SINDROM NEFROTIK
Oleh
Nida Nabilah Nur
1618012129
Perseptor
dr. Firdinand Nurdin, M.Kes., Sp.A
SAMPUL
DAFTAR ISI ................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 3
BAB II STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien..................................................................................... 5
2.2 Anamnesis ............................................................................................ 5
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 8
2.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 10
2.5 Diagnosis .............................................................................................. 11
2.6 Tata Laksana ........................................................................................ 11
2.7 Prognosis .............................................................................................. 12
2.8 Follow up ............................................................................................. 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ................................................................................................. 15
3.2 Etiologi ................................................................................................. 15
3.3 Klasifikasi ............................................................................................ 17
3.4 Batasan ................................................................................................. 24
3.5 Patofisiologi ......................................................................................... 24
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 30
3.7 Penegakkan Diagnosis ......................................................................... 32
3.8 Tata Laksana ........................................................................................ 34
3.9 Komplikasi ........................................................................................... 43
2
1.1 Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan gejala
proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+),
hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Meskipun sindrom nefrotik dapat menyerang siapa saja
namun penyakit ini banyak ditemukan pada anak- anak usia 1 sampai 5 tahun.
Selain itu kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali lebih
besar dibandingkan anak perempuan. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18
tahun per tahun. Di negara berkembang, insidensinya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding
dengan angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan
sindrom nefrotik pada anak adalah sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik
4
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya
sendiri maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada
sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan
penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Pada
umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi sendiri dalam
waktu yang lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan
menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya
infeksi sekunder.
2.2 Anamnesis
Informasi didapatkan melalui alloanamnesis orang tua An. ESS pada tanggal
23/08/2017 pukul 15.15 WIB.
Keluhan Utama
Bengkak di seluruh badan.
Keluhan Tambahan
-
6
Riwayat Persalinan
Tempat Lahir BPS, 19 Februari 2017
Penolong Bidan
Cara Persalinan Normal, pervaginam
Berat Lahir 2.900 gram
Panjang Lahir 47 cm
Masa Gestasi Cukup Bulan
Keadaan Bayi Setelah Lahir Bayi menangis kuat, bergerak aktif, ketuban
jernih.
Kelainan Bawaan Tidak ada.
Kesan: Riwayat persalinan baik.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi 0 1 2 3 4 5 6 9
Hepatitis B 0 1 2 3
BCG 1
Polio 1 2 3 4
DPT 1 2 3
Campak 1
Kesan: Imunisasi dasar lengkap
Riwayat Nutrisi
0-4 Bulan : ASI Eksklusif
4-6 Bulan : ASI Eksklusif
6-9 Bulan : ASI + MPASI (Makanan Lumat)
9-12 Bulan : ASI + MPASI (Makanan Lunak)
>1 Tahun : ASI + MPASI (Makanan Keluarga)
Kesan : Nutrisi sesuai dengan usia
8
2. Status Gizi
Usia : 2 Tahun 6 Bulan
z-score PB/U : -1.36 (Grafik terlampir)
z-score LK/U : -0.67 (Grafik terlampir)
z-score BB/PB : 1.14 (Grafik terlampir)
z-score BB/U : 0.11 (Grafik terlampir)
Kesan : Status gizi baik.
3. Status Generalis
Kelainan Mukosa Kulit/ Subkutan Yang Menyeluruh
Pucat :
Kulit : Turgor baik
Sianosis :-
Ikterus :-
Oedem : + non pitting pada seluruh bagian tubuh
Kesan : Oedem anasark
Kepala
Muka : Simetris, normochepal, oedem (+) teruama kelopak mata
9
Leher
Trakea : Deviasi trachea (-), letak normal
KGB : Tidak pembesaran pada KGB leher
Kesan : Dalam batas normal
Thoraks
Paru
Anterior Posterior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Normochest, Normochest, Normochest, Normochest,
pergerakan pergerakan pergerakan pergerakan
dada simetris dada simetris dada simetris dada simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil
dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi
dada dextra = dada dextra = dada dextra = dada dextra =
sinistra sinistra sinistra sinistra
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Suara napas Suara napas Suara napas Suara napas
vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N),
ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-
Kesan : Pemeriksaan paru dalam batas normal
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
10
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Teraba kencang, nyeri (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Redup
Kesan : Abdomen cembung dan redup
Ekstremitas
Superior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-), oedem (+), ikterus (-)
Infrerior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-), oedem (+), ikterus (-)
Kesan : Oedem non pitting
Laboratorium Urin
Hasil
No Pemeriksaan Nilai Rujukan
21/08 24/08
Kuning Kuning
1. Warna
jernih jernih
2. pH 58 6 6.5
3. Berat Jenis 1005 1030 1020 1020
4. Darah Samar Negatif +1* (-)
5. Bilirubin Negatif (-) (-)
6. Urobilinogen 0.1 1 mg% 1 1
7. Keton Negatif (-) (-)
8. Protein Negatif +3* +1
9. Nitrit Negatif (-) (-)
11. Glukosa Negatif (-) (-)
12 Eritrosit < 5 / LPB 5 2
13 Leukosit < 5 / LPB 2 5
14 Silinder Negatif (-) (-)
15 Epitel Positif (+) (+)
16 Kristal Negatif (-) (-)
2.5 Diagnosis
Diagnosis Kerja : Sindrom Nefrotik Relaps
Diagnosis Banding : Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
Farmakologi
Ampicillin 3 x 400 mg iv
Gentamicin 2 x 30 mg iv
Furosemid 2 x 10 mg iv
Spironolakton 3 x 10 mg po
12
Captopril 3 x 6.25 mg po
Prednison 5 mg 3-3-0
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Proteinuria +4
Kolesterol Total 392 mg/dL
Albumin 1.19 g/dL
A/ Sindrom Nefrotik Relaps
Selasa, S/ Badan masih bengkak Non Farmakologi:
22/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Kesadaran: compos mentis tpm makro
HR: 98 x/menit, reguler Transfusi albumin
RR: 24 x/menit 100 cc
T: 36.7 0C Diit proten normal
SpO2: 99 % dan rendah garam
13
Kepala:
Oedem kelopak mata (+) Farmakologi:
Abdomen: Ampisilin 3x400 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang Gentamisin 2x30mg
Lingkar perut 57 cm iv
Furosemid 2 x 10
Ekstremitas: mg iv
Oedem +/+/+/+ Spironolakton 3 x
A/ Sindrom Nefrotik Relaps 10 mg po
Captopril 3 x 6.25
mg po
Prednison 5 mg 3-3-
0 po
Rabu, S/ Bengkak berkurang Non Farmakologi:
23/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Kesadaran: compos mentis tpm
HR: 96 x/menit, reguler Diit protein normal
RR: 26 x/menit dan rendah garam
T: 36.7 0C
SpO2: 98 % Farmakologi:
Ampisilin 3x400 mg
Kepala: iv
Oedem kelopak mata (+) Gentamisin 2x30 mg
iv
Abdomen: Furosemid 2x10 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang Spironolakton 3x10
Lingkar perut 56 cm mg po
Captopril 3x6.25 mg
Ekstremitas: po
Oedem +/+/+/+ Prednison 5 mg 3-3-0
A/ Sindrom Nefrotik Relaps po
Kamis, S/ Bengkak berkurang Non Farmakologi:
24/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Pk. 09.30 Kesadaran: compos mentis tpm
HR: 96 x/menit, reguler Transfusi albumin
RR: 26 x/menit 100 cc
T: 36.7 0C Diit protein normal
SpO2: 98 % dan rendah garam
Kepala: Farmakologi:
Oedem kelopak mata (+) Ampisilin 3x400 mg
iv
Abdomen: Gentamisin 2x30 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang
14
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak
pada anak. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa. Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan pada
membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran
protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hyperlipidemia, atau dapat dikatakan bahwa sindrom nefrotik adalah
keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
3.2 Etiologi
1. Sindrom nefrotik Kongenital
Penyebab dari sindroma nefrotik kongenital atau genetik adalah:
a. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephri)
b. Denys-Drash syndrome (WT1)
c. Frasier syndrome (WT1)
d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
16
3.3 Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut
berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai
untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.
Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan
pada respon klinik, yaitu :
a. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
b. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
b. Glomerulonephritis Membranosa(MN)
Nefropati Membranosa (MN) merupakan penyakit glomerulus di mana
terdapat penimbunan immunoglobulin G dan komplemennya pada
podosit di lapisan subepitelial dinding kapiler glomerulus. Kebanyakan
kasus muncul dengan penyebab awal yang tidak jelas. Idiopatik MN
(primary) merupakan penyebab utama sindrom nefrotik pada orang tua
usia >60 tahun, orang-orang Kaukasia, dan jarang terjadi pada anak-
anak. Nefropati Membranosa sekunder biasanya disebabkan oleh
penyakit autoimun (Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune
Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B dan C), obat-obatan, dan keganasan
(kanker kolon dan paru). Nefropati Membranosa sekunder banyak
terjadi pada anak-anak terutama yang disebabkan oleh virus hepatitis B
dan Systemic Lupus Eritematosus.
20
Nefropati Membranosa dapat terjadi pada semua umur dan ras, tetapi
MN lebih sering terjadi pada pria daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. MN pada anak-anak lebih sering terjadi karena
adanya suatu infeksi misalnya hepatitis B. 70-80% pasien
bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik, sedangkan sisanya 20- 30%
bermanifestasi sebagai proteinuria asimptomatik subnefrotik (<3,5 g/24
jam).
Dengan mikroskop cahaya, tahap awal dari penyakit ini, kelainan pada
glomerulus dan interstitium masih belum tampak. Pada tahap lanjut
terjadi abnormalitas berupa penebalan difus dinding kapiler disertai
dengan hiperselularitas. Dengan menggunakan mikroskop elektron,
penebalan tersebut sebagian disebabkan oleh endapan di subepitel yang
melekat ke GBM dan dipisahkan satu sama lain oleh tonjolan kecil
mirip duri matriks GBM sering disebut dengan pola spike and dome.
Seiring dengan perjalanan penyakit, duri-duri ini menutupi endapan dan
menggabungkannya ke dalam GBM, serta podosit kehilangan tonjolan
kakinya. Pada tahap lanjut penyakit ini, endapan yang telah menyatu
tersebut mengalami katabolisasi dan akhirnya lenyap, meninggalkan
rongga-rongga di dalam GBM. Rongga ini kemudian terisi oleh
endapan bahan mirip GBM. Pada perkembangan selanjutnya,
glomerulus mengalami sklerosis dan pada akhirnya terjadi hialinisasi
total. Pemeriksaan dengan immunofluoresens memperlihatkan endapan
immunoglobulin dan komplemen granular di sepanjang GBM.
21
3.4 Batasan
a. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m 2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
b. Relaps
Apabila proteinuri 2+ (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut relaps.
c. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
d. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
e. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
f. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau 4 kali dalam 1 tahun.
g. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan
terjadi 2 kali berturut-turut.
3.5 Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki
25
a. Proteinuria
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya sebagian
kecil dari sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis
26
b. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien
sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar
albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, produksi albumin
di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang
diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme
secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme
pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan
manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan
peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis
albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian
pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan
bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan
normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak
adekuat.
c. Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada
pasien-pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan
dan muncul di tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada
pagi hari yang menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas. Edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial.
28
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan temuan yang sering dijumpai pada pasien
dengan proteinuria berat dan dianggap sebagai tanda klinis pada
sindrom nefrotik. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena
hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar
29
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
d. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,
namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe
sindrom nefrotik.
e. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang
bukan SNKM. Fungsi ginjal sendiri tetap normal pada sebagian besar
pasien pada saat awal penyakit.
f. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat
sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering
pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal
dengan ekogenisitas yang normal. Sebenarnya tidak perlu dilakukan
pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik.
- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
3.8 Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.
a. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
b. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium
dan natrium darah.
c. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus
dan varisela.
a. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.
b. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada gambar di bawah, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
38
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi digigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison
0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
Efek samping steroid yang berat
Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
thrombosis, dan sepsis diberikan siklosfosfamid (CPA)
dengan dosis 2-3mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari,selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah,hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
3. Sitotastika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
40
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3
mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada
SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan
dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian
steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan
penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF
adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
2. Siklosporin (CyA)
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan
lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu
pemantauan terhadap Kadar CyA dalam darah: dipertahankan
antara 150-250 nanogram/mL, kadar kreatinin darah berkala, dan
bopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten
steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga
obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
43
3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik antara lain:
a. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
ghemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam
urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan
antiplasmin.
- Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2 dan meningkatnya sintesis protein prokoagulan
karena tertekannya fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin
dan agregasi trombosit.
e. Anemia
Anemia biasanya tipe hipokrom mikrositik akibat defisiensi Fe yang
tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe. Hal ini
disebabkan oleh protein pengangkut Fe, yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.
f. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptococcus pneumoniae, E.coli.
Manifestasi klinik utama pada sindrom nefrotik adalah oedem, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal edema sering
bersifat intermiten, biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (daerah periorbita dan pretibia).
Hal ini sesuai dengan gambaran yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Edema merupakan keluhan yang paling penting dan terdapat kira-kira 95%
penderita Sindrom Nefrotik, tidak tergantung pada jenis kelainan
histopatologinya. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk . Edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata. Sifat edema seringkali kurang nyata pada awal perjalanan
47
penyakit, dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat
menghilang dan timbul kembali. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau
anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Namun, lambat laun edema menjadi menyeluruh,
yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah. Sebelum mencapai keadaan ini
orangtua sering mengeluh berat badan tidak naik, namun kemudian mendadak
berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu
makan yang meningkat. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan
lebih jelas di kelopak mata dan muka saat bangun tidur, sedangkan pada
tungkai tampak selama dalam posisi berdiri, di sekitar pergelangan kaki pada
sore hari. Edema dapat berlanjut menjadi asites, efusi pleura, edema di
skrotum/vulva, edema bersifat umum yang disebut anasarka dan bersifat
pitting. Pada os edema bersifat non pitting.
Tekanan darah pada umumnya normal atau rendah, namun dapat meningkat
pada 15-20% penderita. Pada pasien didapatkan peningkatan tekanan darah,
yaitu 90/60 (normal). Tekanan darah yang meningkat terutama terdapat pada
penderita SN sebagai akibat sekresi renin, aldosteron, dan hormon vasoaktif
lain, yang berlebihan. Hipertensi anak lebih sering terdapat pada SN bukan
kelainan minimal, etiologi hipertensi pada SN diperkirakan multifaktorial.
Pada kasus sindrom nefrotik, tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak
boleh sekolah. Namun dalam kasus ini, os perlu beristirahat sampai edema
berkurang (pembatasan aktivitas). Pembatasan asupan cairan terutama pada
penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. Terapi cairan yang
49
diberikan sendiri merupakan cairan rumatan. Pada pasien dengan berat badan
13 kg, kebutuhan cairan perhari adalah 1150 ml menggunakan rumus Holiday
Segar. Pada kasus ini, pasien masih dapat makan dan minum dengan baik
sehingga hanya mendapat cairan maintenance melalui intravena berupa D5
NS 5 tpm atau setara dengan 500 cc.
Pada pasien juga dilakukan diit protein normal dan rendah garam meskipun
kadar albumin dalam darah rendah. Hal tersebut dikarenakan pemberian diit
tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Selain itu, diit yang
sebaiknya dilakukan adalah redah lemak dan tingi kalori mengingat bahwa
pasien mengalami hiperlipidemia. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema atau jika anak hipertensi, sehingga
perlu untuk menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan
menghindari makanan yang diasinkan.
Selain terapi suportif, terapi lain yang diberikan adalah terapi farmakologi.
Berdasarkan teori, obat yang diberikan untuk sindrom nefrotik yang kambuh
<2 kali dalam masa 6 bulan atau <4 kali dalam masa 12 bulan adalah:
Induksi : Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kg BB/hari
(maksimal 80 mg/hari), diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 4 minggu.
Dosis alternating: Setelah 4 minggu, dilanjutkan dengan prednison 40
mg/m2/hari dosis tunggal, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal setiap pagi selama 4-8 minggu. Bila remisi terjadi pada 4
minggu pertama pengobatan dengan steroid, maka pengobatan
alternating diberikan selama 4 minggu (total pengobatan 8 minggu).
Namun, bila remisi baru terjad pada 4 minggu kedua, maka
pengobatan alternating dilteruskan sampai 8 minggu (total
pengobatan 12 minggu). Bila setelah 8 minggu pengobatan steroid
belum terjadi remisi, maka disebut sebagai steroid resisten.
50
() (
Perhitungan BSA : 3600
Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema
refrakter, syok, atau kadar albumin 1 gram/dl. Selain itu, dosis pemberian
albumin juga dapat dilihat dari kadar albumin dalam serum, yaitu jika kadar
albumin serum 1-2 g/dL; diberikan 0,5 g/kgBB/hari dan jika kadar albumin
<1g/dL diberikan 1g/kgBB/hari. Pada pasien, pemberian albumin
menggunakan rumus:
51
Berdasarkan rumus diatas, apabila albumin yang diinginkan (D) adalah 3.5
mg/dL dan albumin saat ini (A) adalah 1.19 mg/dL, maka dibutuhkan koreksi
defisit albumin sebanyak 24 mg atau setara dengan 120 cc albumin 20%.
Namun karena keterbatasan, pasien hanya diberikan transfusi albumin 20%
sebanyak 100 cc dilanjutkan ekstrainjeksi furosemid sebanyak 10 mg.
Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi. Pada pasien tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi tetapi penyakit ini merupakan keadaan imunokopromais
sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu
tumbuh kembang pasien. Maka pada pasien diberikan antibiotik berupa
ampisilin 3 x 400 dan gentamisin 2 x 30. Ampisilin merupakan antimikroba
spektrum luas dengan dosis harian untuk anak adalah 10-25 mg/kgBB/dosis
setiap 6 jam pada infeksi biasa. Untuk infeksi yang berat dosisnya adalah 50
mg/kgBB/dosis setip 4 jam. Pada pasien ini dibutuhkan ampisilin 130-325 mg
setiap 6 jam atau 520-1300 mg/hari. Sedangkan gentamisin merupakan
antimikroba bakterisid yang aktif terutama terhadap gram negatif dengan
dosis 2 mg/kgBB setiap 8 jam.
4.3 Saran
Adapun saran yang diperlukan untuk pasien dengan sindrom nefrotik ini
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Penunjang Fungsi Ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal khususnya ureum dan kreatinin yang
merupakan produk sisa metabolisme yang dibuang ginjal diperlukan
untuk menentukan laju filtasi glomerulus dan mengetahui apakah
terdapat kerusakan pada fungsi ginjal. Selain itu, pemeriksaan ini
berguna untuk menentukan tata laksana yang sesuai.
SNKM. Fungsi ginjal sendiri tetap normal pada sebagian besar pasien
pada saat awal penyakit.
Terapi diuretik menggunakan ACE-inhibitor pada pasien dengan
kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat dapat meningkatkan
kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.
2. Pemeriksaan Elektrolit
Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan
hipovolemia dan sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium
dapat meningkat pada pasien oliguria.
DAFTAR PUSTAKA
Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM,
Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins 1999. h.731-47.
Depkes RI, WHO Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta:
Pengurus Pusat IDAI.
Trihono, PP., Alatas, H., Tambunan T., Pardede, SO., 2012. Konsensus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi Kedua. Jakarta:
UKK Nefrologi IDAI
54