Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Oleh
Nida Nabilah Nur
1618012129

Perseptor
dr. Firdinand Nurdin, M.Kes., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD JENDRAL AHMAD YANI
METRO
2017
DAFTAR ISI

SAMPUL
DAFTAR ISI ................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 3
BAB II STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien..................................................................................... 5
2.2 Anamnesis ............................................................................................ 5
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 8
2.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 10
2.5 Diagnosis .............................................................................................. 11
2.6 Tata Laksana ........................................................................................ 11
2.7 Prognosis .............................................................................................. 12
2.8 Follow up ............................................................................................. 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ................................................................................................. 15
3.2 Etiologi ................................................................................................. 15
3.3 Klasifikasi ............................................................................................ 17
3.4 Batasan ................................................................................................. 24
3.5 Patofisiologi ......................................................................................... 24
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 30
3.7 Penegakkan Diagnosis ......................................................................... 32
3.8 Tata Laksana ........................................................................................ 34
3.9 Komplikasi ........................................................................................... 43
2

BAB IV ANALISIS KASUS


4.1 Dasar Diagnois ..................................................................................... 46
4.2 Dasar Tatalaksana ................................................................................ 48
4.3 Saran..................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 53
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan gejala
proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+),
hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).

Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Meskipun sindrom nefrotik dapat menyerang siapa saja
namun penyakit ini banyak ditemukan pada anak- anak usia 1 sampai 5 tahun.
Selain itu kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali lebih
besar dibandingkan anak perempuan. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18
tahun per tahun. Di negara berkembang, insidensinya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.

Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding
dengan angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan
sindrom nefrotik pada anak adalah sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik
4

primer sendiri dapat dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan


histopatologinya. Secara garis besar sebenarnya sindrom nefrotik dapat
dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer, dan
sindrom nefrotik sekunder. Etiologi sindrom nefrotik ini secara garis besar
dapat dibagi 3 yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan
lupus eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.

Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya
sendiri maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada
sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan
penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Pada
umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi sendiri dalam
waktu yang lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan
menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya
infeksi sekunder.

Angka kejadian sindrom nefrotik ini memang tergolong jarang, namun


penyakit ini perlu diwaspadai terutama pada anak-anak, karena jika tidak
segera diatasi akan mengganggu sistem urinaria dan akan menggangu
perkembangan lebih lanjut anak tersebut. Di samping itu masih banyak orang
yang belum mengerti mengenai sindrom nefrotik sehingga kasus ini menarik
untuk dijadikan laporan kasus.
BAB II
IDENTITAS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


No. MR 314714
Tanggal Masuk Senin, 21 Agustus 2017
Nama An. ESS
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 2 tahun 6 bulan
BB/PB 13kg/87cm
Lingkar Kepala 47 cm
Anak ke- 1 dari 0 bersaudara
Status Gizi Gizi Baik
Identitas Ayah Nama Tn. AB
Usia 30 tahun
Pendidikan D1
Pekerjaan Wiraswasta
Identitas Ibu Nama Ny. FK
Usia 25 tahun
Pendidikan SMA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Alamat Trimurjo

2.2 Anamnesis
Informasi didapatkan melalui alloanamnesis orang tua An. ESS pada tanggal
23/08/2017 pukul 15.15 WIB.

Keluhan Utama
Bengkak di seluruh badan.

Keluhan Tambahan
-
6

Riwayat Penyakit Sekarang


Pada bulan April 2017, orangtua pasien mengatakan bahwa An. ESS
mengalami bengkak pada seluruh tubuh. Sebelumnya orang tua pasien tidak
menyadari perubahan tersebut sampai tampak bengkak yang nyata pada mata,
perut, tangan, dan kaki.Selain itu, orang tua pasien mengaku bahwa frekuensi
dan jumlah urin An. ESS berkurang. Pasien kemudian berobat ke Klinik X, di
rawat dengan diagnosis ginjal bocor, dan menjalani pengobatan. Pasien rutin
berobat dan mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan, sampai akhirnya
sekitar dua minggu sebelum masuk RSAY obat yang di konsumsi habis dan
orang tua pasien tidak lanjut berobat karena merasa anaknya sudah sehat.
Pada tiga hari sebelum masuk rumah sakit tepatnya tanggal 18 Agustus 2017,
orang tua pasien memutuskan untuk berobat ke klinik X dan di rawat karena
badan anaknya kembali bengkak. Bengkak pada seluruh tubuh, baik tangan,
kaki, perut, dan mata terutama terlihat di wajah saat bangun tidur. Keluhan
sakit saat berkemih, urin berdarah, dan berbusa disangkal. Pada 21 Agustus
2017, pasien disarankan untuk berobat ke poliklinik RSAY untuk melakukan
pemeriksaan lanjutan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Berdasarkan keterangan orang tua, pasien tidak memiliki penyakit ini
sebelumya. Namun, orang tua mengatakan bahwa pasien sering mengalami
batuk pilek dan sembuh setelah diberi obat. Riwayat sakit kuning disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa sebelumnya.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu.

Riwayat Kehamilan Ibu


Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi : 1 x pada Trimester I;
7

2 x pada Trimester II;


3 x pada Trimester III
Keluhan selama kehamilan : Tidak ada
Obat dan jamu yang dikonsumsi selama hamil : Tablet besi dan Asam folat
Kesan: Tidak terdapat masalah selama kehamilan dan ibu kontrol kehamilan
secara rutin.

Riwayat Persalinan
Tempat Lahir BPS, 19 Februari 2017
Penolong Bidan
Cara Persalinan Normal, pervaginam
Berat Lahir 2.900 gram
Panjang Lahir 47 cm
Masa Gestasi Cukup Bulan
Keadaan Bayi Setelah Lahir Bayi menangis kuat, bergerak aktif, ketuban
jernih.
Kelainan Bawaan Tidak ada.
Kesan: Riwayat persalinan baik.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi 0 1 2 3 4 5 6 9
Hepatitis B 0 1 2 3
BCG 1
Polio 1 2 3 4
DPT 1 2 3
Campak 1
Kesan: Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Nutrisi
0-4 Bulan : ASI Eksklusif
4-6 Bulan : ASI Eksklusif
6-9 Bulan : ASI + MPASI (Makanan Lumat)
9-12 Bulan : ASI + MPASI (Makanan Lunak)
>1 Tahun : ASI + MPASI (Makanan Keluarga)
Kesan : Nutrisi sesuai dengan usia
8

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Status Pasien Ketika Datang
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Suhu : 37 0C
Frekuensi Nadi : 101 x/menit
Frekuensi Napas : 22 x/menit
Tekanan Darah : 90/60 mmHg (tabel terlampir)
SpO2 : 97 %
Berat Badan : 13 kg
Panjang Badan : 87 cm
Lingkar Kepala : 47 cm

2. Status Gizi
Usia : 2 Tahun 6 Bulan
z-score PB/U : -1.36 (Grafik terlampir)
z-score LK/U : -0.67 (Grafik terlampir)
z-score BB/PB : 1.14 (Grafik terlampir)
z-score BB/U : 0.11 (Grafik terlampir)
Kesan : Status gizi baik.

3. Status Generalis
Kelainan Mukosa Kulit/ Subkutan Yang Menyeluruh
Pucat :
Kulit : Turgor baik
Sianosis :-
Ikterus :-
Oedem : + non pitting pada seluruh bagian tubuh
Kesan : Oedem anasark

Kepala
Muka : Simetris, normochepal, oedem (+) teruama kelopak mata
9

Rambut : Hitam, pertumbuhan merata, ubun-ubun normal


Mata : Oedem kelopak mata (+), kornea jernih, pupil isokor,
konjungtiva anemis (-), reflek cahaya (+)
Telinga : Simetris, sekret (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), lidah bersih,faring hiperemis
(-), pembesaran tonsil (-).
Kesan : Pasien tampak oedema.

Leher
Trakea : Deviasi trachea (-), letak normal
KGB : Tidak pembesaran pada KGB leher
Kesan : Dalam batas normal

Thoraks
Paru
Anterior Posterior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Normochest, Normochest, Normochest, Normochest,
pergerakan pergerakan pergerakan pergerakan
dada simetris dada simetris dada simetris dada simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil
dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi
dada dextra = dada dextra = dada dextra = dada dextra =
sinistra sinistra sinistra sinistra
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Suara napas Suara napas Suara napas Suara napas
vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N),
ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-
Kesan : Pemeriksaan paru dalam batas normal

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
10

Palpasi : Systolic thrill tidak teraba


Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : SI/SII reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Pemeriksaan jantung dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Teraba kencang, nyeri (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Redup
Kesan : Abdomen cembung dan redup

Ekstremitas
Superior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-), oedem (+), ikterus (-)
Infrerior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-), oedem (+), ikterus (-)
Kesan : Oedem non pitting

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium Darah
Hasil
No Pemeriksaan Nilai Rujukan
21/08 24/08 24/08
1. Leukosit 6 17.5 ribu/ul 10.4
2. Eritrosit 3.9 - 5.3 juta/ul 6.03
3. Hemoglobin 11.5 15.5 g/dL 14.7
4. Hematokrit 34 40 % 45
5. MCV 75 87 fl 74.7
6. MCH 24 30 pg 24.4
7. MCHC 32 36 g/dL 32.7
8. Trombosit 150 - 450 rb/ul 352
9. RDW 11.5 15 % 15.1
11. GDS < 140 mg/dL 90
12 Kolesterol Total < 200 mg/dL 392*
13 Albumin 3.5 5.2 g/dL 1.19* 1.56 3.12
11

Laboratorium Urin
Hasil
No Pemeriksaan Nilai Rujukan
21/08 24/08
Kuning Kuning
1. Warna
jernih jernih
2. pH 58 6 6.5
3. Berat Jenis 1005 1030 1020 1020
4. Darah Samar Negatif +1* (-)
5. Bilirubin Negatif (-) (-)
6. Urobilinogen 0.1 1 mg% 1 1
7. Keton Negatif (-) (-)
8. Protein Negatif +3* +1
9. Nitrit Negatif (-) (-)
11. Glukosa Negatif (-) (-)
12 Eritrosit < 5 / LPB 5 2
13 Leukosit < 5 / LPB 2 5
14 Silinder Negatif (-) (-)
15 Epitel Positif (+) (+)
16 Kristal Negatif (-) (-)

2.5 Diagnosis
Diagnosis Kerja : Sindrom Nefrotik Relaps
Diagnosis Banding : Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

2.6 Tata Laksana


Non Farmakologi
Tirah baring
Diet protein normal dan rendah garam
Transfusi albumin 20% 100 cc
IVFD D5 NS 5 tpm makro

Farmakologi
Ampicillin 3 x 400 mg iv
Gentamicin 2 x 30 mg iv
Furosemid 2 x 10 mg iv
Spironolakton 3 x 10 mg po
12

Captopril 3 x 6.25 mg po
Prednison 5 mg 3-3-0

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.8 Follow up Harian


Tanggal Follow Up Terapi
Senin, S/ Sudah mulai pengobatan sejak Non Farmakologi:
21/08/2017 bulan april 2017 tetapi badan IVFD D5 NS 5
masih bengkak. tpm
O/ KU: sakit sedang Diit protein normal
Kesadaran: compos mentis dan rendah garam
HR: 100 x/menit, reguler
RR: 24 x/menit Farmakologi:
T: 36.6 0C Ampisilin 3x400 mg
SpO2: 98% iv
BB: 13 kg Gentamisin 2x30 mg
iv
Kepala: Furosemid 2x10 mg
Oedem kelopak mata (+) iv
Spironolakton 3x10
Abdomen: mg po
Cembung, teraba kencang Captopril 3x6.25 mg
Lingkar perut 57 cm po
Prednison 5 mg 3-3-
Ekstremitas:
0 po
Oedem +/+/+/+ non pitting

Proteinuria +4
Kolesterol Total 392 mg/dL
Albumin 1.19 g/dL
A/ Sindrom Nefrotik Relaps
Selasa, S/ Badan masih bengkak Non Farmakologi:
22/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Kesadaran: compos mentis tpm makro
HR: 98 x/menit, reguler Transfusi albumin
RR: 24 x/menit 100 cc
T: 36.7 0C Diit proten normal
SpO2: 99 % dan rendah garam
13

Kepala:
Oedem kelopak mata (+) Farmakologi:
Abdomen: Ampisilin 3x400 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang Gentamisin 2x30mg
Lingkar perut 57 cm iv
Furosemid 2 x 10
Ekstremitas: mg iv
Oedem +/+/+/+ Spironolakton 3 x
A/ Sindrom Nefrotik Relaps 10 mg po
Captopril 3 x 6.25
mg po
Prednison 5 mg 3-3-
0 po
Rabu, S/ Bengkak berkurang Non Farmakologi:
23/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Kesadaran: compos mentis tpm
HR: 96 x/menit, reguler Diit protein normal
RR: 26 x/menit dan rendah garam
T: 36.7 0C
SpO2: 98 % Farmakologi:
Ampisilin 3x400 mg
Kepala: iv
Oedem kelopak mata (+) Gentamisin 2x30 mg
iv
Abdomen: Furosemid 2x10 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang Spironolakton 3x10
Lingkar perut 56 cm mg po
Captopril 3x6.25 mg
Ekstremitas: po
Oedem +/+/+/+ Prednison 5 mg 3-3-0
A/ Sindrom Nefrotik Relaps po
Kamis, S/ Bengkak berkurang Non Farmakologi:
24/08/2017 O/ KU: sakit sedang IVFD D5 NS 5
Pk. 09.30 Kesadaran: compos mentis tpm
HR: 96 x/menit, reguler Transfusi albumin
RR: 26 x/menit 100 cc
T: 36.7 0C Diit protein normal
SpO2: 98 % dan rendah garam

Kepala: Farmakologi:
Oedem kelopak mata (+) Ampisilin 3x400 mg
iv
Abdomen: Gentamisin 2x30 mg
Tampak cembung, teraba iv
kencang
14

Lingkar perut 54 cm Furosemid 2x10 mg


iv
Ekstremitas: Spironolakton 3x10
Oedem +/+/+/+ mg po
Captopril 3x6.25 mg
Proteinuria +1 po
Albumin 1.56 g/dL Prednison 5 mg 3-3-
A/ Sindrom Nefrotik Relaps 0 po
Kamis, S/ Bengkak berkurang Acc pulang
24/08/2017 O/ KU: sakit sedang
Pk. 17.30 Kesadaran: compos mentis
HR: 96 x/menit, reguler
RR: 26 x/menit
T: 36.7 0C
SpO2: 98 %

Albumin 3.12 g/dL


A/ Sindrom Nefrotik Relaps
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak
pada anak. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa. Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan pada
membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran
protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hyperlipidemia, atau dapat dikatakan bahwa sindrom nefrotik adalah
keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

3.2 Etiologi
1. Sindrom nefrotik Kongenital
Penyebab dari sindroma nefrotik kongenital atau genetik adalah:
a. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephri)
b. Denys-Drash syndrome (WT1)
c. Frasier syndrome (WT1)
d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
16

f. Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, -actinin-4; TRPC6)


g. Nail-patella syndrome (LMX1B)
h. Pierson syndrome (LAMB2)
i. Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
j. Galloway-Mowat syndrome
k. Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

2. Sindrom nefritik primer


Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling
sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer
adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer, yaitu:
a. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
b. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
c. Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
e. Nefropati Membranosa (GNM)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa


sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada
anak-anak.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah:
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
17

b. Infeksi: hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute


Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga,
bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus
Sistemik, purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma atau keganasan: tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia,
tumor gastrointestinal.
f. Penyakit perdarahan: Hemolytic Uremic Syndrome

3.3 Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut
berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai
untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.
Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan
pada respon klinik, yaitu :
a. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
b. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Selain klasifikasi di atas, sindrom nefrotik juga dapat dibedakan menjadi:


a. Penyakit Lesi Minimal (MCD)
Minimal change disease merupakan penyebab sindrom nefrotik pada
90% anak usia 10 tahun, dan 10- 15% pada orang dewasa . Kelainan
utama pada MCD adalah adanya defek filtrasi glomerulus terhadap
protein. Dalam kondisi normal, filtrasi protein dilakukan oleh membran
basal glomerulus dan celah diafragma yang memanjang di antara
podosit. Molekul albumin berukuran lebih kecil dari barier dan
merupakan molekul anion sehingga albumin dikeluarkan lewat urin.
18

Patogenesis proteinuria pada MCD masih belum jelas. Bukti penelitian


yang ada menyebutkan bahwa MCD terjadi akibat gangguan pada sel
T10 . Melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dipahami, sel T
mengeluarkan suatu sitokin atau faktor yang menyebabkan lenyapnya
podosit dan proteinuria. Penelitian pada tikus didapati berbagai
kemungkinan factor yang berasal dari sel T yang menyebabkan
penyakit serupa. Faktor tersebut antara lain adanya interleukin-8, tumor
nekrosis faktor, dan faktor permeabilitas lain.

Beberapa penelitian bahwa abnormalitas pada podosit berkontribusi


terhadap kejadian MCD mulai muncul. Sebagai contoh, MCD
berhubungan dengan ekspresi dari CD80 pada podosit, dan CD80 ini
bisa ditemukan pada urin pasien yang menderita MCD. Penelitian
eksperimental memperlihatkan bahwa eksperimental memperlihatkan
bahwa ekspresi CD80 oleh podosit menghasilkan perubahan bentuk
pada glomerulus dan proteinuria.

Manifestasi klinik yang pada MCD biasanya terjadi edema selama


beberapa hari sampai minggu dengan retensi cairan >3% dari berat
badan. Dua pertiga kasus sindrom nefrotik diawali oleh infeksi, paling
sering saluran nafas atas, tetapi penyebab yang signifikan masih belum
diketahui. Distribusi edema bersifat mengikuti gaya gravitasi, tetapi
lebih sering edema terjadi pada wajah terutama di sekeliling mata dan
genital yang menimbulkan ketidaknyamanan terutama pada pria. Gross
edema mungkin dapat mengakibatkan ulserasi dan infeksi pada kulit
yang utuh.

MCD bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik yang timbul perlahan


pada anak yang tampak sehat. Pada anak-anak, mikroskopik hematuria
jarang ditemukan dan tidak ditemukan adanya hipertensi. Fungsi ginjal
pada umumnya normal, tetapi konsentrasi serum kreatinin kadang-
kadang sedikit meningkat pada orang dewasa. Mungkin juga diikuti
19

oleh kejadian hipovolemia, yang harus dihindari terutama saat


pemberian diuretik intensif.

Gambaran patologi MCD dengan menggunakan mikroskop cahaya


glomerulus tampak hampir normal. Sel tubulus kontortus proksimal
dipenuhi oleh lemak, tetapi hal ini disebabkan oleh reabsorbsi
lipoprotein yang lolos. Gambaran di tubulus kontortus proksimal
merupakan dasar penamaan lama untuk penyakit ini yaitu nefrosis
lipoid. Dengan mikroskop elektron, dinding kapiler glomerulus tampak
normal. Satusatunya kelainan glomerulus yang nyata adalah lenyapnya
tonjolan kaki podosit yang uniform dan difus. Oleh karena itu,
sitoplasma podosit tampak melapisi aspek eksterna membran basal
glomerulus, menyebabkan obliterasi jaringan alur antara podosit dan
membran basal glomerulus. Juga terdapat vakuolisasi sel epitel,
pembentukan mikrovilus, dan kadangkadang pengelupasan fokal.
Perubahan pada podosit bersifat reversibel setelah proteinuria reda.

b. Glomerulonephritis Membranosa(MN)
Nefropati Membranosa (MN) merupakan penyakit glomerulus di mana
terdapat penimbunan immunoglobulin G dan komplemennya pada
podosit di lapisan subepitelial dinding kapiler glomerulus. Kebanyakan
kasus muncul dengan penyebab awal yang tidak jelas. Idiopatik MN
(primary) merupakan penyebab utama sindrom nefrotik pada orang tua
usia >60 tahun, orang-orang Kaukasia, dan jarang terjadi pada anak-
anak. Nefropati Membranosa sekunder biasanya disebabkan oleh
penyakit autoimun (Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune
Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B dan C), obat-obatan, dan keganasan
(kanker kolon dan paru). Nefropati Membranosa sekunder banyak
terjadi pada anak-anak terutama yang disebabkan oleh virus hepatitis B
dan Systemic Lupus Eritematosus.
20

Nefropati Membranosa adalah suatu bentuk nefritis imun kronis.


Meskipun kompleks yang terbentuk dari antigen eksogen misal virus
hepatitis B atau endogen misal pada penderita lupus dapat
menyebabkan MN, tetapi kini diperkirakan sebagian besar bentuk
idiopatik diakibatkan oleh adanya antibodi yang bereaksi in situ dengan
antigen glomerulus atau dengan antigen endogen.

Nefropati Membranosa dapat terjadi pada semua umur dan ras, tetapi
MN lebih sering terjadi pada pria daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. MN pada anak-anak lebih sering terjadi karena
adanya suatu infeksi misalnya hepatitis B. 70-80% pasien
bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik, sedangkan sisanya 20- 30%
bermanifestasi sebagai proteinuria asimptomatik subnefrotik (<3,5 g/24
jam).

Dengan mikroskop cahaya, tahap awal dari penyakit ini, kelainan pada
glomerulus dan interstitium masih belum tampak. Pada tahap lanjut
terjadi abnormalitas berupa penebalan difus dinding kapiler disertai
dengan hiperselularitas. Dengan menggunakan mikroskop elektron,
penebalan tersebut sebagian disebabkan oleh endapan di subepitel yang
melekat ke GBM dan dipisahkan satu sama lain oleh tonjolan kecil
mirip duri matriks GBM sering disebut dengan pola spike and dome.
Seiring dengan perjalanan penyakit, duri-duri ini menutupi endapan dan
menggabungkannya ke dalam GBM, serta podosit kehilangan tonjolan
kakinya. Pada tahap lanjut penyakit ini, endapan yang telah menyatu
tersebut mengalami katabolisasi dan akhirnya lenyap, meninggalkan
rongga-rongga di dalam GBM. Rongga ini kemudian terisi oleh
endapan bahan mirip GBM. Pada perkembangan selanjutnya,
glomerulus mengalami sklerosis dan pada akhirnya terjadi hialinisasi
total. Pemeriksaan dengan immunofluoresens memperlihatkan endapan
immunoglobulin dan komplemen granular di sepanjang GBM.
21

c. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (FSGS)


Glomerulosklerosis Fokal Segmental merupakan salah satu tanda dari
kelainan pada glomerulus. Secara histologis ditandai dengan sklerosis
yang mengenai sebagian glomerulus dan melibatkan hanya beberapa
segmen setiap glomerulus. Penyebab dari kelainan ini bervariasi
misalnya mutasi genetik protein podosit, trauma, infeksi virus,
keracunan obat, dan penyebab lainnya. Dari semua penyebab di atas,
trauma langsung pada podosit dianggap sebagai penyebab utama
penyakit ini.

Patogenesis FSGS idiopatik atau primer tidak dapat diketahui. Data


penelitian menyebutkan bahwa FSGS merupakan bentuk agresif dari
MCD (Minimal Change Disease). Penelitian yang lain menyebutkan
bahwa cedera pada sel epitel visera yang kemudian menyebabkan
kerusakan sel tersebut diperkirakan merupakan tanda utama FSGS.
Seperti pada MCD, factor dalam darah yang meningkatkan
permeabilitas diperkirakan berperan aktif dalam pembentukan penyakit.
Hialinosis dan sklerosis mencerminkan terperangkapnya protein dan
lemak plasma di fokus hiperpermeabel dan reaksi sel mesangium
terhadap protein dan endapan fibrin tersebut. IgM dan protein
komplemen yang ditemukan pada lesi diperkirakan terjadi akibat
perembesan nonspesifik dan terperangkapnya zat tersebut dalam
glomerulus yang rusak.

Berbeda dengan kasus MCD, pasien dengan penyakit ini


memperlihatkan insidensi hematuria dan hipertensi yang lebih tinggi,
proteinuria bersifat non-selektif, dan secara umum FSGS berespons
buruk terhadap kortikosteroid. Manifestasi yang paling sering terjadi
pada FSGS idiopatik adalah proteinuria asimptomatik dan bersifat
nonselektif. Pada anak-anak, sekitar 10-30% pasien dengan proteinuria
asimptomatik lebih sering terdeteksi pada pemeriksaan urin rutin.
22

Pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya, pada permulaan


penyakit lesi yang terjadi hanya mengenai sebagian glomerulus
sehingga disebut fokal dan awalnya terjadi hanya pada glomerulus
jukstamedula. Seiring dengan perkembangan penyakit, akhirnya semua
tingkatan korteks terkena. Secara histologi, FSGS ditandai dengan lesi
yang terbentuk di sebagian rumpun di dalam glomerulus dan tidak
terjadi di glomerulus yang lain sehingga disebut segmental. Oleh karena
itu penyakit ini bersifat fokal-segmental. Pada lesi tampak peningkatan
matriks mesangium, membran basal yang kolaps, dan endapan massa
hialin, serta butir-butir lemak pada glomerulus. Pada pemeriksaan
dengan imunofluoresens memperlihatkan endapan immunoglobulin
(IgM) dan komplemen di bagian hialinosis. Pada pemeriksaan
menggunakan mikroskop elektron, sel epitel visera kehilangan tonjolan
kaki, seperti pada MCD, serta terlepasnya epitel dengan derajat yang
lebih parah disertai pengelupasan GBM di bawahnya.

d. Glomerulonephritis Membranoproliferatif (MPGN)


Glomerulonephritis Membranoproliferative atau Mesangiocapillary
glomerulonephritis secara histologis ditandai dengan lesi proliferatif
difus dan pelebaran pada lengkung kapiler sering disertai dengan
doublecountured appearance . Terdapat tiga tipe MPGN, tipe I ditandai
dengan deposit imun pada rongga subendothelial menyebabkan
penebalan dinding kapiler dan pada mesangium. Tipe II juga dikenal
sebagai dense deposit disease (DDD), ditandai dengan deposit yang
terjadi pada sel mesangium dan membran basal glomerulus, tubulus,
dan kapsula Bowman. Tipe III merupakan bentuk variasi Tipe I di mana
deposit elektron lebih banyak terdapat pada subendothelial dan
subepitelial. Penyakit ini dibarengi dengan terjadinya gangguan dan
remodeling pada lamina densa membran basal glomerulus.

Meskipun pathogenesis dari penyakit ini masih tumpang tindih, MPGN


tipe I dan II memeliki pathogenesis yang berbeda. Sebagian besar kasus
23

MPGN tipe I disebabkan oleh adanya komplek imun dalam darah,


sebagai contoh ketika host tidak dapat mengeliminasi antigen asing
yang masuk ke dalam tubuh secara efektif. MPGN tipe I berhubungan
erat denga kejadian crioglobulinemia dan infeksi virus hepatitis C6 .
MPGN tipe I juga berkaitan dengan antigen pada infeksi baik virus
(hepatitis C dan B), bakteri (endokarditis) dan infeksi malaria. MPGN
tipe I merupakan hasil dari deposisi kompleks imun pada glomerulus
untuk membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun tersebut
terletak pada mesangium dan subendothel dinding kapiler. Patogenesis
MPGN tipe II belum diketahui secara pasti. Pada anakanak dan dewasa
umur < 30 tahun dengan MPGN tipe II sering berhubungan dengan
adanya faktor nefritik C3(C3NeF) yang dapat mengaktifkan jalur
komplemen alternatif. Faktor nefritik ini adalah suatu immunoglobulin
yang bereaksi dengan C3 konvertase jalur komplemen alternatif dan
berfungsi menstabilkannya. Oleh karena itu, C3NeF adalah suatu
antibodi dan seperti pada penyakit autoimun lainnya terdapat
predisposisi genetik untuk timbulnya MPGN.

Pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya, kedua tipe serupa.


Glomerulus besar dan memperlihatkan proliferasi sel-sel mesangium
serta terdapat sebukan leukosit. Glomerulus tampak lobuler, membran
basal glomerulus menebal dan dinding kapiler glomerulus sering
memperlihatkan kontur ganda. Apabila menggunakan pemeriksaan
imunofluoresensi kedua tipe memperlihatkan gambaran yang berbeda.
MPGN tipe I ditandai dengan endapan elektron di subendotel. Pada
pemeriksaan imunofluoresens terdapat endapan C3 dalam pola granular
dan juga sering terdapat endapan IgG dan komponen-komponen awal
komplemen (C1q dan C4). MPGN tipe II, lamina densa dan ruang
subendotel membrane basal glomerulus mengalami transformasi
menjadi struktur ireguler mirip pita yang sangat electron-dense. C3
terdapat dalam fokus granule-linier ireguler di membrane basal dan
24

mesangium dalam agregat sirkular khas. IgG biasanya tidak ditemukan,


demikian juga komponen awal komplemen.

3.4 Batasan
a. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m 2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
b. Relaps
Apabila proteinuri 2+ (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut relaps.
c. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
d. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
e. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
f. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau 4 kali dalam 1 tahun.
g. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan
terjadi 2 kali berturut-turut.

3.5 Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki
25

podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting


podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan
kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh
bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit
(podocin, -actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS). Sindrom nefrotik resisten steroid
dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta
komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan
termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.

Gambar 1. Patofisiologi sindrom nefrotik secara umum

a. Proteinuria
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya sebagian
kecil dari sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis
26

glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus


terhadap protein plasma dan albumin. Derajat proteinuria tidak
berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase
protein plasma yang lebih besar dari 70kD melalui membrana basalis
glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier ( suatu
polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.

b. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien
sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar
albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, produksi albumin
di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang
diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme
secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme
pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan
manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan
peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis
albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian
pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan
bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan
normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak
adekuat.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid


plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha
27

kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan


intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang


memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan
akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi
berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal
dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan
kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan
fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru
yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan
air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron
rendah sebagai akibat hipervolemia.

c. Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada
pasien-pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan
dan muncul di tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada
pagi hari yang menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas. Edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial.
28

Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan


albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagai akibatnya, volume cairan intravaskular berkurang sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal. Ginjal akan melakukan
kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan
peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron
yang menyebabkan retensi natrium dan air dan terjadinya edema. Pada
tingkat yang lebih parah, edema dapat menyebabkan berbagai gejala
yang berhubungan dengan asites, efusi pleura, dan edema scrotal atau
vulva.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya edema

d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan temuan yang sering dijumpai pada pasien
dengan proteinuria berat dan dianggap sebagai tanda klinis pada
sindrom nefrotik. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena
hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar
29

albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan


pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang
meninggi (kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen
lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol,
Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin
<1gr/100 mL, sedangkan HDL dapat meningkat, normal atau menurun.
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin
sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel
hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah
menjadi LDL pleh lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim
ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam
lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini
disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai
akibat keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini
tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga
akibat gangguan katabolisme fosfolipid. . Mekanisme hiperlipidemia
pada sindrom nefrotik dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 3. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik


30

3.6 Manifestasi Klinis


Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah:
a. Edema, yaitu manifestasi klinis yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal
edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah
(misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai


edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat
lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita
dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.
Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan
pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.

Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe


kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, edema biasanya terbatas pada
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah
periorbita, skrotum, labia. Edema bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-
anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan
kompensasi berupa tachypnea. Akibat edema kulit, anak tampak lebih
pucat.
b. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang
disebabkan edema mukosa usus. Nafsu makan menurun karena edema.
Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.
31

c. Hepatomegali yang disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau


edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-
kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.
d. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.
e. Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen baik
disertai efusi pleura ataupun tidak. Gangguan pernafasan ini bahkan
kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan diuretik.
f. Gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik
umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun
juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan
yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial
anak menjadi terganggu.
g. Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC)
menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan
diastolik lebih dari 90th persentil umur.

Tanda sindrom nefrotik yaitu:


a. Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram
per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar
dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.
b. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum
< 2.5 g/dL.
c. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar
kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL
32

menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
d. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,
namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe
sindrom nefrotik.
e. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang
bukan SNKM. Fungsi ginjal sendiri tetap normal pada sebagian besar
pasien pada saat awal penyakit.
f. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat
sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering
pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal
dengan ekogenisitas yang normal. Sebenarnya tidak perlu dilakukan
pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik.

3.7 Penegakkan Diagnosis


a. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata,perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin
yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
c. Pemeriksaan penunjang
Urinalisis
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick dengan hasil
+3 atau +4. Pemeriksaan kuantitatif menunjukan hasil dengan
batasan 1-10g/hari. Proteinuria pada SN didefinisikan >50mg/kg/hari
33

atau >40mg/m2 LPB/jam. Jumlah protein yang diekskresikan dalam


urin tidak mencerminkan kuantitas protein yang melewati glomerular
basement membrane (GBM) karena sejumlah tertentu telah
direabsorbsi di tubulus proksimal. Biasanya pada SN resisten
terhadap steroid (SNRS), urin tidak hanya mengandung albumin tapi
juga protein lain dengan berat molekul yang lebih tinggi. Hal ini
dilihat pada polyacrylamide gel electrophoresis dan dihitung dengan
alat indeks selektivitas.
Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
- Albumin: Protein serum biasanya menurun dan lipid serum
dapat meningkat. Proteinemia <50g/L terjadi pada 80% pasien
dan <40g/L pada 40% pasien. Konsentrasi albumin menurun
<20g/L hingga 10g/L.
- Kolestrol serum: Hiperlipidemia akibat dari peningkatan
sintesis kolestrol, trigliserida dan lipoprotein, menurunnya
katabolisme lipoprotein karena menurunnya akitivitas lipase
lipoprotein.
- Elektrolit serum: Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan
dilusi yang disebabkan hipovolemia dan sekresi hormon
antidiuretik yang terganggu. Kalium dapat meningkat pada
pasien oliguria.
- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin: Kadar blood urea
nitrogen dapat normal atau sedikit meningkat, anemia dengan
mikrositosis bias terjadi dan berhubungan dengan kehilangan
siderophilin melalui urin.
34

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan


rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk
memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG):
eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
K : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7)

- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

3.8 Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan pemeriksaan


berikut: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
1. Pengukuran tekanan darah
2. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit
3. Sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schonlein. Mencari fokus infeksi digigi-geligi, telinga, ataupun
kecacingan.
4. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan
profilaksis
35

5. INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan


tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat


edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak
boleh sekolah.

a. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

b. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium
dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya


terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL),
dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-
4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri
36

dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak


mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan
dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

Gambar 4. Algoritma pemberian diuretik

c. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus
dan varisela.

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila


ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
37

a. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.

Gambar 5. Pengobatan inisial kortikosteroid

b. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada gambar di bawah, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
38

Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

c. Pengobatan sering relaps atau depandan steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi
terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi digigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison
0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5


mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan
prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan
39

menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian


diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang
sebelumnya atau relaps yang terakhir.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
Efek samping steroid yang berat
Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
thrombosis, dan sepsis diberikan siklosfosfamid (CPA)
dengan dosis 2-3mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari,selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah,hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.

3. Sitotastika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
40

durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA


adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3
mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada
SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.

Gambar 7. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA Oral

Gambar 8. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid


41

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan
dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian
steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan
penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF
adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

d. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau
kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral
maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis
2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis
500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan).
42

e. Pengobatan SN Resisten Steroid


1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami
remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba
pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat
menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi
dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin

2. Siklosporin (CyA)
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan
lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu
pemantauan terhadap Kadar CyA dalam darah: dipertahankan
antara 150-250 nanogram/mL, kadar kreatinin darah berkala, dan
bopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten
steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga
obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
43

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada
SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil.
Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak
dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi
di Indonesia.

3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik antara lain:
a. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
ghemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam
urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan
antiplasmin.
- Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2 dan meningkatnya sintesis protein prokoagulan
karena tertekannya fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin
dan agregasi trombosit.

b. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,


staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit
perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya
tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.

c. Gangguan tubulus renalis


Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
44

berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle.Gangguan


pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH
urin sesudah pemberian beban asam.

d. Gagal ginjal akut.


Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang,
tetapi karena edema interstisial yang menyebabkan peningkatan tekanan
tubulus proksimalis dan penurunan LFG.

e. Anemia
Anemia biasanya tipe hipokrom mikrositik akibat defisiensi Fe yang
tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe. Hal ini
disebabkan oleh protein pengangkut Fe, yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.

f. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptococcus pneumoniae, E.coli.

g. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral


Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom
nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria.

h. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat


menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan
menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang
kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi
kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses
lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia,
45

hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT


menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D
namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.
BAB IV
ANALISIS KASUS

4.1 Dasar Diagnosis


Pada anamnesis dengan orang tua pasien, diketahui bahwa pasien mengalami
bengkak pada seluruh tubuh baik tangan, kaki, perut, dan kelopak mata sejak
3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pada bulan April 2017, pasien
mengalami hal serupa dan dirawat dengan diagnosis ginjal bocor dan
menjalani pengobatan sampai akhirnya pasien berhenti minum obat sekitar 2
minggu SMRS karena orang tua merasa anaknya sudah sehat. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan oedema pada kelopak mata, dan seluruh
ekstremitas yang ersifat non pittng. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
perut tampak cembung, teraba kencang dengan perkusi yang redup.

Manifestasi klinik utama pada sindrom nefrotik adalah oedem, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal edema sering
bersifat intermiten, biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (daerah periorbita dan pretibia).
Hal ini sesuai dengan gambaran yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

Edema merupakan keluhan yang paling penting dan terdapat kira-kira 95%
penderita Sindrom Nefrotik, tidak tergantung pada jenis kelainan
histopatologinya. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk . Edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata. Sifat edema seringkali kurang nyata pada awal perjalanan
47

penyakit, dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat
menghilang dan timbul kembali. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau
anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Namun, lambat laun edema menjadi menyeluruh,
yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah. Sebelum mencapai keadaan ini
orangtua sering mengeluh berat badan tidak naik, namun kemudian mendadak
berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu
makan yang meningkat. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan
lebih jelas di kelopak mata dan muka saat bangun tidur, sedangkan pada
tungkai tampak selama dalam posisi berdiri, di sekitar pergelangan kaki pada
sore hari. Edema dapat berlanjut menjadi asites, efusi pleura, edema di
skrotum/vulva, edema bersifat umum yang disebut anasarka dan bersifat
pitting. Pada os edema bersifat non pitting.

Tekanan darah pada umumnya normal atau rendah, namun dapat meningkat
pada 15-20% penderita. Pada pasien didapatkan peningkatan tekanan darah,
yaitu 90/60 (normal). Tekanan darah yang meningkat terutama terdapat pada
penderita SN sebagai akibat sekresi renin, aldosteron, dan hormon vasoaktif
lain, yang berlebihan. Hipertensi anak lebih sering terdapat pada SN bukan
kelainan minimal, etiologi hipertensi pada SN diperkirakan multifaktorial.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan komponen darah dalam batas normal.


Pada pemeriksaan kimia darah ditemukan kadar albumin 1,19 g/dL yang
normalnya adalah 3.5-5.2 g/dL. Pasien dikatakan hipoalbuminemia apabila
kadar albumin dalam darah kurang dari 2,5 mg/dL, oleh karena itu pasien ini
mengalami hipoalbuminemia. Selain itu, dari pemeriksaan kimia darah juga
ditemukan bahwa pasien mengalami hiperkolesterolemia (kadar kolesterol
>200 mg/dL) karena di dapatkan kadar kolesterol total 392 mg/dL. Akhir-
akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya
kolesterol saja yang meningkat namun beberapa konstituen lemak meninggi
dalam darah. Konstituen lemak itu adalah: kolesterol, LDL, VLDL dan
Trigliserida. Hiperkolesterolemia ini sendiri terjadi akibat adanya
48

hipoalbuminemia yang kemudian akan menyebabkan sel-sel hepar terpacu


untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis
albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal
VLDL akan diubah oleh lipoprotein lipase menjadi LDL. Tetapi pada SN,
aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya
kadar asam lemak bebas. Disamping menurunnya aktifitas lipoprotein lipase
ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai
akibat keluarnya protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak
hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan
katabolisme fosfolipid. Biasanya kadar kolestrol total, LDL, VLDL
meningkat, sedang kadar HDL normal.

Pada pemeriksaan urin, dapat menunjukkan terjadinya proteinuria masif,


yaitu lebih dari 40 mg/m/jam, atau rasio protein dan kreatinin lebih dari 2 mg
per mg dalam urin sewaktu, atau dengan dipstik lebih dari +2. Pada pasien
didapatkan proteinuria +3. Selain itu, pada pemeriksaan sedimen urine,
diketahui bahwa terdapat eritrosit sebanyak 5/LPB, sedangkan normalnya
<5/LPB. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom
nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai
tipe sindrom nefrotik.

4.2 Dasar Tata Laksana


Pasien datang ke RSAY pada tanggal 21 Agustus 2017 dengan keluhan utama
bengkak seluruh tubuh. Hal ini merupakan kali kedua pasien di rawat setelah
sebelumnya pasien di rawat di Klinik X pada bulan April 2017 dengan
keluhan yang sama.

Pada kasus sindrom nefrotik, tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak
boleh sekolah. Namun dalam kasus ini, os perlu beristirahat sampai edema
berkurang (pembatasan aktivitas). Pembatasan asupan cairan terutama pada
penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. Terapi cairan yang
49

diberikan sendiri merupakan cairan rumatan. Pada pasien dengan berat badan
13 kg, kebutuhan cairan perhari adalah 1150 ml menggunakan rumus Holiday
Segar. Pada kasus ini, pasien masih dapat makan dan minum dengan baik
sehingga hanya mendapat cairan maintenance melalui intravena berupa D5
NS 5 tpm atau setara dengan 500 cc.

Pada pasien juga dilakukan diit protein normal dan rendah garam meskipun
kadar albumin dalam darah rendah. Hal tersebut dikarenakan pemberian diit
tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Selain itu, diit yang
sebaiknya dilakukan adalah redah lemak dan tingi kalori mengingat bahwa
pasien mengalami hiperlipidemia. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema atau jika anak hipertensi, sehingga
perlu untuk menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan
menghindari makanan yang diasinkan.

Selain terapi suportif, terapi lain yang diberikan adalah terapi farmakologi.
Berdasarkan teori, obat yang diberikan untuk sindrom nefrotik yang kambuh
<2 kali dalam masa 6 bulan atau <4 kali dalam masa 12 bulan adalah:
Induksi : Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kg BB/hari
(maksimal 80 mg/hari), diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 4 minggu.
Dosis alternating: Setelah 4 minggu, dilanjutkan dengan prednison 40
mg/m2/hari dosis tunggal, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal setiap pagi selama 4-8 minggu. Bila remisi terjadi pada 4
minggu pertama pengobatan dengan steroid, maka pengobatan
alternating diberikan selama 4 minggu (total pengobatan 8 minggu).
Namun, bila remisi baru terjad pada 4 minggu kedua, maka
pengobatan alternating dilteruskan sampai 8 minggu (total
pengobatan 12 minggu). Bila setelah 8 minggu pengobatan steroid
belum terjadi remisi, maka disebut sebagai steroid resisten.
50

Pada pasien diberikan prednison 5 mg 3-3-0-0 yang berarti 30 mg/hari. Berat


badan pasien 13 kg dan tinggi badan 87 cm sehingga BSA nya adalah 0.5 m 2.
Prednison diberikan 2 mg/kg BB/hari; atau bila menggunakan BSA 60mg/m 2
LPB/hari. 60 x 0,5 = 30 mg. Sehingga dapat dikatakan bahwa terapi sesuai.

() (
Perhitungan BSA : 3600

Terapi lain yaitu diuretik sesuai indikasi. Pemberian ACE-inhibitors misalnya


enapril, captopril, atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein
dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada
penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat
tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan
bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien diberikan
Furosemid 2 x 10 mg, spironolacton 3 x 10 mg, captopril 3 x 6,25 mg. Dosis
furosemid 1-2 mg/kgbb/hari dan dibutuhkan 13-26 mg/kgbb/hari pada pasien.
Sprinoloacton memiliki dosis 2-3 mg/kgBB/hari dan pada pasien dibutuhkan
26-39 mg/hari. Sedangkan dosis captopril adalah 0,3 mg/kgBB/hari dengan
maximal dosis 6 mg/kgBB/hari dibagi ke dalam 2-3 dosis. Dosis captopril
pada pasien dibutuhkan 3,9 mg/hari dengan dosis maksimal 78 mg/hari.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron, diueretik hemat kalium. Dan
pemberian captopril dilakukan mengingat bahwa efek samping dari
pemberian prednison adalah hipertensi.

Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema
refrakter, syok, atau kadar albumin 1 gram/dl. Selain itu, dosis pemberian
albumin juga dapat dilihat dari kadar albumin dalam serum, yaitu jika kadar
albumin serum 1-2 g/dL; diberikan 0,5 g/kgBB/hari dan jika kadar albumin
<1g/dL diberikan 1g/kgBB/hari. Pada pasien, pemberian albumin
menggunakan rumus:
51

Berdasarkan rumus diatas, apabila albumin yang diinginkan (D) adalah 3.5
mg/dL dan albumin saat ini (A) adalah 1.19 mg/dL, maka dibutuhkan koreksi
defisit albumin sebanyak 24 mg atau setara dengan 120 cc albumin 20%.
Namun karena keterbatasan, pasien hanya diberikan transfusi albumin 20%
sebanyak 100 cc dilanjutkan ekstrainjeksi furosemid sebanyak 10 mg.

Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi. Pada pasien tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi tetapi penyakit ini merupakan keadaan imunokopromais
sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu
tumbuh kembang pasien. Maka pada pasien diberikan antibiotik berupa
ampisilin 3 x 400 dan gentamisin 2 x 30. Ampisilin merupakan antimikroba
spektrum luas dengan dosis harian untuk anak adalah 10-25 mg/kgBB/dosis
setiap 6 jam pada infeksi biasa. Untuk infeksi yang berat dosisnya adalah 50
mg/kgBB/dosis setip 4 jam. Pada pasien ini dibutuhkan ampisilin 130-325 mg
setiap 6 jam atau 520-1300 mg/hari. Sedangkan gentamisin merupakan
antimikroba bakterisid yang aktif terutama terhadap gram negatif dengan
dosis 2 mg/kgBB setiap 8 jam.

4.3 Saran
Adapun saran yang diperlukan untuk pasien dengan sindrom nefrotik ini
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Penunjang Fungsi Ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal khususnya ureum dan kreatinin yang
merupakan produk sisa metabolisme yang dibuang ginjal diperlukan
untuk menentukan laju filtasi glomerulus dan mengetahui apakah
terdapat kerusakan pada fungsi ginjal. Selain itu, pemeriksaan ini
berguna untuk menentukan tata laksana yang sesuai.

Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum


biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
52

SNKM. Fungsi ginjal sendiri tetap normal pada sebagian besar pasien
pada saat awal penyakit.
Terapi diuretik menggunakan ACE-inhibitor pada pasien dengan
kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat dapat meningkatkan
kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.

2. Pemeriksaan Elektrolit
Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan
hipovolemia dan sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium
dapat meningkat pada pasien oliguria.
DAFTAR PUSTAKA

Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam:


Chiu MC, Yap HK, penyunting. Practical paediatric nephrology. An
update of current practices. Hongkong; Medcom Limited;2005. h.109-15.

Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM,
Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins 1999. h.731-47.

Depkes RI, WHO Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia

Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet 2003;362:629-


39.

Ghishan RE. 2007. Nephrotic Syndrome. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th


Edition. WB Saunders, Philadelphia.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta:
Pengurus Pusat IDAI.

ISKDC. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients


with minimal change nephrotic syndrome from initial response to
prednisone. JPediatr 1981;98:561-4.

ISKDC. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from


clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis. Kidney Int
1978;13:159-65.

Trihono, PP., Alatas, H., Tambunan T., Pardede, SO., 2012. Konsensus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi Kedua. Jakarta:
UKK Nefrologi IDAI
54

Trompeter RS. Steroid resistant nephrotic syndrome. Dalam: Postlethwaite RJ,


penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi kedua. Oxford:
Butterworth-Heinemann,1994. h. 226-34.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. TEKANAN DARAH BERDASARKAN PERSENTIL
TINGGI BADAN/USIA PADA PEREMPUAN 2-20 TAHUN
LAMPIRAN 2. GRAFIK STATUS GIZI

z-score PB/U : -1.36

z-score LK/U : -0.67


z-score BB/PB : 1.14

z-score BB/U : 0.11

Anda mungkin juga menyukai