Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering
juga berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak
dengan karier/pembawa kronik (Rahmat, 2019).
Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Pada
daerah endemik penyabab utama penularan penyakit demam tifoid adalah air
yang tercemar sedangkan di daerah non – endemik makanan yang
terkontaminasi oleh carrier merupakan hal yang paling bertanggung jawab
terhadap penularan demam tifoid (Nuruzzaman, 2016)
Demam berdarah dengue merupakan penyekit yangpenyebarannya paling
cepat. Infeksi virus dengue (DENV) merupakan infeksi yang menjadi salah
satu masalah kesehatan utama didunia dan merupakan salah satu infeksi yang
sangat berbahaya terutama dinegara tropis seperti Indonesia (Supardan, 2016)

B. RUMUS MASALAH
Rumusam masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Demam tifoid dan demam dengue?
2. Bagaimana epidemiologi dari demam tifoid dan demam dengue?
3. Apa penyebab dari Demam tifoid dan demam dengue dan bagaimana
perjalanan penyakitnya?
4. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dari Demam tifoid dan demam
dengue?

C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalaha sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi demam tifoid dan demam
dengue
2. Untuk memaparkan epidemiologi dari demam tifoid dan demam dengue
3. Untuk menjelaskan etiologi dan patomekanisme dari Demam tifoid dan
demam dengue
4. Untuk mengetahui cara penegakkan diagnosis dari Demam tifoid dan
demam dengue

BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan
pencernaan dan dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid
adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut (Ardiaria,
2019).
Demam berdarah dengue merupakan penyekit yang penyebarannya
paling cepat. Infeksi virus dengue (DENV) merupakan infeksi yang
menjadi salah satu masalah kesehatan utama didunia dan merupakan
salah satu infeksi yang sangat berbahaya terutama dinegara tropis seperti
Indonesia (Supardan, 2016)
2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO (World Health Organisation)
memperkirakan angka insidensi demam tifoid di seluruh dunia
diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus, angka
kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di
Asia. Berdasarkan WHO angka penderita demam tifoid di Indonesia
mencapai 81% per 100.000 (Rahmasari, 2018; Ulfa, 2018).
World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 390 juta
kasus infeksi virus dengue pertahun. Kematian akibat virus
denguedilaporkan 20ribu orang pertahun. Angka kejadian infeksi virus
dengue diIndonesia pada tahun 2013 dilaporkan 41,25 per 100.000
penduduk Indonesia dengan angka kematian sebesar 0,7% (Hidayatullah,
2017)

3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi A, B dan C dari Genus Salmonella. Bakteri ini
berbentuk basil, gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul
dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini
dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air,
es, sampah dan debu. penularan demam tifoid melalui fecal dan oral yang
masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Nuruzzaman, 2016; Rahmat, 2019).
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 derajat celcius)
selama 15 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Genus
Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan
Salmonella bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica
dibagi ke dalam enam jenis subspecies yang dibedakan berdasarkan
komposisi karbohidrat, flagell, dan/sertastruktur lipopolisakarida.
Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp.
Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp.
Indica (Rahmat, 2019).
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit arbovirus terbanyak
didunia. Infeksi penyakit virus dengue disebabkan oleh vitrus DENV 1.
DENV 2, DENV 3, DENV 4. Virus dengue ditularkan melalui vector
nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus (Hidayatullah, 2017)
4. Patomekanisme
1. Demam Tifoid
Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu
dikenal dengan 5F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses) Feses dan
muntahan dari penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri
Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut ditularkan melalui
makanan atau minuman yang telah terkontaminasi dan melalui perantara
lalat, di mana lalat tersebut akan hinggap di makanan yang akan
dikonsumsi oleh orang sehat. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang telah
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus,
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikulo endotelial tubuh terutama hati dan
limpa (Rahmat, 2019).
Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya
melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding
usus atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di
hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan
produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinalataupun sel
hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.
Penularan Salmonella typhisebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses.
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya.
2. Demam Dengue
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam
berdarah dengue. Infeksi virus dengue dapat menyebabkan aktifasi
magrofag yang memfagositosis kompleks virus antibody non-netralisasi
sehingga virus bereplikasi pada magrofa. Terjadinya infeksi magrofag
oleh virus dengue mengakibatkan aktifasi T-helper dan T-sitotoksik
sehingga diproduksi limfokin dan interferon gama. Interferon gama akan
menyebabkan aktifasi monosit dan histamine yang dapat menyebabkan
kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi terjadi melalui
mekanisme supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekaan masa
hidup trombosit(<5hari). Destruksi trombosit disebabkan karena
peningkatan C3g, terdapatnya virus dengue. Gangguan fungi trombosit
terjadi melalui mekanisme pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan penanda degranulasi trombosit
(Setiati,2014)
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit
bervariasi pada populasi yang berbeda. Faktor yang dapat berpengaruh
yaitu umur pasien, lamanya penyakit, pemilihan antimikroba, riwayat
imunisasi, virulensi dan jumlah bakteri yang tertelan, dan status imun
pejamu (IDAI, 2016).
Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa
gastroenteritis dan sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita
demam tifoid. Pada kelompok usia kurang dari 5 tahun, gejala yang
muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang hanya berupa demam
disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis dengan
cepat, dapat mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5
tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid biasa dijumpai.
1,3,4Setelah seorang terinfeksi S. Typhi, periode asimtomatik
berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Onset bakteremia ditandai
gejala demam dan malaise. Demam bersifat remitten progresif dan pada
minggu kedua demam menetap tinggi (39-40°C). Pasien umumnya
datang ke RS menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam,
gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk
kering dan mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan
splenomegali sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga
dapat ditemukan pada demam tifoid. Rose spot berupa lesi
makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm dilaporkan pada 5%-
30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Pada kasus berat,
komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis, supresi
sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati,
kolesistitis, osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan syndrome
of inappropriate release of antidiuretic hormone (SIADH) (IDAI, 2016).
Pada umumnya pasien yang mengalami infeksi virus dengue
mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama
2-3 hari. Pada fase ini pasien sudah tidak demam, tetapi mempunyai
resiko jika tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat (Setiati, 2014)

6. Pemeriksaan penunjang
1. Demam Tifoid
Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu
kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur
darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan
ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas
<50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum
tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun
invasif dan sulit dilakukan dalam praktek(IDAI, 2016).
Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas
yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan
darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-flagelin PCR
terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas
87,9%. Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi
gen spesifik S. typhidari darah pasien dan merupakan pemeriksaan
diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. Typhi dapat dideteksi dari
spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22
(90%), dan tinja 15/22 (68,1%). Sampai saat ini, pemeriksaan PCR
di Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian (IDAI,
2016).
Rapid Test
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini
merupakan diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan
dikembangkan, mengingat sebagian besar penderita demam tifoid
adalah penduduk negara berkembang dengan sarana laboratoriumnya
terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi
antibodi IgM terhadap antigen spesifik outer membrane protein
(OMP) dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyak
penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid
dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex) R dan IgM
terhadap S. Typhi(Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan spesifisitas
berkisar 70% dan 80%. Studi meta analisis di 2015 menunjukkan
bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 88%.
Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak
direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan
kultur darah dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas.
Penelitian di Bangladesh (2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki
sensitivitas 60%, spesifisitas 58%, positive predictive value 90% dan
negative predictive value 58%; sedangkan Typhidot memiliki
sensitivitas 67%, spesifisitas 54%, positive predictive value 85% dan
negative predictive value 81% (IDAI, 2016).

2. Demam Dengue

Diagnosis pasti hasil isolasi virus dengue yaitu dengan melakukan cell
kultur ataupun deteksi antigen virus RNA dengan teknik RT-PCR.
Parameter laboratoris yaitu: (Setiati, 2014)
a. Leukosit: Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative (>45dari
leukosit) serta ditandai dengan Limfosit Plasma Biru (LBP) >15% dari
total leukosit dan pada fase syok akan meningkat
b. Trombosit: Umumnya terjadi trombositopenia pada hari ke3-8
c. Hematokrit: Kebocoran plasma dapat menyebabkan peningkatan
hematocrit >20% yang umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
d. Hemostatis: Memalui pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen atau FDP
pada kelainan yang dicurigain terjadi pendarahan atau kelainan
pembekuan darah
e. SGOT/SGPT dapat meningkat
f. Ureum kreatinin diperksa bila didapatkan kelainan fugsi ginjal
g. Elektrolit digunakan untuk pemantauan vairan tubuh
h. Imunoserologi: IgM (terdeteksi pada hari ke 3-5, meningkat pada
minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari), IgG(mulai terdeteksi
pada hari ke-2)

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari isi makalah ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penyakit
demam tifoid dan demam dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang
sering ditemukan diindonesia dengan mortalitas dan morbiditas yang cukup
tinggi. Sangatlah diperlukan gerakan pencegahan dari penyebaran penyakit
ini serta penanganan yang perlu dikembangkan dalam menekan prevalensi
penyakit ini khususnya diindonesia.
B. SARAN
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiaria, M. (2019) Epidemiologi, Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan
Demam Tifoid. Journal of Nutrition andHealth; 7(2):32-6a
Hidayatullah, M, A, A, M., Aisyah, R. 2017. Hubungan jumlah eritrosit pada
pasien infeksi virus dengue di RS X Surakarta. Jurnal biomedika. Vol 9 No 2.
Diakses pada 23 april 2020. Diakses dari https://google.scholar
Nuruzzaman, H., Syahrul, F. (2016) Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid
Berdasarkan Kebersihan Diri Dan Kebiasaan Jajan Di Rumah. Jurnal
Berkala Epidemiologi; 4(1): 74–8
Rahmasari, V., Lestari, K. (2018) Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid:
Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis. Farmaka; 16(1):185
Rahmat, W., Akune, K., Sabir, M. (2019) Demam Tifoid dengan Komplikasi
Sepsis: Pengertian, Epidemiologi, Patogenesis, danSebuah Laporan Kasus.
Jurnal Medical Profession; 3(3):220-2
Rekomendasi (No: 018/Rek/PP IDAI/VII/2016) Tentang pemeriksaan Penunjang
Diagnostik Demam Tifoid
Supardan, D., Widada, J., Wibawa, T., et all. 2016. Uji valibilitas virus dengue
serotype 3 pada beberapa galur sel (Cell-Line). Jurnal universitas gajahmada.
Vol 8 No 1. Diakses pada 23 april 2020. Diakses dari https://google.scholar
Setiati, S., Alwi, A, W., Sudoyo, A, W., et all. 2014. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid I edisi VI. Jakarta: InternaPublishing
Ulfa, F., Handayani, O. W. K. (2018) Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pagiyanten. Higeia Journal Of Public Health Research And
Development; 2(2):228-9

Anda mungkin juga menyukai