Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL TERAPI BERMAIN PUZZLE PADA ANAK USIA TODDLER

DI RUANG MERANTI RS. UNAND


PADANG

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 12

Suci rahayu 2114201047


Sovia Sartika 2114201045
Jelvin 21142010
Srikavella Utama 2114201046
Siska Luniza 2114201153
Tita Nuraziza 2114201156
Mifthahul jannah’in (2114201079)
Sri Rahayu 2114201154
Zivana Shiwie Saretta 2114201053
Svaviti christi telaumbanua 2114201155

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktivitas bermain merupakan salah satu stimulasi bagi perkembangan anak
secara optimal. Dalam kondisi sakit atau anak dirawat di rumah sakit, aktivitas
bermain ini tetap dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan kondisi anak.
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang
sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.
Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak
karena menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit.
Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan
dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi
melalui kesenangannya melakukan permainan.
Tujuan bermain di rumah sakit pada prinsipnya adalah agar dapat
melanjutkan fase pertumbuhan dan perkembangan secara optimal,
mengembangkan kreatifitas anak, dan dapat beradaptasi lebih efektif terhadap
stress. Bermain sangat penting bagi mental, emosional, dan kesejahteraan anak
seperti kebutuhan perkembangan dan kebutuhan bermain tidak juga terhenti
pada saat anak sakit atau anak di rumah sakit
Dengan bermain anak dapat menstimulasi pertumbuhan otot-ototnya,
kognitifnya dan juga emosinya karena mereka bermain dengan seluruh
emosinya, perasaannya dan pikirannya. Elemen pokok dalam bermain adalah
kesenangan dimana dengan kesenangan ini mereka mengenal segala sesuatu
yang ada disekitarnya sehingga anak yang mendapat kesempatan cukup untuk
bermain juga akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mengenal
sekitarnya sehingga ia akan menjadi orang dewasa yang lebih mudah berteman,
kreatif dan cerdas, bila dibandingkan dengan mereka yang masa kecilnya
kurang mendapat kesempatan bermain
Terapi bermain yang akan dilaksanakan yaitu bermain menyusun puzzle.
Alasan memilih terapi bermain menyusun puzzle adalah untuk mengembangkan
motorik halus, keterampilan kognitif dan kemampuan berbahasa. Puzzle
merupakan salah satu bentuk permainan yang membutuhkan ketelitian, melatih
untuk memusatkan pikiran, karena kita harus berkonstrasi ketika meyusun
kepingan-kepingan puzzle tersebut hingga menjadi sebuah gambar yang utuh
dan lengkap. Sehingga puzzle merupakan jenis permainan yang memiliki nilai-
nilai edukatif.
Pada tanggal 8 januari 2024 sampai tanggal 18 januari 2024 jumlah pasien
anak diruang Meranti Rs. Unand Padang berjumlah 26 orang, rata-rata pasien
anak dengan usia toddler. Diruangan meranti ini belum pernah dilakukan terapi
bermain puzzle.
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan yang berencana
atau darurat mengharusakan anak untuk tinggal di rumah sakit. Selama
proses tersebut anak dan orangtua dapat mengalami kejadian yang
ditunjukkan dengan pengalaman traumatic dan perasaan penuh dengan stress.
Reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit berbeda-beda pada
masing-masing individu sesuai dengan tingkat perkembangannya. Perasaan
yang sering muncul pada anak yaitu cemas, marah sedih, takut dan rasa
bersalah. Salah satu dampak yang sering dialami oleh anak yang
mengalami hospitalisasi adalah kecemasan (Supartini, 2012). Perasaan
tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah
dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan nyaman, perasaan kehilangan
sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan
(Supartini, 2004).
Wong(2001) mengatakan bahwa populasi anak yang dirawat di rumah sakit
mengalami peningkatan yang dramatis. Presentase anak yang dirawat di rumah
sakit saat ini mengalami masalah yang lebih serius dan kompleks dibandingkan
kejadian hospitalisasi pada tahun sebelumnya. Mc Certy dan Kozak
mengatakaan hampir 40 juta anak dalam setahun mengalami hospitalisasi.
Menurut WHO pada tahun 2008 didapatkan sebanyak hampir 80 % anak
diharuskan tinggal di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Pada tahun 2010
di Indonesia sebanyak 33,2% dari 1.425 anak mengalami dampak hospitalisasi
berat, 41,6% mengalami hospitalisasi sedang. Sedangkan data WHO pada
tahun (2012) bahwa 3%–10% pasien anak yang dirawat di Amerika Serikat
baik anak usia todler, prasekolah ataupun anak usia sekolah.Dan sekitar 3%
sampai dengan 7% dari anak todler, anak prasekolah yang dirawat di Jerman
5% - 10% merupakan anak yang di hospitalisasi (Purwandari, 2013). Menurut
data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2010 jumlah
anak usia prasekolah di Indonesia sebesar 72% dari jumlah total penduduk
Indonesia, diperkirakan dari 35 per 100 anak menjalani hospitalisasi dan 45%
diantaranya mengalami kecemasan. Menurut Dinkes Jawa Timur angka
kejadian anak sakit sebesar 31,5% pada tahun 2012. Prevalensi untuk
kecemasan anak pada saat hospitalisasi mencapai 75% Berdasarkan data
awal penelitian jumlah anak yang dirawat di rumah sakit Al-Irsyad Surabaya
dalam sebulan terakhir sebanyak 102 anak dan yang mengalami kecemasan
sebanyak 10 anak, 1 anak mengalami kecemasan berat, 3 anak mengalami
kecemasan sedang dan 6 anak mengalami kecemasan ringan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan pada anak yang dirawat di
Rumah Sakit antara lain akibat perubahan status kesehatan maupun
lingkungan dalam kebiasaan sehari-hari, keterbatan dalam mekanisme koping
untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan
(Whaley Wong, 2011). Semakin muda anak semakin sukar baginya untuk
menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di rumah sakit(Sacharin,
1996). Hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi bayi yang masih sangat muda,
walaupun tetap dapat merasakan adanya pemisahan. Selain itu, pengalaman
anak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat berpengaruh.
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di
rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya
apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan
menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini,
2004).
Pada tanggal 8 januari 2024 sampai tanggal 18 januari 2024 jumlah pasien
anak diruang Meranti Rs. Unand Padang berjumlah 26 orang, rata-rata pasien
anak dengan usia toddler. Diruangan meranti ini belum pernah dilakukan terapi
bermain puzzle.Oleh karena itu kelompok melakukan terapi bermain diruangan
meranti rs. Unand padang tentang terapi bermain puzzle

B. Tujuan
Rumah sakit Unand Padang tentang tarapi bermain puzer :
1. Tujuan Umum
Anak diharapkan dapat melanjutkan tumbuh kembangnya,
mengembangkan aktifitas dan kreatifitas melalui pengalaman bermain dan
beradaptasi efektif terhadap stress karena penyakit dan dirawat.

2. Tujuan Khusus
a. Setelah mengikuti permainan selama 30 menit anak akan mampu:
b. Mengembangkan kreativitas dan daya pikirnya
c. Mengekspresikan perasaannya selam menjalani perawat.
d. Mengekspresikan rasa senangnya terhadap permainan
e. Beradaptasi dengan lingkungan
f. Mempererat hubungan antara perawat dan anak
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Hospitalisasi

A. Konsep Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan


yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah. (Supartini, 2004).

Hospitalisasi adalah bentuk stresor individu yang berlangsung


selama individu tersebut dirawat di rumah sakit. (Muhaj, 2009).

Hospitalisasi pada anak-anak (Hospitalisme in children) adalah


suatu sindrom yang berkaitan erat dengan depresi (depresen) analitik,
terjadi pada di rumah sakit yang dirawat secara terpisah dari ibunya atau
pengganti peran ibu dalam kurun waktu yang lama. Kondisi ini ditandai
dengan tidak adanya kegairahan, tidak responsif, kurus, pucat, nafsu
makan buruk, tidur terganggu, episode demam, hilangnya kebiasaannya
menghisap dan nampak tidak bahagia. Gangguan ini dapat pulih kembali
dengan anak dalam waktu 2-3 minggu. (Bastman dkk, 2004).

B. Reaksi Orang Tua Terhadap Hospitalisasi Anak


Menurut Supartini (2004), reaksi orang tua terhadap perawatan
anak di rumah sakit dan latar belakang yang menyebabkan dapat diuraikan
sebagai berikut :

a. Perasaan Cemas dan Takut

Perasaan yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan
cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama
secara berulang pada orang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan
marah.

b. Perasaan Sedih

Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi


terminal dan orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan
anaknya untuk sembuh. Bahkan, pada saat menghadapi anaknya yang
menjelang ajal, rasa sedih dan berduka akan dialami oleh orang tua.
Disatu sisi orang tua dituntut untuk berada disamping anaknya dan
memberi bimbingan spiritual pada anaknya, dan disisi lain mereka
menghadapi ketidakberdayaan karena perasaan terpukul dan lebih
yang amat sangat. Pada kondisi ini orang tua menunjukkan perilaku
isolasi atau tidak mau didekati orang lain bahkan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan

c. Perasaan Frustasi

Pada kondisi anak yang telah dirawat cukup lama dan


dirasakan tidak mengalami perubahan serta tidak ada kuatnya
dukungan psikologi yang diterima orang tua baik dari keluarga
maupun kerabat lainnya maka orang tua akan merasa putus asa,
bahkan frustasi. Oleh karena itu, seringkali orang tua menunjukkan
perilaku tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, bahkan
menginginkan pulang paksa.

Sedangkan menurut Nursalam (2005), reaksi keluarga terhadap


anak yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit antara lain:
a. Reaksi orang tua

Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit di
pengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain :

1). Tingkat keseriusan penyakit anak

2). Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit.

3). Prosedur pengobatan.

4). Sistem pendukung yang tersedia.

5). Kekuatan ego individu.

6). Kemampuan dalam penggunaaan koping.

7). Dukungan dari keluarga.

8). Kebudayan dan kepercayaan

b. Reaksi saudara kandung (sibling)

Reaksi saudara sekandung terhadap anak yang sakit dan di rawat di rumah sakit
adalah kesepian, ketakutan, kekhawatiran, marah, cemburu, benci, dan merasa
bersalah. Orang tua sering kali mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap
anak yang sakit di bandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan
menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan anak merasa ditolak.

c. Penurunan peran anggota keluarga.

Dampak dari perpisahan terhadap peran keluarga adalah


kehilangan peran orang tua, saudara, dan anak cucu. Perhatian orang
tua hanya tertuju pada anak yang sakit. Akibatnya saudara-saudaranya
yang lain menganggap bahwa hal tersebut tidak adil. Respon tersebut
biasanya tidak disadari dan tidak disengaja. Orang tua sering
menyalahkan perilaku saudara kandung tersebut sebagai perilaku anti
sosial. Sakit akan membuat anak kehilangan kebersamaan mereka
dengan anggota keluarga yang lain atau teman sekelompok

d. Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan

1. Roming in

Roming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika


tidak bisa, sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat
untuk mempertahankan kontak/komunikasi antara orang tua anak

2. Partisipasi orang tua

Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat


anak yang sakit, terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan.
Perawat dapat memberikan kesempatan pada orang tua untuk
menyiapkan makanan anak dan memandikannya. Dalam hal ini,
perawat berperan sebagai pendidik kesehatan (health educator)
bagi keluarga

3. Membuat ruangan perawatan seperti situasi di rumah dengan


mendekorasi dinding memakai poster/kartu bergambar sehingga anak merasa
aman jika diruang anak tersebut.

lllllllllllll. Konsep Bermain


A. Pengertian Bermain
Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan
sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan
bermain, anak akan berkata-kata, belajar memnyesuaikan diri dengan
lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak,
serta suara

B. Tujuan Bermain.
Tujuan bermain pada anak yaitu memberikan kesenangan maupun
mengembangkan imajinsi anak. Sebagai suatu aktifitas yang memberikan
stimulus dalam kemampuan keterampilan, kognitif, dan afektif sehingga anak
akan selau mengenal dunia, maupun mengembangkan kematangan fisik,
emosional, dan mental sehingga akan membuat anak tumbuh menjadi anak
yang kreatif, cerdas dan penuh inovatif.

C. Fungsi Bermain
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-
motorik, perkembangan intelektual, perkembangan social, perkembangan
kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain
sebagai terapi.
1. Perkembangan Sensoris – Motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik
merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif
sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat permainan
yang digunakan untuk bayi yang mengembangkan kemampuan sensoris-
motorik dan alat permainan untuk anak usia toddler dan prasekolah yang
banyak membantu perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun
halus.

2. Perkembangan Intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi
terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama
mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat
bermain pula anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat
anak bermain mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat
memperbaikinya maka ia telah belajar memecahkan masalahnya melalui
eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak
menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin
sering anak melakukan eksplorasi seperti ini akan semakin terlatih
kemampuan intelektualnya.
3. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan
menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk
mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari
hubungan tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar
berinteraksi dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar
tentang nilai sosial yang ada pada kelompoknya. Hal ini terjadi terutama
pada anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak usia toddler
dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas
sosialnya dilingkungan keluarga.
4. Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang
dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba
untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan
memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk
semakin berkembang.
5. Perkembangan Kesadaran Diri
Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya dalam
mengatur mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal
kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji
kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak
tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan
temannya sehingga temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan
diri bahwa perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang
tua untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya
dengan kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari
perilakunya terhadap orang lain
6. Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama
dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan
mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga
dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan
bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan
mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar bertanggung-jawab atas
segala tindakan yang telah dilakukannya. Misalnya, merebut mainan teman
merupakan perbuatan yang tidak baik dan membereskan alat permainan
sesudah bermain adalah membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab
terhadap tindakan serta barang yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan
kognitifnya, bagi anak usia toddler dan prasekolah, permainan adalah media
yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan
memberikan nasihat. Oleh karena itu, penting peran orang tua untuk
mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dan mengajarkan
nilai moral, seperti baik/buruk atau benar/salah.

D. Kategori Bermain
Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain
aktif dan yang pasif yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif
kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan
bermain pasif kesenangan didapatkan dari orang lain.

1. Bermain aktif
a. Bermain mengamati /menyelidiki (Exploratory play)
b. Perhatikan pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat
permainan tersebut. Anak memperhatikan alat permainan, mengocok-
ngocok apakah ada bunyi mencuim, meraba, menekan, dan kadang-
kadang berusaha membongkar.
c. Bermain konstruksi (construction play)
d. Pada anak umur 3 tahun, misalnya dengan menyusun balok-balok
menjadi rumah-rumahan. Dll.
e. Bermain drama (dramatik play)
f. Misalnya main sandiwara boneka, main rumah-rumahan dengan
saudara-saudaranya atau dengan teman-temanny
g. Bermain bola, tali, dan sebagainya
2. Bermain pasif
Dalam hal ini anak berperan pasif, antara lain dengan melihat dan
mendengar. Bermain pasif ini adalah ideal, apabila anak sudah lelah
bermain aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan
keletihannya.
Contohnya:
a. Melihat gambar- gambar dibuku- buku/ majalah
b. Mendengarkan cerita atau musik
c. Menonton televisi, Dll

E. Hal-hal yang Harus Diperhatikan


1. Bermain/alat bermain harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
2. Permainan disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
3. Ulangi suatu cara bermain sehingga anak terampil, sebelum meningkat
pada keterampilan yang lebih majemuk.
4. Jangan memaksa anak bermain, bila anak sedang tidak ingin bermain.
Jangan memberikan alat permainan terlalu banyak atau sedikit.

1. Usia 1-2 Tahun


Tujuannya adalah :
a. Mencari sumber suara/mengikuti sumber suara.
b. Memperkenalkan sumber suara.
c. Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik.
d. Melatih imajinasinya.
e. Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari semuanya dalam bentuk
kegiatan yang menarik
Alat permainan yang dianjurkan:
a. Genderang, bola dengan giring-giring didalamnya.
b. Alat permainan yang dapat didorong dan ditarik.
c. Alat permainan yang terdiri dari: alat rumah tangga(misal: cangkir yang
tidak mudah pecah, sendok botol plastik, ember, waskom, air), balok-
balok besar, kardus-kardus besar, buku bergambar, kertas untuk dicoret-
coret, krayon/pensil berwarna.
2. Usia 2– 3 Tahun
Tujuannya adalah ;
a. Menyalurkan emosi atau perasaan anak.
b. Mengembangkan keterampilan berbahasa.
c. Melatih motorik halus dan kasar.
d. Mengembangkan kecerdasan (memasangkan, menghitung, mengenal dan
membedakan warna).
e. Melatih kerjasama mata dan tangan.
f. Melatih daya imajinansi.
g. Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda.
Alat permainan yang dianjurkan :
a. Pasel (puzzel) sederhana.

F. Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain


1. Tahap perkembangan anak, aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak
yaitu harus sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak,
karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
2. Status kesehatan anak, untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi
bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat anak sedang sakit.
3. Jenis kelamin anak, semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-
laki atau anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi,
kreativitas dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi, permainan adalah salah
satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri.
4. Lingkungan yang mendukung, dapat menstimulasi imajinasi anak dan
kreativitas anak dalam bermain.
5. Alat dan jenis permainan yang cocok, harus sesuai dengan tahap tumbuh
kembang anak.

G. Tahap Perkembangan Bermain


1. Tahap eksplorasi
Merupakan tahapan menggali dengan melihat cara bermain
2. Tahap permainan
Setelah tahu cara bermain, anak mulai masuk dalam tahap permainan
3. Tahap bermain sungguhan
Anak sudah ikut dalam permainan
4. Tahap melamun
Merupakan tahapan terakhir anak membayangkan permainan berikutnya.

H. Prinsip Bermain Di Rumah Sakit


1. Tidak banyak energi, singkat dan sederhana
2. Tidak mengganggu jadwal kegiatan keperawatan dan medis
3. Tidak ada kontra indikasi dengan kondisi penyakit pasien
4. Permainan harus sesuai dengan tahap tumbuh kembang pasien
5. Jenis permainan disesuaikan dengan kesenangan anak
6. Permainan melibatkan orang tua untuk melancarkan proses kegiatan

I. Hambatan Yang Mungkin Muncul


1. Usia antar pasien tidak dalam satu kelompok usia
2. Pasien tidak kooperatif atau tidak antusias terhadap permainan
3. Adanya jadwal kegiatan pemeriksaan terhadap pasien pada waktu yang
bersamaan.

J. Antisipasi hambatan
1. Mencari pasien dengan kelompok usia yang sama
2. Libatkan orang tua dalam proses terapi bermain
3. Jika anak tidak kooperatif, ajak anak bermain secara perlahan-lahan
4. Perawat lebih aktif dalam memfokuskan pasien terhadap permainan
1. Kolaborasi jadwal kegiatan pemeriksaan pasien dengan tenaga kesehatan
lainnya.

lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
Konsep Bermain Puzzel
A. Pengertian Bermain Puzzel
Puzzel berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau bongkar
pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang dimainkan dengan
bongkar pasang. Berdasarkan pengertian tentang media puzzle, maka dapat
disimpulkan bahwa media puzzle merupakan alat permainan edukatif yang
dapat merangsang kemampuan matematika anak, yang dimainkan dengan cara
membongkar pasang kepingan puzzle berdasarkan pasangannya.

B. Fungsi Bermain Puzzel


Permainan puzzle berfungsi untuk:
1. Melatih konsentrasi, ketelitian dan kesabaran
2. Melatih koordinasi mata dan tangan. Anak belajar mencocokkan keping-
keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar.
3. Memperkuat daya ingat
4. Mengenalkan anak pada konsep hubungan
5. Dengan memilih gambar/bentuk, dapat melatih anak untuk berfikir
matematis (menggunakan otak kiri).

C. Jenis-jenis Puzzel
Ada beberapa jenis puzzle, antara lain:
1. Puzzle konstruksi
Puzzle rakitan (construction puzzle) merupakan kumpulan potongan-
potongan yang terpisah, yang dapat digabungkan kembali menjadi beberapa
model. Mainan rakitan yang paling umum adalah blok-blok kayu sederhana
berwarna-warni. Mainan rakitan ini sesuai untuk anak yang suka bekerja
dengan tangan, suka memecahkan puzzle, dan suka berimajinasi.

2. Puzzle batang (stick)


Puzzle batang merupakan permainan teka-teki matematika sederhana
namun memerlukan pemikiran kritis dan penalaran yang baik untuk
menyelesaikannya. Puzzle batang ada yang dimainkan dengan cara membuat
bentuk sesuai yang kita inginkan ataupun menyusun gambar yang terdapat
pada batang puzzle.
3. Puzzle lantai
Puzzle lantai terbuat dari bahan sponge (karet/busa) sehingga baik untuk
alas bermain anak dibandingkan harus bermain di atas keramik. Puzzle lantai
memiliki desain yang sangat menarik dan tersedia banyak pilihan warna yang
cemerlang. Juga dapat merangsang kreativitas dan melatih kemampuan
berpikir anak. Puzzle lantai sangat mudah dibersihkan dan tahan lama.

4. Puzzle angka
Mainan ini bermanfaat untuk mengenalkan angka. Selain itu anak dapat
melatih kemampuan berpikir logisnya dengan menyusun angka sesuai
urutannya. Selain itu, puzzle angka bermanfaat untuk melatih koordinasi mata
dengan tangan, melatih motorik halus serta menstimulasi kerja otak.
5. Puzzle transportasi
Transportasi merupakan permainan bongkar pasang yang memiliki
gambar berbagai macam kendaraan darat, laut dan udara. Fungsinya selain
untuk melatih motorik anak, juga untuk stimulasi otak kanan dan otak kiri.
Anak akan lebih mengetahui macam-macam kendaraan.
6. Puzzle logika
Puzzle logika merupakan puzzle gambar yang dapat mengembangkan
keterampilan serta anak akan berlatih untuk memecahkan masalah. Puzzle ini
dimainkan dengan cara menyusun kepingan puzzle hingga membentuk suatu
gambar yang utuh.
7. Puzzle geometri
Puzzle geometri merupakan puzzle yang dapat mengembangkan
keterampilan mengenali bentuk geometri (segitiga, lingkaran, persegi dan
lain-lain), selain itu anak akan dilatih untuk mencocokkan kepingan puzzle
geometri sesuai dengan papan puzzlenya.
8. Puzzle Penjumlahan dan Pengurangan
Puzzle penjumlahan dan pengurangan merupakan puzzle yang dapat
mengembangkan kemampuan logika matematika anak. Dengan puzzle
penjumlahan dan pengurangan anak memasangkan kepingan puzzle sesuai
dengan gambar pasangannya.
D. Cara Bermain Puzzel
2. Sediakan kertas puzzel bergambar
3. Bongkar kertas pazzel tersebut
4. Pasang kembali kertas pazzel sesuai pasangannya masing
5. Di anjurkan lebih baik pada bagian ujung kertas terlebih dahulu
6. Setelah itu bagian samping dengan sesuai pasangannya
7. Kerjakan sampai selesai sesuai dengan gambar seperti semula sebelm kertas
puzzel di bongkar
BAB III
SAP TERAPI BERMAIN

Pokok Bahasan : Terapi Bermain Pada Anak Di Rumah Sakit


Sub Pokok Bahasan : Terapi Bermain Anak Usia 3-5 tahun
Tujuan : Mengoptimalkan Tingkat Perkembangan Anak
Hari / Tanggal : Senin/ 15 Januari 2024
Jam / Durasi : Pukul. 09.00 sd selesai
Tempat Bermain : Ruang meranti

A. Peserta :
1. Anak usia 3 – 5 tahun
2. Tidak mempunyai keterbatasan fisik
3. Dapat berinteraksi dengan perawat dan keluarga
4. Pasien kooperatif
5. Peserta terdiri dari : Anak usia pra sekolah dan sekolah sebanyak 3 orang
didampingi keluarga
B. Sarana dan Media
1. Sarana:
a. Ruangan tempat bermain
b. Tikar untuk duduk
2. Media : Gambar yang belum disusun (Puzzel)

C. Pengorganisasian
Jumlah leader 1 orang, co leader 1 orang, fasilitator 2 orang dan 1 orang
observer dengan susunan sebagai berikut :
Leader : Siska Luniza
Co leader : Sri Rahayu
Observer : Miftahul Jannah
Fasilitator : Suci Rahayu,Srikavelaa Utama, Jelvin, Svavity, Zivana, Tita

D. Pembagian Tugas :
1. Peran Leader
a. Katalisator, yaitu mempermudah komunikasi dan interaksi dengan jalan
menciptakan situasi dan suasana yang memungkinkan klien termotivasi
untuk mengekspresikan perasaannya
b. Auxilery Ego, sebagai penopang bagi anggota yang terlalu lemah atau
mendominasi
c. Koordinator, yaitu mengarahkan proses kegiatan kearah pencapaian
tujuan dengan cara memberi motivasi kepada anggota untuk terlibat
dalam kegiatan
2. Peran Co Leader
a. Mengidentifikasi issue penting dalam proses
b. Mengidentifikasi strategi yang digunakan Leader
c. Mencatat modifikasi strategi untuk kelompok pada sesion atau kelompok
yang akan dating
d. Memprediksi respon anggota kelompok pada sesion berikutnya
3. Peran Fasilitator
a. Mempertahankan kehadiran peserta
b. Mempertahankan dan meningkatkan motivasi peserta
c. Mencegah gangguan atau hambatan terhadap kelompok baik dari luar
maupun dari dalam kelompok
4. Peran Observer
a. Mengamati keamanan jalannya kegiatan play therapy
b. Memperhatikan tingkah laku peserta selama kegiatan
c. Memperhatikan ketepatan waktu jalannya kegiatan play therapy
d. Menilai performa dari setiap tim terapis dalam memberikan terapi

E. Setting Tempat
F. Susunan Kegiatan
No Waktu Terapy Anak Ket
1 5 Pembukaan :
menit 1. Co-Leader membuka dan 1. Menjawab salam
mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri terap 2. Mendengarkan
3. Memperkenalkan 3. Mendengarkan
pembimbing
4. Memperkenalkan anak satu 4. Mendengarkan dan
persatu dan anak saling saling berkenalan
berkenalan dengan
temannya 5. Mendengarkan
5. Kontrak waktu dengan anak 6. Mendengarkan
6. Mempersilahkan Leader
2 20 Kegiatan bermain :
menit 1. Leader menjelaskan cara 1. Mendengarkan
permainan
2. Menanyakan pada anak, 2. Menjawabpertanyaan
anak mau bermain atau tidak
3. Menbagikan permainan 3. Menerima permainan
4. Leader ,co-leader, dan 4. Bermain
Fasilitator memotivasi anak
5. Fasilitator mengobservasi 5. Bermain
anak
6. Menanyakan perasaan anak 6. Mengungkapkan
perasaan
3 5 Penutup :
menit 1.Leader Menghentikan 1. Selesai bermain
permainan
2.Menanyakan perasaan anak 2. Mengungkapkan
3.Menyampaikan hasil perasaan
permainan 3. Mendengarkan
4.Memberikan hadiah pada 4. Senang
anak yang cepat
menyelesaikan gambarnya
dan bagus
5.Membagikan 5. Senang
souvenir/kenang-kenangan
pada semua anak yang
bermain
6.Menanyakan perasaan anak 6. Mengungkapkan
7.Co-leader menutup acara perasaan
8.Mengucapkan salam 7. Mendengarkan
8. Menjawab salam

G. Evaluasi
1. Evaluasi struktur yang diharapkan
a. Alat-alat yang digunakan lengkap
b. Kegiatan yang direncanakan dapat terlaksana
2. Evaluasi proses yang diharapkan
a. Terapi dapat berjalan dengan lancar
b. Anak dapat mengikuti terapi bermain dengan baik
c. Tidak adanya hambatan saat melakukan terapi
d. Semua anggota kelompok dapat bekerja sama dan bekerja sesuai
tugasnya
3. Evaluasi hasil yang diharapkan
a. Anak dapat mengembangkan motorik halus dengan menghasilkan satu
gambar yang diwarnai, kemudian digantung
b. Anak dapat mengikuti kegiatan dengan baik
c. Anak merasa senang
d. Anak tidak takut lagi dengan perawat
e. Orang tua dapat mendampingi kegiatan anak sampai selesai
f. Orang tua mengungkapkan manfaat yang dirasakan dengan aktifitas
bermain

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masuk rumah sakit merupakan peristiwa yang sering menimbulkan
pengalaman traumatik, khususnya pada pasien anak yaitu ketakutan dan
ketegangan atau stress hospitalisasi. Stress ini disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya perpisahan dengan orang tua, kehilangan control, dan akibat dari
tindakan invasif yang menimbulkan rasa nyeri. Akibatnya akan menimbulkan
berbagai aksi seperti menolak makan, menangis, teriak, memukul, menyepak,
tidak kooperatif atau menolak tindakan keperawatan yang diberikan.
Bermain adalah salah satu bagian dari kehidupan anak dan salah satu alat
paling penting untuk menatalaksanakan stres karena hospitalisasi menimbulkan
krisis dalam kehidupan anak, dan karena situasi tersebut sering disertai stress
berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan
cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stress.
Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak yang
mencerminkan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan social anak
tersebut, Salah satunya adalah puzzle.
B. Saran
1. Orang tua
Sebaiknya orang tua lebih selektif dalam memilih permainan bagi
anak agar anak dapat tumbuh dengan optimal. Pemilihan permainan yang
tepat dapat menjadi poin penting dari stimulus yang akan didapat dari
permainan tersebut. Faktor keamanan dari permainan yang dipilih juga
harus tetap diperhatikan.
2. Rumah Sakit
Sebagai tempat pelayanan kesehatan, sebaiknya rumah sakit dapat
meminimalkan trauma yang akan anak dapatkan dari hospitalisasi dengan
menyediakan ruangan khusus untuk melakukan tindakan.

3. Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan dapat tetap membantu anak untuk mengurangi
dampak hospitalisasi dengan terapi bermain yang sesuai dengan tahap
tumbuh kembang anak. Karena dengan terapi bermain yang tepat, maka
anak dapat terus melanjutkan tumbuh kembang anak walaupun dirumah
sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC


Supartini, Yupi. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
http://belajarbarengrizalyuk.blogspot.com/2013/10/terapi-bermain-mewarnai.html
http://belajarbarengrizalyuk.blogspot.com/2013/10/terapi-bermain-mewarnai.html
Lampiran

Lembar Observasi Pelaksanaan Terapi Bermain

NO Aspek yang Dinilai Ya Tidak


I Struktur Terapi Bermain
1. Persiapan media terapi bermain
1. Kotak Puzzle
2. Tikar
2 Kelengkapan jumlah mahasiswa:
a. Leader (1)
b. Co-leader (1)
c. Fasilitator (3)
d. Observer (1)
II Proses Terapi Bermain
1. Pembukaan, Leader :
a. Membuka acara terapi bermain dengan mengucapkan
salam
b. Memperkenalkan diri dan meminta peserta
menyebutkan nama
c. Menjelaskan kontrak waktu
d. Menjelaskan permainan apa yang akan dilakukan dan
tujuan terapi bermain
e. Memberikan contoh kepada peserta cara bermain
puzzle
f. Memimpin jalannya permainan dari awal sampai
akhir
2. Pelaksanaan
Co-leader :
a. Membantu Leader menjelaskan cara bermain kepada
peserta
b. Membantu Leader memberikan contoh kepada
peserta cara bermain puzzle
c. Memberikan kesempatan pada peserta untuk ikut
memulai permainan
d. Mengatur waktu permainan
Fasilitator :
a. Mengarahkan peserta untuk bermain
b. Memotivasi peserta dalam menyelesaikan permainan
c. Membantu leader dalam mengkondisikan peserta agar
fokus pada jalannya permainan
Pelaksanaan terapi berlangsung tepat waktu

3. Evaluasi : observer
a. Memberikan Check list pada lembar evaluasi
kemajuan peserta
b. Memberikan penilaian kemampuan anak berdasarkan
kriteria di lembar evaluasi kemajuan
.
4. Terminasi :
a. Memberikan reward kepada peserta terbaik oleh
leader, dan fasilitator
b. Memberikan trik penyelesaian tugas dalam
permainan puzzle
c. Leader mengucapkan terima kasih
III Hasil Terapi Bermain
1. Peserta Terapi Bermain :
a. Peserta terapi bermain antusias mengikuti kegiatan
terapi bermain
b. Peserta mengikuti terapi bermain sampai dengan
selesai.
c. Anak mampu menyelesaikan setidaknya menyusun
semua kepingan pada tahap sulit, dan mampu
menyusun setidak separo kepingan ringan dan sedang
dalam waktu yang telah ditentukan
Lembar Evaluasi Kemajuan

Kategori kemampuan anak Penilaia An... An... An... An... An... An... An... An...
n
Kognitif
- Anak mampu mengerti
dan menjelaskan pesan
yang terkandung dalam
permainan Total
- Anak mampu Kriteria
menyelesaikan tugas
dalam permainan dalam
berbagai tahapan:
a) Tahap ringan
b) Tahap sedang
c) Tahap sulit
Sosial
- Anak mau
memperkenalkan diri di
depan teman sepermainan Total
- Anak mampu Kriteria
berkomunikasi baik
dengan teman
sepermainan
- Anak dapat berkomunikasi
baik dengan perawat

Afektif
- Anak dapat mematuhi
peraturan permainan
Total
Kriteria
Jumlah akhir
Keterangan skor: Kriteria tiap kategori:
0 : Tidak dapat melakukan Baik : jumlah
skor 17-24
1 : Dapat melakukan dengan bantuan Cukup : jumlah
skor 9-16
2 : Dapat melakukan dengan motivasi Kurang : jumlah
skor 0-8
3 : Melakukan dengan mandiri

Anda mungkin juga menyukai