SINDROM NEFROTIK
Oleh
Fedelis Dani Purnawan
Mulyadita Paramitha
Nida Nabilah Nur
Romanna Julia D.S.
Perseptor
dr. Diah Astika Rini, Sp.A
SAMPUL
DAFTAR ISI ................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ................................................................................................. 4
3.2 Etiologi ................................................................................................. 4
3.3 Klasifikasi ............................................................................................ 6
3.4 Batasan ................................................................................................. 13
3.5 Patofisiologi ......................................................................................... 13
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 19
3.7 Penegakkan Diagnosis ......................................................................... 21
3.8 Tata Laksana ........................................................................................ 23
3.9 Komplikasi ........................................................................................... 33
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan gejala
proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+),
hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Meskipun sindrom nefrotik dapat menyerang siapa saja
namun penyakit ini banyak ditemukan pada anak- anak usia 1 sampai 5 tahun.
Selain itu kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali lebih
besar dibandingkan anak perempuan. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18
tahun per tahun. Di negara berkembang, insidensinya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding
dengan angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan
sindrom nefrotik pada anak adalah sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik
3
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya
sendiri maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada
sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan
penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Pada
umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi sendiri dalam
waktu yang lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan
menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya
infeksi sekunder.
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak
pada anak. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa. Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan pada
membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran
protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hyperlipidemia, atau dapat dikatakan bahwa sindrom nefrotik adalah
keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
2.2 Etiologi
1. Sindrom nefrotik Kongenital
Penyebab dari sindroma nefrotik kongenital atau genetik adalah:
a. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephri)
b. Denys-Drash syndrome (WT1)
c. Frasier syndrome (WT1)
d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
5
2.3 Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut
berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai
untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.
Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan
pada respon klinik, yaitu :
a. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
b. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
b. Glomerulonephritis Membranosa(MN)
Nefropati Membranosa (MN) merupakan penyakit glomerulus di mana
terdapat penimbunan immunoglobulin G dan komplemennya pada
podosit di lapisan subepitelial dinding kapiler glomerulus. Kebanyakan
kasus muncul dengan penyebab awal yang tidak jelas. Idiopatik MN
(primary) merupakan penyebab utama sindrom nefrotik pada orang tua
usia >60 tahun, orang-orang Kaukasia, dan jarang terjadi pada anak-
anak. Nefropati Membranosa sekunder biasanya disebabkan oleh
penyakit autoimun (Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune
Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B dan C), obat-obatan, dan keganasan
(kanker kolon dan paru). Nefropati Membranosa sekunder banyak
terjadi pada anak-anak terutama yang disebabkan oleh virus hepatitis B
dan Systemic Lupus Eritematosus.
9
Nefropati Membranosa dapat terjadi pada semua umur dan ras, tetapi
MN lebih sering terjadi pada pria daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. MN pada anak-anak lebih sering terjadi karena
adanya suatu infeksi misalnya hepatitis B. 70-80% pasien
bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik, sedangkan sisanya 20- 30%
bermanifestasi sebagai proteinuria asimptomatik subnefrotik (<3,5 g/24
jam).
Dengan mikroskop cahaya, tahap awal dari penyakit ini, kelainan pada
glomerulus dan interstitium masih belum tampak. Pada tahap lanjut
terjadi abnormalitas berupa penebalan difus dinding kapiler disertai
dengan hiperselularitas. Dengan menggunakan mikroskop elektron,
penebalan tersebut sebagian disebabkan oleh endapan di subepitel yang
melekat ke GBM dan dipisahkan satu sama lain oleh tonjolan kecil
mirip duri matriks GBM sering disebut dengan pola spike and dome.
Seiring dengan perjalanan penyakit, duri-duri ini menutupi endapan dan
menggabungkannya ke dalam GBM, serta podosit kehilangan tonjolan
kakinya. Pada tahap lanjut penyakit ini, endapan yang telah menyatu
tersebut mengalami katabolisasi dan akhirnya lenyap, meninggalkan
rongga-rongga di dalam GBM. Rongga ini kemudian terisi oleh
endapan bahan mirip GBM. Pada perkembangan selanjutnya,
glomerulus mengalami sklerosis dan pada akhirnya terjadi hialinisasi
total. Pemeriksaan dengan immunofluoresens memperlihatkan endapan
immunoglobulin dan komplemen granular di sepanjang GBM.
10
2.4 Batasan
a. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m 2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
b. Relaps
Apabila proteinuri 2+ (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut relaps.
c. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
d. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
e. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
f. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau 4 kali dalam 1 tahun.
g. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan
terjadi 2 kali berturut-turut.
2.5 Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki
14
a. Proteinuria
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya sebagian
kecil dari sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis
15
b. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien
sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar
albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, produksi albumin
di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang
diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme
secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme
pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan
manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan
peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis
albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian
pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan
bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan
normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak
adekuat.
c. Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada
pasien-pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan
dan muncul di tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada
pagi hari yang menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas. Edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial.
17
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan temuan yang sering dijumpai pada pasien
dengan proteinuria berat dan dianggap sebagai tanda klinis pada
sindrom nefrotik. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena
hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar
18
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
d. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,
namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe
sindrom nefrotik.
e. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang
bukan SNKM. Fungsi ginjal sendiri tetap normal pada sebagian besar
pasien pada saat awal penyakit.
f. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat
sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering
pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal
dengan ekogenisitas yang normal. Sebenarnya tidak perlu dilakukan
pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik.
- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
2.8 Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.
a. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
b. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium
dan natrium darah.
c. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus
dan varisela.
a. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.
b. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada gambar di bawah, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
27
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi digigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison
0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
Efek samping steroid yang berat
Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
thrombosis, dan sepsis diberikan siklosfosfamid (CPA)
dengan dosis 2-3mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari,selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah,hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
3. Sitotastika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
29
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3
mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada
SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan
dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian
steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan
penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF
adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
2. Siklosporin (CyA)
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan
lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu
pemantauan terhadap Kadar CyA dalam darah: dipertahankan
antara 150-250 nanogram/mL, kadar kreatinin darah berkala, dan
bopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten
steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga
obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
32
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan
ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini
yang bisa digunakan adalah:
Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari,
enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/
kgbb dosis tunggal
Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik antara lain:
a. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
ghemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam
urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan
antiplasmin.
- Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2 dan meningkatnya sintesis protein prokoagulan
karena tertekannya fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin
dan agregasi trombosit.
b. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang
terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
34
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.
e. Anemia
Anemia biasanya tipe hipokrom mikrositik akibat defisiensi Fe yang
tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe. Hal ini
disebabkan oleh protein pengangkut Fe, yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.
35
h. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali
dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap
tahun sekali.
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari bahasan mengenai sindrm
nefrotik adalah:
1. Sindrom nefrotik merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan
gejala proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari,
atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg, atau
dipstick 2+), hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, dan
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
2. Sindrom nefrotik dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan
etiologinya, yaitu kongenital, primer, dan sekunder.
3. Berdasarkan respon terhadap steroid, sindrom nefrotik dibagi menjadi
sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten
steroid (SNRS)
4. Sindrom nefrotik dikatakan remisi apabila proteinuria negatif
(proteinuria < 4 mg/m 2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam satu
minggu.
5. Sindrom nefrotik dikatakan relaps apabila proteinuria 2+ (>40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.
6. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) adalah sindrom nefrotik yang
apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.
38
Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM,
Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins 1999. h.731-47.
Depkes RI, WHO Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta:
Pengurus Pusat IDAI.
Trihono, PP., Alatas, H., Tambunan T., Pardede, SO., 2012. Konsensus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi Kedua. Jakarta:
UKK Nefrologi IDAI
40