Anda di halaman 1dari 9

DENSITAS TULANG

MEI 28, 2016 ADMIN TINGGALKAN KOMENTAR

Definisi
Menurut Sloane (2004) tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai
alat gerak pasif dan menjadi tempat pertautan otot, tendon, dan
ligamentum. Tulang merupakan jaringan hidup. Tulang melindungi sumsum
tulang, dan merupakan organ paling aktif yang bertugas memproduksi sel
darah merah. Tulang berfungsi sebagai penopang tubuh, melindungi organ
tubuh yang lunak dan mudah rusak, memberi bentuk tubuh serta juga
sebagai tempat hemopoiesisdarah.
Tulang normal disusun oleh matriks protein kolagen yang mengandung
garam-garam mineral terutama fosfat dan kalsium. Keseimbangan antara
kalsium darah dan kalsium tulang dalam keadaan normal diatur oleh
hormon parathyroid dan vitamin D (Purwoastuti, 2009). Tulang menjadi keras
dan kuat karena dibentuk oleh kristal kalsium yang padat serta serabut
kolagen yang lentur, sehingga tulang juga berfungsi sebagai deposit mineral,
khususnya kalsium, fosfat, dan magnesium dengan densitas tertentu melalui
pengaturan serta homeostasis tubuh (Cosman, 2009).

Proses Pembentukan dan Resorbsi Tulang


Tulang terus-menerus mengalami proses peremajaan yang disebut
pembentukan tulang kembali (bone remodeling), yang melibatkan sel yang
ada dalam sumsum tulang. Pembentukan tulang terjadi setelah tulang
menjadi tua atau mengalami keretakan kecil atau kerusakan miskroskopis
berulang kali, yang pada akhirnya dapat mengurangi kekuatan tulang
tersebut. Tulang yang mengalami kerusakan kecil diserap kembali oleh sel
osteoklas. Setelah tulang diserap lalu sel pembentuk tulang (osteoblas) yang
terbuat dari sel prekursor di sumsum tulang membentuk bagian tulang baru
untuk menggantikan tulang yang dilarutkan oleh osteoklas (Cosman, 2009).

Hormon parathyroid mengatur pemindahan kalsium darah pada tulang.


Kelebihan konsentrasi hormon parathyroid menambah konsentrasi kalsium
dalam darah. Kalsium darah di ambil dari tulang lalu dikeluarkan melalui
urin. Kelebihan konsentrasi vitamin D menambah pengambilan kalsium dari
tulang dan pengendapannya kedalam jaringan (Purwoastuti, 2009).
Pasien penyakit ginjal kronik memiliki masalah dengan proses pembentukan
tulang sejak terjadi insufisiensi ginjal ringan, yaitu GFR 50-80 ml/menit/1,73
m2, disertai peningkatan kadar hormonparatiroid (PTH) dan penurunan
kadar 1,25 dihydroxycholecalsiferol. Kadar fosfat plasma merupakan sebab
utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel
paratiroid
secara
indipenden
pada
kadar
kalsium
serum
dan
kadar1,25dihydroxycholecalciferol endogen (Noer, 2006).
Menurut Cozzolino (2001) dalam Dewayani (2007), pasien penyakit ginjal
kronik dengan hemodialisis biasa menyebabkan hiperparatiroidisme
sekunder. Hiperfosfatemia menurunkan konsentrasi kalsium terionisasi
dengan cara berikatan langsung dengan kalsium. Kadar fosfat yang tinggi
merangsang proliferasi sel paratiroid, sintesis dan sekresi hormon paratiroid
secara langsung dan tidak langsung melalui penurunan kalsitriol serum,
penurunan kadar kalsium yang terionisasi, dan penurunan resistensi otot
terhadap Paratiroid Hormon (PTH). Tingginya PTH menyebabkan osteitis
fibrosa dan berkurangnya masa tulang karena kalsium berikatan dengan
fosfat.
Pengukuran Densitas Tulang
Menurut Cosman (2009), beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
mengukur densitas mineral tulang adalah sebagai berikut:
1.

Central
Dual
X-Ray
Absorptiometry
Metode ini merupakan metode terbaik untuk menentukan densitas tulang.
Cental DXA berbentuk seperti tandu rumah sakit dengan bagian bawahnya
ditutup. Alat ini beralas tipis, lengan yang bisa digerakan di atasnya, dan
alat ini disambungkan ke komputer. Bagian bawah meja dipasangi
peralatan sinar X. Seseorang yang menjalani pengukuran kepadatan
tulang dapat mengenakan pakaian lengkap, tetapi tidak diperkenankan
menggunakan
bahan
dari
logam.
Alat ini memiliki sinar X dengan dua energi berbeda yang diserap oleh
tubuh dan tulang dalam jumlah yang berbeda. Banyaknya radiasi yang
kemudian diserap oleh lengan yang bergerak diatas tubuh digunakan
untuk menghitung kepadatan tulang dan jaringan lunak (otot atau lemak)
yang ada. Daerah yang paling sering diukur menggunakan central DXA
adalah pinggul dan tulang belakang. Waktu yang dibutuhkan untuk
mengukur selama lima sampai sepuluh menit. Lengan bawah atau
pergelangan tangan dan seluruh badan juga diukur. Paparan radiasi alat

2.

3.

4.

5.

6.

central DXA sangat rendah, sekitar dua sampai empat mREMs, yaitu
sekitar seperdua belas sinar X standar pada dada.
Peripheral
DXA
dan
SXA (Singel
X-RAY
Absorptiometry)
Alat ini digunakan untuk mengukur tulang-tulang perifer (bagian tepi
tubuh) dan dapat dilakukan pada tumit atau lengan bawah (misalnya, alat
Lunar PIXI) atau jari (alat Schick accu DEXA).
Ultrasound
Ultrasonografi merupakan teknik dimana gelombang suara berfrekuensi
sangat tinggi yang tidak dapat didengar oleh telinga manusia. Tidak ada
radiasi dalam proses pemeriksaannya. Ultrasound mengukur kecepatan
suara, saat sinar bergerak menembus tulang dan jaringan lunak
diatasnya, dan kekuatan sinyal berkurang, atau jumlah gelombang suara
yang hilang saat bergerak menembus bagian yang diukur. Teknik ini tidak
menimbulkan radiasi karena yang digunakan adalah gelombang suara
bukan sinar X. Dan tidak dibutuhkan ahli radiologi untuk melakukan
prosedurnya.
Alat ini tidak hanya untuk mengukur tulang di tumit, tetapi juga mengukur
lengan bawah dan tulang kering. Teknik ini tidak memiliki kemampuan
memprediksikan patah tulang pinggul seperti yang dimiliki teknik
pengukuran DXA pinggul, tetapi kemampuannya memprediksi semua jenis
patah tulang yang lain sangat bagus. Salah satu ciri yang membedakan
teknik ini (ultrasound) dengan teknik DXA dan SXA adalah ketelitiannya
yang rendah. Ketelitian mengacu pada kesalahan yang terjadi pada setiap
ulangan
pengukuran
(meskipun
tidak
ada
perubahan
nyata
pada massa tulang).
Quantitative
Computed
Tomography (QCT)
Quantitative Computed Tomography mengukur densitas tulang di ruas
tulang belakang. Pengukuran yang dilakukan di bagian tulang belakang
pada pasien dengan penyakit degeneratif tertentu.Umumnya teknik ini
mempunyai ketelitian yang buruk ketimbang teknik yang lain, dan
melibatkan paparan radiasi yang sangat tinggi, penggunaan teknik ini
untuk memeriksa kepadatan tulang tidak direkomendasikan pada
sebagian besar pasien.
Radiografi
tangan
Alat ini berbasik sinar X, tangan disinari di samping suatu
bijialumunium untuk mengukur densitas tulang. Hasilnya dikirimkan ke
pusat pengolahan data untuk menentukan densitas tulang menggunakan
komputer. Meskipun alat ini mudah dibawa, tetapi membutuhkan pusat
pengolahan data yang terpisah, sehingga hasilnya tidak dapat tersedia
secepatnya.
Kriteria
Diagnostik
Menurut Rebecca dan Brown (2007), hasil pengukuran DXA pinggul dan
tulang belakang pertama-tama dihitung sebagai jumlah mineral perdaerah
tulang dengan satuan garam. Normalnya setiap tulang mempunyai
densitas
tulang
yang
berbeda.
Ukuran densitas tulang biasanya dinyatakan dengan nilai-T dan nilai-Z.

7.

Nilai-T
Nilai T biasanya digunakan untuk hasil pengukuran densitas tulang yang
dihasilkan oleh DXA scan. Nilai hasil pengukuran ini tidak terlalu
bermanfaat, namun perangkat lunak (software) alat scan akan
menggunakannya untuk menghitung suatu angka yang disebut dengan
nilai T. Nilai T pada dasarnya membandingkan densitas mineral tulang
dengan hasil pengukuran rata-rata yang diambil dari orang-orang dewasa
muda sehat pada jenis kelamin yang sama. Kekuatan tulang secara
alamiah memburuk seiring dengan bertambahnya usia, sehingga nilai T
biasanya negatif (hal ini menunjukan bahwa densitas mineral tulang lebih
rendah daripada densitas mineral tulang orang dewasa muda). Nilai T
sangat jauh di bawah nol menunjukan baha tulang kita beresiko atau
mengalami osteoporosis. Tetapi apabila belum mengalami osteoporosis
dan densitas tulang mulai menurun disebut osteopenia.
Tabel 2.3 Diagnosis osteoporosis menggunakan nilai T

Keparahan

Nilai T

Resiko fraktur

Normal

Lebih dari -1

Rendah

Osteopenia

Kurang dari -1, namun


lebih dari -2,5

Di atas rata-rata

Osteoporosis

Kurang dari -2,5

Tinggi

Menurut (Kosnayani, 2007), dari berbagai hasil penelitian dan pengukuran


diperoleh konversi nilai T-score dengan nilai densitas mineral tulang (gr/cm 2):
Lampiran 1.
Nilai-Z
Menurut Cosman (2009), nilai Z membandingkan hasil pengukuran densitas
tulang seseorang dengan rata-rata hasil pengukuran densitas tulang pada
populasi referensi dengan usia dan jenis kelamin yang sama (berbeda
dengan nilai-T, yang membandingkan hasil pengukuran pasien dengan hasil
pengukuran pada populasi muda dengan massa tulang maksimum). Seperti
pada nilai T, nilai Z juga mempertimbangkan variasi dalam populasi normal
dengan usia yang sama. Hasilnya dinyatakan dalam nilai positif dan negatif
untuk menunjukan pengukuran di atas atau dibawah rata-rata populasi
referensi.
Nilai antara -2 dan +2 meliputi 95 % populasi, jadi ketika nilai -2 hasilnya
adalah di 5 % di bawah usia pasien. Ketika nilai Z +2, hasil berada di atas 95
% untuk usia pasien, nilai 0 berarti densitas tulang seseorang rata-rata untuk
usia dan jenis kelaminnya. Nilai -1 berarti orang tersebut mempunyai
densitas tulang satu standar deviasi lebih rendah dari rata-rata.

DAFTAR PUSTAKA
Adragao, T., et al. (2009). Femoral Bone Density Reflects Histologically
Determined Cortical Bone Volume in Hemodialysis Patients. Osteoporosis int,
21:619-625.
Alam, Syamsir & Hadibroto, Iwan. (2007). Gagal Ginjal. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Algifari. (2000). Analisis Regresi: Teori Kasus & Solusi. Yogyakarta: BPFE.
Ambrus, C., et al. (2010). Bone Mineral Density and Parathyroid Function in
Patients
on
Maintenance
Hemodialysis. International
Urology
And
Nephrology (Int Urol Nephrol) ,Vol. 43 (1):191-201.
Anonim. Inilah Carannya Agar Ginjal Tetap Sehat [serial onlline], Mei, didapat
dari URL: htpp://www.Republika.co.id [diakses tanggal 10 Agustus 2011].
Aru, W Sudoyo., et al. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Aziz, Farid M., et al. (2008). Panduan Pelayanan Medik: model interdisiplin
penatalaksanaan kangker servik dengan gangguan ginjal. Jakarta:EGC.
Baradero, et al. (2008). Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Kep erawatan.
Jakarta:EGC.
Binici, Dogan Nasir & Gunes, Nurettin. (2009). Risk Factors Leading to
Reduced Bone Mineral Density in Hemodialysis Patients with Metabolic
Syndrome. Renal Filure, 32:496-474.
Corwin, Elizabeth J. (2008). Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke 3. Jakarta: EGC.
Cosman,
Felicia.
(2009). Osteoporosis: Panduan Lengkap Agar TulangAnda Tetap Sehat.
Yogyakarta: B-first.
Cozzolino M., Dusso AS., Slatopolsky E. (2001). Role of Calcium-Phosphate
Product and Bone-Associated Protein on Vascular Calcification in Renal
Failure. J Am Soc Nephrol, 12:2511-2516.
Dewayani, Retna. (2007). Penyakit Jantung Koroner Pada Chonic Kidney
Disease. Jurnal Kardiologi Indonesia, 28:387-395.
Dewi, I.G.A.P.A. (2010). Hubungan Antara Quick of Blood/Qb Dengan
Adekuasi Hemodialisis Pada Pasien Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di
Ruang HD brsu Daerah Tabanan Bali. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Doenges, M.E., et al. (1999). Rencana asuhan keperawatan. Edisi ke 3.
Jakarta:EGC.
Hartono, Andry. (2008). Rawat Ginjal Cegah Cuci Darah. Yogyakarta: Kanisius.
K/DOQI. (2004) Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, classification, and stratification (Kidney Disease Outcome Quality
Initiative). Am J Kidney Dis, Vol 45:1-268.
Kosnayani, A.S. (2007) Hubungan Asupan Kalsium,
Paritas, Indeks
Massa
Tubuh
Dan
Kepadatan
WanitaPascamenopause. Tesis, Universitas Diponegoro.

Aktivitas
Tulang

Fisik,
Pada

Maarten W, Taal., Masud, Tahir., Green, Desmond., dan Cassidy, Michael JD.
(1999). Risk Factors for Reduced Bone Density in Haemodialysis
Patients. Nephrology Dialysis Transplantation, 14: 1922-1928.
Marahimin, H. (2008, oktober. Osteoporosis. Nirmala, 49-52).
Miller et al. (2007). Teriparatide in Postmenopausal Woman with Osteoporosis
and Mild or Moderate Renal Impairment. Osteoporos Int, 18: 59-68.
Nickolas., et al. (2012). Bone Mass and Microarchitecture in CKD Patients with
Fracture . J Am Soc Nephrol, 21: 13711380. www.jasn.org
Noer, Mohammad Sjaifullah. (2006). Gagal Ginjal Kronik Pada Anak (Chronic
Renal Failure In Children). Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya. ttp://www.pediatrik.com.
Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi ke 2. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep & penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Ozdemir O., & Bilgic MA. (2010). Evaluation of Bone Mineral Density in
Hemodialysis Patients (Turkish). Bone. Density- Evaluation Dialysis Patients,
56(2): 62-6 (28 ref). www.cinahl.com
Pardede, Sudung O., et al. (2002). Gambaran EEG Pada Anak Dengan Gagal
Ginjal
Kronik. Bul
Penel
Kesehatan,
Vol.
30,
89-94.
http://digilib.litbang.depkes.go.id
Patel & Singh. (2010). Role of Vitamin D in Chronic Kidney Disease. Semin
Nephrol, 29 (2): 113-121.
PERNEFRI. (2009). Konsensus Gangguan Mineral dan Tulang Pada Penyakit
Ginjal Kronik (GMT-PGK). Jakarta: Educational Grant.
Pranoto, Imam. (2010). Hubungan Antara Lama Hemodialisa Dengan
Terjadinya Perdarahan Intra Serebral. Skripsi. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Price & Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi ke 6. Jakarta:EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini., & Budi Utomo. (2003). Fisioterapi Pada Lansia.
Jakarta:EGC.
Purwoastuti, Endang. (2009). Waspada Osteoporosis. Yogyakarta: Kanisius.
Rebecca & Pam Brown. (2007). Osteoporosis: Simple Guides. Jakarta:
Erlangga.
Reyes, L., Rodrguez, Garca M., Gmez, Alonso C., Megido, J., Ruiz, de Alegra
P., Fonseca, A., Gorostidi, M., Gago, E., Forascepi, R., Guerediaga, J., Cannata,
Anda JB. (2003). Estimation of Bone Mass of Hemodialysis Patients by Digital
Radiologic Radiogrammetry (DXR). Publicacin Oficial De La Sociedad
Espaola Nefrologia (Nefrologia), Vol. 23, 100-5.
Saito, O., Saito, T., Asakura, S., Sugase, T., Ito, C., Ando, Y., Muto, S., Kusano,
E. (2010). The Effects of Raloxifene on Bone Turnover Markers and Bone
Mineral Density in Women on Maintenance Hemodialysis. Clinical And
Experimental Nephrology (Clin Exp Nephrol),Vol. 15 (1), 126-31.
Santjaka, A. (2008). Biostatistik Untuk Praktisi Bidang Kesehatan dan
Mahasiswa Kedokteran, Kesehatan Lingkungan, Keperawatan, Kebidanan,
Gizi, Kesehatan Masyarakat. Purwokerto: Global Internusa.
Saryono. (2009). Metodologi Penelitian Kesehatan Penuntun Praktis Bagi
Pemula. Yogyakarta: Mitra Cendikia.
Septiwi, Cahyu. (2011). Hubungan Antara Adekuasi Hemodialisis Dengan
Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis Di Unit Hemodialisis RS Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. Tesis. Universitas Indonesia.
Shun, Huang., et al. (2009). Factors Associated with Low Bone Mass in the
Hemodialysis Patients. BMC Musculoskeletal Disorders, doi:10.1186/14712474-10-60. http://www.biomedcentral.com
Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta:EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Sugiono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Suryarinilsih, Y. (2010). Hubungan Peningkatan Berat Badan Antara Dua


Waktu Hemodialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis. Tesis. Tidak
dipublikasikan.
Tandra, Hans. (2009). Segala Sesuatu yang Harus Anda KetahuiTentang
Osteoporosis : mengenal, mengatasi, dan mencegah Tulang Keropos.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tjokronegoro, Arjatmo & Sumedi Sudarsono. (2001). Metodologi Penelitian
Bidang Kedokteran. Jakarta: FK UI.
Umar, Husein. (2005). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Yayasan Lions Indonesia. (2009). Klinik Hemodialisis Lions. www.
Yayasanlionsindonesia.org.

Anda mungkin juga menyukai