BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ortodontik adalah cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari
pertumbuhan, perkembangan, variasi wajah, rahang dan gigi pada kondisi
normal maupun abnormal (Harty dan Ogston, 1995). Ortodontik bertujuan
untuk mengetaui perawatan perbaikan dari dentofasial yang abnormal.
Dentofasial yang abnormal ditandai dengan adanya malposisi, malrelasi, dan
malokusi. Penegakan diagnosis ortodontik berperan penting dalam
menyelesaikan suatu kasus ortodontik. Penegakan diagnosa akan
menentukan rencana penanganan dan perawatan ortodontik. Rahardjo
(2011), menjelaskan bahwa dalam suatu penegakan diagnosis ortodontik
diperlukan pengumpulan data yang meliputi data analisis umum, analisis
lokal, analisis sefalometri, analisis model, dan analisis fungsional.
Sefalometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran yang bersifat
kuantitatif terhadap kepala untuk memperoleh informasi tentang pola
kraniofasial. (Sulandjari, 2008). Foto hasil sefalometri, yang disebut
sefalogram akan digunakan untuk mempelajari pertumbuhan kraniofasial,
analisis kelainan kraniofasial, serta mengetahui penyebab maloklusi yang
terjadi. Analisi sefalometri dilakukan melalui tracing pada sefalogram
sehingga ditemukan titik-titik, garis, dan sudut yang diperlukan pada
perhitungan sefalometri. Dalam laporan ini, akan dijelaskan bagaimana peran
penting sefalometri serta cara pengukurannya yang tepat dalam penegakan
diagnosa malokusi pada suatu kasus ortodontik.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari laporan ini adalah.
1. Bagaimana peranan sefalometri pada bidang ortodonsia?
2. Bagaimana prosedur pengukuran sefalometri pada pasien untuk
memperoleh diagnosa ortodontik?
3. Bagaimana hasil diagnosa ortodontik yang tepat pada skenario?
2
C. Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah.
1. Mengetahui peranan sefalometri dalam penegakan diagnosis ortodontik.
2. Mengetahui prosedur pengukuran sefalometri yang tepat untuk
memperoleh diagnosa di bidang ortodonsia.
3. Melakukan tracing pada sefalogram yang terdapat di skenario.
4. Menganalisa maloklusi yang terjadi pada kasus di skenario melalui
pengukuran sefalometri.
D. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari laporan ini adalah.
1. Mahasiswa dapat memahami cara pengukuran sefalometri untuk
menegakan diagnosa suatu kasus ortodontik.
2. Mahasiswa dapat menerapkan langkah-langkah yang tepat dalam
pengukuran sefalometri.
5. Mahasiswa dapat menentukan titik, garis, dan sudut yang digunakan
dalam pengukuran sefalometri.
3. Mahasiswa dapat menentukan diagnosa ortodontik berdasarkan hasil
pengukuran sefalometri.
3
BAB II
ISI
A. Skenario
Anda telah mendapatkan dua gambaran hasil tracing sefalometri A dan B.
Dari gambaran tersebut carilah:
1. Titik-titik berikut.
a. N e. SNA i. Gn
b. O f. SNP j. Me
c. P g. B k. Go
d. A h. Po l. S
2. Garis-garis berikut.
a. S-N c. Garis d. Go-Gn
b. P-O maksila e. Go-Me
4
B. Tinjauan Pustaka
Sefalometri adalah pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk
menentukan kelainan skeletal, letak gigi, serta profil pasien yang digunakan
dalam diagnosis maloklusi dan dituliskan dalam rekam medik ortodontik
(Rahardjo, 2011). Fungsi sefalometri adalah:
pada tepi atas sefalogram dengan scotch tape agar dapat dibuka bila
diperlukan, kemudian diletakkan di atas iluminator (negatoscope). Penapakan
sefalogram sebaiknya menggunakan pensil keras agar diperoleh garis-garis
yang cermat dan tipis (Sulandjari, 2008).
1. S-N : garis yang menghubungkan sela tursika (S) dan nasion (N),
merupakan garis perpanjangan dari basis kranial anterior
2. N-Pog : garis yang menghubungkan nasion (N) dan pogonion (Pog),
merupakan garis fasial
3. Frankfurt Horizontal Plane (FHP) : bidang yang melalui kedua porion
(P) dan titik orbital (O), merupakan bidang horizontal
4. Garis maksila : garis yang menghubungkan ANS dan PNS, disebut juga
sebagai bidang palatal
5. Garis mandibula dapat dibuat dengan tiga cara, yaitu :
a. Bidang yang dibuat melalui gonion (Go) dan gnathion (Gn)
b. Bidang yang dibuat melalui gonion (Go) dan menton (Me)
c. Bidang yang menyinggung tepi bawah mandibula dan menton
(Ardhana, 2011).
2. Kecembungan muka
Profil muka ditentukan oleh perpotongan garis N-A dan Pog-A. Nilai
rata-rata ras Kauksasoid ialah 0o sedangkan untuk sampel Surabaya ialah
6 o. Hal tersebut menunjukan profil muka Kaukasoid yang lurus
8
C. Pembahasan
1. Skenario A
Bersasarkan tracing titik dan pengukuran sefalometri, pada kasus A
diperoleh hasil sebagai berikut:
10
a. Analisa skeletal :
1) SNA : 87o, dengan nilai rerata 84o menunjukan hubungan
maksila terhadap basis kranii yang sedikit protrusi.
2) SNB : 86o, dengan nilai rerata 81o menunjukan hubungan
mandibula terhadap basis kranii yang sedikit protrusi.
3) ANB : 1o, dengan nilai normalnya adalah 3o berarti mandibula
lebih protrusi sehingga cenderung menunjukan maloklusi
keals III.
4) N-A-Po : 4o, dengan nilai normalnya adalah 6o maka
kecembungan wajah kurang dari normal.
5) P-O terhadap N-Pog : 86o, dengan nilai normalnya adalah 84o
maka menyatakan posisi mandibula yang lebih protrusi.
6) Y aksis : 64o, dengan nilai normal pada sampel Surabaya
adalah 65o maka arah pertumbuhan mandibula atau dagu
sedikit mengalami protrusi.
b. Analisa dental
1) Insisif atas - SN : 127o, dengan nilai rerata pada populasi
Surabaya adalah 117o maka hubungan insisif atas terhadap basis
kranium adalah protrusi.
2) Hubungan insisif atas – garis maksila : 136o, nilai rerata pada
populasi Surabaya adalah 116o maka hubungan insisif atas
terhadap maksilaadalah protrusi.
3) Insisif atas – FHP : 127o, dengan nilai normalnya adalah 115o
maka insisif atas terhadap FHP adalah protrusi.
4) Insisif rahang bawah terhadap GoGn : 103°, dengan nilai rerata
98° menunjukan hubungan insisif bawah terhadap mandibula
adalah protrusi.
5) Sudut antar insisif : 100°, dengan nilai normalnya adalah 118°
menunjukan gigi insisif protrusi.
2. Skenario B
Bersasarkan tracing titik dan pengukuran sefalometri, pada kasus A
diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Analisa skeletal
1) SNA : 87o, dengan nilai normalnya adalah 84o maka hubungan
maksila terhadap basis kranii sedikit protrusi.
2) SNB : 84o, dengan nilai normalnya adalah 81o maka hubungan
maksila terhadap basis kranii sedikit protrusi.
3) ANB : 3o, dengan nilai normalnya adalah 3o maka hubungan
maksila terhadap mandibula yang cenderung normal.
4) N-A-Pog : 7o, dengan nilai normal 6o maka kecembungan
wajah sedikit melebihi normal.
5) FHP terhadap N-A-Pog : 87o, dengan nilai normal 84o
menunjukan posisi mandibula lebih protrusi.
6) Y aksis : 63o, dengan nilai rerata yaitu 65o maka arah
pertumbuhan mandibula atau dagu ke bawah dan depan.
a. Analisa dental
1) Insisif atas - SN : 117o, dengan nilai normal 117o menandakan
kedudukan insisif atas terhadap basis kranium normal.
2) Hubungan insisif atas – garis maksila : 122o, nilai rerata pada
populasi Surabaya adalah 116o menunjukan kedudukan gigi
anterior terhadap maksila lebih protrusi.
3) Insisif atas – FHP : 119o, dengan nilai rerata populasi Surabaya
adalah 115o makakedudukan insisif atas terhadap FHP yaitu
protrusi.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Sefalometri berperan untuk mengetahui hungungan rahang atas dan
bawah terhadap basis kranium sehingga membantu dalam penegakan
diagnosis ortodontik.
2. Prosedur pengukuran sefalometri membutuhkan titik dan garis
antropometri sebagai acuan, diantaranya Sela (S), Nasion (N), Porion
(P), Gnation (Gn), Menton (M). Sedangkan garis dapst digunakan
garis S-N, P-O, garis maksila dan garis mandibula.
3. Maloklusi yang terjadi pada kasus A ialah maloklusi skeletal kelas III
tipe 2 sedangkan pada kasus B terjadi maloklusi dental kelas I Angle
dengan protrusi bimaksiler.
B. Saran
Pengukuran sefalogram akan menghasilkan data-data yang
berperan penting untuk menegakan diagnosa. Pengukuran sefalometri
sebaiknya tidak dilakukan pada hasil sefalogram yang bias. Pembuatan
sefalogram seharusnya dilakukan dengan baik dan benar untuk
menghindari kesalahan hasil perhitungan karena akan mempengaruhi
penentuan diagnosis dan rencana perawatan.
14
Daftar Pustaka