
siapa oranmg itu harus berduka. Keunikan dari dukacita terselubung
menimbulkan situasi dimana perawat sering menjadi pengganti sosial dan
kekeluargaan bagi klien.
2. Konsep Dan Teori Berduka
a. Pengertian
Dukacita adalah respons normal terhadap setiap kehidupan. Perilaku dan
perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu
menderita kehilangan seperti perubahan fisik atau kematian teman dekat.
Proses ini juga terjadi ketika individu yang menghadapi kematian mereka
sendiri. Seseorang yang mengalami kehilangan, keluarganya, dan
dukungan sosial lainnya juga mengalami duka cita.
Tidak terdapat cara yang tepat untuk berduka. Konsep dan teori berduka
hanya cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan
emosional klien dan keluarganya dan merencanakan intervensi untuk
membantu mereka memahami duka cita dan menghadapinya. Penting
artinya untuk mempertimbangkan beberapa teori tentang kedukaan. Ketika
mendiskusikan tentang tahapan, fase,atau tugas, penting artinya untuk
mengingat bahwa hal ini tidak terjadi dengan urutan yang kaku, tetap dapat
diperkirakan. Tujuannya bukan untuk mengklasifikasi duk cita klien,
dengan demikian perawat tidak harus mengidentifikasi klien sebagai
mengalami tahapan khusus duka cita. Peran perawat adalah mengamati
prilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap prilaku, dan
memberikan dukungan yang empatik.
b. Tahapan Menjelang Ajal Menurut Kubler-Ross
Kerangka kerja yang diberikan oleh Kubler –Ross (1969) berfokus pada
prilaku dan mencakup 5 tahapan. Pada tahap menyangkal individu
bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan dapat menolak untuk
menpercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak,
tidak mungkin seperti itu,” atau “tidak akan terjadi tyidak akan terjadi pada
saya!” umum dilontarkan klien.
Pada tahap marah individu melawan kehilangan dan dapat bertindak
pada seseorang dan segala sesuatu dilingkungan sekitarnya. Dalam tahap
tawar menawar terdapat punundaan realitas kehilangan. Individu mungkin
berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Klien sering kali mencari pendapat orag lain selama
tahapan ini. Klien yang dirawat di rumah sakit mungkin menunjukkan
model prilaku karena percaya bahwa staf perawatan akan menemukan
penyembuhan jika mereka menjadi “klien yang baik.”
Tahap defresi terjadi ketika kehilangan didasari dan timbul dampak
nyata dari makna kehilangan tersebut timbul. Seseorang terlalu merasa
sangat kesepian dan menarik diri. Tahapan defresi member kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
Pada tahap kelima, dicapai suatu penerimaan reaksi pisiologis menurun
dan interaksi social berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan penerimaan lebih
sebagai menghadapi situasi ketimbang menyerah untuk pasrah atau putus asa.

C. KONSEP PERAWATAN PALIATIF


1. Pengkajian
Selama pengkajian perawat tidak boleh berasumsi tentang bagaimana
atau klien atau keluarganya mengalami duka cita. Perawat harus menghindari
membuat asumsi bahwa perilaku tertentu menandakan duka cita, sebaliknya
perawat harus memberi kesempatan pada klien untuk menceritakan apa yang
sedang terjadi dengan cara mereka sendiri. Pengkajian tentang klien dan
keluarganya dimulai dengan menggali makna kehilangan bagi mereka. Perawat
mewawancarai klien dengan keluarga dengan menggunakan komunikasi yang
tulus dan terbuka, dengan menekankan keterampilan mendengar dan
mengamati respond an perilaku mereka. Perawat mengkaji bagaimana klien
bereaksi dan bukan bagaimana klien seharusnya bereaksi. Pertimbangan
terhadap variable ini memberi perawat data dasar yang luas sehingga dari data
tersebut dapat dibuat perawatan yang sifatnya individual bagi klien.
2. Diagnosa Keperawatan
Perawat mengumpulkan data untuk membuat diagnose keperawatan
mengenai duka cita atau reaksi klien terhadap duka cita. Mengidentifikasi
batasan karakteristik yang membentuk dasar untuk mendiagnosa akurat juga
mengembangkan intervensi dalam rencana perawatan.Perilaku yang
menandakan duka cita maladaptive termasuk yang berikut ini:
a. Aktivitas berlebihan tanpa rasa kehilangan
b. Perubahan dalam hubungan dengan teman dan keluarga
c. Permusuhan terhadap orang tertentu
d. Depresi, agitasi dengan ketenangan, agitasi, insomnia, perasaan tidak
berharga, rasa bersalah yang berlebihan, dan kecenderungan untuk bunuh
diri
e. Hilang keikutsertaan dalam aktivitas keagamaan dan ritual yang
berhubungan dengan budaya klien.
f. Ketidakmampuan untuk mendiskusikan kehilangan tanpa menangis
(terutama lebih dari 1 tahun) serta terjadi kehilangan.
g. Rasa kesejahteraan yang salah.
Contoh diagnose keperawatan Nanda yang berhubungan dengan
duka cita:
1) Duka cita adaptif yang berhubungan dengan :
a) Potensial kehilangan orang terdekat yang dirasakan
b) Petensial kehilangan kesejahteraan bisiopsikososial yang
dirasakan
c) Potensial kehilangan kepemilikan pribadi yang dirasakan
2) Duka cita maladaptive yang berhubungan dengan:
a) Kehilangan obyek potensial atau actual
b) Rintangan respons berduka
c) Tidak ada antisipasi terhadap berduka
d) Penyakit terminal kronik
e) Kehilangan orang terdekat
3) Gangguan persediaan yang berhubungan dengan:
a) Berduka yang tidak sesuai
4) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang b.d.:
a) Respon duka cita yang bertahap
5) Perubahan koping keluarga yang b.d
a) Preokupasi sementara oleh orang terdekat yang mencoba
untuk menangani konflik emosional dan personal
b) Penderita (antisipasi berduka) dan tidak mampu untuk
menerima atau bertindak secara efektif dalam kaitannya
dengan kebutuhan klien
6) Perubahan proses keluarga b.d. :
a) Transisi atau krisis situasi
7) Keputusan b.d.
a) Kekuarangan atau penyimpangan kondisi fisiologis
b) Stress jangka panjang
c) Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa
8) Isolasi sosial b.d.
a) Sumber pribadi tidak akurat
9) Distress spiritual (distress jiwa manusia) b.d. :
a) Perpisahan dari ikatan keagamaan dan kultural
10) Gangguan pola tidur b.d.
a) Stress karena respon berduka
3. Perencanaan
Tujuan bagi klien dengan kehilangan mencakup akomudasi duka cita,
menerima realitas kehilangan, mencapai kebali rasa harga diri, dan mempebarui
aktivitas atau hbungan norma. Kebutuhan fisiologis, perkembangan, dan
spiritual juga harus di penuhi. Perawat harus lebih toleran dan rela untuk
meluangkan waktu lebih lama bersama klien menjelang ajal untuk
mendengarkan klien dalam mengekspresikan duka cita dan untuk
mempertahankan kualitas hidup mereka. Tujuan tambahan bagi klien menjelang
ajal antara lain:
a. Mencapai kembali dan mempertahankan kenyamanan
b. Mempertahankan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
c. Mempertahankan harapan
d. Mencapai kenyamanan spiritual
e. Meraih kelegaan akibat kesepian dan isolasi
4. Implementasi
Sensitivitas terhadap klien adalah yang paling penting agar
perawat dapat berfungsi secara afektif. Perawat juga harus sensitive terhadap
budaya, etnisitas, gaya hidup, atau kelas sosial klien dan keluarganya.
Mereka harus sensitive terhadap keterbatasan dan sifat peran mereka sendiri.
Jika klien ingin menghindari perasaan emosional yang dapat diekspresikan
ketika seseorang membentuk ikatan dengan klien yang sedang melawan hidup
dan mati , maka perawat harus sensitive terhadap kebutuhan mereka sendiri.
5. Merawat klien menjelang ajal dan keluarganya
Asuhan keperawatan klien dengan penyakit terminal sangat menuntut
dan menegangkan. Namun demikian, membantu klien menjelang ajal untuk
meraih kembali martabatnya dapat menjdi salah satu penghargaan terbesar
keperawatan. Klien mungkin mengalami banyak gejala selama berbulan – bulan
sebelum terjadi kematian. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang
ajal dan mengintervensi dalam cara yang meningkatkan kulitas hidup. Klien
menjelang ajal harus dirawat dengan respek dan perhatian.
a. Peningkatan kenyamanan
Kenyamanan bagi klien menjelang ajal termasuk pengenalan dan
peredaan psikobiologis. Perawat member berbagai tindakan
penenangan bagi klien sakit terminal. Control nyeri terutama penting
karena nyeri menganggu tidur, nafsu makan, mobilitas dan fungsi
psikologis. Ketakutn terhadap nyeri umum terjadi pada klien kanker.
Makin cepat klien menjelang ajal mendapat peredaan nyeri, makin
banyak energy yang mereka miliki untuk berprtisipasi dalam aktivitas
kualitas hidup. Pemberian kenyamanan bagi klien sakit terminal juga
mencakup pengendalian gejala penyakit atau pemberian terapi yang
didapat klien.
b. Pemeliharaan Kemandirian
Pilihan yang penting bagi klien yang menjelang ajal adalah
memilih tempat perawatan. Bnyak pilihan selain dari perawatan akut
dirumah sakit. Perawatan hospice memungkinkan perawatan
komprehensif dirumah. Perawat harus menginformasikan klien tentang
pilihan ini.
c. Pencegahan Kesepian dan Isolasi
Jika perawat tidak terikat atau menghindari pembahasan tentang
situasi yang dialami klien, maka klien menjelang dapat mengalami
kesepian yang mendalam. Perawat membutuhkan kesabaran dan
pengalaman untuk merespon secara efektif terhadap klien menjelng
ajal. Kematian menimbulkan kegagalan bagi banyk pemberi perawatan
kesehatan. Dirumah sakit, seseorang menjelang ajal sering ditempatkan
diruang tersendiri untuk menghindari pemajanan terhadap orang lain
tentang penderitaan. Tanpa stimulasi sensori yang bermakna, orang
menjelang ajal mungkin merasa diabaikan dan di isolasi. Untuk
mencegah kesepian dan penyimpangan sensori, perawat
mengintervensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Memberikan
stimulasi lingkungan yang bermakna dengan menenangkan klien.
Klien harus ditemani oleh seseorang ketika terjadi kematian. Perawat
tidak boleh merasa bersalah jika tidak dapat selalu memberikan
dukungan ini. Untuk memberikan perawatan yang diperlukan oleh
klien menjelang ajal, mungkin ada baiknya untuk memberi dorongan
dan dukungan pada keluarga klien atau orang terdekat untuk tetap
bersama.
d. Peningkatan Ketenangan spiritual
Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti yang lebih
besar dari sekedar meminta kunjungan rohaniawan. Perawat dapat
member dukungan kepada klien dalam mengekspresikan filosofi
kehidupan. Perawat dan keluarga dapat membantu klien dengan
mendengarkan dan mendorong klien untuk mengekspresikan tentang
nilai dan keyakinan. Klien menjelang ajal dapat merasa bersalah jika
hidup mereka dianggap sebagi tidak bermakna. Selain kebutuhan
spiritual ada juga harapan dan cinta. Cinta dapat dengan baik
diekspresikan melalui perawatan yang tulus dan penuh simpati.
Perawat dan keluarga dapat memberikan ketenangan spiritual dengan
menggunakan ketrampilan komunikasi, mengekspresikan empati,
berdoa dengan klien, membaca literature yang member inspirasi dan
memainkan music. ( Stepnick & Perry, 1992 )
e. Dukungan untuk keluarga yang berduka
Anggota keluarga harus mendukung melewati waktu menjelang
ajal dan kematian dari orang yang mereka cintai. Perawat harus
mengenali niali anggota keluarga sebagi sumber dan membantu mereka
untuk tetap berada dengan klien menjelang ajal. Menghargai dukacita
adalah langkah pertama perawat dalam mengembangkan hubungan
sportif dengan keluarga. Sebelum menggunakan anggota keluarga
sebagai sumber, perawat harus menetapkan apakah mereka ingin
dilibatkan. Perawat mengkaji peran keluarga sebagai pengamat,
pendengar, atau pemberi perawatan. Penyakit terminal menempatkan
tuntutan yang besar pada sumber social dan financial. Ketegangan
emosional sering mengganggu saluran komunikasi normal.
Benolil (1985) menggambarkan situasi yang membuat sulit bagi
keluarga untuk mengatasi tuntutan penyakit terminal.
f. Perawatan hospice
Program hospice adalah perawatan yang berpusat pada keluarga
yang dirancang untuk membantu klien sakit terminal untuk dapat
dengan nyaman dan mempertahankan gaya hidupnya senormal
mungkin sepanjang proses menjelang ajal. Terdapat berbagai tipe
program hospice. Komponen perawatan rumah dari program hospice
dioperasikan oleh rumah sakit atau lembaga perawatan kesehatan yang
terpisah. Program hospice menekankan pengobatan paliatif yang
mengontrol gejala ketimbang pengobatan penyakit. Perawatn klien di
koordinasikan antar lingkungan rumah dan klien. Keluarga menjadi
pemberi perawatan primer, pemberian medikasi dan pengobatan.
6. Perawatan Setelah Kematian
Perawat mungkin menjadi orang yang paling tepat untuk merawat tubuh
klien setelah kematian karena hubungan terapeutik perawat-klien yang telah
terbina selama fase sakit, dengan demikian perawat mungkin lebih sensitife
dalam menangani tubuh klien dengan martabat dan sensitifitas. Setelah
kematian tubuh mengalami berbagai perubahan fisik. Tubuh klien harus
ditagani secepat mungkin setelah kematian untuk mencegah kerusakan jaringan
atau perubahan bentuk tubuh. Jika keluarga meminta donasi organ, maka
tindakan yang sesuai harus dilakukan dengan segera.
Perawat memberi kesempatan pada keluarga untuk melihat tubuh klien.
Kesempatan ini membantu untuk menunjukkan bahwa inilah kesempatan untuk
“mengucapkan selamat tinggal pada orang yang mereka cintai, terutama selaki
keluarga tidak ada ketika terjadi kematian. Jika keluarga ragu-ragu, perawat
harus member kesempatan bagi mereka untuk memikirkan hal tersebut. jika
mereka memutuskan untuk tidak melihat tubuh klien, perawat menerima
keputusan mereka tanpa menghakimi. Jika keluarga memutuskan untuk melihat
tubuh klien, mereka harus ditengangkan bahwa mereka tidak akan sendiri.
Perawat akan dengan senang hati menemani mereka atau akan mengatur siapa
saja yang ingin bersama mereka. Perawat harus meluangkan waktu sebanyak
mungkin dalm membantu keluarga yang berduka dan memberi tawaran untuk
menghubungi pelayangn lingkungan lainnya seperti pelayanan social dan
penasehat spiritual. Keluarga kini menjadi klien.
Sebelum keluarga melihat tubuh klien, perawat menyiapkan tubuh klien
dan ruangan untuk meminimalkan stress dari pengalaman ini. Perawat
menyingkirkan benda dan peralatan dari pandangan. Perawat menyipkan tubuh
klien dengan membuatnya tampak sealamiah dan senyaman mungkin. Tubuh
klien diletakan dalam posisi terlentang dengan lengan disamping, telapak
tangan menghadap kebawah, ataumelipat badan diatas dada. Perawat
meletakkan bantal atau gulungan handuk di bawah kepala untuk mencegah
perubahan warna akibat penimbunan darah. Kelopak mata biasanya tetap
tertutup jika ditahann selama beberapa detik. Jika hal ini tidak berhasil, bola
kapas lembab akan menahan kelopak mata menutup. Perawat membersikan
bagian tubuh yang basah dan membalut tubuh dengan gaun yang bersih,
menyisir atau menyikat ranbut dan menutupi tubuh sampai bahu dengan linen
bersih. Keluarga mungkin ikut berpartisipasi dalm proses ini dan harus diberika
kesempatan.
Setelah tubuh disiapkan, keluaga diundang ke dalam ruangan.
Umumnya anggota keluaraga dapat mengatasi lebih baik jika mereka tidak
sendiri. Perawat atau anggota keluarga yang lain harus hadir untuk memberikan
dukungan motivasi kepada anggota lainnya. Perawat dapat memberi contoh
kepada keluarga bagaimana menunjukkan rasa kasih sayang kepada jenasah.
Penting artinya untuk tidak memburu-buru keluarga ketika mereka melakukan
waktu bersama jenasah. Setelah keluarga pergi, sesuai dengan kebijakan
tertentu rumah sakit, perawat mamasang tanda yang menyebutkan nama dan
informasi lain pada pergelangan tangan jenasah klien dan pergelangan kaki atau
ibu jari kakinya. Gaun dilepaskan dan tubuh dibungkus rapat dengan kain katun,
dalam kantung besar dari pelastik atau katun. Tanda identivikasi lainnya
dipasang pada kantung tersebut. Jika klien mempunyai penyakit infeksi
menular, pelebelan khusus digunakan unruk mewaspadakan mereka yang
memindahkan atau menyimpan peralatan lain. Jenasah kemudian dipindahkan
kekamar mayat. Perawat bertanggung jawab untuk melepaskan kepemilikan
pribadi jenasah dan mencatat semua ini dalam catatan medis .

Anda mungkin juga menyukai