Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

Tinjauan Pustaka

4.1 Hepatitis B

4.1.1 Definisi hepatitis

Hepatitis virus akut adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang


mengenai hati. Hepatitis virus akut dapat disebabkan oleh satu dari lima jenis
virus hepatitis yaitu virus hepatitis A (HAC), virus hepatitis B (HBV), virus
hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), atau virus hepatitis E (HEV).
Berbeda dengan hepatitis virus akut, hepatitis kronik memiliki pengertian yaitu
serangkaian gangguan hati dengan penyebab dan derajat keparahan beragam
yang disertai keadaan adanya peradangan serta terjadinya nekrosis hati
berlanjut selama minimal 6 bulan.18

4.2.1 Patofisiologi Hepatitis

Pada hepatitis B akut, tubuh berusaha mengeliminasi VHB baik dengan


mekanisme innate maupun spesifik, serta non-sitolitik seperti yang telah
dijelaskan di atas. Eliminasi virus melalui respon spesifik akan menunculkan
produksi antibodi seperti anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs
adalah menetralkan partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke
dalam sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs.
Persistensi infeksi VHB disebabkan oleh adanya respon imun yang tidak
efisien oleh faktor viral maupun pejamu.19

Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan
aktivasi sel T sitotoksik yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain
secara terus-menerus, hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis
yang persisten pada infeksi hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga
dapat disebabkan adanya mutasi pada daerah precore DNA yang menyebabkan
tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi VHB. Interaksi antara VHB dan respon imun tubuh terhadap VHP
sangat berperan dalam derajat keparahan hepatitis. Makin besar respon imun
tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati dan
sebaliknya.19

Pada masa anak-anak maupun dewasa muda, sistem imun tubuh dapat
toleran terhadap VHB, sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat
sedemikian tingginya namun tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam
keadaan ini VHB berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg sangat
tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT
relatif normal. Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran dimana pada fase ini
jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk
menginduksi serokonversi juga tidak efektif. 19

Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah proses


nekroinflamasi dimana pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi
imun terhadap virus ditandai dengan adanya peningkatan pada kadar ALT.
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati
yang terinfeksi VHB. Fase ini disebut fase immune clearance
(imunoeliminasi). Pada fase ini, baik dengan bantuan pengobatan maupun
spontan, 70% individu dapat menghilangkan sebagai besar partikel VHB tanpa
disertai kerusakan sel hati yang berarti (serokonversi HBeAg). Bila titer
HBsAg rendah dengan HBeAg negatif dan anti-HBe positif secara spontan,
disertai kadar ALT yang normal, pasien sudah berada dalam fase residual (non-
replikatif). Namun dapat terjadi reaktivasi pada 20-30% pasien dalam fase ini.
Pada sebagian pasien kekambuhan, terjadi fibrosis setelah nekrosis yang
berulang-ulang. Dalam fase ini replikasi sudah mencapai titik minimal, namun
resiko pasien untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat. Hal
ini diduga disebabkan adanya integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati.19
Komplikasi akibat hepatitis B kronis mencakup terjadinya sirosis hepatis dan
karsinoma hepatoseluler. Berikut sedikit pembahasan mengenai komplikasi
tersebut.20

Gambar 1 rangkuman proses patofisiologi pada penyakit hepatitis B.20

4.3.1 Manifestasi klinis

Hepatitis virus akut akan terjadi setelah masa tunas yang bervariasi
sesuai dengan virus penyebab. Gejala pada pasien hepatitis terbagi atas 3 fase
yaitu fase pre – ikterik, fase ikterik dan fase perbaikan / konvalesens. Hampir
semua fase antar virus sama gejalanya, namun ada beberapa ciri khas antar
jenis infeks.18,19
a. Fase pre-ikterik
Fase ini terjadi 1 – 2 minggu sebelum fase ikterik. Biasa ditemukan gejala
kontituasional seperti mual, muntah, anoreksia, mialgia, nyeri kepala,
fotofobia, faringitis atau dapat juga batuk. Perubahan warna urin menjadi lebih
gelap dan feses menjadi lebih pucat / dempul biasa ditemukan 1 – 5 hari
sebelum fase ikterik. Pada infeksi hepatitis B juga biasa disertai dengan demam
yang tidak terlalu tinggi.18
b. Fase ikterik
Pada fase ini gejala konstitusional umumnya sudah membaik, namun timbul
gambaran jaundice pada pasien. Umumnya terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas yang dapat terjadi akibat hepatomegali disertai penurunan berat badan
ringan. Fase ini berlangsung 2 – 12 minggu. Pada infeksi hepatitis B juga dapat
ditemukan splenomegali, gambaran kolestatik hingga adenopati servikal. Pada
hepatitis C akut ditemukan gejala ikterik yang menyertai lebih lama
durasinya.18
c. Fase perbaikan
Gejala konstitusional sudah menghilang namun hepatomegali dan
keabnormalitasan fungsi hati masih dapat ditemukan. Pada <1% kasus, dapat
menjadi hepatitis fulminant yaitu terjadinya ensefalopati dan koagulopati
dalam 8 minggu setelah gejala penyakit hati pertama kali.18

4.4.1 Pemeriksaan penunjang

Hepatitis B Pemeriksaan yang dilakukan yaitu,

i. Serologis hepatitis B
- Pemeriksaan HBsAg dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya HBV dalam
darah. Penanda ini merupakan penanda virologik pertama yang dapat dideteksi
dalam serum antara minggu ke 8 - 12. HBsAg menjadi tidak terdeteksi setelah
fase ikterus dan jarang menetap hingga lebih dari 6 bulan. Hasil positif
menandakan infeksi virus hepatitis B, hasil negatif menandakan hal
sebaliknya.19,20
- Pemeriksaan anti-HBs dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan
oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus hepatitis B. biasa
muncul setelah HBsAg sudah tidak ada dalam serum.18
- Pemeriksaan anti-HBc terkadang dipengaruhi dari hasil dua pemeriksaan
lainnya yaitu pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Penemuan anti-HBc dapat
menjadi bukti serologik infeksi HBV yang baru atau sedang berlangsung.
Penemuan anti-HBc tanpa HBsAg dan anti-HBs dapat memiliki arti adanya
kemungkinan penyebab infeksi berasal dari transfusi.18,21
- Pemeriksaan IgM/IgG anti-HBc dilakukan untuk mengetahui lama seseorang
telah terinfeksi HBV. Hasil IgM anti-HBc positif menandakan infeksi bersifat
akut < 6 bulan, sedangkan IgG anti-HBc negatif menandakan infeksi bersifat
kronik.18,21
- Pemeriksaan HBeAg dapat dilakukan sejak awal atau berbarengan dengan
HBsAg. Hal ini dikarenakan kemunculannya yang dapat berbarengan atau
segera setelah HBsAg.18
- Pemeriksaan HBV-DNA, bertujuan untuk mendeteksi seberapa besar HBV-
DNA dalam darah dan hasil replikasinya pada urin seseorang. Pemeriksaan
positif memiliki arti bahwa virus ini berkembang biak di dalam tubuh
seseorang dan dapat menularkan virus kepada orang lain. Jika seseorang
memiliki Hepatitis B infeksi virus kronis, kehadiran DNA virus berarti bahwa
seseorang mengalami peningkatan risiko untuk kerusakan hati. Pemeriksaan ini
juga digunakan untuk memantau efektivitas terapi obat untuk infeksi Virus
Hepatitis B kronis serta dapat menjadi dasar perhitungan dimulainya
pengobatan.21
ii. Biokimia hati
Dilakukan pemeriksaan terhadap kadar SGPT, SGOT, gamma –
glutamyl transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin,
darah perifer lengkap dan waktu protrombin. Umumya ditemukan kadar SGPT
lebih tinggi dibanding SGOT, namun bila perjalanan penyakit sudah menuju
sirosis maka rasio tersebut dapat menjadi terbalik. Untuk pemeriksaan
komplikasi berupa karsinoma hepatoseluler perlu dilakukan pemeriksaan α-
fetoprotein.20
iii. USG dan biopsi hati
Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk memilai derajat nekroinflamasi dan
fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirsosis hati.20
iv. Pemeriksaan lain
Perlu dilakukan untuk mencari penyebab hati lain termasuk kemungkinan
HIV.19

4.5 Diagnosis

Infeksi hepatitis B akut ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan temuan serologis HBsAg positif dan IgM anti – HBs
positif.9 Penentuan diagnosis infeksi hepatitis B kronis berdasarkan konsensus
perhimpunan penelitian hati Indonesia (PPHI) 2012, yaitu :12

Gambar 2 Kriteria diagnosis Hepatitis B menurut PPHI 12


4.6.1 Tatalaksana

Terapi yang diberikan pada infeksi hepatitis B akut umumnya bersifat


suportif berupa tirah baring, menjaga asupan nutrisi dan cairan yang adekuat.
Bila terjadi komplikasi hepatitis fulminant, maka dapat diberikan lamivudin
dengan dosis 100 – 150 mg/hari hingga 3 bulan setelah muncul anti-HBe pada
pasien HBsAg positif. Pemberian terapi pada infeksi hepatitis B kronik
memiliki algoritmanya tersendiri berdasarkan kadar HBaAg. Pada kelompok
HBeAg positif, terapi ditujukan agar HBeAg menjadi negatif, sedangkan
HBeAg negatif ditujukan agar kadar DNA-HBV tidak terdeteksi lagi pada 2
kali pemeriksaan selama 6 bulan. Algoritma yang dibuat oleh PPHI 2012,
yaitu21

Pengobatan yang diberikan berupa salah satu dari berbagai obat oral atau
dapat juga diberikan IFN PEG yang biasa digunakan sebagai pemberian terapi
lini petama. Pada beberapa negara pemberian lamivudin oral telah dijadikan
lini pertama mengingat tingginya tingkat resistensi pada obat ini. IFN PEG
biasa diberikan setiap minggu melalui penyuntikan secara subkutis selama satu
tahun sedangkan obat oral biasa diberikan setiap harinya selama satu tahun dan
dilanjutkan tanpa batas atau sampai 6 bulan setelah serokonvensi HBeAg.18

Tujuan pengobatan pada pasien HBeAg negatif berfokus pada


penekanan kadar DNA-HBV dan mempertahankan kadar ALT yang normal.
Semua obat secara oral maupun pemberian IFN PEG dapat diberikan sebagai
lini pertama, namun mengingat tingkat resistensi dan penggunaan dalam jangka
panjang lamivudin yang cukup tinggi ditemukan obat ini perlu
dipertimbangkan sebagai lini pertama.7 Penatalaksanaan Hepatitis B kronik
pada saat ini terdapat 2 kelompok terapi untuk hepatitis B Kronik yaitu, 18

i. Kelompok Imunomodulasi

1. Interferon

2. Timosin alfa 1
3. Vaksinasi terapi

ii. Kelompok terapi antivirus

1. Lamivudin

2. Adifoir dipivoksil

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau


menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi
virus atau menghilngkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik
akhir yang sering dipakai adalah menghilangnya petanda replikasi virus yang
aktif seara menetap (HbeAg dan DNA HBV). Pada umumnya serokonversi
HbeAg menjadi anti –Hbe disertai hilangnya DNA HBV dalam serum dan
meredanya penyakit hati. Terapi dengan imunomodulator biasa digunakan
dengan interferon (IFN) alfa yang merupakan kelompok protein intraseluler
yang normal ada didalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel.
Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomodulator, anti
proliferatif dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antivirus langsung tapi
merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai
khasiat antivirus. Dalam proses terjadinya aktifitas antivirus, IFN mengadakan
interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat pada membran sitoplasma sel hati
yang diikuti dengan diproduksinya protein efektor.21

IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B


kronik dengan HBeAg positif, dengan aktifitas penyakit ringan-sedang, yang
belum mengalami sirosis. Beberapa faktor yang dapat meramalkan
keberhasilan IFN:

 Konsentrasi ALT yang tinggi.

 Konsentrasi DNA HBV yang rendah.

 Timbulnya flare-up selama terapi


 IgM anti-HBc yang positif.

Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Untuk hepatitis B dengan
HBeAg negatif diberikan selama 12 bulan. Terapi antivirus yang biasa
digunakan dalam tatalaksana hepatitis virus B kronik yaitu lamivudin dan
adifoir dipivoksil.18

1. Lamivudin
amivudin adalah analog nukleosid yang berfungsi sebagai bahan
pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid
asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang
berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi HBV. Lamivudin menghambat produksi HBV baru dan mencegah
terjadinya infeksi hepaosit sehat yang belum terinfeksi. Setelah obat
dihentikan, titer DNA HBV akan kembali seperti semula karena sel-sel yang
terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Strategi pengobatan yang
tepat adalah dengan melakukan pengobatan jangka panjang. Sayangnya strategi
terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap
lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD yang biasanya muncul setelah
terapi selama 6 bulan dan terdapat kecendrungan peningkatan dengan
berjalannya waktu.18
2. Adefoir Dipivoksil
Suatu nekleosid oral yang menghambat enzim reverse transcriptase.
Mekanisme khasiat adefoir hampir sama dengan lamivudin. Pada saat ini
adefoir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin karena
memperhatikan segi keuntungan dan kerugian dari adefoir. Dosis yang
dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Pemakaian adefoir pada dosis 30 mg atau
lebih dapat menyebabkan toksisitas pada ginjal. Keuntungan adefoir adalah
jarangnya terjadi kekebalan serta menjadi terapi yang ideal untuk terapi
hepatitis B kronik yang parah. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan
masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan dalam penggunaan
jangka panjang.18

Terdapat analog nukleosid lain yang juga dipakai pada hepatitis B


kronik, yaitu Fanciclovir dan Emtericitabine (FTC).6 Indikasi terapi antivirus
yaitu terapi dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik dengan ALT> 2X
normal dengan HBV DNA positif. Untuk ALT < 2x nilai normal tidak perlu
diterapi dengan antivirus. Lama terapi antivirus dalam keadaan biasa IFN
diberikan sampai 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah
serokonversi HBeAg. Kriteria respon terhadap terapi antivirus ayang biasa
dipakai adalah hilangnya DNA HBV dalam serum (non PCR), hilangnya
HBeAg dengan atau tanpa munculnya anti-HBe. Normalnya ALT, serta
turunnya nekroinflamasi dan tidak adanya progresi fibrosis pada biopsy hati
yang dilakukan secara seri. Berikut kategori respon terhadap antivirus yaitu18

1. Respon Biokimiawi (BR) adalah penurunan konsentrasi ALT/ SGPT menjadi


normal.
2. Respon virologik (VR), negatifnya DNA HBV dengan metode nonamplifikasi
(<105 kopi/ml) dan hilangnya HBeAg pada pasien yang sebelum terapi HBeAg
positif.
3. Respon histologik (HR) menurunnya indeks aktivitas histologik sedikitnya 2
poin dibandingkan biopsy hati sebelum terapi.
4. Respon komplit (CR) adanya respon biokimiawi dan virologik yang disertai
negatifnya HBsAg.

Waktu pengukuran respon antivirus selama terapi dilakukan diperiksa setiap 1-


3 bulan dengan memeriksakan kadar ALT, HBeAg dan DNA HBV (non PCR).
Setelah terapi selesai kadar ALT, HBeAg dan DNA HBV (non PRC) kembali
dilakukan pemeriksan tiap 3 bulan.18

Anda mungkin juga menyukai