Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS SEFALOMETRI

A. SEJARAH SEFALOMETRI
Perawatan bidang orthodonsi merupakan perawatan yang dilakukan
terhadap gigi geligi, tulang rahang dan struktur kraniofasial. Dalam
penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan baik itu pemeriksaan subyektif,
pemeriksaan obyektif maupun pemeriksaan penunjang. Fotografi tidak dapat
digunakan untuk melihat hubungan antara gigi-gigi, tulang rahang dan
struktur kraniofasial lain. Sebelum ditemukannya metode radiografi terutama
radiografi sefalometri, para ahli antropologi melakukan pengukuran
tengkorak kering untuk mengetahui lebih detail bentuk dan pola kraniofasial,
akan tetapi hal ini banyak kekurangan antara lain berhubungan dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan tengkorak manusia hidup dan pengukuran
intrakranial (Amiatun, 2013).
Berdasarkan hal ini, maka Simon memperkenalkan 2 sistem
gnatostatik, yaitu metode yang mengorientasikan model studi ortodontik pada
bidang-bidang kranial untuk melihat hubungan gigi-gigi atas dan bawah
terhadap basis apikalis ditinjau dari struktur kraniofasial. Berdasar
pengetahuan antropometrik dan gnatostatik maka para ahli antropologi
menyebutnya dengan kraniometrik atau sefalometri radiografik.
Sefalometri radiografik digunakan untuk mempelajari hubungan gigi-
gigi dan struktur tulang muka secara ekstrakranial dan intrakranial. Gambaran
sefalometri radiografik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1922 oleh
Pacini. Tahun 1931, Hofrath (Jerman) dan Broadbent (Amerika) dalam waktu
bersamaan menemukan teknik sefalometri yang telah terstandarisasi dengan
menggunakan alat sinar-X dan pemegang kepala yang dinamakan sefalostat
atau sefalometer. Film yang dihasilkan dari pemotretan kepala ini disebut
sefalogram atau film kepala atau sefalometri sinar-X. Sefalometri radiografik
diperkenalkan dalam bidang ortodontik sekitar tahun 1930 an, meskipun
metode yang benar untuk aplikasi praktik ortodontik baru 20 tahun kemudian.
Beberapa tahun kemudian, metode analisis dikembangkan oleh beberapa
pengarang (Bishara, 2001).
Sefalometri di bidang orthodonsi disebut dengan sefalometri
rontgenografi. Perangkat yang digunakan disebut radiografi sefalometri, yang
biasa disebut dengan telerontgenogram di Eropa. Sefalometri juga digunakan
untuk studi longitudinal perkembangan kepala. Awal mula penggunaan
sefalometri, radiografi jenis ini banyak digunakan untuk mempelajari
pertumbuhkembangan kompleks kraniofasial yang kemudian berkembang
sebagai sarana yang berguna untuk melakukan evaluasi kondisi klinis baik
sebelum dan sesudah perawatan, serta rencana perawatan.

B. RADIOGRAFI SEFALOMETRI
Sefalometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran kuantitatif
bagian tertentu pada kepala untuk mendapatkan informasi tentang pola
kraniofasial. Sefalometri lebih banyak digunakan untuk mempelajari tumbuh
kembang kompleks kraniofasial kemudian berkembang sebagai sarana yang
sangat berguna untuk mengevaluasi keadaan klinis misalnya membantu
menentukan diagnosis, merencanakan perawatan, menilai hasil perawatan
dalam bidang ortodonti.
Foto radiografi sefalometri digunakan sebagai rekam orthodonsi yang
berguna untuk menentukan kelainan skeletal, letak gigi dan profil.
Pemeriksaan ini termasuk ke dalam pemeriksaan penunjang. Kombinasi
beberapa analisis selain analisis sefalometri dibutuhkan untuk penegakan
diagnosis dan rencana perawatan.
Cara pengambilan radiografi sefalometri juga berbeda dengan cara
pengambilan radiografi lainnya. Sefalometri terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Posteroanterior sefalometri
Radiografi posteroanterior sefalometri merupakan gambaran
proyeksi dari arah posterior ke arah anterior. Radiografi jenis ini dapat
memberikan gambaran tulang frontal dan tulang rahang. Teknik
pengambilan foto radiografi posteroanterior adalah pasien diminta
menghadapkan kepalanya ke film dengan ujung dahi dan ujung hidung
menyentuh film (forehead-nose position). Cone beam diposisikan sejajar
dengan FHP (Frankfurt Horizontal Plane) dan membentuk sudut 0o.
Gambar 1. Posteroanterior sefalometri

Radiografi posteroanterior sefalometri ini digunakan untuk


melakukan beberapa indikasi terkait dengan kondisi sebagai berikut:
a. Pemeriksaan tulang tengkorak
b. Memperlihatkan adanya perubahan pada tulang fasial meliputi tulang
frontal, sinus ethmoid, fossa nasalis, dan tulang orbita
c. Deteksi awal fraktur maksilofasial akibat trauma

2. Sefalometri Lateral
Sefalometri lateral merupakan jenis radiografi yang sering
digunakan di bidang orthodonsi. Hasil penyinaran akan memberikan
gambaran lateral dari kepala. Teknik yang dilakukan untuk pengambilan
foto radiografi sefalometri lateral adalah pasien diinstruksikan untuk oklusi
sentrik, kemudian kepala difiksasi dengan cephalostat dan telinga difiksasi
pada ear rod. Posisikan kepala pasien dengan FHP sejajar lantai. Film
diletakkan di salah satu sisi kepala pasien. Jarak sinar dengan obyek adalah
sekitar 2 kaki. Penyinaran dilakukan dengan tegangan antara 70-90 kVp,
kuat arus sebesar 10-15 mA dan waktu 1-1,5 detik (Jacobson, 1995).
Gambar 2. Sefalometri lateral

Sefalometri ini digunakan untuk melakukan beberapa indikasi,


yaitu (Jacobson, 1995):
a. Mempelajari pertumbuhan kraniofasial yang dapat dilakukan berkala
dalam interval waktu tertentu sehingga dapat diketahui letak
pertumbuhan tulang
b. Menganalisa kelainan kraniofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi
karena ketidakseimbangan struktur tulang
c. Melihat adanya impaksi gigi, kista, supernumerary dan anodonsia
d. Mempelajari tipe fasial
e. Merencanakan perawatan orthodonsi
f. Evaluasi kasus yang telah dilakukan perawatan orthodonsi
g. Analisis fungsional seperti membandingkan foto pada saat mulut
terbuka dan rest position dan melihat pergerakan condyle
h. Riset

Diagnosis dan perawatan orthodonsi yang adekuat tidak akan


didapatkan tanpa melakukan pengambilan foto radiografi sefalometri
lateral terutama apabila kelainan disebabkan juga oleh kelainan skeletal.
C. TEKNIK TRACING
Tahap awal sebelum melakukan analisis ssebuah sefalogram adalah
perlu dilakukan tracing. Peralatan yang diperlukan dalam proses tracing
adalah sefalogram lateral (8x10 inchi), kertas kalkir atau asetat dengan
ketebalan 0,003 inchi serta pensil khusus 4H yang tajam. Tracing dapat
dilakukan di atas tracer box dan dalam ruangan dengan pencahayaan yang
tidak terlalu terang (Amiatun, 2013).
Pengetahuan mengenai anatomi kepala diperlukan untuk melakukan
tracing. Gambaran yang nanti didapat dari proses tracing adalah struktur
kraniofasial titik unilateral dan bilateral. Setelah ditemukan titik-titik yang
dibutuhkan, kemudian dibuat beberapa garis sehingga analisis bisa dilakukan.
Prosedur tracing yang dilakukan adalah sebagai berikut (Amiatun, 2013):
a. Lekatkan kertas kalkir atau asetat pada hasil sefalogram menggunakan
selotip.
b. Letakkan tumpukan sefalogram dan kertas kalkir di atas tracing box.
c. Lakukan tracing atau penjiplakan. Usahakan gambaran tracing tidak
terputus-putus dan meminimalkan kesalahan sehingga tidak perlu
penggunaan penghapus.
d. Struktur anatomi yang perlu ditracing di antaranya adalah:
1) profil jaringan lunak
2) kontur eksternal kranium
3) kontur internal kranium
4) orbita
5) sella tursica
6) ear rod
7) tulang nasal beserta sutura frontonasalis
8) area infra orbita
9) fisura pterigomaksilaris
10) spina nasalis anterior
11) spina nasalis posterior
12) M1 atas dan bawah
13) I1 atas dan bawah
14) simfisis mandibula
15) tepi inferior mandibula
16) kondilus
17) mandibular nocth
18) prosesus koronoideus

Gambar 3. Hasil tracing

D. ANATOMI LANDMARK SEFALOMETRI


Setelah tracing dilakukan, kemudia perlu ditentukan anatomi
landmark sefalometri berupa titik-titik penting pada sefalometri yang dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk dilakukannya pengukuran-pengukuran
tertentu pada sefalogram. Titik-titik yang perlu diketahui di antaranya adalah
sebagai berikut (Amiatun, 2013):
1) Titik kranial:
a) S (Sella): pusat sella tursica
b) N (Nasion): titik tercekung dan pertemuan dari sutura fronto nasalis
c) Or (Orbita): titik paling inferior dari tulang orbita
d) Po (Porion): titik tengah dari meatus akustikus externus, tempat ear rod
e) Ar (Articulare): titik perpotongan antara batas posterior ramus dan
batas inferior dari basis kranial posterior.
f) A (Subspinal): titik tercekung di maksila bagian anterior
g) ANS (Anterior Nasal Spina): titik paling anterior dari maksila
h) PNS (Posterior Nasal Spina): titik paling posterior dari tulang maksila
i) B (supramental): titik tercekung pada garis median di mandibula
j) Pog/Pg (Pogonion): titik paling anterior dari simfisis mandibula
k) Gn (Gnation): titik paling antero-inferior dari dagu
l) Me (Menton): titik paling inferior dari simfisis mandibula
m) Go (Gonion): titik paling postero-inferior dari angulus mandibula
n) PTM (Pterigomaxillary): kontur fisura pterigomaxillary yang dibentuk
di anterior tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva
anterior dari prosesus pterigoid pada tulang sphenoid
o) Ba (Basion): titik paling bawah pada tepi anterior dari foramen
magnum
Berikut adalah gambaran hasil tracing beserta titik-titik yang telah
ditemukan:

Gambar 4. Tracing titik sefalometri

E. ANALISIS STEINER
Analisis Steiner dalam penilaian sefalometri lateral membagi menjadi
3 bagian kepala secara terpisah, yaitu skeletal, gigi dan jaringan lunak.
Analisis skeletal berkaitan dengan maksila dan mandibula. Analisis gigi
melibatkan kaitan gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah. Sedangkan
analisis jaringan lunak menilai keseimbangan dan harmonisasi profil wajah
(Steiner, 1960).
Bidang referensi pada analisis steiner adalah menggunakan bidang S-
N. Bidang S-N digunakan karena dianggap bidang yang stabil, tidak
dipengaruhi struktur-struktur fasial, terletak pada jaringan keras dan terletak
pada bidang sagital. Analisis steiner digunakan untuk analisis skeletal,
analisis skeleto-dental dan analisis pergerakan dinamik mandibula. Analisis
steiner membagi menjadi beberapa analisis, yaitu (Steiner, 1960):
1) Analisis Skeletal
a) < SNA: 82o ± 2o
Sudut ini digunakan untuk mengetahui posisi maksila terhadap basis
kranii. Apabila sudut SNA lebih besar dari 84o maka dapat disimpulkan
bahwa posisi maksila terhadap basis kranii lebih protrusif. Apabila
sudut SNA lebih kecil dari 80o maka dapat disimpulkan bahwa posisi
maksila terhadap basis kranii lebih retrusif. Hal ini dapat berpengaruh
sama terhadap profil wajah.
b) <SNB: 82o ± 2o
Sudut ini digunakan untuk mengetahui posisi mandibula terhadap basis
kranii. Apabila sudut SNB lebih besar dari 84o maka dapat disimpulkan
bahwa posisi mandibula terhadap basis kranii lebih protrusif. Apabila
sudut SNB lebih kecil dari 80o maka dapat disimpulkan bahwa posisi
mandibula terhadap basis kranii lebih retrusif. Hal ini dapat
berpengaruh sama terhadap profil wajah.
c) <ANB: <SNA - <SNB = 2o
Sudut ini menyatakan hubungan maksila terhadap mandibula sehingga
dapat diketahui klasifikasi skeletal. Nilai <ANB 2o memberikan
penilaian bahwa klasifikasi skeletal termasuk ke dalam kelas I atau
normal. Apabila <ANB 4o maka dapat diketahui bahwa klasifikasi
skeletal termasuk ke dalam kelas II karena posisi maksila berada lebih
protrusif, sedangkan apabila nilai <ANB bernilai negatif maka dapat
diketahui bahwa klasifikasi skeletal termasuk ke dalam kelas III karena
posisi mandibula lebih protrusif.
Gambar 5. Analisis posisi rahang terhadap basis kranii

d) < Bidang oklusal – SN: rata-rata 14o


Menurut Steiner perlu dilakukan engukuran sudut yang dibentuk oleh
bidang SN dan bidang oklusal.

Gambar 6. Analisis sudut bidang oklusal

e) Sudut bidang mandibula: rata-rata 32o


Sudut bidang mandibula dibentuk oleh bidang mandibula (Gonion-
Gnathion / Go – Gn) dan bidang SN. Nilai yang melebihi atau kurang
dari nilai rata-rata menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak normal.

2) Analisis Dental
a) Posisi insisiv maksila
(1) Jarak insisiv maksila dengan garis NA
Rata-rata jarak insisiv maksila dengan garis NA adalah sebesar 4
mm ± 2 mm. Jika jarak -2 mm maka dapat disimpulkan bahwa
insisiv maksila retrusi. Sedangkan jika jarak > 6 mm maka insisiv
maksila protrusi.
(2) Sudut axial inisisv maksila dengan garis NA
Rata-rata sudut axial insisiv maksila dan garis NA adalah sebesar
22o± 2. Apabila sudut yang dihasilkan lebih dari hasil rata-rata
maka dapat disimpulkan bahwa posisi insisiv mandibula terlalu
anterior

Gambar 7. Analisis posisi insisiv maksila

b) Posisi insisiv mandibula


(1) Jarak insisiv mandibula dengan garis NA
Rata-rata jarak insisiv mandibula dengan garis NA adalah sebesar 4
mm ± 2 mm. Jika jarak -2 mm maka dapat disimpulkan bahwa
insisiv mandibula retrusi. Sedangkan jika jarak > 6 mm maka
insisiv mandibula protrusi.
(2) Sudut axial inisisv mandibula dengan garis NA
Rata-rata sudut axial insisiv mandibula dan garis NA adalah
sebesar 22o± 2. Apabila sudut yang dihasilkan lebih dari hasil rata-
rata maka dapat disimpulkan bahwa posisi insisiv mandibula terlalu
anterior
Gambar 8. Analisis posisi insisiv mandibula

c) Sudut interinsisal
Sudut interinsisal menunjukkan kecembungan atau protrusi gigi geligi
anterior. Terbentuk dari sumbu axial insisiv maksila dan sumbu axial
insisiv mandibula. Nilai rata-rata adalah 130o – 132o. Apabila sudut
yang dihasilkan adalah lebih besar dari nilai rata-rata maka akan
terlihat posisi insisiv maksila dan mandibula lebih tegak, sedangkan
apabila lebih kecil dari nilai rata-rata maka akan terlihat posisi insisiv
maksila dan mandibula protrusi.

Gambar 9. Sudut Interinsisal


3) Analisis Jaringan Lunak
Analisis jaringan lunak dilakukan secara observasi visual. Wajah seimbang
akan terlihat garis S menyentuh kontur dagu ke pertengahan bentuk S pada
batas bawah hidung. Wajah protrusi atau cembung akan terlihat bibir
berada di depan garis S. Sedangkan wajah cekung terlihat apabila bibir
berada di belakang garis S.

Gambar 10. Analisis estetik melalui analisa jaringan lunak

F. ANALISIS DOWNS
Analisis Downs menggunakan pengukuran garis dan sudut secara spesifik, di
antaranya adalah (Downs, 1948):
1) Facial Angle
Facial angle merupakan sudut yang dibentuk perpotongan garis Npog dan
Frankfurt Horizontal Plane (FHP). Sudut yang dihasilkan minimal adalah
82o, rata-rata adalah 87,8o dan maksimal adalah 95o.
Gambar 11. Analisis sudut fasial

2) Sudut Bidang Mandibula


Sudut yang dibentuk dari garis GoGn dengan FHP. Sudut minimal adalah
53o, rata-rata adalah 59,4o dan maksimal adalah 66o.
3) Angle of Convexity
Sudut yang dibentuk oleh NA dengan A-Pog. Apabila perpanjangan A-
Pog pada anterior dari NA maka sudut yang dihasilkan adalah positif.
Sedangkan juka perpanjangan A-Pog pada psoterior terhadap NA maka
sudut yang dihasilkan adalah negatif. Nilai minimal pada angle of
convexity adalah -8,5o, nilai rata-rata adalah 0o dan nilai maksimal adalah
+10o. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui tingkat protrusi atau
retrusi dari mandibula, hubungan rahang dan inklinasi mandibula.

Gambar 12. Sudut Angle of convexity


4) Sudut bidang muka (AB)
Merupakan sudut yang dibentuk oleh garis dari titik A dan titik B dengan
garis N-Pog. Sudut yang dihasilkan adaah bernilai negatif karena titik B
berada pada posterior titik A. Nilai minimal adalah 0o, rata-rata adalah -
4,6o dan nilai maksimal adalah -9o.
5) Bidang Oklusal
Merupakan bidang yang dibuat garis overlapping cusp molar pertama dan
premolar pertama dengan tumpang gigit. Sudut diukur terhadap bidang
FHP. Sudut posistif yang besar menunjukkan profil kelas II. Nilai
minimal adalah sebesar 1,5o, nilai rata-rata adalah 9,3o dan nilai maksimal
adalah 14o.
6) Sudut Interinsisal
Sudut ini dibentuk dari garis axial gigi insisiv maksila satu terhadap yang
lain. Menunjukkan tingkat protrusi dari gigi anterior. Nilai minimal
sebesar 130o, rata-rata 135,4o dan maksimal adalah 150o.
7) Sudut Inklinasi Axial Insisiv Mandibula dan Bidang mandibula
Nilai minimal adalah 8,5o, rata-rata 1,5o dan maksimal adalah 7o.
8) Sudut Inklinasi Insisiv Mandibula dengan Bidang Oklusal
Sudut yang dihasilkan dapat positif atau pun negatif
Nilai minimal adalah 20o, rata-rata adalah 14,5o dan maksimal adalah
3,5o.
9) Tingkat Protrusi Insisiv Maksila
Diukur dari puncak insisiv maksila ke garis A-Pog. Apabila puncak
insisiv berada di depan garis A-Pog maka nilai yang dihasilkan adalah
positif. Nilai minimal adalah -1 mm, rata-rata adalah 5,5 mm dan
maksimal adalah 11,5 mm.
10) Inklinasi Axial Insisiv Maksila terhadap bidang SN, rata-rata adalah
sebesar 103o.
11) Inklinasi Insisif Mandibula terhadap Bidang Oklusal, minimal adalah 3,5o
rata-rata adalah 14,5o dan maksimal adalah 20o.
G. ANALISIS TWEED
Analisis Tweed membagi sudut menjadi tiga, yaitu (Tweed, 1962):
1) FMA (Frankfurt-Mandibular Plane Angle)
Dibentuk dari bidang mandibula dan FHP. Pengukuran sudut ini
dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan fasial bagian bawah secara
horizontal dan vertikal. Nilai rata-rata adalah sebesar 22o-28o. Bila nilai di
atas 30o, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan vertikal kurang.
2) IMPA (Incisor – Mandibular Plane Angle)
Sudut ini menunjukkan posisi insisiv mandibula teradap bidang
mandibula. Nilai standar IMPA adalah 87o.
3) FMIA (Frankfurt – Mandibular Incisor Angle)
FMIA merupakan sudut yang menghubungan profil wajah dengan posisi
insisiv mandibula. Disuahakan sudut FMIA selalu 65o-70o.

Gambar 13. Analisis Tweed.

H. ANALISIS WYLIE
Pada analisis Wylie ada beebrapa titik yang diproyeksikan pada FHP. Titik-
titk itu adalah (Wylie, 1952):
1) Titik posterior dari kepala kondil
2) Pusat sella tursica
3) Fisura pterigomaksilaris
4) Lukukan bukal dari milar pertama permanen maksila
5) Spina nasalis anterior
Jarak sebagai referensi melakukan analisis pola fasial juga dibuat, seperti:
1) Glenoid fossa-sella tursica: laki-laki 18, perempuan 11
2) Sella tursica dengan pterigomaksilaris: laki-laki 18, perempuan 17
3) Panjang maksila: laki-laki 52, perempuan 52
4) Pterigomaksilaris-molar pertama maksila: laki-laki 15,perempuan 16
5) Panjang mandibula: laki-laki 103, perempuan 101

I. ANALISIS RICKETS
Analisis Rickets dibagi menjadi beberapa analisis, yaitu (Rickets, 1981):
1) Gambaran Skeletal
a) Sudut sumbu fasial
Sudut dibentuk dari bidang Basion-Nasion dan bidang Foramen
Rotundum (PT)-Gnation. Nilai rata-rata adalah 90o. Bila hasil lebih
kecil maka menandaan dagu lebih retrusif dan sebaliknya apabila hasil
lebih besar maka menandakan dagu lebih protrusif.
b) Sudut kedalaman fasial (fasial depth angle)
Dibentuk dari bidang N-Pog dengan FHP untuk melihat letak dagu
dari arah horizontal.
c) Sudut mandibula
Terbentuk dari bidang Me-Go dengan FHP. Nilai rata-rata yang
diperoleh adalah 26o pada usia 9 tahun dan menurun setiap 3
tahunnya.
d) Kecembungan wajah
Titik A merupakan gambara kecembungan wajah diukur dari titik A
ke bidang fasial (N-Pog).

2) Gigi geligi
a) Sudut Interinsisal
Sudut yang dibentuk dari garis axial insisiv rahang atas dan rahang
bawah.
b) Molar atas dan PtV
Pengukuran jarak dari Pterigo Vertikal ke sisi distal molar atas. Nilai
rata-rata sama dengan usia pasien ditambahkan dengan 3 mm.

J. ANALISIS JARINGAN LUNAK


Ada beberapa titik jaringan lunak yang dapat ditemukan pada gambaran
sefalometri, yaitu (Amiatun, 2013):
1) G: Glabella, merupakan titik anterior yang paling menonjol di bidang
sagital dahi.
2) N’: Jaringan lunak hidung. Titik paling cekung pada garis tengah dahi dan
akar hidung
3) Pn: Pronasale, yaitu titik paling menonjol dari hidung
4) Sls: Superior labial sulkus, yaitu titik tercekung garis tengah antara titik
subnasal dengan labial sulkus
5) Ls: Labial superior, titik pada batas mukokutaneus dan bibir atas atau titik
paling anterior bibir atas, titik anterior bibir atas
6) Sts: Stomion Superior, yaitu teratas dari vermillion bibir bawah
7) Li: Labial inferior, yaitu titik median batas bawah dari membran bibir
bawah
8) Lls: Sulkus labial inferior, yaitu titik tercekung antara Li dan Pog
9) Pog’: Jaringan lunak pogonium
10) Me’: Jaringan lunak menton.
11) Bidang referensi, terdiri dari:
a) Frankfurt Horizontal
b) Bidang Sella-nasion
12) Bidang vertikal
a) SnV: Bidang yang dibentuk garis vertikal melalui titik Sn
b) Gv: Bidang yang dibentuk oleh garis vertikal titik glabela
13) Sudut Nasolabial
a) Sudut yang dibentuk oleh garis septum nasi dengan garis horizontal
(25o)
b) Sudut yang dibentuk garis singgung labial superior dengan garis
horizontal= 85o.
14) Garis estetik
Garis ini dibentuk dari titik Pn-Pog’. Jarak normal adalah 4 mm untuk
jarak Ls dan garis E. Sedangkan 2 mm untuk jarak Li dan garis E.
15) Garis S
Garis ini dibentuk dari titik Pog’ ke titik tengah dan kurva bentuk dasar
hidung.
16) Sudut Z
Dibentuk dari garis FH dengan garis dari titik Pog’ ke titik puncak bibir.
Nilai rata-rata adalah 80o ± 9o.

K. KESALAHAN ANALISIS SEFALOMETRI


Di luar dari manfaat yang diperoleh dari analisis sefalometri untuk
penegakan diagnosis, dalam prosesnya sering kali terjadi kesalahan analisis.
Kesalahan-kesalahan tersebut di antaranya adalah (Rahardjo, 2009):
1) Kesalahan orientasi internal
Kesalahan ini terjadi karena relasi pasien terhadap sumber sinar.
Menempatkan pasien pada posisi yang selalu sama merupakan hal yang
sukar sehingga akan selalu menghasilkan kesalahan orientasi internal.
2) Kesalahan orientasi eksternal
Kesalahan ini diakibatkan oleh adanya deviasi
3) Kesalahan geometris
Hal ini disebabkan oleh sinar ronsen yang divergen pada alurnya dari
sumber sinar ke film
4) Kesalahan asosiasi
Kesukaran menentukan titik yang diperlukan..
DAFTAR PUSTAKA

Amiatun, Mieke SM. Sefalometri Radiografi Dasar. Jakarta: Sagung Seto. 2013
Bishara, S. E. Textbook of Orthodontics. Philadelphia, WB Saunders Company.
2001: 559
Downs, W.B. Variation in Facial Relationship: Their Significanc in Treatment
and Prognosis. Am J Orthod. 1948. 34:812-840
Jacobson, A. Radiographic Cephalometry , from Basic to Videoimaging. Chicago:
Quintessence Publishing Cp, Inc: 1995.: 40; 77-82; 95-103
Rahardjo, Pambudi. Diagnosis Orthodontik. Surabaya: Airlangga University
Press. 2009
Rickets, R.M. Skeletal Morphologic Feature of Cephalometric. The first fifty
years Angle Orthod. 1981. 51: 115-150
Steiner, C.C. The use of cephalometric as and treatment planning and assesing
orthodontic treatment. A, J Orthod 46: 721-735
Tweed, C. H. Was Development of the diagnostic facial triangle as an acurate
analysis based on factor funcy. 1962: Am J Orthod 48 (11): 823-840
Wylie, W.L. and Johnson, E.L. Rapid Evaluation of facial dysplasia in the
vertical plane. 1952: Angle Orthod. 22: 165

Anda mungkin juga menyukai