BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Mnegetahui yang dimaksud dengan konflik
1.3.2 Mnegetahui tipe-tipe konflik
1.3.3 Mnegetahui penyebab konflik
1.3.4 Mnegetahui proses konflik
1.3.5 Mnegetahui strategi dan manajemen konflik
1.3.6 Mnegetahui cara penyelesaian konflik
1.3.7 Mnegetahui hasil dari konflik
BAB II
PEMBAHASAN
6. Didalam kelompok
Nilai- nilai baru dari luar dimasukkan pada kelompok yang ada. Contoh pendidikan yang
berkelajutan diwajibkan oleh pemerintah untuk setiap perpanjangan ijin kn keperawatan.
Lembaga pelayanan kesehatan desa tidak mempunyai dana untuk pengirim perawat untuk
mengikuti program pendidikan berkelanjutan, dan staff perawat, yang dibayar murah tetapi
puas, tidak dapat membianyayi sendiri pendidikan lanjutan mereka.
7. Antar kelompok
Dua atau lebih kelompok dengan tujuan yang berlawanan. Contoh departemen keperawatan
menuntut bahwa para perawata diruang operasi dan pemulihan secara organisional berada
dibawah keperwatan. Departemen bedah, yang terdiri dari dari para dokter, menyakini bahwa
mereka harus mengendalikan perawat- perawat di area ini.
8. Peran mendua
Seseorang tidak menyadari harapan olrang lain terhadap sebuah peran tertentunya. Contoh
seorang pengawas perawat yang baru tidak mempunyai gambaran tentang posisinya dan
tidak mempunyai pengalaman sebelumnnya sebagai pengawas.
9. Beban peran yang terlalu
Seseorang tidak dapat memenuhi harapan orang lain untuk perannya. Contoh seorang sarjana
muda baru diharapkan oleh direktur keperawatan untuk bertanggung jawab terhadap 40
tempat tidur di unit penyakit kronis dan akut pada dinas malam.
1. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog rasional, dapat
menimbulkan gangguan protocol penerimaan untuk interaksi dengan orang lain. Perilaku ini
dapat berupa verbal dan non verbal. Terdapat tiga macam perilaku menentang, yaitu :
a. Competitive bomber, yang dicirikan dengan perilaku mudah menolak, menggerutu dan
menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak secara agresif yang di sengaja.
b. Martyred accommodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu atau palsu
dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain, namun sambil melakukan ejekan dan
hinaan.
c. Avoider, yang ditunjukkan dengan penghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan menolak
untuk berpartisipasi.
2. Stres, juga dapat mengkobatkan terjadinya konflik dalam suatu organisasi. Stres yang timbul
ini dapat disebabkan oleh banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan kerja
seseorang. Contoh stressor antara lain terlalu banyak atau terlalu sedikit beban yang menjadi
tanggung jawab seseorang jika dibandingkan dengan orang lain yang ada dalam organisasi,
misalnya di bangsal keperawatan.
3. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan-kegiatan
rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan dalam ruangan dapat
berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu yang terlibat didalamnya,
terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal, dan bahkan dapat
berupa aktivitas profesi selain keperawatan, seperti dokter juga mampu memperparah kondisi
ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik.
4. Kewenangan dokter-perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan usulan-usulan
diantara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik. Dokter yang tidak mau
menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang merasa tidak acuh dengan saran-saan
dari dokter untuk kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh suasana. Kondisi
ini akan semakin “runyam” jika diantara pihak yang terlibat dalam pengelolaan klien merasa
direndahkan harga dirinya akibat sesuatu hal. Misalnya kata-kata ketus dokter terhadap
perawat atau nada tinggi dari perawat sebagai bentuk ketidak puasan tehadap penanganan
yang dilakukan profesi lain.
5. Perbedaaan nilai atau keyakinan antara satu orang dengan orang lain. Perawat begitu percaya
dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin dengan pendapat
yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lain. Keadaan ini akan semakin menjadi
kompleks jika perbedaan keyakinan, nilai dan persepsi telah melibatkan pihak diluar tim
kesehatan yaitu keluarga pasien. Jika ini telah terjadi, konflik yang muncul pun semakin tidak
sederhana karena telah mengikutsertakan banyak variable di dalamnya.
6. Eksklusifisme, adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan yang lebih
dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini tidak jarang mengakibatkan terjadinya konflik
antar-kelompok dalam suatu tatanan organisasi. Hal ini bisa terjadi manakala sebuah
kelompok didalam tatanan organisasi (seperti bangsal keperawatan) diberikan tanggung
jawab oleh manager untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan tertentu, lantas
memisahkan diri dari sistem atau kelompok lain yang ada dibangsal tersebut karena merasa
bahwa kelompoknya lebih mampu dibandingakan dengan kelompo lain.
7. Peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan seringkali
mengakibatkan konflik seorang perawatan yang berperan lebih dari satu peran pada waktu
yang hamper bersamaan, masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan
pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di komunitas. Contoh peran ganda, antara
lain satu sisi perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan kepada klien, namun pada saat
yang bersamaan yang harus juga berperan sebagai pembimbing mahasiswa atau bahkan
sebagai manager dibangsal yang bersangkutan. Dalam kondisi ini sering terjadi kebingunan
untuk menentukan mana yang harus dikerjaka terlebih dahulu oleh perawat tersebut dan
kegiatan mana yang dapat dilakukan kemudian. Akibatnya, sering terjadi kegagalan
melakukan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atay
kelompok.
8. Kekurangan sumber daya insani, dalam tatanan organisasi dapat dianggap sumber absolute
terjadinya konflik. Sedikinya sumber daya insani atau manusia, sering memicu terjadinya
persaingan yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi. Contoh konflik yang dapat
terjadi, yaitu persaingan untuk memperoleh uang melalui pemikiran bahwa segala sesuatu
pasti di hubungkan dengan uang, persaingan memperebutkan menangani klien, dan tidak
jarang juga terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan atau kedudukan.
9. Perubahan dianggap sebagai proses ilmiah. Tetapi kadang perubahan justru akan
mengakibatkan munculnya berbagai macam konflik. Perubahan yang dilakukan terlalu
tergesa-gesa atau cepat, atau perubahan yang dilakukan terlalu lambat, dapat memunculkan
konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan, memandang perubahan sebagai suatu
ancaman. Begitu juga individu yang selalu menginginkan perubaan akan menjadi tidak
nyaman bila tidak terjadi perubahan, atau perubahan dilakukan terlalu dalam tatanan
organisasinya.
10. Imbalan, beberapa ahli berpendapat bahwa imbalan kadang tidak cukup berpengaruh dengan
motovasi seseorang. Namun, jika imbalan dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata
anatar satu orang dan orang lain sering menyebabkan munculnya konflik. Terlebih lagi bila
individu yang bersangkutan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk
menentukan besar-kecilnya imbalan atau sering disebut dengan sistem imbalan. Pemberian
imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan professional sering menimbulkan masalah
yang pada gilirannya dapat memunculkan suatu konflik.
11. Komunikasi dapat memunculkan suatu konflik jika penyampaian informasi yang tidak
seimbang, hanya orang-orang tertentu yang diajak biacar oleh manager, penggunaan bahasa
yang tidak efektif, dan juga penggunaan media yang tidak tepat sering kali berujung dengan
terjadinya konflik ditatanan organisasi yang bersangkutan.
2.4 Proses Konflik
La Monica (1986) mengutip pendapatnya Filley (1980) membagi proses konflik dalam
enam tahapan, yaitu kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang
dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian
akibat konflik. Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik seperti
yang sudah didiskusikan sebelumnya. Setelah terjadi suatu konflik, konflik yang ada
dipersepsi atau berusaha diketahui. Kondisi yang ada diantara pihak yang terlibat atau di
dalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang dipersepsi ini pada umumnya
bersifat logis, tidak personal, dan sangat objektif. Di sisi lain konflik akan dirasakan secara
subjektif karena individu merasa ada konflik relasi. Perasaan semacam ini sering diasumsikan
sebagai suatu yang dapat mengancam integritas diri, memunculkan permusuhan, perasaan
takut dan bahkan timbulnya perasaan tidak berdaya. Akibat dari kondisi-kondisi tersebut,
beberapa individu kemudian melakukan bentuk perilaku nyata seperti perilaku agresif, pasif,
aseptif, persaingan, debat, atau ada beberapa individu yang mencoba memecahkan masalah
atau konflik. Langkah selanjutnya yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku
untuk menyelesaikan atau menekan konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjnjian
siantara yang terlibat atau kadang melalui tindakan “penaklukan” pada pihak yang terlibat.
Oleh karena itu, upaya untuk menyelesaikan sisa atau akibat konflik tersebut sudah
selayaknya dilakukan oleh pihak yang terlibat. Jika hal itu tidak dilakukan, dapat
memunculkan konflik baru pada tempat dan waktu yang berbeda.
Kondisi-kondisi pendahulu
Konsep yang dipersepsi
Konflik yang dirasakan
Perilaku yang dinyatakan
Penyelesaian atau penekanan konflik
Penyelesaian akibat konflik
1. Isu
Pada konflik yang destruktif, isu di besarkan, dirumuskan secara luas dengan tambahan
secara rinci , dan bermuatan emosi. Pada konflik yang konstuktif, isu difokuskan dan
dipertahankan dalam ukuran yang dapat ditangani. Hanya isu perifer yang berhubungan hal
pokok yang dididkusikan, dan proses pilihannya adalah aksi (tindakan) bukan reaksi.
2. Kekuasaan
Pada kekuasaan destruktif, situasi dipertahankan atau diubah melalui ancaman dan paksaan.
Suasananya adalah persaingan dengan hasil menang dan kalah. Kekuasaan konstruktif
meliputi penemuan jalan keluar yang dapat diterima yang mungkin berupa kompromi atau
sebuah jalan keluar yang dapat diterima yang mungkin diterima yang mungkin berupa
kompromi atau sebuah jalan keluar yang baru; kebutuhan dan pandangan pribadi tidak
dipaksakan pada orang lain
3. Kemampuan Menanggapi Kebutuhan
Pada konflik destruktif, hanya kebutuhan sendiri saja yang dipertimbangkan. Dengan
berjalanya waktu seseorang menjadi semakian yakin bahwa keyakinananya dan perilakunya
adalah benar. Penyelesaaian konflik yang konstruktif ditandai secara khas oleh penyelesaian
yang menanggapi kebutuhan semua pihak yang terlibat.
4. Komunikasi
Saling tidak percaya, persepsi yang salah, dan peningkatan muatan emosi tertentu saja
membentuk konflik yang destruktif. Penyelesaian yang konstruktif meliputi dialog terbuka
dan jujur, slaing berbagi kekawatiran, dan mendengarkan dengan hasrat untuk memahami
orang lain. Tujuanya adalah memebuka masalah sehingga dapat dihadapi secara efektif.
Konflik dapat bermanfaat bagi organisasi, bila pemimpin mempunyai kemahiran dalam
memfasilitasi penyelesain konflik yang konstruktif. Jika perbedaan pendapat tentang sesuatu
isu disuarakan dan jika masalah dibuka, hali ini menunjukan bahwa orang- orang terlibat dan
peduli. Lawan dari cinta bukanlah benci, tetapi ketidakpedulian. Pada cinta dan benci
terdapat enerji mereka yang dicintai seseorang akan memepunyai kekuasaan untuk
menibulkan kebencian. Ketidakpedulian bersifat kosong. Enerji ditimbulkan melalui
penyelesaian konflik yang efektif dapat diguanakan secara positif kearah pencapain tujuan.
Nielsen (1977) mengatakan bahwa konflik adalah akar perubahan pribadi dan
social’( hlm153). Konflik merangsang penyelesaian masalah dan hasil penyelesaian yang
kreatif, konflik dapat dinikmati, danmemungkinkan perkembangan identitas pribadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika keseimbangan dari
perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam. Perjuangan ini dapat terjadi di
dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin dapat menggerakkan konflik ke hasil
yang destruktif atau konstruktif. Secara structural, konflik dapat vertical, yaitu melibatkan
perbedaan antara pemimpin dan anak buah, atau horizontal, yaitu garis relative staf. Sembilan
tipe konflik tercatat dalam literature : di dalam pengirim, di dalam peran, peran pribadi, antar
pribadi, di dalam kelompok, di antara kelompok, peran mendua, dan beban peran yang terlalu
besar.
Penyebab konflik adalah unik dan bermacam-macam. Tetapi, penyebab umumnya telah
dinyatakan dan dibahas. Penyebab umum ini antara lain perilaku menentang, stress, kondisi
ruangan yang terlalu sempit, kewenangan dokter-perawat yang berlebihan, perbedaan nilai
dan keyakinan, eksklusifisme, peran ganda perawat, kekurangan sumber daya insani,
perubahan, imbalan serta komunikasi. Proses konflik dimulai dengan kondisi pendahulu,
kemudian bergerak ke konflik yang di presepsi dan atau dirasakan. Selanjutnya adalah
perilaku, lalu konflik untuk diselesaikan atau ditekan.
Penyelesaian konflik yang konstruktif adalah sebuah aspek penting dari tanggung jawab
menejerial. Sejumlah pendekatan, termasuk kemungkinan keterlibatan dan menejemen yang
mempunyai tujuan, juga didiskusikan. Tidak ada metoda terbaik untuk memfasilitasi
penyelesaian konflik. Seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan tentang
kemungkinan strategi bersamaan dengan pengetahuan tentang proses memimpin dan
mengatur orang; kemudian harus dipilih dan dilaksanakan strategi yang terbaik untuk situasi
yang unuk tersebut.
3.2 Saran
Konflik adalah sebuah kemutlakan, pemimpin harus belajar untuk secara efektif
memfasilitasi penyelesaian konflik diantara orang-orang agar tujuan dapat tercapai. Dari hasil
pembahasan di atas, diharap para pembaca baik yang merupakan calon pemimpin ataupun
yang telah menjadi pemimpin, agar dapat me-manajemen institusi atau organisasinya dengan
baik agar terbebas dari konflik yang ada.
DAFTAR RUJUKAN