Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PRESENTASE KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama
No. RM
Tanggal masuk
Perawatan Bagian
1.1

Anamnesis
Keluhan Utama

: Tn. P
: 65 tahun
: Laki - laki
: Tidak bekerja
: Sangkropi Sadan
: Kristen
: 682356
: 02 Oktober 2014
: Gedung Infection Center, Lantai 2

: Sesak Nafas

Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 2 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit.Sesak dirasakan terus-

menerus tidak diperngaruhi oleh perubahan posisi dan aktivitas, pasien lebih senang dengan
posisi duduk untuk mengurangi sesaknya. Riwayat sering terbangun tengah malam karena
sesaknya disangkal, riwayat batuk ada dialami sejak 2 bulan yang lalu disertai lendir warna
putih, darah tidak ada, nyeri dada (-), penurunan berat badan (-), demam dialami kadang-kadang,
mulai demam jika batuknya memberat, keringat malam (-), mual dan muntah ada terutama bila
pasien tidak makan atau telat makan karena sesak dan batuk yang mengganggu. Nyeri ulu hati
(-),BAB (biasa), BAK (kuning lancar).
Riwayat Penyakit Sebelumnya :
- Riwayat OAT (-)
- Riwayat kontak penderita TB (-)
- Riwayat merokok (+) 1 bungkus per hari ketika masih muda
- Riwayat didiagnosis efusi pleura saat pertama kali masuk UGD RS Wahidin
Sudirohusodo. Pasien diberikan penanganan berupa punksi pleura sebanyak 3 kali.
1

Pada tanggal 04 September, pasien mendapatkan pemasangan WSD (Water Sealing


Drainage).
Pemeriksaan fisis

I.2

-Keadaan Umum

: Sakit sedang

-Kesadaran

: Kompos Mentis (E4M6V5) GCS 15

-Tanda vital
-

Tekanan Darah : 120/80 mmhg

Nadi

: 92/kali/menit

- Suhu
- Pernapasan
Status Generalis :
Mata

: 36,7C
: 28/kali/menit

Kelopak mata

: edema (-)

Konjungtiva

: anemis (+)

Sklera

: ikterus (-)

Kornea
Pupil

: jernih
: bulat, isokor

Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
THT

: pucat (-), kering (-)


: kotor (-), hiperemis (-), kandidiasis oral (-)
: T1 - T1, hiperemis (-)
: hiperemis (-)
:odinofagi (-)
disfagi (-)
disfoni (-)
odinofoni (-)
otore (-)
otalgia (-)
tinnitus (-)
gangguan pendengaran (-)
2

Leher
Massa Tumor
Nyeri Tekan
DVS
KGB
Thoraks
- Inspeksi

: (-)
: (-)
: R-2 cm H2O
: tidak ada pembesaran

Bentuk

: simetris kiri dan kanan

Massa Tumor

: (-)

Palpasi
Nyeri tekan

: (-)

Vocal Fremitus

: (-)

Perkusi:
Paru kiri

: Sonor

Paru kanan

: Hipersonor

Auskultasi
:
Bunyi pernapasan

: menurun paru kanan bagian basal

Bunyitambahan

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Perut
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Hepar
Limpa
Ginjal
Perkusi

: Rh -/-,Wh -/: ictus cordis tidak tampak


: ictus cordis tidak teraba
: pekak
: bunyi jantung I/II murni regular,
bising (-)
: datar, ikut gerak napas
: peristaltik (+)
: nyeri tekan (-)
: tidak teraba
: tidak teraba.
: tidak teraba
: timpani (-) Ascites (-)

Ekstremitas
3

Akral dingin
Edem
Deformitas
Tanda perdarahan
Disabilitas
Nyeri lutut

: -/: -/: -/: -/: -/: -/-

I.3 Laboratorium
A.Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Rujukan

WBC

11,46 x 103Ul

4 - 10 x 103/uL

RBC

4,36x106g/dl

46 x 106g/dl

HGB

12,7 g/Dl

14 - 18 g/Dl

HCT

38,2%

40 54%

Ureum

34 mg/dl

10-50 mg/dl

Kreatinin

0,70 mg/dl

<1,3 mg/dl

Albumin

3,0 gr/dl

3,5 5,0 gr/dl

SGOT

18

<38 U/L

SGPT

19

<41 U/L

Kesan : Hipoalbuminemia

1.4 Radiologi

Gambar 1. Foto thorax posisi PA

Foto Thorax PA

Chest tube terasang pada hemithorax dextra dengan tip setinggi intercosta space VII kanan

belakang
Tampak gambaran perselubungan homogen dengan gambaran hiperluscen avaskuler di
atasnya pada hemithorax kanan yang membentuk air fluid level setinggi intercosta space II

kanan depan yang menutupi sinus diafragma dan batas jantung kanan
Cor : CTI sulit dinilai, aorta sulit dinilai.
Sinus dan diafragma kiri baik
Tulang-tulang intak

Kesan: Hydropneumothorax dextra


1.5 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang diagnosis kasus ini adalah
Hydropneumothorax dextra et causa suspek malignancy on WSD + Hipoalbuminemia

1.6 Terapi
-

Diet rendah tinggi kalori, tinggi protein


Oksigen 2 liter per menit bila perlu
Infus asering 28 tetes per menit
5

Methilprednisolon 125 mg/24 jam/intravena


VIP Albumin sachet/ 24 jam/oral

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Paru-Paru dan Pleura
Paru merupakan salah satu pasangan organ respirasi, satu pada kanan dan lainnya pada
toraks kiri, yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh jantung dan struktur mediastinum.
6

Paru kanan terdiri atas lobus superior, medius, dan inferior dan pada paru kiri terdiri atas lobus
superior dan inferior.(1)

Gambar 2.1 Sistem Respirasi.(A) Sistem respirasi traktus atas


dan bawah (anterior view). (B) Gambar Mikroskopik alveoli
dan kapiler pulmonal.(2)

Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, dan
paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran pernafasan atas dan
saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksternal,
oksigen di hirup melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea
dan pipa bronkial ke alveoli dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmonaris.
(3)

Gambar 2.2 Paru-paru (anterior view)(4)

Faring berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun pencernaan.
Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea, tempat lewatnya udara ke paru, dan
esophagus saluran tempat lewatnya makanan ke lambung.Setelah laring, trakea terbagi menjadi
dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri, yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri.
Di dalam setiap paru, bronkus terus bercabang-cabang menjadi saluran nafas yang semakin
sempit, pendek, dan banyak seperti percabangan pohon.(3)

Gambar 2.3 Arteri dan vena pulmonalis.(4)

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan terdiri atas tiga lobus yaitu lobus
superior, lobus medius, dan lobus inferior.Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua lobus yaitu
lobus superior dan gelambir bawah (lobus inferior).Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih
kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada
lobus superior, dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh
segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial, dan
tiga buah segmen pada lobus inferior.(5,6)
8

Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus.Di ujung-ujung bronkiolus terkumpul


alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
Bronkiolus yang lebih kecil tidak memiliki tulang rawan yang dapat menahannya tetap terbuka.
Dinding bronkiolus mengandung otot polos yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan peka
terhadap hormon zat kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini, dengan mengubah-ubah derajat
kontraksi otot polos bronkiolus, mampu mengatur jumlah udara yang mengalir antara atmosfer
dan setiap kelompok alveolus. (3)

Gambar 2.4 Segmenta brochopulmonum(7)

Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan berbentuk
seperti anggur yang terdapat diujung percabangan saluran pernapasan. Dinding alveolus terdiri
dari satu lapisan sel alveolus yang gepeng. Jaringan padat kapiler paru yang mengelilingi setiap
alveolus juga hanya setebal satu lapisan sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan
kapiler di sekitarnya membentuk suatu sawar yang sangat tipis, dengan ketebalan hanya 0,2 m
yang memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru. ketipisan sawar
tersebut mempermudah pertukaran gas. (3)

Gambar 2.5 :Alveolus(4)

Pleura merupakan membran serosa intratoraks yang membatasi rongga pleura, secara
embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrionik;terdiri dari pleura viseral dan pleura
parietal.Pleura viseral dan parietal merupakan jaringan berbeda yang memiliki inervasi dan
vaskularisasi berbeda pula.Pleura secara mikroskopis tersusun atas selapis mesotel, lamina
basalis, lapisan elastik superfi sial, lapisan jaringan ikat longgar,dan lapisan jaringan fibroelastik
dalam. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas menimbulkan tekanan transpulmoner yang
memengaruhipengembangan paru dalam proses respirasi. Cairan pleura dalam jumlah tertentu
berfungsi untuk memungkinkan pergerakan kedua pleuratanpa hambatan selama proses respirasi.
Keseimbangan cairan pleura diatur melalui mekanisme hukum Starling dan sistem penyaliran
limfatikpleura. Rongga pleura merupakan rongga potensial yang dapat mengalami efusi akibat
penyakit yang mengganggu keseimbangan cairanpleura. Karakteristik pleura lain penting
diketahui sebagai dasar pemahaman patofisiologi kelainan pleura dan gangguan proses respirasi.
(8)

Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer, yang membasahi permukaan


pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat gerakan bernapas. Dinding
yang satu dengan dinding lainnya hanya dipisahkan oleh satu film cair yang memungkinkan
mereka menggelinding satu sama lain. Ruang yang terdapat di antara lapisan ini disebut rongga
pleura.(3)
10

Gambar 2.6 Anatomi pleura(8)


2.5 Fisiologi Paru-Paru
Proses respirasi dapat dibagi menjadi empat golongan utama: (1) ventilasi paru-paru,
yang berarti pemasukan dan pengeluaran udara di antara atmosfir dam alveolus paru, (2) difusi
oksigen dan karbon dioksida di antara alveolus dan darah, (3) transport oksigen dan karbon
dioksida di dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan (4) pengaturan ventilasi dan segisegi respirasi lainnya.(5)
Paru-paru dapat dikembangkan dan dikempiskan dalam dua cara (1) gerakan turun dan
naik difragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan (2) elevasi dan depresi
iga-iga untuk meningkatkan dan menurunkan diameter anteroposterior rongga dada.(5)
Pada saat rongga toraks mengembang, paru juga dipaksa mengembang untuk mengisi
rongga toraks yang membesar. Sewaktu paru mengembang, tekanan intraalveolus menurun
karena molekul dalam jumlah yang sama kini menempati volume paru yang lebih besar. Pada
inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus menurun 1mmHg menjadi 759 mmHg. Karena tekanan
intra-alveolus sekarang lebih rendah daripada tekanan atmosfer, udara mengalir masuk ke paru
mengikuti penurunan gradien tekanan dari tekanan tinggi ke rendah.(3,5)

11

Selama inspirasi, tekanan intrapleura turun ke 754 mmHg akibat pengembangan toraks.
Peningkatan gradien tekanan transmural yang terjadi selama inspirasi memastikan bahwa paru
teregang untuk mengisi rongga toraks yang mengembang.(9)Sebaliknya selama ekspirasi normal,
tekanan intra-alveolar meningkat menjadi hampir +1 mmHg, yang menyebabkan aliran udara
keluar melalui saluran pernafasan. Selama usaha ekspirasi maksimum dengan glottis tertutup,
tekanan intar-alveolar dapat meningkat menjadi lebih dari 100 mmHg pada pria sehat dan kuat
selama usaha inspirasi maksimum ia dapat berkurang menjadi serendah -80 mmHg.(5)

Gambar 2.7 : Fisiologi Paru (9)

Pneumothoraks
Definisi
Pneumothoraks adalah adanya udara atau gas dalam rongga pleura akibat robeknya
pleura. Pneumotoraks terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensial antara
pleura viseralis dan pleura parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat
menyebabkan Pneumothoraks. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya
paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan
12

sesuai dengan penyebabnya, yaitu traumatik atau spontan. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi
primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat
latar belakang penyakit paru. Pneumotoraks traumatic dibagi menjadi pneumotoraks traumatic
iatrogenic dan bukan iatrogenic. Pneumothoraks juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan urutan
peristiwa yang merupakan kelanjutan dari adanya robekan pleura, yaitu terbuka, tertutup, atau
pneumotoraks tekanan.(10,11,12,13)

Insiden
Insidens Pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui,
pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1. Pneumothoraks spontan primer sering
juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks
spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara decade 3 dan 4. Salah satu
penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus Pneumothoraks spontan primer berusia kurang dari
45 tahun.(11)

Klasifikasi dan etiologi pneumothoraks


Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi pneumotoraks
berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut (11):
Pneumothoraks spontan, Pneumothoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang
terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic), ada 2 jenis yaitu (11):
Pneumotoraks spontan primer. Pneumothoraks spontan primer (PSP) adalah suatu
Pneumothoraks yang terjadi tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya,
umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang
berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.

13

Pneumothoraks spontan sekunder. Pneumothoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu


Pneumothoraks yang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (TB, PPOK, asma
bronchial, pneumonia, tumor paru, dan sebagainya). Pasein PSS bilateral dengan reseksi
torakoskopi dijumpai adanya metastase paru yang primernya berasal dari sarcoma jaringan lunak
diluar paru (11).
Pneumothoraks traumatik, Pneumothoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi
akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru. Pneumothoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus
pneumotoraks. Pneumothoraks traumatic tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka
penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat
menimnulkan Pneumothoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding dada adalah
luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral.
Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks traumatik dibagi 2 jenis yaitu : Pneumothoraks
traumatik bukan iatrogenic, adalah Pneumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan,
misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotrauma. Pneumothoraks
traumatic iatrogenic, adalah Pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis,
dibagi menjadi 2 jenis yaitu : Pneumothoraks traumatik iatrogenic aksidental, pneumothoraks
traumatic iatrogenic artificial(11).
Berdasarkan jenis fistulanya pneumothoraks dapat dibagi menjadi 3 yaitu (11):
1. Pneumothorax Tertutup. Suatu pneumothoraks dengan tekanan udara di rongga pleura
yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral

14

tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfer. Pada jenis ini tidak
didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada.
2. Pneumothoraks Terbuka. Terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada
saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum
dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum ke arah sisi dinding dada
yang terluka (sucking wound).
3. Tension Pneumothoraks. Tension Pneumothoraks terjadi karena mekanisme check valve
yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi
udara dari rongga pkeura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam
rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.
Pneumothoraks ini juga sering disebut pneumothoraks ventil.

Patogenesis
Cavum pleura normalnya memiliki tekanan negatif selama proses pernapasan. Tekanan
negatif ini dihasilkan oleh dinding dada yang cenderung meluas dan paru-paru yang cenderung
kolaps. Tekanan pada alveoli lebih besar dibandingkan tekanan pleura. Akibatnya, jika terdapat
defek antara alveoli dan cavum pleura, udara akan berpindah dari alveoli ke cavum pleura
sampai tekanan antara keduanya menjadi seimbang. Sehingga mengakibatkan volume paru
menurun dan volume kavum toraks meningkat. (14)
Pneumothoraks dihasilkan karena berkurangnya kapasitas vital dan juga berkurangnya
PO2. Pada orang normal mudah untuk melihat pengurangan fungsi paru tersebut. Tapi pada pasien
15

dengan penyakit paru, pengurangan kapasitas vital yang progresif akan mengarah insufisiensi
respirasi dengan hipoventilasi alveoli dan asidosis respiratorik sebagai akibat dari berkurangnya
PO2 dan meningkatnya alveolar-arterial oxygen difference (AaPO2).(14)
Patogenesis pneumothoraks spontan sampai sekarang belum jelas (11)
Pneumotoraks Spontan Primer (11)

a.

Pneumothoraks spontan primer tejadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura
viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumothoraks spontan yang
parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla
(11)

.
Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal

sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematus.
Blab terbentuk dari sautu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan
fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme
pembentukan bulla/blab belum jelas, banyak pendapat mengatakan terjadinya kerusakan bagian
apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negatif. Pada pneumothoraks spontan terjadi apa bila
dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi klinik yang
dilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata mendapatkan pneumothoraks lebih
banyak dijumpai pada pasien pria berbadan kurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konektif
mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang meningkat (11).
Bleb atau bulla yang pecah masihbelum jelas hubungan dengan aktivitas yang berlebihan,
karena pada orang-orang yang tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak.
Pecahnya alveoli juga dikatakan berhubungan dengan obstruksi check-valve pada salurana napas

16

dapat diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain: infeksi atau infeksi tidak nyata yang
menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial (11).
Pneumothoraks Spontan Sekunder (11)

b.

Disebutkan bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya bleb viseralis atau
bulla pneumotoraks dan sering berhubungan dengan penyakit paru yhang mendasarinya.
Patogenesis pneumothoraks ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrsosis kistik, TB
paru, penyakit-penyakit paru infiltra lainnya (misalnya pneumothoraks supuratif, pneumonia
carinci) (11)
Pneumothoraks spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya penyakit yang
mendasarinya (11)
Manifestasi Klinis :
Keluhan subyektif (11).
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah :

Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien.


Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien.
Batuk-batuk yang didapatkan pada 25-35% pasien.
Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada
pneumotoraks spontan primer.

Pemeriksaan Fisis
Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang,
resonasi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumothoraks ukuran kecil biasanya
hanya menimbulkan takikardia ringan dengan gejala yang tidak khas. Pada pneumothoraks
ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada
auskultasi. Fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothoraks tension dicurigai

17

apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum atau trakea.
(11).

Pemeriksaan Radiologi
A. Foto Thorax
Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut
tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular pada
daerah tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto dadanya tampak jumlah udara
pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum yang bergeser kea rah
kontralateral (11)
Pemeriksaan CT-scan mungkin diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis
belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bulosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau sekunder (11)..

Gambar 2.8 Simple Pneumothoraks. Tampak gambaran hiperlusen avaskular pada hemithorax kanan
bawah tanpa adanya pergeseran mediastinum.(15)

18

Gambar 2.9 Iatrogenik Pneumothoraks. Gambaran hiperlusen avaskular disertai pleural white line pada
hemithorax kiri dengan pergeseran mediastinum ke kanan. Pneumothoraks iatrogenik adalah komplikasi
paling sering yang berkaitan dengan diagnostik atau prosedur terapi. Insiden iatrogenik pneumothoraks
dilaporkan melebihi dari pneumothoraks spontan. aspirasi jarum transthoracic, thorakosintesis, biopsi
pleura, (15,16)

Gambar 2.10 Traumatic Pneumothoraks. Fraktur kosta dekstra dan pneumotoraks dengan pergeseran
mediastinum ke kiri. (15)

B.

CT-Scan (13)
- Dapat menilai langsung pneumothoraks
- 80% spontan pneumotoraks didapatkan focal emfisema/bulla pada CT
- Dapat mendeteksi blebs, bulla, dan pneumothoraks kecil (occult pneumothoraks)
- Dapat memprediksi rekurensi dari pneumothoraks

19

Gambar 2.11 CT-scan thorax ini menunjukkan pneumothoraks pada sisi kiri terkait
dengan kollaps sebagian lobus atas paru-paru kiri. Tampak densitas udara pada cavum pleura
sinistra.(17)
C.

(17)

USG
- Dapat digunakan untuk mendeteksi pneumothoraks
- Lung sliding normal dapat dievaluasi pada USG
- Comet-tail artifact merupakan tanda spesifik untuk paru normal
- Lung point sign merupakan tanda spesifik pada pneumothoraks

Gambar 2.11 USG thorax ini menunjukkan gambaran lung point sign yang merupakan tanda
pneumothoraks (18)

Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan dari
penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi.British Thoracic Society dan American College of Chest
20

Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothoraks. Prinsip-prinsip


penanganan pneumothoraks adalah .(11):

Observasi dan pemberian tambahan oksigen


Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa

pleurodesis
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla.
Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung kedalam rongga toraks

dengan alat bantu tokakoskop.


Torakotomi, adalah tindakan pembedahan dengan indikasi yang hampir sama dengan
torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau
bulla terdapat di apeks paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau
bulla tersebut

Efusi Pleura
Definisi
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan dalam rongga pleura
atau akumulasi cairan yang tidak normal dirongga pleura. Efusi pleura dapat berupa transudat
atau eksudat. Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal
jantung kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari
pembuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia, seperti pada penyakit hati
dan ginjal. (10,19)

Insiden
Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi populasi. Pada pasien
dengan gagal jantung kongestif, kejadian efusi pleura mencapai 58% sampai 88% . Efusi juga
terdapat di 67% dari pasien dengan penyakit perikardial.(19,20)
21

Etiologi
Efusi pleura disebabkan oleh (22)
- Peningkatan produksi
1. Peningkatan tekanan hidrostatik, seperti pada gagal jantung kiri
2. Penurunan tekanan onkotik seperti pada hipoproteinemia
3. Peningkatan permeabilitas kapiler, seperti pada pneumonia atau reaksi hiersensitivitas
- Penurunan reabsorbsi
1. Penurunan absorbs saluran limfatik baik oleh karena sumbatan (tumor) atau karena
peningkatan tekanan vena yang menurunkan transportasi cairan melalui duktus torasikus
2. Penurunan cairan di rongga pleura, seperti pada atelektasis akibat sumbatan bronkus
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisis yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsy, dan analisa cairan pleura.(21)

Gambaran radiologi
Meskipun efusi pleura dapat dilihat pada foto toraks posisi supine, modalitas pencitraan
pilihan adalah foto thoraks tegak atau lateral. Manifestasi paling umum dari efusi pleura pada
radiografi tegak adalah tingkat cairan dalam hemithorax tersebut. Dalam jumlah kecil cairan
pleura dapat bermanifestasi sebagai meniskus yang menumpulkan sudut kostofrenikus pada
proyeksi PA . Efusi yang kecil juga dapat divisualisasikan dalam sulkus posterior pada film
lateral. Setidaknya 175 ml cairan yang dibutuhkan untuk efusi yang akan divisualisasikan pada
radiografi polos, sedangkan efusi pleura luas mungkin sepenuhnya berdensitas opak pada
hemithorax tersebut. (21)
Foto thoraks (X Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti
kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaanya
22

horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal
dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan
bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.(21)

Gambar 2.12 Efusi pleura dextra pada wanita berumur 56 tahun. Efusi yang tidak diketahui
penyebabnya.(22)

USG
Pemeriksaan dengan USG pada pleura dapat menetukan adanya cairan dalam rongga
pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan
terutama pada efusi yang terlokalisasi.(21)

23

Gambar 2.13 USG dasar paru-paru kanan menunjukkan ruang anechoic


besar yang konsisten dengan efusi pleura tanpa komplikasi(22)

CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan dada dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cairan dengan
jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura. Pemeriksaan
ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.(21)

Gambar 2.14 CT scan menunjukkan ada efusi pleura kecil di posterior kostofrenikus bilateral(22)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan EPG harus segera dilakukan sebagai terapi paliatif setelah diagnosis
dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera ini adalah untuk mengatasi keluhan
akibat volume cairan dan meningkatkan kualiti hidup penderita.19 Pada pedoman
penatalaksanaan KPKBSK menurut PDPI, EPG dengan cairan masif yang menimbulkan gejala
klinis sehingga mengganggu kualiti hidup penderita maka dapat dilakukan torakosentesis
berulang atau jika perlu dengan pemasangan water sealed drainage (WSD). Pada kasus-kasus
tertentu harus dilakukan pleurodesis yaitu dengan memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura.
24

Intervensi bedah dilakukan jika semua usaha telah dilakukan dan gagal. Pada EPG yang tidak
masif dan gejala klinis ringan terapi khusus tidak dibutuhkan.(23)

Hydropneumothoraks
Definisi
Hydropneumothoraks adalah istilah yang diberikan pada pneumotoraks yang bersamaan
dengan hydrothorax (yaitu udara dan cairan) dalam rongga pleura atau pengumpulan cairan dan
gas di dalam rongga pleura. (24,25)
Etiologi
Hydropneumothoraks dapat disebabkan oleh Malignant pleural mesothelioma yang
merupakan karsinoma yang sering didapatkan. Namun, insidennya meningkat dan diperkirakan
akan mencapai puncaknya di Inggris pada tahun 2015. Tumor ini paling sering memberikan
gambaran klinis dengan sesak napas, nyeri dada, dan efusi pleura pada gambaran foto toraks.
Pada beberapa kasus, mungkin muncul dengan pneumotoraks; Namun, hydropneumothoraks
spontan jarang terjadi. Penyebabnya juga masih kurang jelas, namun dicurigai karena rupture
dari tumor yang nekrosis pada kasus sarcoma metastasis. Hydropneumothoraks juga dapat terjadi
secara iatrogenic melalui terpaparnya ke udara dalam rongga pleura selama thoracocentesis. Atau
juga hydropneumothoraks dapat disebabkan oleh hal lain termasuk fistula bronkopleural, trauma
toraks, dan jarang empiema. Penyebab hydropneumothoraks dapat diindikasikan dengan melihat
riwayat penyakit, meskipun informasi tambahan mungkin diperoleh melalui pencitraan dengan
CT dari dada. penatalaksanaan lebih lanjut dan manajemen hydropneumothoraks dengan
drainase dan membawa sampel dari carian pleura untuk pemeriksaan laboratorium.(26)
Gambaran Radiologi
25

Hydropneumothoraks biasanya diidentifikasi berdasarkan foto toraks PA dan lateral tetapi


juga dapat terlihat pada CT-Scan dan bisa juga menggunakan ultrasound. Normalnya terdapat
cairan dalam jumlah sedikit 5-15 ml pada ruang antarpleura untuk mengurangi gesekan. Cairan
pleura yang berlebih biasanya diakibatkan karena ketidakseimbangan antara produksi dan
absrobsi yang mengarah pada proses patologi.(27)

a. Foto Thoraks
Pada hydropneumothoraks gambaran meniskus tidak terlihat karena adanya udara yang
terjebak yang mengarah ke peningkatan tekanan intratorakal. Sehingga membatasi cairan pada
kavum pleura dan menghasilkan gambaran air fluid yang datar. Untuk membedakan antara
hidropneumotoraks dan simple efusi pleura sangat penting karena terapi yang sesuai
hidropneumotoraks sangat membutuhkan lokasi yang spesifik dari dua chest tube. Satu untuk
drainase cairan dan chest tube lainnya untuk mengeluarkan udara, sedangkan efusi pleura hanya
membutuhkan satu chest tube.(26,27)
Temuan-temuan mendasar seperti gambaran air fluid level pada foto toraks sangat
penting untuk mendiagnosa hydropneumothoraks karena merupakan petunjuk penting adanya
pneumotoraks. Adanya gambaran meniskus membedakan antara simple efusi pleura dari
hydropneumothoraks.(26,27)

26

Gambar 2.15 Area radiolusen yang luas pada lapangan atas dan tengah paru kiri dengan batas
antara udara-cairan yang tegas.(28)

b. CT-Scan Thoraks
Pada CT-Scan thoraks, dapat menunjukkan gambaran paru yang kolaps, disertai
gambaran efusi pleura dan pneumothoraks. Pada foto juga dapat terjadi gambaran
pergeseran mediastinum.(29)

Gambar 2.16 Gambaran hydropneumothoraks pada hemithoraks kanan disertai kolaps paru-paru kanan (30)

Diagnosis Banding

27

Abses Paru
Definisi
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu
lobus atau lebih. Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu kelompok
bakteri anaerob (Bacteroides melaninogenus, Bacteroides fragilis, dan lain-lain), kelompok
bakteri aerob (Staphylococcus aureus, Kliebsiella pneumonia, dan lain-lain).(31)

Radiologi :

Foto Thoraks
Foto thorax PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk abses
paru. Pembentukan abses dapat diawali sebagai daerah konsolidasi pneumonik
(khususnya oleh Staphylococcus aureus atau Kliebsiella pneumonia) dengan diikuti oleh

pembentukan kavitasi. Batas cairan sering terlihat didalam abses.(31,32)


Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau
lebih segmen paru,atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.

Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrate yang padat.(31)
Bila abses mengalami rupture, akan terbentuk drainase abses yang tidak sempurna kedalam
bronkus, maka baru akan tampak kavitas ireguler dengan batas cairan dan permukaan udara
(air fluid level) didalamnya. Abses paru akibat pneumonias aspirasi biasanya terletak pada
segmen posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah paru kanan.(31,33)

28

Gambar 2.19 Gambar abses paru yang mengalami rupture, akan terbentuk drainase abses yang tidak
sempurna kedalam bronkus, maka baru akan tampak kavitas ireguler dengan batas cairan dan permukaan
udara (air fluid level) didalamnya(34)

Pemeriksaan CT-Scan

CT-scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi endobronkial, dan
gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitasi sentral.(29)

Gambar 2.20 CT Scan pada paru-paru, Nampak massa bulat dengan kavitas berdinding tebal pada paru
( panah hitam), terdapat air fluid level dalam kavitas (panah putih), terdapat reaksi inflamasi disekitar
kavitas (panah kuning)(33)

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC. 2011; Hal. 1257.
2. Scanlon, Valerie C. Tinasander. The Respiratory System. Library of Congress in
Publication. 2010. Hal. 344-352.
3. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel Ke Sisitem Edisi 6. Jakarta : EGC. 2011;
Hal. 411-458.
4. Davey, Patrick. Atlas of Netter : Anatomy of Lung. 2011. Hal. 186-187, 190, 192-193.
5. Guyton dan Hall . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : EGC.2013; Hal.
343-371.
6. SnellRS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Editor; Liliana Sugiharto. Edisi 6.
Jakarta : EGC. 2008; Hal. 90-91.
7. Faiz, Omar. Moffat, David. Anatomy of Glance. Blacwall Science. Pg. 14-16.
8. Pratomo IP, Yunus F. Anatomi dan Fisiologi Pleura.Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUP Persahabatan,
Jakarta, Indonesia. 2013. Hal. 407-412.
9. Anatomy and Physiology of the Lungs.Center of Asbestos Releated Desease. Montana.
2014. Hal. 1-6.
10. Wilson LM. Penyakit Pernapasan Restriktif. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. 6 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 799802.
11. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks Spontan. In: W.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K
MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009. p. 2339-2343.
12. Fildes J, Meredith JW. Trauma Toraks. In: Fildes J, Meredith JW, editors. ATLS. 8 ed.
America: American College Of Surgeons; 2008. p. 106.
13. Murtala B. Toraks Nontrauma. In: Murtala B, editor. Radiologi Trauma dan Emergensi.
Makassar: Hasanuddin University Press. p. 136.
14. Jain DG, Gosavi SN, Jain Dhruv D. Understanding and Managing Tension
Pneumothorax. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine, Volume 9, No.1, JanuaryMarch, 2008.
15. Holmes EJ, Misra RR. Thorax. In: Holmes EJ, Misra RR, editors. A-Z of Emergency
Radiology. Cambridge: Cambridge University Press; 2004. p. 55.
16. Yilmaz, Adnan dkk. Iatrogenic Pneumothorax : Insidence and Evaluation of the Therapy.
Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2
17. Oh LCW. Pneumothorax. Available at: URL: http://radiopaedia.org/cases/pneumothorax-15.
Accessed 15 Desember, 2014.
30

18. Hilton, Andrew. Lung Ultrasound in ICU. Available at : URL:


http://www.slideshare.net/ICNVictoria/icn-victoria-hilton-on-lung-uss Accessed 18
Desember 2014
19. Khairani R, Syahruddin E, Gardenia L. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit
Persahabatan. Jurnal Respirasi Indonesia 2012;32:155-160.
20. Tsuei BJ, Lyu PE. In: Tsuei BJ, Lyu PE, editors. Chest radiography; 2002. p. 190.
21. Halim H. Penyakit Penyakit Pleura. In: W.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.
2329-2330.
22. Soetikno, Ristaniah. Efusi Pleura. Radiologi Emergensi. Bandung : Relika Aditama;
2013. p.62
23. Syahruddin, Elisna. Efusi Pelura Pada Kanker Paru. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia-RS Persahabatan. 2010
24. Rubens MB, Padley SPG. The Pleura. In: Sutton D, editor. Textbook Of Radiology and
Imaging. China: Elsevier Science; 2003. p. 89.
25. D.Novak P. In: Nuswantari D, editor. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 25 ed. Jakarta:
EGC; 1998. p. 521.
26. Yuranga. Hydropneumothorax. Available at: URL:
http://radiopaedia.org/articles/hydropneumothorax. Accessed 13 Desember, 2014.
27. ENS Reed, Aaron. Hydropneumothoraks verses Simple Pneumothoraks.Radiology
Corner. Military Medicine Radiology Corner, Volume 175, August, 2010.
28. Shetty A. Hydropneumothorax. Available at: URL:
http://radiopaedia.org/cases/hydropneumothorax-6. Accessed 13 Desember, 2014.
29. Cuete, David. Hydropneumothorax. Available at: URL:
http://radiopaedia.org/cases/hydropneumothorax-7. Accessed 18 Desember 2014
30. Lazzar, Carrinpar. Pneumothorax Ex-vacuo or trapped lung in the setting of hepatic
hydrothorax. Available at: URL: http://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?
img=3538609_1471-2466-12-78-2&req=4 Accessed 18 Desember 2014
31. Rasyid A. Abses Paru. In: W.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2323-2328.
32. Patel PR. In: Patel PR, editor. Lecture Note Radiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series;
2007. p. 55.
33. Djojodibroto D. In: Djojodibroto D, editor. Respirologi. Jakarta: EGC; 2009. p. 143-144.
34. Sharma. Lung Abcess. Available at : URL:
http://www.learningradiology.com/archives2008/COW%20306Lung
%20abscess/lungabscesscorrect.html. Accessed 18 Desember 2014

31

Anda mungkin juga menyukai