Tinjauan Pustaka
4.1 Hepatitis B
Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan
aktivasi sel T sitotoksik yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain
secara terus-menerus, hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis
yang persisten pada infeksi hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga
dapat disebabkan adanya mutasi pada daerah precore DNA yang menyebabkan
tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi VHB. Interaksi antara VHB dan respon imun tubuh terhadap VHP
sangat berperan dalam derajat keparahan hepatitis. Makin besar respon imun
tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati dan
sebaliknya.19
Pada masa anak-anak maupun dewasa muda, sistem imun tubuh dapat
toleran terhadap VHB, sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat
sedemikian tingginya namun tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam
keadaan ini VHB berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg sangat
tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT
relatif normal. Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran dimana pada fase ini
jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk
menginduksi serokonversi juga tidak efektif. 19
Hepatitis virus akut akan terjadi setelah masa tunas yang bervariasi
sesuai dengan virus penyebab. Gejala pada pasien hepatitis terbagi atas 3 fase
yaitu fase pre – ikterik, fase ikterik dan fase perbaikan / konvalesens. Hampir
semua fase antar virus sama gejalanya, namun ada beberapa ciri khas antar
jenis infeks.18,19
a. Fase pre-ikterik
Fase ini terjadi 1 – 2 minggu sebelum fase ikterik. Biasa ditemukan gejala
kontituasional seperti mual, muntah, anoreksia, mialgia, nyeri kepala,
fotofobia, faringitis atau dapat juga batuk. Perubahan warna urin menjadi lebih
gelap dan feses menjadi lebih pucat / dempul biasa ditemukan 1 – 5 hari
sebelum fase ikterik. Pada infeksi hepatitis B juga biasa disertai dengan demam
yang tidak terlalu tinggi.18
b. Fase ikterik
Pada fase ini gejala konstitusional umumnya sudah membaik, namun timbul
gambaran jaundice pada pasien. Umumnya terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas yang dapat terjadi akibat hepatomegali disertai penurunan berat badan
ringan. Fase ini berlangsung 2 – 12 minggu. Pada infeksi hepatitis B juga dapat
ditemukan splenomegali, gambaran kolestatik hingga adenopati servikal. Pada
hepatitis C akut ditemukan gejala ikterik yang menyertai lebih lama
durasinya.18
c. Fase perbaikan
Gejala konstitusional sudah menghilang namun hepatomegali dan
keabnormalitasan fungsi hati masih dapat ditemukan. Pada <1% kasus, dapat
menjadi hepatitis fulminant yaitu terjadinya ensefalopati dan koagulopati
dalam 8 minggu setelah gejala penyakit hati pertama kali.18
i. Serologis hepatitis B
- Pemeriksaan HBsAg dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya HBV dalam
darah. Penanda ini merupakan penanda virologik pertama yang dapat dideteksi
dalam serum antara minggu ke 8 - 12. HBsAg menjadi tidak terdeteksi setelah
fase ikterus dan jarang menetap hingga lebih dari 6 bulan. Hasil positif
menandakan infeksi virus hepatitis B, hasil negatif menandakan hal
sebaliknya.19,20
- Pemeriksaan anti-HBs dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan
oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus hepatitis B. biasa
muncul setelah HBsAg sudah tidak ada dalam serum.18
- Pemeriksaan anti-HBc terkadang dipengaruhi dari hasil dua pemeriksaan
lainnya yaitu pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Penemuan anti-HBc dapat
menjadi bukti serologik infeksi HBV yang baru atau sedang berlangsung.
Penemuan anti-HBc tanpa HBsAg dan anti-HBs dapat memiliki arti adanya
kemungkinan penyebab infeksi berasal dari transfusi.18,21
- Pemeriksaan IgM/IgG anti-HBc dilakukan untuk mengetahui lama seseorang
telah terinfeksi HBV. Hasil IgM anti-HBc positif menandakan infeksi bersifat
akut < 6 bulan, sedangkan IgG anti-HBc negatif menandakan infeksi bersifat
kronik.18,21
- Pemeriksaan HBeAg dapat dilakukan sejak awal atau berbarengan dengan
HBsAg. Hal ini dikarenakan kemunculannya yang dapat berbarengan atau
segera setelah HBsAg.18
- Pemeriksaan HBV-DNA, bertujuan untuk mendeteksi seberapa besar HBV-
DNA dalam darah dan hasil replikasinya pada urin seseorang. Pemeriksaan
positif memiliki arti bahwa virus ini berkembang biak di dalam tubuh
seseorang dan dapat menularkan virus kepada orang lain. Jika seseorang
memiliki Hepatitis B infeksi virus kronis, kehadiran DNA virus berarti bahwa
seseorang mengalami peningkatan risiko untuk kerusakan hati. Pemeriksaan ini
juga digunakan untuk memantau efektivitas terapi obat untuk infeksi Virus
Hepatitis B kronis serta dapat menjadi dasar perhitungan dimulainya
pengobatan.21
ii. Biokimia hati
Dilakukan pemeriksaan terhadap kadar SGPT, SGOT, gamma –
glutamyl transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin,
darah perifer lengkap dan waktu protrombin. Umumya ditemukan kadar SGPT
lebih tinggi dibanding SGOT, namun bila perjalanan penyakit sudah menuju
sirosis maka rasio tersebut dapat menjadi terbalik. Untuk pemeriksaan
komplikasi berupa karsinoma hepatoseluler perlu dilakukan pemeriksaan α-
fetoprotein.20
iii. USG dan biopsi hati
Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk memilai derajat nekroinflamasi dan
fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirsosis hati.20
iv. Pemeriksaan lain
Perlu dilakukan untuk mencari penyebab hati lain termasuk kemungkinan
HIV.19
4.5 Diagnosis
Pengobatan yang diberikan berupa salah satu dari berbagai obat oral atau
dapat juga diberikan IFN PEG yang biasa digunakan sebagai pemberian terapi
lini petama. Pada beberapa negara pemberian lamivudin oral telah dijadikan
lini pertama mengingat tingginya tingkat resistensi pada obat ini. IFN PEG
biasa diberikan setiap minggu melalui penyuntikan secara subkutis selama satu
tahun sedangkan obat oral biasa diberikan setiap harinya selama satu tahun dan
dilanjutkan tanpa batas atau sampai 6 bulan setelah serokonvensi HBeAg.18
i. Kelompok Imunomodulasi
1. Interferon
2. Timosin alfa 1
3. Vaksinasi terapi
1. Lamivudin
2. Adifoir dipivoksil
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Untuk hepatitis B dengan
HBeAg negatif diberikan selama 12 bulan. Terapi antivirus yang biasa
digunakan dalam tatalaksana hepatitis virus B kronik yaitu lamivudin dan
adifoir dipivoksil.18
1. Lamivudin
amivudin adalah analog nukleosid yang berfungsi sebagai bahan
pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid
asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang
berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi HBV. Lamivudin menghambat produksi HBV baru dan mencegah
terjadinya infeksi hepaosit sehat yang belum terinfeksi. Setelah obat
dihentikan, titer DNA HBV akan kembali seperti semula karena sel-sel yang
terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Strategi pengobatan yang
tepat adalah dengan melakukan pengobatan jangka panjang. Sayangnya strategi
terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap
lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD yang biasanya muncul setelah
terapi selama 6 bulan dan terdapat kecendrungan peningkatan dengan
berjalannya waktu.18
2. Adefoir Dipivoksil
Suatu nekleosid oral yang menghambat enzim reverse transcriptase.
Mekanisme khasiat adefoir hampir sama dengan lamivudin. Pada saat ini
adefoir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin karena
memperhatikan segi keuntungan dan kerugian dari adefoir. Dosis yang
dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Pemakaian adefoir pada dosis 30 mg atau
lebih dapat menyebabkan toksisitas pada ginjal. Keuntungan adefoir adalah
jarangnya terjadi kekebalan serta menjadi terapi yang ideal untuk terapi
hepatitis B kronik yang parah. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan
masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan dalam penggunaan
jangka panjang.18