Anda di halaman 1dari 17

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan rancangan cross
sectional untuk mengetahui distribusi morfologi vertikal skeletal wajah suku Batak
berdasarkan analisis Jefferson.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Klinik RSGMP FKG USU, Jalan Alumni No. 2
Kampus USU Medan. Instalasi Ortodonsia RSGMP FKG USU adalah satu-satunya
instalasi yang memberikan pelayanan Ortodonsia di Sumatera Utara. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April 2016.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah foto sefalometri pasien suku Batak yang
berusia 18 tahun ke atas yang telah melakukan perawatan ortodonti di Klinik RSGMP
FKG USU pada tahun 2009-2015 dengan total jumlah sampel sebesar 70.

3.3.2 Besar Sampel


Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan rumus:
(𝑍𝑍𝑍𝑍)2 𝑝𝑝 ∙ 𝑞𝑞
𝑛𝑛 =
𝑑𝑑 2
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimum
Zα = Derajat kepercayaan α = 95% , maka Zα = 1,96
p = Proporsi pra penelitian  0,6
q = 1 – P = 0,4

Universitas Sumatera Utara


d = Presisi 15%
Sehingga,
(1,96)2 0,6 ∙ 0,4
𝑛𝑛 =
0,152
= 40,977
≈ 41
Besar sampel minimum pada penelitian ini adalah 41. Peneliti akan
mengambil sampel sebanyak 50 orang agar meningkatkan akurasi penelitian.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode
purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
yang berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Populasi dalam penelitian ini
adalah foto sefalometri pasien suku Batak yang datang ke Klinik RSGMP FKG USU.
Kriteria Inklusi
1. Pasien suku Batak dengan dua keturunan diatasnya.
2. Usia pasien ≥18 tahun (fase pertumbuhan sudah berhenti).
3. Semua gigi sudah erupsi kecuali molar 3.
4. Pasien belum pernah dirawat ortodonti.
5. Tidak ada penyakit sistemik.
6. Tidak ada kebiasaan buruk.
7. Foto sefalometri berasal dari laboratorium yang sama.

Kriteria Eksklusi
1. Kualitas foto sefalometri lateral yang kurang baik (kabur dan tidak dapat
terbaca).

Universitas Sumatera Utara


3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.4.1 Variabel Penelitian
Variabel terdiri atas:
a. Tipe relasi rahang: Klas I, II, III.
b. Jarak antara 18 age vertical arc terhadap menton.

3.4.2 Definisi Operasional


1. Suku Batak adalah pasien bersuku batak baik ayah dan ibu dengan marga
Batak di belakang nama dan berasal dari dua keturunan diatas yang dilihat
dari rekam medis.
2. Usia adalah satuan waktu umur seseorang yang dihitung dari tahun lahir
sampai waktu dilakukan pengambilan foto sefalometri seseorang.
3. Radiografi sefalometri lateral adalah gambaran rontgen radiografi tengkorak
kepala dari lateral.
4. Analisis Jefferson adalah menentukan tipe vertikal skeletal wajah yakni:
• Wajah panjang (Hyperdivergent) apabila menton berada di bawah age 18
vertical arc dengan jarak >2mm.
• Wajah normal (Normodivergent) apabila menton berada tepat atau masih
dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc.
• Wajah pendek (Hypodivergent) apabila menton berada di atas age 18
vertical arc dengan jarak >2mm.
5. Titik yang digunakan yakni:
• SOr (Supra Orbitale) adalah titik paling anterior dari perpotongan
bayangan atap dengan kontur orbital lateralnya.
• SI (Sella Inferior) adalah titik paling bawah dari sella turcica.
• N (Nasion) adalah Titik paling superior sutura frontonasal pada cekungan
batang hidung.
• ANS (Anterior Nasal Spine) adalah titik paling anterior dari maksila.
• PNS (Posterior Nasal Spine) adalah titik paling posterior dari maksila
pada dataran sagital.

Universitas Sumatera Utara


• P (Pogonion) adalah bagian paling anterior dari dagu.
• M (Menton) adalah titik paling inferior dari dagu.
• CG (Constructed Gonion) adalah perpotongan 2 garis yaitu, garis dari
artikular sejajar tangen posterior ramus dan garis dari menton sejajar
tangen batas bawah korpus.
• Titik tengah “O” ditentukan dari lokasi pertemuan dari perpanjangan
keempat garis dataran yaitu dataran kranial, dataran palatal, dataran
oklusal dan dataran mandibular. Titik tengah dari jarak vertikal skeletal
yang paling pendek antara garis superior dan inferior yang dibentuk dari
keempat dataran tersebut disebut titik “O”.
6. Bidang/Dataran yang digunakan yakni:
• Dataran kranial adalah garis yang ditarik dari SOr menuju SI.
• Dataran palatal adalah garis yang ditarik dari ANS menuju PNS.
• Dataran oklusal adalah garis yang ditarik dari dataran oklusal fungsional
melalui premolar dan molar.
• Dataran mandibula adalah garis yang ditarik dari menton melalui tangen
batas bawah korpus dan melalui konstruksi gonion.
7. Busur (Agevertical arc) yang digunakan yakni:
• Anterior arc adalah garis busur yang diperoleh dengan bantuan jangka
yaitu meletakkan bagian tajam jangka pada titik tengah “O” dan bagian
pensil pada nasion kemudian rotasikan jangka sampai melewati dagu.
• Age 4 verticalarc adalah garis busur yang diperoleh dengan meletakkan
bagian metal jangka pada titik ANS dan bagian pensil jangka pada titik
SOr, kemudian rotasikan jangka ke bagian menton.
• Age 18 vertical arc adalah garis busur yang diperoleh dengan
menambahkan jarak 10 mm dari age 4 vertical arc dan putaran jangka ke
bawah dari pusat titik ANS ke SOr menuju menton.
8. Relasi rahang: hubungan antara maksila dan mandibula yang bersifat skeletal
dan dapat dilihat dengan mengukur sudut ANB.

Universitas Sumatera Utara


• Klas I: sudut ANB 0-4°.
• Klas II: sudut ANB >4°.
• Klas III: sudut ANB <0°.

3.5 Alat dan Bahan


3.5.1 Alat dan bahan penelitian yang digunakan:
Foto Sefalometri lateral, Kertas asetat, Tracing Box, Penghapus merek Faber
Castle, Pensil 2B merek Stabilo, Penggaris dan Jangka merek Joyko.

A B

C D

E F

Gambar 9. Alat yang digunakan:(A) Protractor (B) Penghapus,Pensil


2B, Penggaris (C) Jangka merek Joyko(D) Kertas Asetat
(E) Sefalometri (F) Tracing Box

Universitas Sumatera Utara


3.6 Cara Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran pada setiap
sefalometri lateral dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel suku Batak yang lebih dari dua keturunan dengan
melihat rekam medis di bagianKlinik RSGMP FKG USU. Pengumpulan data
sefalometri lateral yang telah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Sefalometri di-tracing menggunakan kertas asetat dengan pensil stabilo
2B (halus) diatas pencahayaan tracing box. Pada sefalometri terlebih dahulu dibuat
gambar anatomi struktur kepala (Clivus, Roof of orbit, Basisphenoid, Greater wing of
sphenoid, Ethmoid cribiform plate, Lateral wall of orbit) kemudian tracing titik-titik
(SOr, SI, N, ANS, PNS, M, CG). Sefalometri yang telah ditentukan titik-titik
diberikan kepada dosen pembimbing untuk diperiksa. Sefalometri yang telah
diperiksa kemudian dikembalikan kepada peneliti untuk dibuat garis (dataran kranial,
dataran palatal, dataran oklusal, dataran mandibula) dan busur (anterior arc, age 4
vertical arc, age 18 vertical arc) untuk menganalisis tipe wajah skeletal pasien.
3. Sebelum melakukan pengukuran, peneliti melakukan uji intraoperator
untuk mengetahui ketelitian peneliti dalam melakukan pengukuran. Hal ini
dikarenakan setiap pengulangan pengukuran belum tentu mendapatkan hasil yang
sama dengan pengukuran pertama. Uji intraoperator dilakukan dengan mengambil 5
sampel secara acak dari pengukuran pertama dan pengukuran kedua kemudian dicari
standar deviasi dari kedua pengukuran tersebut. Standar deviasi akhir yang didapat
menunjukkan angka antara 0-1 berarti ketelitian pada pengukuran tersebut masih
dapat diterima dan operator layak untuk melakukan peneliti.
4. Hasil uji operator menunjukkan penyimpangan pengukuran tidak terdapat
perbedaan yang bermakna yakni sekitar 0-0.707 maka operator layak untuk
melakukan pengukuran tersebut.
5. Dalam satu hari, pengukuran sefalometri dilakukan pada 5 (lima)
sefalometri untuk menghindari kelelahan mata peneliti sehingga data yang didapatkan
lebih akurat.

Universitas Sumatera Utara


6. Hasil pengukuran yang diperoleh dicatat kemudian diolah datanya dan
kemudian dianalisis.
• Wajah panjang apabila adalah menton berada di bawah age 18 vertical arc
dengan jarak >2mm.
• Wajah normal apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ±
2mm terhadap age 18 vertical arc.
• Wajah pendek apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan
jarak >2mm.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer untuk
menghitung persentase tipe vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III
pada pasien Suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU berdasarkan analisis Jefferson.
Analisis data dilakukan untuk melihat gambaran karakteristik. Data univariat
adalah pengamatan yang melibatkan variabel tunggal dan tidak berhubungan dengan
penyebab atau hubungan. Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:
1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin pada
pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU
2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III
pada pasien suku Batak di KlinikRSGMP FKG USU

3.8 Etika Penelitian


Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada
Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Kelayakan etika (Ethical Clearance) adalah
keterangan tertulis yang menyatakan bahwa penelitian layak dilaksanakan setelah
memenuhi persyaratan tertentu.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian berjumlah 50 foto sefalometri lateral pasien suku Batak


yang datang keKlinik RSGMP FKG USU yang memenuhi dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditetapkan. Sampel terdiri dari 9 orang laki-laki dan 41 orang
perempuan.
Setiap pengulangan pengukuran belum tentu memberikan hasil yang sama.
Oleh karena itu, terlebih dahulu dilakukan uji intra operator terhadap 10 sampel.
Hasil uji intra operator tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada
pengukuran pertama dan pengukuran kedua maka operator dinyatakan layak untuk
melakukan pengukuran tersebut.
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap foto sefalometri
lateral, kemudian pengukuran linear yaitu jarak antara age 18 vertical arc terhadap
menton.Dari besar nilai jarak tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam tipe
vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent, normal/normodivergent atau
panjang/hyperdivergentberdasarkan analisis Jefferson.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin pada
pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU
Laki-laki Perempuan Total
No. Tipe Vertikal Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Skeletal Wajah
(n=9) (%) (n=41) (%) (n=50) (%)
Panjang
1 2 22,2 5 12,2 7 14
(hyperdivergent)
Normal
2 1 11,1 5 12,2 6 12
(Normodivergent)
Pendek
3 6 66,7 31 75,6 37 74
(hypodivergent)
Total 9 100 41 100 50 100

Hasil penelitian tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi tipe vertikal skeletal


wajah berdasarkan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan pada suku Batak
di Klinik RSGMP FKG USU.Pada tabel ini diketahui bahwa jumlah sampel yang
memiliki tipe wajah panjang/hyperdivergentadalah 7 sampel yang terdiri dari 2
sampel laki-laki (22,22%) dan 5 sampel perempuan (12,20%). Tipe wajah
normal/normodivergent adalah 6 sampel yang terdiri dari 1 sampel laki-laki (11,11%)
dan 5 sampel perempuan (12,20%). Tipe wajah pendek/hypodivergentadalah 37
sampel yang terdiri dari 6 sampel laki-laki (66,66%) dan 31 sampel perempuan
(75,64%). Pola pertumbuhan vertikal skeletal wajah yang paling dominan adalah
hypodivergent (74%), diikuti dengan hyperdivergent (14%) dan normodivergent
(12%).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II,
III pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU
Tipe Vertikal Skeletal Relasi Rahang
Klas I Klas II Klas III Total
Wajah

Panjang/ Jumlah 4 3 0 7
Hyperdivergent Persentase 11,11% 27,27% 0% 14%

Normal/ Jumlah 6 0 0 6
Normodivergent Persentase 16,67% 0% 0% 12%

Pendek/ Jumlah 26 8 3 37
Hypodivergent Persentase 72,22% 72,73% 100% 74%

Jumlah 36 11 3 50
Total
Persentase 100% 100% 100% 100%

Tabel 2 menunjukkan bahwa relasi rahang Klas I adalah relasi rahang yang
paling dominan yaitu 36 sampel (72%), diikuti dengan Klas II terdapat 11 sampel
(22%) dan Klas III terdapat 3 sampel (6%) dari seluruh sampel penelitian. Pada relasi
rahang Klas I (36 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent
(11,11%), normodivergent (16,67%) dan hypodivergent (72,22%). Pada relasi rahang
Klas II (11 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (27,27%),
normodivergent (0%) dan hypodivergent (72,73%). Pada relasi rahang Klas III (3
sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (0%), normodivergent
(0%) dan hypodivergent (100%). Setelah menganalisis data dapat menyimpulkan
bahwa tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent memiliki persentase
tertinggi pada setiap relasi rahang klas I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%).

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat distribusi morfologi tipe vertikal


skeletal wajah yang diklasifikasikan berdasarkan relasi rahang pada 50 sampel suku
Batak di Klinik RSGMP FKG USU. Setiap ras memiliki variasi wajah yang berbeda
sehingga pengukuran dan analisis sefalometri dengan analisis Jefferson tersebut
belum tentu menghasilkan tipe wajah yang sama. Bentuk dan ukuran wajah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk umur, jenis kelamin, dan ras. Faktor ras
berhubungan dengan genetik, tingkah laku dan kebiasaan buruk seperti kebiasaan
parafungsional (clenching, bruksism dll), bernafas melalui mulut, postur dengan
kepala mendongak sehingga akan mempengaruhi karakteristik suatu kelompok. Hal
inilah yang memberikan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya.6,7
Setiap ras memiliki pola wajah yang berbeda dengan ras yang lainnya, hal ini
menjadi salah satu kriteria inklusi dalam memilih sampel yaitu sampel harus
merupakan suku Batak, agar bias yang dihasilkan pada penelitian ini menjadi lebih
kecil. Radiografi sefalometri yang digunakan sebagai sampel merupakan foto ronsen
pasien sebelum menerima perawatan ortodonti karena pasien yang sedang menjalani
atau telah mendapat perawatan ortodonti akan mengalami perubahan dimensi vertikal.
Penentuan tipe vertikal skeletal wajah merupakan salah satu faktor penting
dalam merencanakan perawatan ortodonti. Tujuan dari perawatan ortodonti bukan
hanya untuk kebutuhan estetis wajah, tetapi juga harus memperhatikan fungsi dan
keseimbangan struktur dentokraniofasial untuk mendiagnosis hubungan fasial-
skeletal dengan baik dan akurat. Analisis yang digunakan harus dapat menilai
hubungan anterior-posterior antara maksila dan mandibula dengan basis kranial dan
juga hubungan vertikal antara mandibula dengan basis kranial.4 Ada banyak analisis
sefalometri yang dapat menentukan analisis vertikal skeletal wajah, namun dalam

Universitas Sumatera Utara


penelitian ini hanya menggunakan analisis Jefferson dengan cara melakukan tracing
dan pengukuran pada sefalometri lateral dengan menggunakan pengukuran linear.
Alasan pemilihan Jefferson adalah karena analisis terbaru yang dikembangkan
dan digunakan oleh kalangan tertentu. Kelebihan dari analisis Jefferson adalah
analisis ini mudah diterapkan, tidak dipengaruhi ras individu dan pengukuran sudut
lebih kepada kesesuaian morfologi wajah tiap individu untuk memperoleh suatu
analisis vertikal skeletal wajah yang baik. Selain itu, hasil distribusi morfologi
vertikal skeletal wajah dengan menggunakan analisis Jefferson lebih memudahkan
peneliti untuk melihat kecenderungan tipe vertikal skeletal wajah pasien, mudah
dalam menegakkan diagnosis, efisien, universal (dapat digunakan pada individu
siapapun tanpa melihat ras, jenis kelamin dan umur), akurat, dan sesuai dengan
proporsi biologis.4,7
Parameter yang digunakan dalam penelitian adalah analisis Jefferson yang
merupakan pengukuran linear dan penentuan idealnya vertikal skeletal wajah dengan
menentukan titik supraorbita, ANS, menton dan age 18 vertical arc. Pada analisis
Jefferson, digunakan pengukuran linear yaitu jarak antara age 18 vertical arc
terhadap menton.4 Dari besar nilai jarak tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam
tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent(apabila menton berada di atas age
18 vertical arc dengan jarak >2mm), normal/normodivergent (apabila menton berada
tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc) atau
panjang/hyperdivergent (apabila menton berada di bawah age 18 vertical arc).
Hasil penelitian tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi tipe vertkal skeletal
wajah berdasarkan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan pada suku Batak
di Klinik RSGMP FKG USU. Tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent
yang memiliki persentase yang paling tinggi yaitu laki-laki sebanyak 6 sampel
(66,66%) dan perempuan sebanyak 31 sampel (75,64%) diikuti oleh tipe wajah
panjang/hyperdivergent, yaitu laki-laki sebanyak 2 sampel (22,22%) dan perempuan
sebanyak 5 sampel (12,20%).Tipe wajah normal/normodivergent memiliki persentase
yang paling rendah yaitu laki-laki sebanyak 1 sampel (11,11%) sedangkan perempuan
sebanyak 5 sampel (12,20%). Menurut hasil ini jenis kelamin tidak dapat melihat

Universitas Sumatera Utara


perbedaan tipe vertikal skeletal wajah pada ras suku Batak karena jumlah sampel
laki-laki dan perempuan tidak merata yaitu 9 sampel laki-laki dan 41 sampel
perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif diperoleh hasil pola
pertumbuhan wajahyang paling dominan adalah hypodivergent (74%), pola ini
menunjukkan pertumbuhan wajah lebih dominan ke arah horizontal, sehingga pasien
memiliki wajah yang lebih pendek. Pada pola pertumbuhan wajahnormodivergent
(12%) terdapat pertumbuhan wajah yang seimbang maka pasien memiliki wajah tipe
yang normal. Sedangkan pada pola pertumbuhan wajahhyperdivergent (14%), pola
ini menunjukkan pertumbuhan wajah lebih dominan ke arah vertikal dan tinggi wajah
anterior lebih cepat meningkat daripada tinggi wajah posterior sehingga pasien
memiliki wajah yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Glinka dkk pada tiga kelompok morfologi berbeda di Indonesia yaitu
Protomelayu, Deutromelayu dan Dayak, yang menyatakan bahwa tipe skeletal wajah
yang dominan pada tiap kelompok adalah tipe wajah pendek/hypodivergent.Menurut
penelitian Nadia 2010, distribusi tipe wajah pasien suku Batak yang paling dominan
secara keseluruhan adalah hypodivergent yaitu 75%.27 Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian saya yang ditunjukkan pada tabel 1 bahwa hypodivergent merupakan tipe
skeletal wajah yang paling dominan dengan persentase 74% secara keseluruhan
sampel suku Batak.
Tipe skeletal wajah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti etnis dan ras, jenis
kelamin, usia, sosio-ekonomi, faktor nutrisi dan faktor genetik.6,7 Faktor ras
berhubungan dengan genetik, kebiasaan dan lingkungan sehingga akan
mempengaruhi tipe wajah sesuatu kelompok.5,6 Antropologis mengidentifikasi empat
kelompok ras berdasarkan kategori bentuk kepala. Ras Kaukasoid memiliki
karakteristik bentuk kepala lebar (brachisephalic) hingga panjang (dolichosephalic),
ras Negroid memiliki karakteristik bentuk kepala yang didominasi oleh bentuk
dolichosephalic, ras Australoid memiliki karakteristik bentuk kepala yang biasanya
sempit dan panjang (dolichosephalic), dan ras Mongoloid memiliki karakteristik
bentuk kepala yang didominasi bentuk brachycephalic.28

Universitas Sumatera Utara


Bjork menyatakan bahwa rotasi mandibula ke arah depan pada pasien dengan
tipe wajah pendek mempengaruhi erupsi gigi dan pada kasus tertentu bahkan dapat
meningkatkan kemungkinan timbul gigitan dalam yang lebih parah serta gigi anterior
mandibula berjejal.29 Jefferson menyatakan individu dengan tipe wajah pendek sering
terjadi penekanan sendi temporomandibula akibat tidak ada ruang yang cukup antara
artikular sendi temporomandibula dan fossa glenoid. Ini dapat menyebabkan
timbulnya popping, clicking, sakit kepala, dan migrain.7,9 Roy dkk menyatakan
bahwa tipe vertikal skeletal wajah dapat dihubungkan dengan pola morfologi
dentoalveolar maksila dan mandibula. Penentuan hubungan ini dapat membantu
diagnosis maupun kuratif masalah-masalah maloklusi dari aspek vertikal.30
Selain itu, etiologi short face dan long face syndrome juga dapat disebabkan
adanya perbedaan kekuatan otot kunyah dan kekuatan gigitan. Otot-otot juga dapat
mempengaruhi hubungan antara lebar lengkung gigi dan morfologi vertikal skeletal
wajah.31 Salah satu kebiasaan makan suku Batak adalah suka mengkonsumsi jenis
makanan yang keras dan sulit dikunyah seperti daging-daging, ikan tanpa matang dan
kacang sihobuk serta ada kebiasaan menyirih, ini akan mempengaruhi atas kekuatan
otot kunyah dan kekuatan gigitan.32 Otot pengunyahan yang kuat sering dihubungkan
dengan bentuk wajah pendek.31 Hiperfungsi otot ini disebabkan oleh terjadinya suatu
peningkatan beban mekanis pada rahang. Hal ini dapat menginduksi perkembangan
sutura dan aposisi tulang yang kemudian menyebabkan peningkatan pertumbuhan
transversal rahang dan basis tulang pada lengkung gigi.31 Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang menunjukkan suku Batak dengan tipe vertikal skeletal wajah yang
pendek/hypodivergent.
Berdasarkan hasil penelitian tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi relasi
rahang pada maloklusi Klas I terdapat 36 sampel (72%),Klas II terdapat 11 sampel
(22%) dan Klas III terdapat 3 sampel (6%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Baral Prakash menunjukkan 61,3 % ras Arya dan 64 % ras Mongoloid
memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2 % pada ras
Arya dan 17,9 % pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki
prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3 % pada ras Arya dan 2,5 % pada ras

Universitas Sumatera Utara


Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2 % ras Arya dan 15,6 % ras
Mongoloid. 33
Pada relasi rahang Klas I (36 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah
hyperdivergent (11,11%), normodivergent (16,67%) dan hypodivergent (72,22%).
Pada relasi rahang Klas II (11 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah
hyperdivergent (27,27%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (72,73%). Pada
relasi rahang Klas III (3 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent
(0%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (100%). Setelah menganalisis data
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tipe vertikal skeletal wajah
pendek/hypodivergent memiliki persentase tertinggi terhadap relasi rahang klas
I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%).
Maloklusi skeletal adalah hubungan yang tidak harmonis karena ada
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada rahang atas atau rahang bawah.
Prevalensi maloklusi mempunyai variasi yang berbeda dalam populasi yang variasi.
Hal ini dipengaruhi oleh etnik, genetik dan faktor lingkungan serta faktor
geografik.33 Penelitian pada mahasiswa Tibet (Asiatik Mongoloid) dengan jumlah
138 orang yang terdiri dari 78 perempuan dan 60 laki-laki menunjukkan bahwa
dimana prevalensi relasi rahang Klas I adalah 52,9%, Klas II adalah 5,1% dan Klas
III adalah 9,4%.34 Selain itu, hasil penelitian Susanti Munandar menunjukkan bahwa
prevalensi yang paling tinggi dalam golongan Deutro Malay Indonesian adalah
maloklusi skeletal Klas I. Hasil penelitian Rohaya Megat dkk menunjukkan bahwa
golongan pasien Kadazan Dusun (Malayan Mongoloid) yang tinggal di Sabah
mempunyai maloklusi skeletal yang paling dominan adalah Klas I.35
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Jabarak dan Siriwat yang menunjukkan
bahwa Klas III persentasi terbanyak memiliki pola pertumbuhan wajah hypodivergent
pada suku Batak. Namun hasil penelitian sedikit berbeda pada Klas I dan Klas II yang
menunjukkan hasil sama yaitu distribusi paling banyak pada pola pertumbuhan wajah
yang normodivergent.19 Perbedaan tipe vertikal skeletal wajah tersebut dapat
disebabkan oleh perbedaan parameter dan titik referensi yang digunakan.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi morfologi vertikal skeletal
wajah suku Batak berdasarkan analisis Jefferson dan diharapkan dapat menegakkan
diagnosa ortodonti secara akurat dalam menyusun rencana perawatan serta sebagai
informasi dalam bidang ortodonti khususnya pada suku Batak. Salah satu kekurangan
dalam penelitian ini adalah jumlah jenis kelamin yang tidak merata sehingga tidak
dapat melihat perbedaan tipe skeletal wajah antara laki-laki dan perempuan. Oleh itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengelompokan subjek berdasarkan
jenis kelamin dan suku yang lain.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap distribusi morfologi vertikal skeletal
wajah pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU berdasakan analisis
Jefferson dapat disimpulkan bahwa:
1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah pasien pada pasien suku Batak di
Klinik RSGMP FKG adalah tipe wajah pendek/hypodivergent (74%) dari seluruh
sampel penelitian.
2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah pasien berdasar jenis kelamin
kesemuanya ada pada tipe wajah pendek/hypodivergent, dimana laki-laki 66,66%,
dan perempuan 75,64%.
3. Tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent memiliki persentase tertinggi
terhadap relasi rahang klas I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%).

6.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang
lebih besar, lebih homogen yaitu sampel dengan divisi suku batak yang sama agar
didapatkan validitas yang lebih tinggi dan lebih spesifik menggunakan dua
keturunan diatas agar didapat hasil yang lebih valid.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan rancangan analitik untuk melihat hubungan
antara relasi rahang dengan pola pertumbuhan wajah.
3. Perlu dilakukan penelitian pada suku lain berdasarkan analisis Jefferson agar
penelitian ini dapat dijadikan perbandingan terhadap ras-ras lain.
4. Agar penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan analisa sefalometri untuk
perawatan ortodonti pada suku Batak.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai