Anda di halaman 1dari 62

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cemas dapat dialami oleh siapa saja, terutama pada anak usia prasekolah

(usia 3-6 tahun) yang mengalami sakit sehingga diharuskan untuk menjalani

pengobatan serta perawatan di rumah sakit. Rawat inap pada anak merupakan suatu

kejadian gawat dikarenakan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada diri anak

akibat sakit yang dialami. Perubahan-perubahan tersebut dapat ditimbulkan dari

dalam diri anak itu sendiri, (misalnya: perubahan status fisik dari anak, psikis

maupun spiritual), maupun lingkungan baru yang ada di sekitar anak (misalnya:

lingkungan rumah sakit, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya) yang dapat

menimbulkan rasa cemas maupun rasa tertekan pada anak yang melakukan

perawatan. Pada umunya setiap anak yang menjalani perawatan di rumah sakit akan

muncul rasa cemas, karena anak berfikir bahwa mereka akan disakiti oleh dokter,

perawat maupun petugas medis yang lainnya (Wong, 2003; Hidayat, 2005; Supartini,

2012).

Perasaan cemas saat di hospitalisasi / masuk rumah sakit akan menyebabkan

perasaan tidak nyaman pada anak sehingga diperlukan proses penyesuaian diri untuk

mengurangi dan meminimalkan perasaan cemas pada anak agar tidak berkembang

menjadi kecemasan yang krisis. Hospitalisasi / masuk rumah sakit adalah suatu

proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat sehingga mengharuskan

anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani proses terapi dan perawatan
2

sampai anak pulih dan dapat kembali ke rumah. Ketika masa anak-anak, anak masih

rentan dalam kondisi sakit karena sistem daya tahan tubuh anak masih rentan

terhadap berbagai macam jenis penyakit. Sakit yang biasanya dapat terjadi pada anak

misalnya demam berdarah dengue, demam thypoid, diare, maupun pneumonia

(Wong, 2009; Apriany, 2013).

Angka kesakitan anak di Indonesia usia 3-6 tahun adalah sebanyak 14,91%,

anak yang mendapatkan perawatan di rumah sakit akan berpengaruh pada kondisi

fisik dan psikologinya berkaitan dengan kecemasan, stress dan ketakutan saat di

hospitalisasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Anak yang

mengalami hospitalisasi di ruangan anak RS Mongisidi Manado, selama 2 bulan

terakhir dari bulan Oktober sampai dengan November 2014 didapatkan data jumlah

pasien anak yang dirawat 184 pasien anak dan anak yang berusia 3-5 tahun sebanyak

57 pasien anak atau sebanyak 46 % anak yang mengalami cemas akibat dampak dari

hospitalisasi sehingga dilakukan terapi bermain puzzle pada 17 responden sangat

efektif dalam menurunkan kecemasan sebelum terapi bermain puzzle yaitu 34,71%

dan sesudah terapi bermain puzzle yaitu 28,71% (Kaluas, 2015). Berdasarkan data

awal yang di dapat dari Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang pada bulan Agustus-

Oktober 2018, sebanyak 63 anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang menjalani

hospitalisasi 26 diantaranya mengalami cemas hospitalisasi dengan menunjukkan

tanda-tanda menangis, berteriak, memukul, tidak kooperatif saat dilakukan tindakan

oleh dokter maupun perawat dan tidak ingin berjauhan dari ibunya.

Kecemasan hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan anak menjadi susah

makan, tidak tenang, takut, gelisah, cemas, tidak mau bekerja sama dalam tindakan
3

medikasi sehingga menggangu proses penyembuhan anak. Anak yang mengalami

dampak dari hospitalisasi biasanya memerlukan media peralihan untuk mengurangi

effek negatif dari hospitalisasi dengan berbagai macam media yang dapat digunakan

dalam upaya untuk mengatasi koping maladaptif anak saat di hospitalisasi adalah

dengan cara bermain. Oleh karena itu dengan diberikannya aktivitas bermain pada

anak di rumah sakit akan memberikan nilai terapeutik yang akan sangat berperan

melepaskan ketegangan maupun kecemasan pada anak. Pada saat kondisi sakit atau

anak harus di rawat di rumah sakit aktivitas bermain dapat tetap dilaksanakan, namun

harus menyesuaikan dengan kondisi anak itu sendiri. Anak bermain puzzle saat

melakukan perawatan di rumah sakit pada umumnya bertujuan agar dapat

melanjutkan fase pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,

mengembangkan kreatifitas anak dan anak dapat lebih beradaptasi dengan efektif.

Pada anak usia pra-sekolah yang di rawat di rumah sakit dengan menggunakan terapi

non-farmakologi berupa bermain puzzle dapat bertujuan sebagai teknik distraksi

yang akan melepaskan hormon endorphine, sehingga adrenalin menurun yang akan

memberikan rasa tenang dan menurunkan frekuensi nadi sehingga kecemasan yang

dialami oleh anak dapat menurun. Anak-anak pada usia pra-sekolah senang bermain

dengan berbagai macam hal terutama permainan yang sederhana namun dapat

mengasah kemampuan anak untuk mengingat bentuk gambar yang ada pada

permainan sehingga memunculkan imajinasi pada anak (Soetjiningsih, 2012; Erna,

2016).

Bentuk permainan yang sesuai dengan anak usia prasekolah adalah bermain

menyusun puzzle sederhana yang memiliki manfaat untuk kegiatan yang


4

menyenangkan sekaligus dapat memberikan perasaan positif bagi anak yang

mengalami cemas, cemas dapat dialihkan dengan distraksi pada saat permainan

puzzle berlangsung sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan ada penurunan

respon kecemasan anak usia prasekolah selama hospitalisasi dikarenakan kecemasan

terbesar anak usia prasekolah adalah kecemasan yang ditimbulkan oleh prosedur atau

tindakan keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak, keduanya akan

menyebabkan kecemasan bagi anak usia prasekolah selama hospitalisasi (Erna,

2016). Bermain merupakan salah satu cara paling efektif untuk menurunkan

kecemasan pada anak dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak di

hospitalisasi karena pada saat berlagsungnya permainan anak dapat mengekspresikan

perasaannya sehingga rasa cemas yang timbul akibat dirawat di rumah sakit

berkurang karena adanya peningkatan serotonin pada anak. Pada anak-anak yang

diberikan terapi bermain sesuai dengan prinsip yaitu permainan tidak boleh

bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalani, permain tidak boleh

menyebabkan anak terlalu kelelahan, permainan yang di mainkan pada lingkungan

yang aman, waktu yang digunakan untuk permainan relative singkat, harus selalu

mendapat persetujuan dan melibatkan orang tua, melibatkan kelompok usia anak

yang sama. (Wong, 2009; Adriana, 2011; Erna, 2016).

Berdasarkan dari beberapa uraian di atas, dan melihat banyaknya fenomena

yang terjadi untuk melakukan tindakan dalam upaya meminimalkan tingkat

kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi, diantara adalah dengan terapi

bermain puzzle. Penulis ingin meneliti tentang penerapan aktivitas bermain puzzle
5

terhadap penurunan kecemasan hospitalisasi pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun)

di RS Siti Khodijah Sepanjang.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak usia prasekolah di RS Siti

Khodijah Sepanjang sebelum dilakukan terapi bermain puzzle?

2. Bagaimana respon anak saat proses penerapan terapi bermain puzzle dalam

menurunkan tingkat kecemasan anak usia pra-sekolah di RS Siti Khodijah

Sepanjang?

3. Bagaimana tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak usia prasekolah di RS Siti

Khodijah Sepanjang sesudah dilakukan terapi bermain puzzle?

1.3 Objektif

1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak usia prasekolah di

RS Siti Khodijah Sepanjang sebelum dilakukan terapi bermain puzzle.

2. Menjelasakan respon anak saat proses penerapan terapi bermain puzzle dalam

menurunkan tingkat kecemasan hospitalisasi di RS Siti Khodijah Sepanjang.

3. Mengidentifikasi tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak usia prasekolah di

RS Siti Khodijah Sepanjang sesudah dilakuan terapi bermain puzzle.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi rumah sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan meningkatkan

mutu pelayanan asuhan keperawatan anak dengan memberikan aktivitas bermain

puzzle di ruang perawatan anak sesuai dengan perkembangan anak.


6

2. Bagi pendidikan

Memberikan masukan terhadap pentingnya terapi bermain bagi anak yang

mengalami hospitalisasi dalam penerapan asuhan keperawatan pada anak.

3. Bagi tenaga kesehatan

Menambah pengetahuan yang diharapkan dapat diterapkan dalam pemberian

asuhan keperawatan anak khususnya usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi.

4. Bagi responden

Mengurangi tingkat kecemasan pada pasien anak khususnya usia prasekolah

akibat hospitalisasi dengan terapi bermain puzzle

5. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dihrapkan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti

selanjutnya mengenai aktivitas bermain puzzle yang dapat diterapkan untuk

mengurangi kecemasan hospitalisasi pada anak usia prasekolah.


7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hospitalisasi

2.1.1 Definisi Hospitalisasi

Hosptalisai adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan di

rawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi

dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga keadaan tersebut

sebagai suatu stressor bagi anak maupun bagi orang tua dan keluarga. Hospitalisasi

merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan

anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi pengobatan dan perawatan.

Meskipun demikian, di rawat di rumah sakit menimbulkan ketakutan, stress maupun

cemas terhadap anak (Wong, 2009; Apriany, 2013).

Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis yang terjadi pada anak, yang

terjadi saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit

merupakan krisis utama yang tampak pada anak karena anak yang dirawat di rumah

sakit mengalami perubahan status kesehatan dan juga lingkungan seperti ruangan

perawatan, petugas kesehatan yang memakai seragam ruangan, dan alat-alat

kesehatan. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami berbagai hal tidak

menyenangkan bagi dirinya, biasanya ditunjukkan dengan anak tidak aktif, tidak
8

komunikatif, merusak mainan, tidak mau makan, bahkan mundur pada perilaku

sebelumnya (misalnya mengompol, menghisap jari) dan perilaku regresi seperti

pertentangan dengan orang tua, bahkan menarik diri. Keadaan ini terjadi karena anak

berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu lingkungan rumah sakit sehingga

kondisi tersebut menjadi factor stressor bagi anak maupun orang tua dan keluarga

yang bisa menimbulkan kecemasan, berbagai perasaan yang sering muncul pada

anak yaitu cemas, sedih, takut dan merasa bersalah (Hockenberry & Wilson, 2011)

2.1.2 Stressor Pada Anak Saat Hospitalisasi

Mengalami sakit hingga diharuskan untuk di rawat di rumah sakit merupakan

krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak di rawat di rumah sakit maka anak

tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak menjadi stress akibat perubahan

yang telah di alaminya, misalnya perubahan lingkungan maupun perubahan perilaku

sehari-hari yang bersifat menekan. Stressor atau pemicu timbulnya stress di rumah

sakit dapat bersifat fisik, psikososial maupun spiritual (Nursalam, 2005; Jannah,

2016).

Perubahan lingkungan fisik seperti tempat tidur yang sempit dan kurang

nyaman, tingkat kebersihan yang kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang

maupun terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa

terganggu dan ketakutan, keadaan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak

kurang nyaman.

Stressor pada anak yang di rawat di rumah sakit dapat berupa perubahan

lingkungan psikososial sebagai akibatnya, anak akan tertekan dan mengalami


9

kecemasan. Saat menjalani perawatan anak harus berpisah dengan lingkungannya

serta dengan orang-orang terdekatnya sehingga anak akan akan merasa kehilangan

dan cemasbahkan ketakutan sehingga anak akan bereaksi menangis, berteriak,

mengurung diri dan tidak mau melakukan tindakan sehingga tidak dapat kooperatif

saat dirawat.

Anak yang merasa asing dapat membuat beberapa perubahan lingkungan fisik

selama dirawat di rumah sakit. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak

aman dan tidak nyaman selama menjalani perawatan. Ditambah dengan adanya

perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialami saat sakit.

Anak yang menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya yang

lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan

yang dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu dapat mengakibatkan

pada anak akan orang tua yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang

dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa

cemas saat di rawat di rumah sakit (Nursalam, 2005; Jannah, 2016).

Anak pada kondisi cemas akibat perpisahan akan memberikan respon berupa

perubahan perilaku. Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi kedalam tiga

tahap, yaitu tahap protes (phase of protest), tahap putus asa (phase of despair), dan

tahap menolak (phase of denial). Pada tahap protes, reaksi anak di manifestasikan

dengan menangis secara kencang, menjerit, memanggil orang tuanya atau bertingkah

laku agresif agar orang lain tahu bahwa anak tersebut tidak ingin ditinggalkan orang

tuanya serta menolak perhatian orang lain atau orang yang tidak dikenali

sebelumnya. Tahap putus asa menampilan perilaku anak yang cenderung tampak
10

tenang, tidak aktif, menarik diri, menangis berkurang, tidak ada minat untuk bermain,

nafsu makan menurun atau tidak nafsu makan, sedih dan apatis. Tahap berikutnya

adalah tahap menolak dimana anak samar-samar menerima perpisahan, membina

hubungan dangkal dengan orang lain, terlihat menyukai lingkungan serta anak mulai

tampak gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah anak berpisah lama dengan orang

tua. Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga dapat mengalami cemas apabila

kehilangan kendali atas dirinya sediri. Akibat sakit dan mengharuskan di rawat di

rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya.

Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak

akan menjadi cepat marah dan berperilaku agresif (Nursalam, 2005; Jannah 2016).

Kecemasan yang muncul merupakan respon emosional terhadap penilaian

sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan ketidakberdayaan.

Kecemasan juga dapat diartikan rasa khawatir serta rasa takut yang tidak jelas

penyebabnya. Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki rentang respon yang

berbeda-beda, ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu, yaitu

kecemasan tingkat ringan, kecemasan tingkat sedang, kecemasan tingkat berat serta

panik (Jannah, 2016).

2.1.3 Hospitalisasi Pada Anak Pra-Sekolah (3-6 tahun)

Anak usia pra sekolah adalah anak yang berada di rentang usia 3 sampai 6

tahun. Anak usia pra-sekolah sebagian besar mengatasi dan mampu mengerti bahasa

yang kompleks. Selain itu, kelompok usia pra-sekolah ini juga memiliki kebutuhan

khusus, misalnya menyempurnakan banyak keterampilan yang telah diperolehnya.

Pada usia ini, anak membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk proses tumbuh
11

kembangnya. Biasanya anak memiliki lingkungan bermain dan teman sepermainan

yang menyenangkan. Anak cenderung belum mampu membangun gambaran mental

terhadap pengalaman kehidupan sebelumnya sehingga dengan demikian harus

menciptakan pengalamannya sendiri, baik bersama orang tua, teman sebaya maupun

lingkungan tempat tinggal (Supartini, 2004; Sarti, 2017).

Bagi anak usia pra-sekolah, sakit adalah sesuatu hal yang menakutkan. Selain

itu, perawatan di rumah sakit akan menimbulkn suatu kecemasan karena anak

kehilangan lingkungan dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan.

Anak juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang di kenalnya, permainan dan

teman-teman sebayanya. Beberapa hal tersebut menjadikan anak stress dan tertekan.

Sebagai akibatnya, anak merasa gugup dan tidak tenang bahkan pada saat menjelang

tidur. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan aktivitas selama anak mengalami sakit

sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri.

Anak yang mengalami cemas dapat menjadi agresif dengan marah dan

berontak dan kecemasan pada anak biasanya muncul karena berbagai perubahan

yang terjadi di sekelilingnya, baik fisik maupun emosional. Kecemasan pada anak

pra-sekolah juga dapat akibat kurangnya support system atau suatu bentuk dukungan

yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedangkan gejala klinis kecemasan yang sering di

temukan pada anak usia prasekolah adalah perasaan cemas, kekhawatiran dan mudah

tersinggung. Anak yang mengalami kecemasan akan menimbulkan respon fisiologis,

seperti perubahan pada sistem kardiovaskuler yang mempengaruhi kecepatan nadi,

perubahan pola pernafasan yang semakin cepat atau terenggeh-enggeh.


12

Pada sistem tubuh lainnya seperti sistem pencernaan dan neuromuscular

dapat terjadi berbagai macam perubahan seperti tidak nafsu makan / nafsu makan

menurun, gugup, tremor hingga pusing dan insomnia. Kulit mengeluarkan keringat

dingin dan wajah menjadi pucat atau bahkan mengalami kemerahan. Selain respon

fisiologis, biasanya anak juga akan menampakkan respon perilaku, seperti gelisah,

keteganan fisik, tremor atau gemetaran, reaksi kaget, bicara cepat, menghindar

hingga menarik diri dari hubungan interpersonal. Respon kognitif yang mungkin

muncul adalah perhatian terganggu, kurang konsentrasi, mudah lupa, salah dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, dan ketakutan. Sedangkan respon afektif

yang dapat muncul adalah tidak sabar, tegang dan waspada berlebihan (Supartini,

2004; Sarti 2016).

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Anak Usia Pra-sekolah (3-6 Tahun)

Terhadap Hospitalisasi

Menurut Supartini 2012, reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah

sakit pada masing-masing individu berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya yaitu:

1. Perkembangan usia nanak merupakan salah satu faktor utama yang dapat

mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak

terhadap sakit berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan anak, semakin

muda usia anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri

dengan pengalaman dirawat di rumah sakit.

2. Pengalaman adak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat

berpengaruh, apabila anak pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan


13

saat di rawat di rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan

trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan

yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan

dokter yang menangani anak tersebut saat hospitalisasi

3. Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak untuk

beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit tempat anak dirawat. Anak biasanya

akan meminta dukungan dari orang-orang terdekat misaknya orang tua, saudara

maupun keluarga. Perilaku ini biasanya ditandai dengan perilaku anak untuk

minta di tunggui saat di rawat di rumah sakit, didampingi saat pemberian

pengobatan pada anak, minta dipeluk saat merasa takut dan cemasa bahkan saat

anak merasa kesakitan. Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak

selama nasa perawatan termasuk di dalamnya adalah keluarga dan pola asuh

yang didapatkan anak dari keluarganya. Keluarga yang kurang mendapatkan

informasi tentang kondisi kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit menjadi

terlalu khawatir atau stress akan menyebabkan anak semakin takut dan cemas.

Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan terlalu memanjakan anak

juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas pada anak yang dirawat di

rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yamng memiliki pola asuh mandiri

terhadap anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif saat

menjalani perawatan di rumah sakit.

4. Keterampilan koping saat menangani stress sangat penting bagi proses adaptasi

anak selama masa perawatan. Apabila mekanisme koping anak baik dalam

menerima kondisinya yang mengharuskan anak tersebut dirawat di rumah sakit,


14

anak akan menjadi lebih kooperatif selama menjalani pengobatan dan perawatan

di rumah sakit (Supartini, 2004; Apryani, 2013).

2.1.5 Dampak Hospitalisasi Pada Anak

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan keadaan krisis yang tampak pada

anak. Jika anak di rawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis karena

anak stress akibat perubahan baik pada status kesehatan maupun lingkungannya

dalam kehidupan sehari-hari, dan anak memiliki sejumlah keterbatasan dalam

mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat

menekan (Nursalam, 2005; Audina, 2017).

Dampak dari hospitalisasi akan berbeda-beda pada anak bersifat individual

dan bergantung dengan tahapan perkembangan anak. Anak usia pra-sekolah

menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit ketakutan. Selain itu, ada

sebagian anak yang menganggap sakit sebagai hukuman sehingga timbul perasaan

malu dan bersalah. Ada di antaranya beberapa anak yang menolak untuk dirawat di

rumah sakit dan secara terbuka menangis tidak mau di rawat. Jika anak sangat

ketakutan, anak dapat menampilkan perilaku agresif, mulai dari menggigit,

menendang-nendang, hingga berlari keluar ruangan. Ekspresi verbal yang

ditampilkan seperti dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama

dengan perawat, dan tetergantungan dengan orang tua.

Anak usia prasekolah membayangkan dirawat di rumah sakit merupakan

suatu hukuman, merasa tidak aman dan kemandiriannya terhambat. Biasanya ank

akan melontarkan beberapa pertanyaan karena bingung dan anak tidak mengetahui
15

keadaan di sekelilingnya. Selain itu, anak juga dapat menangis, bingung, khususnya

bila keluar darah atau mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi

beberapa prosedur medis membuat anak semakin takut, cemas dan stress (Wong,

2008; Audina, 2017).

Reaksi anak usia pra-sekolah terhadap perpisahan saat di hospitalisasi dalah

kecemasan karena berpisah dengan lingkungan yang nyaman, penuh kasih sayang,

lingkungan bermain, permainan, dan teman bermain. Reaksi saat kehilangan kontrol

anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap

perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir ataupun dengan memegangi

sesuatu dengan erat. Anak harus mengaatasi berbagai sumber stress seperti rasa sakit,

lingkungan rumah sakit, aturan-aturan dokter serta treatment yang diberikan. Proses

perawatan yang sering kali membutuhkan waktu yang lama akhirnya menjadikan

anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit

yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang dikembangkan anak

untuk beradaptasi dengan penyakit yang sedang diderita (Wong, 2008; Audina,

2017).

Perilaku anak dalam upaya beradaptasi terhadap masalah yang sedang

dialami selama dirawat di rumah sakit, antara lain dengan penolakan (Avoidence),

anak akan berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan dan biasanya

anak tidak kooperatif dengan petugas medis yamng memberikan perawatan. Selain

itu anak akan berusaha mengalihkan perhatian (Distraction) dari pikiran atau sumber

yang membuatnya tertekan dengan perilaku yang dilakukan anak di rumah sakit

misalnya membaca buku cerita, menonton televisi, atau bermain. Anak akan
16

berusaha untuk aktif (Active), mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara

aktif dengan perilaku yang sering dilakukan seperti menanyakan kondisi sakitnya

kepada orang tua ayau petugas medis, bersikap kooperatif, meminum obat secara

teratur, dan mau beristirahat sesuai dengan peraturan. Akibatnya anak akan berusaha

mencari dukungan dari orang lain (Suppot Seeking) untuk melepaskan tekanan yang

dialaminya dengan perilaku yang biasanya ditandai seperti anak minta ditunggui

selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat menjalani treatment, dan minta

dipeluk saat merasa kesakitan (Wong, 2008; Audina, 2017).

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu keadaan perasaan yang kompleks berkaitan

dengan perasaan takut, sering disertai oleh sensasi fisik seperti jantung berdebar,

nafas pendek atau nyeri dada (Keliat, 2011; Kholisatun 2013). Kecemasan

hospitalisasi adalah respon psikologis, fisiologis dan perilaku pada individu akibat

dirawat di rumah sakit dan menjalani perawatan yang ditrunjukkan dengan menangis,

takut tindakan invansif, murung, berkeringat, gemetar, berkeringat, insomnia,

ekspresi kekhawatiran, gerakan tidak relevan (Solikhah, 2011).

2.2.2 Klasifikasi Kecemasan

Keliat (2011) menjelaskan tingkat kecemasan yang dapat dialami individu

sebagai berikut :

1. Kecemasan ringan
17

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari – hari dan dapat

menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ini dapat memotivasi

belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

2. Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang untuk berfokus pada hal yang dianggap penting

sehingga mengabaikan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapangan

persepsi seseorang sehingga seseorang tidak mengalami perhatian yang sekektif

tetapi dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan.

3. Kecemasan berat

Sangat mengurangi lapang persepsi seseorang. Seseorang cenderung berfokus

pada sesuatu yang spesifik dan dan tidak berfikir tentang hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Seseorang yang mengalami

kecemasan berat membutuhkan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Panik

Berhubungan dengan ketakutan dan teror. Seseorang yang mengalami panik

tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup

disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi

menyimpang, serta kehilangan pemikiran rasional. Tingkat kecemasan ini

apabila berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan

kelelahan dan kematian.


18

Rentang Respon Ansietas

Respond Adaptif Respond Maladtif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1 Rentang respon kecemasan (Stuart & Sundeen, 1998 dalam Keliat 2011)

2.2.3 Tanda dan Gejala

Menurut Keliat (2011), tanda dan gejaladari kecemasan yang dapat dialami

adalah sebagai berikut :

1. Fisik, berupa jantung berdebar keras, susah tidur, pusing, berkeringat, muliut

kering, nyeri perut, agitasi, tidak bisa santai dan tremor.

2. Mental, berupa ketegangan mental (cemas/bingung, rasa tegang, konsentrasi

buruk).

Menurut Suparyanto (2011) karakteristik kecemasan antara lain :

a. Kecemasan ringan

1. Fisik : sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, gejala

ringan berkeringat.
19

2. Kognitif : Lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah aktual.

3. Perilaku dan emosi : Tidak dapat duduk dengan tenang, tremor halus pada

tangan, suara kadang – kadang meninggi.

b. Kecemasan Sedang

1. Fisik : sering nafas pendek, nadi ekstra sistole, tekanan darah meningkat,

mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.

2. Kognitif : lapang persepsi meningkat, tidak mampu menerima rangsang lagi,

berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

3. Perilaku dan emosi : Gerakan tersentak – sentak, meremas tangan, bicara

lebih banyak dan cepat, susah tidur, lebih sering bertnya, perasaan tidak

aman.

c. Kecemasan Berat

1. Fisik : nafas pendek nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, dan

sakit kepala, penglihatan kabur dan ketegangan.

2. Kognitif : Lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu menyelesaikan

masalah.

3. Perilaku dan emosi : perasaan ancaman meningkat, mudah marah, mudah

menangis, verbalisasi cepat.

d. Kecemasan panik

1. Fisik : Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi dada, pucat, hipotensi,

koordinasi motorik rendah.

2. Kognitif : Lapang persepsi sangat menyempit tidak dapat berpikir logis.


20

3. Perilaku dan emosi : Agitasi, mengamuk, marah ketakutan, berteriak,

blocking, kehilangan kontrol diri, persepsi datar.

Menurut Hawari (2013), keluhan – keluhan yang sering dikemukakan oleh

orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut : Cemas,

khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa

tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian,

dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi – mimpi yang menegangkan,

gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan – keluhan somatik, misalnya rasa sakit

pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar – debar, sesak

nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain

sebagainya.

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Suliswati 2005, faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan adalah :

a. Faktor Predisposisi

1. Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan

dengan krisis yang dialami oleh individu baik krisis perkembangan atau

situasional.

2. Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan

baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dengan

kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.


21

3. Konsep diri terganggu akan mengakibatkan ketidakmampuan individu

berfikir secara realistis sehingga menimbulkan kecemasan.

4. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.

5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman

terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.

6. Pola mekanisme keluarga atau pola keluarga menangani stres akan

mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami

karena pola mekanisme koping yang banyak dipelajari dalam keluarga.

7. Riwayat ganagguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respong individu dalam berespon terhadap konflik dan menghadapi

kecemasannya.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu:

1. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas

fisik meliputi penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari –

hari.

2. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri dan

fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

c. Faktor Internal
22

1. Potensi stressor

Merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stressor

psikososial perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu

terpaksa mengadakan adaptasi (Smeltzer & Bare,2001).

2. Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami

gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya

adaptasi yang lebih besar.

3. Umur

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih berpikir matang.

4. Pendidikan

Semakin meningkat tingkat pendidikan makin mudah mendapatkan

informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki,

sedangkan pendidikan kurang akan menghambat perkembangan sikap

seseorang terhadap nilai – nilai yang baru dikenalkan.

d. Faktor Eksternal

1. Dukungan Keluarga

Sikap tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.

Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu

siap memberikan pertolongan dan bantuan yang diperlukan, Jenis dukungan

keluarga adalah : dukungan informatif, emosional, penilaian, dan

instrumental.
23

2. Dukungan sosial

Adanya dukungan sosial yang tinggi membuat individu mengalami hal yang

positif dalam kehidupan, mempunyai harga diri yang tinggi dan mempunyai

pandangan yang lebih optimis terhadap kehidupannya.

2.2.6 Alat Ukur Kecemasan

Pengukuran kecemasan terdiri dari beberapa instrumen yang dapat

digunakan salah satunya adalah Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah

instrumen kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah. Instrumen

ini terdiri dari 38 pertanyaan, yang memiliki total skor 114. Responden diminta untuk

menunjukkan frekuensi setiap gejala yang terjadi pada empat skala poin mulai dari

tidak pernah (skor 0) sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan menjadi

kriteria tingkat kecemasan anak: ringan skor 1-38, sedang skor 39-76, berat skor 77-

114 (Saryono, 2010; Solihah, 2011)

Untuk menyesuaikan alat ukur kecemasan pada anak usia prasekolah, maka

di pilih beberapa item pertanyaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan anak saat

dirawat di rumah sakit. Dari jumlah total 38 item pertanyaan dan pernyataan pada

lembar kuisioner Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) diambil 10 iem yang

mewakili kondisi anak ketika dirawat di rumah sakit (Wiludjeng, 2017). Uji validitas

item pada lembar kuisioner dengan hasil:

Tabel 2.1 Validasi Alat Ukur Kecemasan Adaptasi SCAS

N0 R hitung R tabel Keterangan


1 0,471 0,443 Valid
2 0,481 0,443 Valid
3 0,464 0,443 Valid
24

4 0,549 0,443 Valid


5 0,510 0,443 Valid
6 0,451 0,443 Valid
7 0,567 0,443 Valid
8 0,557 0,443 Valid
9 0,541 0,443 Valid
10 0,521 0,443 Valid

2.2.7 Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak

Kecemasan dan stres yang dialami anak saat hospitalisasi dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain faktor dari petugas kesehatan (perawat, dokter, dan tenaga

kesehatan lainnya), lingkungan baru dan keluarga yang mendampingi selama

perawatan (Nursalam, 2005 dalam Apriany, 2013). Hockenberry dan Wilson (2011)

menyatakan faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan pada anak selama

hospitalisasi diantaranya usia, jenis kelamin, lama dirawat dan pengalaman dirawat.

Anak yang lebih besar, lebih bisa mengendalikan kopingnya menjadi positif

dibanding anak yang lebih muda. Pada semua tingkat usia dilihat sebagai suatu

kelompok, anak perempuan memperlihatkan ketakutan lebih banyak dibandingkan

dengan laki – laki.

Kecemasan yang dialami anak selama dilakukan tindakan keperawatan

dipengaruhi oleh kecemasan hospitalisasi yang terdiri dari tiga fase. Fase pertamas

adalah fase protes, ditunjukkan dengan reaksi anak seperti menangis, menjerit,

mencari dan memegang erat orangtua, menolak bertemu dan menyerang orang yang

tidak dikenal. Fase kedua adalah fase putus asa, ditandai dengan anak tidak aktif,

menarik diri dari orang lain, sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan, tidak

komunikatif, dan menolak makan atau minum. Pada fase ketiga yaitu fase
25

penerimaan, anak mulai menunjukkan ketertarikan pada lingkungan dan berinteraksi

dangkal dengan orang lain atau perawat. Pada hari pertama anak dirawat di rumah

sakit, berarti anak berada pada fase pertama yaitu fase protes. Pada fase ini, anak

belum melewati fase adaptasi untuk mencapai tahap penerimaan, karena tahap

penerimaan biasanya terjadi setelah anak dirawat di rumah sakit dalam aktu lebih

dari dua hari (Apriany, 2013).

Kecemasan yang dialami anak selama hospitalisasi dapat menimbulkan

dampak diantaranya proses penyembuhan anak dapat terhambat, menurunnya

semangat untuk sembuh dan tidak kooperatifnya anak terhadap tindakan perawatan

(Supartini, 2004). Hospitalisasi dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada

semua tingkatan usia. Selain anak yang merasakan kecemasan keluarga juga dapat

merasakan kecemasan karena kondisi anaknya yang sakit (Nursalam 2005; Apriany,

2013).

Secara emosional, kecemasan menghasilkan perasaan atau emosi negatif atau

tidak konstruktif. Secara fisik, kecemasan mengancam homeostasis fisiologis. Secara

intelektual, kecemasan mempengaruhi persepsi seseorang dan kemampuan mengatasi

masalah. Secara sosial dapat mengganggu hubungan dengan orang lain. Secara

spititual, dapat memberikan tantangan terhadap keyakinan dan nilai – nilai seseorang

(Perry&Potter, 2005). Anak sakit dan di rawat di rumah sakit akan mengalami

kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan otonominya. Hal ini akan

menimbulkan regresi dan pada akhirnya anak akan menarik diri dari hubungan

interpersonal (Nursalam, 2005; Apriany 2013).

2.2.8 Upaya meminimalkan kecemasan hospitalisasi pada anak


26

Ketakutan yang timbul biasanya disebabkan karena anak tidak mempunyai

pengalaman dirawat atau ketidak tahuan tentang prosedur tindakan. Apabila anak

tidak mempunyai koping yang efektif, maka hal hal tersebut akan menimbulkan

kecemasan. Hal ini dapat dicegah dengan cara memberikan penjelasan kepada anak,

seperti membawa anak berkeliling rumah sakit (Nursalam, 2005; Apriany, 2013).

Menurut Nursalam (2005), beberapa tindakan keperawatan yang dilakukan

untuk mencegah atau meminimalkan kecemasan hospitalisasi meliputi :

a. Meminimalkan dampak perpisahan

1. Rooming in

Rooming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa,

sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan

kontak atau komunikasi antara orang tua dan anak.

2. Partisipasi orang tua

Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit,

terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan. Perawat dapat memberikan

kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan makanan anak atau

memandikannya. Dalam hal ini, perrawat berperan sebagai pendidik

kesehatan (health eduactor) bagi keluarga.

3. Modifikasi lingkungan

Membuat ruang perawatan seperti rumah dengan mendekorasi dinding

memakai poster atau gambar sehingga anak merasa aman jika berada di ruang

tersebut.

b. Meminimalkan perasaan kehilangan kendali :


27

1. Mengusahakan kebebasan bergerak

Pembatasan fisik atau immobilisasi pada anak untuk mempertahankan aliran

infus dapat dicegah jika anak kooperatif.

2. Mempertahankan kegiatan rutin anak

Kehilangan kegiatan rutinitas merupakan stressor bagi anak dan hal ini akan

meningkatkan kecemasan akibat perpisahan. Sedapat mungkin, pembuatan

rencana asuhan keperawatan di dasarkan pada aktifitas yang biasa dilakukan

anak sewaktu dirumah. Teknik untuk meminimalkan gangguan dalam

melakukan kegiatan sehari – hari adalah “jadwal kegiatan yang terstruktur”

yang disusun perawat, orang tua, dan anak secara bersama – sama.

3. Dorongan anak untuk mandiri

Hospitalisasi membuat anak menjadi tergantung pada orang lain dan ini

menimbulkan perasaan kehilangan kendali. Untuk mengantisipasi hal

tersebut, anak sebaiknya diberikan kesempatan untuk memilih makanan atau

mengatur waktu tidur.

c. Meminimalkan dan mencegah perlukaan tubuh dan rasa nyeri

1. Perawat dapat menjelaskan apa yang dilakukan, siapa yang dapat ditemui

oleh anak jika merasa takut dan seterusnya.

2. Memanipulasi prosedur juga dapat mengurangi ketakutan akibat perlukaan

tubuh.

3. Untuk mengatasi rasa nyeri dapat dilakukan dengan dan tanpa obat, misalnya

dengan distraksi yang mereka miliki untuk mendeskripsikan perasaan mereka

2.3 Konsep Anak Usia Pra-Sekolah (3-6 Tahun)


28

2.3.1 Definisi Anak Pra-Sekolah (3-6 Tahun)

Anak usia prasekolah adalah anak yang berada di kisaran usia 3-6 tahun.

Dalam usia yang umumnya program anak (3-5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3

tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun, biasanya anak mengikuti program-program

taman kanak-kanak (Mansur, 2011).

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3-6 tahunyang memiliki

berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan di kembangkan agar

pribadi anak tersebut berkembang secara optimal (Supartini, 2012).

Anak diartikan seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun dalam

masa tumbuh kembang dengan bantuan khusus, baik kebutuhan fisik, psikologis,

sosial dan spiritual. Anak adalah antara usia 0-14 tahun karena di usia inilah resiko

cenderung menjadi lebih besar (Nursalam, 2005; Erna 2016).

2.3.2 Tingkat Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah ada pada tahap perkembangan psikoseksual fase falik (3-

6 tahun) dimana artinya selama fase ini, genetalia menjadi area yang menarik dan

area tubuh yang sensitive. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin

perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan jenis kelamin. Sering

kali anak penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya berkaitan dengan

perbedaan ini. Orang tua harus lebih bijak dalam memberi penjelasan tentang hal ini

sesuai dengan kemampuan perkembangan kognitifnya agar anak mendapatkan

pemahaman yang benar. Selain itu, untuk memahami identitas gender anak sering

meniru perilaku ibu maupun ayahnya, misalnya dengan mencoba menggunakan


29

pakaian ibu atau ayahnya. Secara psikologis pada fase ini mulai berkembang super

ego. Yaitu anak muulai berkurang sifat egoisnya (Frued 2006; Erna, 2016).

Sedangkan untuk tahap perkembangan psikososial, anak usia prasekolah (3-6

tahun) berada pada tahap perkembangan inisiatif vs rasa bersalah dimana

perkembangan inisiatif diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan melalui

kemampuan indranya. Anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi

terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah

kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan bersalah akan

timbul pada anak apabila anak tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas

atas perkembangan yang tidak tercapai (Frued 2006; Erna, 2016).

2.3.3 Tugas Perkembangan Anak Usia prasekolah

Menurut Soetjiningsih dan Ranuh (2012), Beberapa tugas perkembangan

anak usia prasekolah yaitu:

1. Perkembangan fisik

Pada masa prasekolah, pertumbuhan anak yang mengarah ke fisik khususnya

berat badan mengalami kenaikan pertahunnya yang rata-rata meningkat 2 kg,

terlihat kurus tetapi aktivitas motoric tinggi, diamana system tubuh sudah

mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, berlari dan lain-lain. Pada

pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata 6,

75-7,5 centimeter setiap tahunnya.

2. Perkembangan motorik

Pertumbuhan motorik melipui perkembangan motoric halus dan motoric kasar.

Motoric halus adalah pengorganisasian pengguanan sekelompok otot-otot kecil


30

seperti jari-jemari dan tangan yang sering membutuhkan kecermatan dan

koordinasi dengan tangan, keterampilan yang mencakup pemanfaatan

menggunakan alat-alat untuk menggunakan suatu objek.

3. Perkembangan Bahasa

Perkembangan Bahasa mampu menyebutkan hingga empat gambar, hingga

empaat warna, menyebutkan kegunaan benda, menghitung, mengguanakan

bunyi untuk mengidentifikasi objek, orang dan aktivitas, meniru berbagai bunyi

kata, memahami arti larangan, berespon terhadap panggilan dan orang-orang

anggota keluarga terdekat.

4. Perkembangan adaptasi sosial

Perkembangan adaptasi sosial dapat bermain dengan permainan sederhana.

Menangis jika dimarahi, membuat permainan sederhana, membuat permintaan

sederhana dengan gaya tubuh, menunjukkan peningkatan kecemasan terhadap

perpisahan, mengenali anggota keluarga.

2.4 Konsep Dasar Permainan Puzzle

2.4.1 Definisi Permainan Puzzle

Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan

sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan

bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri


31

dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu,

jarak serta suara (Wong, 2003; Adriana 2011).

Bermain sangatlah penting untuk kesehatan mental, emosional dan sosial.

Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk

memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan

kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena

bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada

anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar

mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta

sosial pada anak (Supartini, 2009; Erna 2016)

Puzzel berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau bongkar

pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang dimainkan dengan bongkar

pasang. Berdasarkan pengertian tentang media puzzle, maka dapat disimpulkan

bahwa media puzzle merupakan alat permainan edukatif yang dapat merangsang

kemampuan matematika anak, yang dimainkan dengan cara membongkar pasang

kepingan puzzle berdasarkan pasangannya. (Norma, 2014).

2.4.2 Penerapan Aktivitas Bermain Di Rumah Sakit

Bermain sangatlah penting untuk kesehatan mental, emosional dan sosial.

Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk

memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan

kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena
32

bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada

anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar

mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta

sosial pada anak. Aktivitas bermain dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak,

ketika berada di bangsal anak membutuhkan permainan yang dapat dilakukan dengan

waktu yang relative singkat agar tidak mengganggu terapi pengobatan medis. Waktu

yang dibutuhkan anak dalam melakukan satu kali aktivitas bermain idealnya adalah

15- 30 menit dengan bimbingan dari perawat dan orang tua. (Supartini, 2009; Erna

2016).

Beberapa prinsip bermain pada anak yang menjalani perawatan di rumah

sakit antara lain:

1. Permainan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang

sedang dijalani

2. Permainan tidak boleh menguras energy dari anak, anak tidak boleh kelelahan saat

bermain.

3. Permainan yang dilakukan harus berada pada lingkungan yang aman

4. Waktu yang digunakan untuk bermain harus relative singkat (maksimal 30 menit).

5. Permainan harus melibatkan kelompok usia anak yang sama

6. Permainan harus melibatkan orang tua.

2.4.3 Jenis-Jenis Puzzle

Menurut Norma, 2014 ada beberapa jenis puzzle, antara lain:

a. Puzzle konstruksi
33

Puzzle rakitan (construction puzzle) merupakan kumpulan potongan-potongan

yang terpisah, yang dapat digabungkan kembali menjadi beberapa model.

Mainan rakitan yang paling umum adalah blok-blok kayu sederhana berwarna-

warni. Mainan rakitan ini sesuai untuk anak yang suka bekerja dengan tangan,

suka memecahkan puzzle, dan suka berimajinasi.

b. Puzzle batang (stick)

Puzzle batang merupakan permainan teka-teki matematika sederhana namun

memerlukan pemikiran kritis dan penalaran yang baik untuk menyelesaikannya.

Puzzle batang ada yang dimainkan dengan cara membuat bentuk sesuai yang

kita inginkan ataupun menyusun gambar yang terdapat pada batang puzzle.

c. Puzzle lantai

Puzzle lantai terbuat dari bahan sponge (karet/busa) sehingga baik untuk alas

bermain anak dibandingkan harus bermain di atas keramik. Puzzle lantai

memiliki desain yang sangat menarik dan tersedia banyak pilihan warna yang

cemerlang. Juga dapat merangsang kreativitas dan melatih kemampuan berpikir

anak. Puzzle lantai sangat mudah dibersihkan dan tahan lama.

d. Puzzle angka

Mainan ini bermanfaat untuk mengenalkan angka. Selain itu anak dapat melatih

kemampuan berpikir logisnya dengan menyusun angka sesuai urutannya. Selain

itu, puzzle angka bermanfaat untuk melatih koordinasi mata dengan tangan,

melatih motorik halus serta menstimulasi kerja otak.

e. Puzzle transportasi
34

Transportasi merupakan permainan bongkar pasang yang memiliki gambar

berbagai macam kendaraan darat, laut dan udara. Fungsinya selain untuk melatih

motorik anak, juga untuk stimulasi otak kanan dan otak kiri. Anak akan lebih

mengetahui macam-macam kendaraan.

f. Puzzle logika

Puzzle logika merupakan puzzle gambar yang dapat mengembangkan

keterampilan serta anak akan berlatih untuk memecahkan masalah. Puzzle ini

dimainkan dengan cara menyusun kepingan puzzle hingga membentuk suatu

gambar yang utuh.

g. Puzzle geometri

Puzzle geometri merupakan puzzle yang dapat mengembangkan keterampilan

mengenali bentuk geometri (segitiga, lingkaran, persegi dan lain-lain), selain itu

anak akan dilatih untuk mencocokkan kepingan puzzle geometri sesuai dengan

papan puzzlenya.

h. Puzzle Penjumlahan dan Pengurangan

Puzzle penjumlahan dan pengurangan merupakan puzzle yang dapat

mengembangkan kemampuan logika matematika anak. Dengan puzzle

penjumlahan dan pengurangan anak memasangkan kepingan puzzle sesuai

dengan gambar pasangannya.

2.4.4 Fungsi Puzzle

Menurut Suherman (2000) dalam Norma 2014, fungsi bermain diantaranya

yaitu:
35

a. Perkembangan sensoris-motorik

Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik merupakan

komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk

perkembangan fungsi otot.

b. Perkembangan intelektual

Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala

sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenai warna, bentuk,

ukuran, tekstur, dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak akan

melatih diri untuk memecahkan masalah.

c. Perkembangan kreativitas

Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya

ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan

bermain puzzle, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-

idenya. Misalnya, dengan memisahkan kemudian menyusun kembali puzzle

sesuai dengan pola agar terbentuk gambar yang utuh akan merangsang

kreativitasnya untuk semakin berkembang.

d. Bermain sebagai terapi

Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang

sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.

Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak

karena menghadapi beberapa stressor yang ada di lingkungan rumah sakit.

Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan

stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan, anak akan dapat
36

mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui

kesenangannya melakukan permainan.

2.5 Kerangka Berpikir

Anak usia pra-sekolah (3-6 tahun)


yang di rawat di rumah sakit

Hospitalisasi
Keadaan yang mengharuskan anak untuk
37

= Diteliti

= Tidak di teliti

Gambar 2.2: Kerangka berpikir penerapan aktivitas bermain puzzle untuk

menurunkan cemas hospitalisasi pada anak pra sekolah.

BAB 3

ANALISIS KASUS
38

3.1 Deskripsi Kasus

Pada karya tulis ilmiah ini, peneliti menentukan karakteristik responden yang

dijadikan sampel penelitian yaitu pasien anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang

mengalami hospitalisasi di ruang perawatan anak Ismail Rumah Sakit Siti Khodijah

Sepanjang. Karakteristik pasien dalam penelitian ini adalah anak yang menunjukkan

adanya kecemasan saat menjalani perawatan di rumah sakit diantaranya yaitu

menangis, wajah tampak tegang, anak berperilaku agresif, berteriak dan tidak mau

jauh dari orang tua nya. Sampel yang di teliti sebanyak dua anak yang menjalani hari

pertama perawatan di ruang Ismail dengan penyakit yang di derita sama

(Gastroenteritis = Vomitting), pasien yang di dipilih sesuai dengan kriteria dari anak

usia prasekolah dan dalam keadaan memungkinkan untuk di ajak berpartisipasi

dalam aktivitas bermain puzzle (anak tidak dalam keadaan lemah / tidak sadarkan

diri).

3.2 Desain Penelitian

Penelitian studi kasus ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi penurunan

tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak sebelum dan sesudah penerapan aktivitas

bermain puzzle. Penelitian studi kasus ini dilakukan dengan cara penerapan aktivitas

bermain puzzle kemudian di evaluasi adanya penurunan tingkat kecemasan pada

anak yang di hospitalisasi. Instrument yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu

lembar observasi kecemasan berdasarkan Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS).


39

Penelitian dilakukan pada tanggal 23 - 24 Desember 2018 di ruang perawatan

anak Ismail Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang sebanyak 2x pertemuan dengan

waktu 15-30 menit untuk bermain puzzle.

3.2.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan

merupakan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2010). Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan sendiri

oleh peneliti.

1. Persiapan

Pertama peneliti membuat surat pengambilan data awal dan penelitian di bagian

akademik Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surabaya. Selanjutnya surat tersebut di serahkan pada bagian diklat Rumah Sakit

Siti Khodijah Sepanjang untuk kemudian di ajukan dalam proses Etical

Clearance sehingga dapat di ketahui kelayakan dari penelitian dilakukan.

Setelah disetujui oleh pihak Rumah sakit untuk melakukan pengambilan data

awal, peneliti berkoordinasi dengan kepala ruangan perawatan anak Ismail untuk

mendapatkan data anak usia prasekolah yang mengalami cemas hospitalisasi

pada bulan Oktober-November 2018. Setelah mendapatkan data awal, peneliti

kemudian melakukan kontrak waktu dengan kepala ruangan untuk melaksanakan

aktivitas bermain puzzle selama 2 hari.

2. Pelaksanaan

Peneliti mendapatkan responden sesuai dengan kriteria penelitian kemudian

peneliti melakukan kontrak waktu dengan orang tua pasien untuk melakukan
40

pengkajian terhadap pasien sebelum dilakukan aktivitas permainan puzzle di

ruang Ismail. Peneliti menjelaskan tentang permainan yang di lakukan selama

15-30 menit kemudian orang tua pasien menandatangani informed consent.

Setelah pengkajian hari pertama selesai, peneliti kemudian mengevaluasi tingkat

kecemasan pada anak dan selanjutnya menyampaikan kontrak waktu pertemuan

selanjutnya untuk melakukan aktivitas permainan puzzle. Pada saat hari ke dua

peneliti menyampaikan kepada ibu pasien bahwa tingkat kecemasan sudah

menurun, kemudain peneliti berterimakasih kepada responden yang telaah

berpartisipasi dalam penelitian.

3.3 Unit Analisis dan Kriteria Interprestasi

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis merupakan cara atau metode yang digunakan oleh peneliti

untuk melakukan analisis dari hasil penelitian yang merupakan gambaran atau

deskriptif. Pada studi kasus ini mempunyai tiga unit analisis yang terdiri dari:

1. Tingkat cemas hospitalisasi pada anak usia pra sekolah sebelum dilakukan

aktivitas bermain puzzle

2. Respon saat pelaksanaan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan cemas

hospitalisasi

3. Tingkat cemas hospitalisasi pada anak usia prasekolah sesudah dilakukan

aktivitas bermain puzzle.


41

3.3.2 Kriteria Interpretasi

Kriteria interpretasi pada penelitian ini berdasarkan kuisioner kecemasan

anak usia prasekolah modifikasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) sebagai

lembar observasi tingkat kecemasan hospitalisasi apabila jawaban tidak pernah diberi

kode (0), apabila jawaban kadang – kadang diberi kode (1), apabila jawaban sering

diberi kode (2), dan apabila jawaban sering sekali diberi kode (3). Hasil kuesioner

akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak:

1. Kecemasan Ringan : 1 – 10

2. Kecemasan Sedang : 11 – 20

3. Kecemasan Berat : 21 – 30

3.4 Etik Penelitian

Studi kasus ini menggunakan manusia sebagai subyek penelitian, maka

peneliti memahami hak dasar manusia terutama terkait etik studi kasus yang harus

diperhatikan. Dalam studi kasus ini memperhatikan masalah etika yang meliputi:

3.4.1 Lembar Persetujuan (Informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada orang tua / keluarga pasien anak yang

mengalami cemas hospitalisasi di ruang perawatan Ismail RS Siti Khodijah

Sepanjang. Peneliti memberikan penjelasan kepada ibu pasien terkait tujuan,dan

manfaat aktivitas permainan puzzle yang di lakukan. Setelah ibu pasien setuju, maka

lembar informed consent di tandatangani dan disaksikan langsung oleh peneliti,

apabila ibu pasien tidak setuju maka peneliti tidak akan memaksa.
42

3.4.2 Tanpa Nama (Anonimity)

Pada penelittian ini kerahasiaan identitas pasien sangat di jaga, peneliti tidak

mencantumkan nama lengkap (hanya inisial), alamat pasien hanya di tulis sesuai kota

saja, cukup memberi kode atau tanda pada lembar observasi dan lembar persetujuan.

3.4.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi sngat dijaga oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu

yang akan di sajikan pada hasil penelitian. Data yang diperoleh dari masing-masing

pasien disimpan hingga lembar pengesahan karya tulis ilmiah ditandatangani oleh

dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Lembar

observasi berupa print out (kertas) di bakar dan data yang berupa soft copy di hapus

untuk mencegah data rahasia diketahui oleh orang lain atau pihak yang tidak

bertanggung jawab.

4.3.4 Keuntungan (Beneficence dan Non Malefecence)

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan keuntungan yaitu untuk menurunkan

tingkat cemas hospitalisasi terutama bagi anak yang baru pertama kali di rawat di

rumah sakit, penelitian ini tidak bertentangan dengan terapi pengobatan yang di

lakukan pada saat anak menjalani perawatan.

4.3.5 Keadilan ( justice)

Dalam penelitian ini, bersikap adil dan tidak membedakan perlakuan pada masing-

masing responden, baik dari segi RAS, suku maupun budaya. Pasien yang masuk

kedalam kriteria cemas hospitalisasi diberikan perlakuan yang sama yaitu permainan

puzzle dengan pola dan bentuk yang sama selama 15-30 menit.
43

3.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya yaitu:

1. Alat ukur kecemasan yang digunakan pada lembar observasi hanya mengadopsi

beberapa item pertanyaan saja yang dianggap dapat mewakilli perasaan cemas

yang dialami anak.

2. Sampel yang diteliti hanya dua anak yang mengalami cemas hospitalisasi.
44

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan

judul “Studi Kasus Penerapan Aktivitas Bermain Puzzle Untuk Menurunkan Cemas

Hospitalisasi Pada Anak Di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang”.

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan anak Ismail Rumah Sakit

Muhammadiyah Surabaya yang beralamat di Jalan Pahlawan no 260, Sepanjang,

Sidoarjo, Jawa Timur. Rumah Sakit Siti Khodijah memiliki berbagai macam

pelayanan seperti Instalasi Gawat Darurat / IGD & trauma center, kamar operasi,

pelayanan konsultasi gizi, pijat bayi & balita, poli spesialis, radiologi, endoskopi,

hemodialisa, farmasi, laboratorium, medical check up, ICU, kamar bersalin, ruang

perawatan (nifas, bedah, saraf, penyakit dalam dan ruang perawatan anak). Tenaga

kesehatan di RS Siti Khodijah meliputi Dokter umum dan spesialis, perawat, bidan,

ahli gizi, ahli fisioterapi, radiographer, analis kesehatan.

4.1.2 Identifikasi Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Sebelum

Dilakukan Aktivitas Bermain Puzzle Di RS Siti Khodijah Sepanjang

Responden pada penelitian ini adalah anak usia prasekolah (5,4 tahun dan 5,9

tahun) yang mengalami cemas ketika menjalani hari perawatan pertama di RS Siti

Khodijah Sepanjang dan dapat di ajak untuk melakukan aktivitas bermain puzzle

yang berlangsung selama 2 hari yaitu pada tanggal 23-24 Desember 2018.
45

Responden 1 (Tanggal 23 Desember 2018 pukul 08.30 WIB)

Responden pertama adalah An. R dengan usia 5,4 tahun, jenis kelamin

perempuan, diagnose medis Gastroenteritis + Vomitting dan menjalani perawatan

pertama di rumah salit. Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan hasil tanda-tanda

vital menunjukkan suhu tubuh 37,4oC, pernafasan 24x / menit, irama pernafasan

vaskuler, nadi 92x / menit. Keluhan yang dirasakan anak yaitu nyeri perut, diare +

3x di pagi hari, mual, anak muntah 1x pagi hari, anak tidak mau makan dan minum

susu.

Pengkaian kecemasan pada anak didapatkan hasil bahwa An. R ketakutan saat

melihat dokter yang memeriksa, takut saat perawat akan melakukan tindakan seperti

mengukur suhu tubuh, memasang infus, anak ketakutan saat melihat jarum suntik,

anak sering rewel dan mengangis, anak menolak saat akan dilakukan tindakan

dengan cara memukul dan berteriak, anak tidak mau membalas sapaan dari perawat,

anak tidak mau diajak berbicara oleh perawat dan harus dibujuk agar mau

memperhatikan perawat, anak susah tidur ketika sakit. Saat didekati oleh peneliti

anak cenderung diam dan menghindari kontak mata dengan peneliti, anak sesekali

merengek kepada ibunya ketika diberi pertanyaan oleh peneliti.

Responden 2 (Tanggal 23 Desember 2018 pukul 09.15 WIB)

Responden kedua adalah An. M dengan usia 5,9 tahun, jenis kelamin laki-

laki, diagnose medis Gastroenteritis + Vomiting dan menjalani perawatan pertama di

rumah salit. Pada saat dilakukan pengkajian, didapatkan hasil tanda-tanda vital

menunjukkan suhu tubuh 36,9oC, pernafasan 26x / menit, irama pernafasan vaskuler,

nadi 98x / menit. Keluhan yang dirasakan anak yaitu nyeri perut, diare + 1x di pagi
46

hari, mual, anak muntah 2x pagi hari, batuk sejak pagi hari, anak tidak mau makan,

hanya mau minum susu.

Pengkaian kecemasan pada anak didapatkan hasil bahwa An. M sering

merasa ketakutan saat melihat dokter yang memeriksa, takut saat perawat akan

melakukan tindakan seperti memasang infus dan menyuntikkan obat injeksi,

mengukur suhu tubuh, anak sering menangis saat ke kamar mandi, anak

memberontak saat akan dilakukan tindakan dengan cara memukul ibu atau ayahnya,

anak tidak mau berbicara pada perawat, anak susah tidur ketika malam hari. Saat

dikaji oleh peneliti anak tampak lemas, menghindari kontak mata dengan peneliti,

anak sesekali merengek kepada ibunya ketika diberi pertanyaan oleh peneliti.

Tabel 4.1 Observasi Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum Aktivitas Bermain
Puzzle di RS Siti Khodijah Sepanjang Tanggal 23 Desember 2018.
Responden Usia Jenis Diagnosa Tingkat cemas
kelamin penyakit berdasarkan Spence
Children’s Anxiety
Scale (SCAS) sebelum
aktivitas bermain
puzzle
An. R 5,4 tahun Perempuan Gastroenteritis Skor kecemasan = 19
+ Vomitting (Cemas sedang)
An. M 5,9 tahun Laki-laki Gastroenteritis Skor kecemasan = 17
+ Vomitting (Cemas sedang)

Dari data di atas menunjukkan bahwa ada dua responden dalam penelitian ini

yaitu An. R dengan usia 5,4 tahun, jenis kelamin perempuan, diagnose

Gastroenteritis + Vomitting, dan An. M dengan usia 5,9 tahun, jenis kelamin laki-

laki, diagnose penyakit Gastroenteritis + Vomitting sama-sama mengalami tingkat

cemas sedang berdasarkan Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) sebelum

aktivitas bermain puzzle di RS Siti Khodijah Sepanjang.


47

4.1.3 Identifikasi Respon Anak Saat Penerapan Aktivitas Bermain Puzzle Untuk

Menurunkan Cemas Hospitalisasi Di RS Siti Khodijah Sepanjang

Aktivitas bermain puzzle dilakukan selama dua hari dengan waktu 15-30

menit pada masing-masing responden. Permainan puzzle terdiri dari beberapa

langkah yaitu memilih gambar puzzle yang di sukai oleh anak, memisahkan kepingan

pola puzzle, kemudian menyusun kembali pola puzzle sesuai dengan gambar.

Responden 1

1. Permainan puzzle dilakukan setelah anak selesai dilakukan observasi tanda-

tanda vital dan pemberian obat injeksi, dan satapan pagi.

2. Sebelum dilakukan aktivitas bermain puzzle, peneliti terlebih dahulu melakukan

kontrak waktu dengan ibu pasien, kemudian menjelaskan manfaat dari bermain

puzzle bagi anak yang mengalami cemas hospitalisasi.

3. Saat dilakukan aktivitas bermain puzzle pertama pada tanggal 23 Desember

2018 pukul 08.30 WIB dilanjutkan pada hari berikutnya tanggal 24 Desember

2018 pukul 09.15 WIB.

4. Sebelum melakukan aktivitas bermain puzzle, peneliti terlebih dahulu

menyiapkan alat yaitu puzzle papan dengan berbagai macam gambar.

5. Aktivitas permainan puzzle dilakukan di atas tempat tidur pasien di ruang Ismail

RS Siti Khodijah Sepanjang.

6. Pada hari pertama responden 1 memilih puzzle dengan gambar marsha & the

bear, melakukan aktivitas bermain puzzle dibantu oleh ibunya untuk meletakkan

kepingan pola yang sesuai pada papan, anak mulai mau menyusun sendiri pola
48

kepingan puzzle pada papan dan melakukan permainan dengan malu-malu

sehingga sesekali meminta ibunya untuk ikut bermain bersama.

7. Pada hari kedua gambar puzzle yang dipilih adalah Monki Trunk, anak terlihat

tidak malu-malu lagi saat bermain puzzle, anak lebih kooperatif dan mau

menjawab pertanyaan peneliti ketika di tanya tentang puzzle yang tengah

dimainkan, anak mau menyusun puzzle secara mandiri tanpa meminta bantuan

dari ibunya.

Responden 2

1. Permainan puzzle dilakukan setelah anak selesai dilakukan observasi tanda-

tanda vital dan pemberian obat injeksi, dan satapan pagi.

2. Peneliti terlebih dahulu melakukan kontrak waktu dengan ibu pasien, kemudian

menjelaskan manfaat dari bermain puzzle bagi anak yang mengalami cemas

hospitalisasi.

3. Saat dilakukan aktivitas bermain puzzle pertama pada tanggal 23 Desember

2018 pukul 09.15 WIB dilanjutkan pada hari berikutnya tanggal 24 Desember

2018 pukul 09.45 WIB.

4. Sebelum melakukan aktivitas bermain puzzle, peneliti terlebih dahulu

menyiapkan alat yaitu puzzle papan dengan berbagai macam gambar.

5. Aktivitas permainan puzzle dilakukan di atas tempat tidur pasien di ruang Ismail

RS Siti Khodijah Sepanjang.

6. Pada hari pertama responden 2 memilih puzzle dengan gambar Monki Trunk,

melakukan aktivitas bermain puzzle dengan sesekali dibantu oleh ibunya untuk
49

menyesuaikan kepingan pola pada papan puzzle, merengek ketika puzzle yang

dipasang tidak sesuai.

7. Pada hari kedua, gambar yang dipilih adalah Upin & Ipin, anak sudah mau

berinteraksi dengan peneliti dan mau di tinggal oleh ibunya ketika sedang

bermain, mau menjawab setiap pertanyaan peneliti ketika di tanya tentang puzzle

yang tengah dimainkan dan lebih kooperatif saat berinteraksi.

4.1.4 Identifikasi Tingkat Cemas Hospitalisasi Sesudah Dilakukan Aktivitas Bermain

Puzzle Di RS Siti Khodijah Sepanjang

Cemas hospitalisasi sesudah dilakukan aktivitas bermain puzzle selama dua

hari menunjukkan adanya perubahan. Sesudah dilakukan permainan puzzle kedua

responden mulai terbiasa dengan terapi saat dirawat di rumah sakit dan kooperatif

saat akan dilakukan tindakan.

Responden 1

Setelah dilakukan aktivitas bermain puzzle Responden 1 mengalami tingkat

kecemasan ringan (skor kecemasan = 8). Pada saat hari kedua melakukan aktivitas

bermain puzzle anak mulai mau berinteraksi dengan peneliti, mau bermain puzzle

secara mandiri dan mau menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh peneliti. Ibu

mengatakan bahwa saat di lakukan tindakan oleh perawat, anak sudah jarang

merengek, dan jarang menangis saat akan di berikan obat lewat injeksi pada selang

infus, sudah mulai mau makan dan lebih kooperatif dengan lingkungan sekitar. Anak

mengatakan ingin bermain puzzle lagi, ketika diberi pertanyaan mau menjawab dan

mengatakan suka dengan gambar-gambar yang ada pada papan puzzle. Ketika diberi

pertanyaan seputar gambar yang ada pada puzzle anak bisa menjawab dan
50

mengatakan tidak takut lagi dengan perawat. Pada saat dilakukan pengkajian,

didapatkan hasil tanda-tanda vital menunjukkan suhu tubuh 36,4oC, pernafasan 26x /

menit, irama pernafasan vaskuler, nadi 96x / menit.

Responden 2

Setelah dilakukan aktivitas bermain puzzle Responden 2 mengalami tingkat

kecemasan ringan (skor kecemasan = 7). Pada saat melakukan permainan puzzle hari

kedua anak sudah tidak merengek lagi ketika di tinggal ibunya pergi ke kamar mandi

dan mau berinteraksi dengan peneliti walaupun tidak di damping oleh ibunya, mau

menjawab beberapa pertanyaan yang di ajukan oleh peneliti terkait dengan puzzle

yang sedang dimainkan dan menyusun kedua puzzle secara mandiri. Ibu mengatakan

bahwa saat di lakukan tindakan oleh perawat, anak sudah tidak takut lagi, tidak

menangis saat akan di berikan obat lewat injeksi pada selang infus, sudah mulai mau

makan dan lebih kooperatif dengan lingkungan sekitar terutama dengan perawat yang

setiap saat datang memeriksa dan mengganti cairan infus. Anak mengatakan ingin

bermain puzzle lagi dan ketika diberi pertanyaan mau menjawab dan mengatakan

suka dengan gambar-gambar yang ada pada papan puzzle, paling suka dengan kartun

animasi Upin & Ipin dan mengatakan tidak takut lagi dengan perawat yang datang.

Pada saat dilakukan pengkajian, didapatkan hasil tanda-tanda vital menunjukkan

suhu tubuh 36,2oC, pernafasan 24x / menit, irama pernafasan vaskuler, nadi 94x /

menit.

Tabel 4.2 Identifikasi Cemas Hospitalisasi Sesudah Aktivitas Bermain Puzzle di RS


Siti Khodijah Sepanjang Tanggal 24 Desember 2018.
Responden Tingkat cemas menggunakan Spence Children’s Anxiety
Scale (SCAS) sesudah aktivitas bermain puzzle
R1 Skor kecemasan = 8 (cemas ringan)
R2 Skor kecemasan = 7 (cemas ringan)
51

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa setelah dilakukan aktivitas bermain

puzzle pada R 1 menunjukkan adanya penurunan tingkat cemas dengan perolehan

skor kecemasan = 8 sedangkan pada R 2 juga sudah menunjukkan adanya penurunan

skor kecemasan = 7 berdasarkan lembar observasi kecemasan Spence Children’s

Anxiety Scale (SCAS).

Penurunan tingkat cemas hospitalisasi pada kedua responden setelah

dilakukan aktivitas bermain puzzle dapat di lihat melalui diagram berikut.

Tingkat Cemas
19
20

15
17
10 8

5 7
0
Pre Post

R1 R2

Diagram 4.1 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum dan Sesudah
Aktivitas Bermain Puzzle di RS Siti Khodijah Sepanjang Tanggal 23-
24 Desember 2018.

Dari diagram 4.1 menunjukkan bahwa pada responden 1 mengalami

penurunan tingkat cemas hospitalisasi yang pada awalnya skor kecemasan = 19

(cemas sedang) menjadi skor kecemasan = 8 (cemas ringan) sedangkan pada

responden 2 mengalami penurunan tingkat cemas dari skor kecemasan = 17 (cemas

sedang) menjadi skor kecemasan = 7 (cemas ringan).


52

4.2 Pembahasan

4.2.1 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum Dilakukan Aktivitas Bermain

Puzzle Di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang

Berdasarkan pada penelitian didapatkan hasil tingkat cemas hospitalisasi

dengan menggunakan lembar observasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS), di

dapatkan bahwa responden 1 dan responden 2 sama-sama mengalami tingkat cemas

sedang.

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat

yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi

pengobatan dan perawatan. Meskipun demikian, di rawat di rumah sakit

menimbulkan ketakutan, stress maupun cemas terhadap anak (Wong, 2009; Apriany,

2013).

Faktor penyebab hospitalisasi salah satunya adalah karena pasien baru masuk

rumah sakit, atau pasien tidak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien

merasa bahwa ketika menjalani perawatan maka tidak akan dapat lagi bermain

dengan teman sebayanya. Disamping itu pula, kondisi lingkungan yang baru bagi

pasien turut mempengaruhi stress yang di alami saat hospitalisasi sehingga dapat

menjadi salah satu pengalaman yang menimbulkan dampak negatiif baik pada anak

maupun orang tua sehingga memunculkan reaksi reaksi tertentu yang di tunjukkan

saat perawatan. Sebagai perasaan yang sering muncul pada anak yang sedang

menjalani hospitalisasi di rumah sakit yaitu cemas, marah, sedih dan takut. Perasaan

tersebut dipengaruhi oleh kondisi fisik yang sedang dialami oleh anak. Kondisi
53

kesehatan yang buruk menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi

dominan. Jika anak dalam keadaan yang kurang sehat, maka akan bereaksi dengan

ketakutan yang lebih besar dibandingkan dengn keadaan normal, dan mereka akan

lebih mudah takut terhadap berbagai macam situasi yang dalam keadaan normal

tidak menimbulkan rasa takut (Supartini, 2004; Erna, 2016).

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, ada persamaan tingkat

cemas hospitalisasi yang dialami oleh anak ketika pertama kali masuk rumah sakit

untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang. Hal ini

kemungkinan di karenakan adanya berbagai macam faktor yang menyebabkan anak

menjadi cemas, takut, maupun stress saat menjalani perawatan terutama ketika

berada di lingkungan yang asing dan banyak bertemu dengan orang yang tidak

dikenal sebelumnya hingga menyebabkan anak tidak kooperatif saat akan dilakukan

tindakan. Ketika anak mengalami cemas hospitalisasi, maka sikap yang sering di

tunjukkan adalah menangis, merengek, memukul, berteriak, marah, bahkan tidak

mau di dekati oleh orang lain selain ibu atau keluarga yang di kenal saja. Hal ini

sejalan dengan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 yang

menyatakan bahwa sebanyak 14,91%, anak yang mendapatkan perawatan di rumah

sakit akan berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologinya berkaitan dengan

kecemasan, stress dan ketakutan saat di hospitalisasi.

4.2.2 Penerapan Aktivitas Bermain Puzzle Untuk menurunkan Cemas Hospitalisasi

Di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang


54

Penerapan aktivitas bermain puzzle dilakukan selama dua hari dengan

waktu 15-30 menit menggunakan media puzzle papan yang memiliki gambar dan

pola beragam. Repon yang ditunjukkan oleh kedua responden adalah sebagai berikut:

1. Pada saat hari pertama tanggal 23 Desember 2018 di lakukan aktivitas bermain

puzzle pada Responden 1 pukul 08.30 WIB sedangkan responden 2 pukul 09.15

WIB sesuai dengan standar operasional prosedur dari permainan puzzle papan

yang memiliki berbagai macam kepingan pola puzzle dan gambar yang berbeda-

beda. Anak memilih gambar puzzle yang di sukai kemudian membongkar pola

puzzle untuk kemudian di satukan kembali agar terbentuk gambar yang utuh

pada papan puzzle. Pada hari pertama ini pelaksanaan bermain puzzle

berlangsung selama 15-30 menit pada masing-masing anak. Responden 1

bermain puzzle dengan sesekali meminta bantuan ibunya untuk meletakkan

kepingan pola puzzle, kadang-kadang merengek dan minta untuk selalu di

temani oleh ibunya. Sedangkan Responden 2 bermain puzzle dengan lebih

tenang walaupun terkadang meminta ibunya untuk menemani bermain puzzle.

Kedua respon yang ditunjukkan oleh anak berbeda-beda pada hari pertama saat

melakukan aktivitas bermain puzzle

2. Pada hari kedua pelaksanaan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan cemas

hospitalisasi pada anak yang dilaksanakan tanggal 24 Desember 2018, waktu

pelaksanaan untuk responden 1 pada pukul 09.15 WIB dan responden 2 pukul

09.45 WIB sesuai dengan kontrak waktu yang telah disepakati oleh ibu kedua

responden dan peneliti. Sama seperti ketika hari pertama pelaksanaan aktivitas

permainan puzzle berjalan sesuai dengan standar operasional prosedur dan kedua
55

responden memilih puzzle dengan pola dan gambar yang berbeda dari puzzle

yang telah dimainkan pada hari pertama. Respon kedua anak saat permainan

puzzle sedang berlangsung pada hari kedua menunjukkan adanya perbedaan dari

hari pertama yaitu kedua anak lebih kooperatif saat sedang bermain dan mau

menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti terkait dengan

perasaan saat bermain puzzle dan saat menjalani perawatan di rumah sakit.

Kedua responden sudah tidak takut dengan tindakan yang dilakukan oleh

perawat dan mau di tinggal oleh ibunya saat sedang bermain puzzle.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, menunjukkan adanya perubahan tingkat

cemas yang signifikan pada anak ketika menjalani hospitalisai dengan adanya

penerapan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan tingkat cemas yang dialami

oleh anak. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama dua hari, respon yang

ditunjukkan anak ketika melakukan permainan puzzle menunjukkan bahwa apabila

anak di ajak untuk bermain maka cemas yang di alami akan teralihkan dengan teknik

distraksi salah satunya yaitu bermain puzzle.

Bermain sangatlah penting untuk kesehatan mental, emosional dan sosial.

Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk

memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan

kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena

bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada

anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar

mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta

sosial pada anak. Aktivitas bermain dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak,
56

ketika berada di bangsal anak membutuhkan permainan yang dapat dilakukan dengan

waktu yang relative singkat agar tidak mengganggu terapi pengobatan medis. Waktu

yang dibutuhkan anak dalam melakukan satu kali aktivitas bermain idealnya adalah

15- 30 menit dengan bimbingan dari perawat dan orang tua. (Supartini, 2009; Erna

2016).

Pada saat anak menjalani perawatan di rumah sakit, anak tidak hanya

membutuhkan terapi medis yang dapat membantu memulihkan status kesehatan fisik

saja, tetapi aktivitas pengalihan rasa cemas juga perlu di terapkan hal ini berkaitan

dengan perilaku kooperatif anak saat dilakukan tindakan perawatan. Hal ini sesuai

dengan teori bahwa bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual,

emosional, dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena

dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar

menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan

mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2003; Adriana 2011).

4.2.3 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sesudah Dilakukan Aktivitas Bermain

Puzzle Di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang

Dari diagram 4.1 penerapan aktivitas bermain puzzle menunjukkan bahwa

pada kedua responden mengalami penurunan tingkat kecemasan. Hasil skor yang

diperoleh responden 1 adalah 8 = tingkat kecemasan ringan dedangkan pada

responden 2 adalah 7 = tingkat kecemasan ringan.

Permainan puzzle tidak hanya dapat menurunkan cemas hospitalisasi pada

anak tetapi juga dapat menghilangkan rasa takut, tegang, bahkan stress yang bias

menggunakan teknik distraksi ini. Bermain bagi anak merupakan hal yang
57

menyenangkan sehingga anak dapat melupakan kekhawatirannya dan kecemasannya

saat anak sudah mulai asyik dengan permainan yang disenanginya., anak akan mulai

akrab dengan orang yang mengajaknya bermaian sehingga rasa takut pada anak akan

menglami penurunan bahkan tidak takut lagi. Ketika anak sudah merasa akrab maka

anak tidak lagi menolak saat akan dilakukan tindakan dan bahkan anak tidak lagi

menangis dan berteriak saat dilakukan tindakan perawatan.

Perilaku anak dalam upaya beradaptasi terhadap masalah yang sedang

dialami selama dirawat di rumah sakit, antara lain dengan penolakan (Avoidence),

anak akan berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan dan biasanya

anak tidak kooperatif dengan petugas medis yamng memberikan perawatan. Selain

itu anak akan berusaha mengalihkan perhatian (Distraction) dari pikiran atau sumber

yang membuatnya tertekan dengan perilaku yang dilakukan anak di rumah sakit

misalnya membaca buku cerita, menonton televisi, atau bermain. Anak akan

berusaha untuk aktif (Active), mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara

aktif dengan perilaku yang sering dilakukan seperti menanyakan kondisi sakitnya

kepada orang tua ayau petugas medis, bersikap kooperatif, meminum obat secara

teratur, dan mau beristirahat sesuai dengan peraturan. Akibatnya anak akan berusaha

mencari dukungan dari orang lain (Suppot Seeking) untuk melepaskan tekanan yang

dialaminya dengan perilaku yang biasanya ditandai seperti anak minta ditunggui

selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat menjalani treatment, dan minta

dipeluk saat merasa kesakitan (Wong, 2008; Audina, 2017).

Pada kedua responden dapat mengalihkan rasa cemasnya dengan

melakukan permainan puzzle. Sesuai dengan teori dimana permainan puzzle sebagai
58

input yang berupa stimulus atau rangsangan energy residual perlakuan atau

pemberian aktivitas bermain puzzle dalam penyesuaian terhadap lingkungan yang

menimbulkan respon, dan pada saat penerapan terapeutik berlangsung adalah proses

dalam bentuk mekanisme koping anak sehingga output atau hasil proses permainan

puzzle yang dilakukan adalah kecemasan hospitalisasi pada anak berkurang.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Erna, 2016 yang menyebutkan

bahwa hasil penelitian terapi bermain puzzle membuktikan bahwa terapi bermain

puzzle memiliki pengaruh yang signifikan untuk menurunkan respon kecemasan

anak prasekolah selama hospitalisasi ditandai dengan anak dapat mengungkapkan

perasaan kecemasan, ketakutan dan kehilangan kontol saat menjalani perawatan di

rumah sakit. Ketika anak yang menjalani perawatan di rumah sakit sudah dapat

mengendalikan perasaan cemas dengan bermain puzzle maka sikap yang ditunjukkan

anak adalah lebih kooperatif ditandai dengan tidak lagi menangis, berteriak dan takut

ketika jauh dari ibunya saat dilakukan tindakan.


59

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Studi Kasus Penerapan Aktivitas

Bermain Puzzle Untuk Menurunkan Cemas Hospitalisasi Pada Anak Di Rumah Sakit

Siti Khodijah Sepanjang” dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut.

5.1 Kesimpulan

1. Sebelum dilakukan aktivitas bermain puzzle, skor kecemasan yang diperoleh

pada An. R adalah 19 dan skor kecemasan yang diperoleh An. M adalah 17 yang

dapat diartikan sama-sama mengalami tingkat cemas hospitalisasi sedang.

2. Respon dari An. R dan An. M saat bermain puzzle menunjukkan adanya

perubahan yang awalnya masih meminta didampingi oleh orang tua nya pada hari

pertama permainan menjadi lebih kooperatif dan mandiri pada hari ke dua

permainan.

3. Sesudah dilakukan aktivitas bermain puzzle, skor kecemasan pada An. R

mengalami penurunan yaitu 8 sedangkan pada An. M juga mengalami penurunan

skor tingkat kecemasan menjadi 7 yang dapat diartikan sama-sama mengalami

tingkat cemas hospitalisasi ringan.


60

5.2 Saran

1. Bagi rumah sakit

Selama menjalani hospitalisasi diharapkan rumah sakit dapat memberikan

informasi dan meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan dengan

mengaplikasikan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan cemas hospitalisasi

pada anak selama perawatan dan memodifikasi lingkungan perawatan sehingga

menimbulkan ketakutan.

2. Bagi perawat

Anak yang mengalami cemas hospitalisasi diharapkan dapat diberikan penerapan

aktivitas bermain puzzle sebagai permainan terapeutik untuk menurunkan tingkat

kecemasan.

3. Bagi peneliti selanjutnya.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya, dan

perlu adanya penggunaan alat ukur kecemasan yang sesuai dengan karakteristik

kecemasan dari pasien, sampel yang digunakan pada penelitian selanjutnya dapat

di tambah.
61

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan terapi bermain Pada Anak. Jakarta:
Slemba Medika.
Apriany, D. (2013). Hubungan Antara Hospitalisasi Anak Dengan Kecemasan Orang
Tua. The Soedirman Journal Of Nursing, Vol. 8 No. 2.
Audina, M. (2017). Hubungan Dampak Hospitalisasi Anak Dengan Tingkat
Kecemasan Orang Tua Di Irina E Atas Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
E-Journal Keperawatan (E-KP), Volume 5 Nomor 1.
Erna, P. (2016). Studi Kasus Penerapan Aktivitas Mewarnai Terhadap Penurunan
Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surabaya. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Freud, S. (2016). Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawari, D. (2013). Manajemen Stres, Cemas, Dan Depresi. Jakarta : FKUI.
Hockenberry, M. W. (Hockenberry). Hockenberry, MWong’s Book 2 Nursing Care
of Infants and Children. Edition 9. USA: Mosby Elseiver.
Jannah, N. (2016). Gambaran Tingkat Stres Pada Anak Usia Sekolah Dengan
Hospitalisasi di RSUD Labuang Baji. Makassar: Jannah, N.I., (2016).
Gambaran Tingkat Stres Pada Anak Usia Skripsi. Universitas Islam Nergri
Alauddin.
Kaluas, I. I. (2015). Perbedaan Terapi Bermain Puzzle Dan Bercerita Terhadap
Kecemasan Anak Usia Pra Sekolah (3-5 Tahun) Selama Hospitalisasi Di
Ruang Anak RS. Tk III R.W. Monginsidi Menado. E-Jurnal Keperawatan, Vol.
1 Page 3.
Keliat, B. A. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.
62

Kholisatun, M. (2013). Pengaruh Clay therapy terhadap kecemasan akibat


hospitalisasi pada pasien anak usia sekolah di RSUD Banyumas. Purwokerto:
Skripsi. Universitas Jendral Sudirman.
Norma, A. (2014). Pengaruh Bermain Terapeutik (Puzzle) Terhadap Tingkat
Kecemasan Anak Usia Prasekolah Yang Menjalani Hospitalisasi Di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Yogyakarta: Naskah Publikasi. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ‘Aisyiyah.
Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Slemba Medika.
Potter, P.A, Perry. A.G. (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prosed dan
Praktik. Edisi 4. Volume 2. Jakarta:
Soedjiningsih. Ranuh. (2012). Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Jakarta. EGC

Sarti. (2017). Penerapan Terapi Bermain Dengan Menggambar Dan Mewarnai


Gambar Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan Anak Pra-Sekolah Di Ruang
Melati Rsud Dr. Soedirman Kebumen. Gombong: Karya Tulis Ilmiah: Stikes
Muhammadiyah Gombong.
Semiawan, C. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.
Solikhah, U. (2011). Pengaruh terapeutic peer play terhadap kecemasan &
kemandirian anak usia sekolah selama hospitalisasi di rumah sakit wilayah
Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 6, No.1.
Supartini, Y. (2004). Konsep Dasar Keperawaatan Anak. Jakarta: EGC.
Suparyanto. (2011). Konsep kecemasan. Jakarta: EGC.
Wiludjeng, S. (2017). Pengaruh Biblioterapi Terhadap Tingkat Kecemasan
Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Di Ruang Marwah Iic Rumah Sakit
Umum Haji Surabaya. Surabaya: Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surabaya.
Wong, D. E. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai