BAB 1
PENDAHULUAN
Cemas dapat dialami oleh siapa saja, terutama pada anak usia prasekolah
(usia 3-6 tahun) yang mengalami sakit sehingga diharuskan untuk menjalani
pengobatan serta perawatan di rumah sakit. Rawat inap pada anak merupakan suatu
kejadian gawat dikarenakan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada diri anak
dalam diri anak itu sendiri, (misalnya: perubahan status fisik dari anak, psikis
maupun spiritual), maupun lingkungan baru yang ada di sekitar anak (misalnya:
lingkungan rumah sakit, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya) yang dapat
menimbulkan rasa cemas maupun rasa tertekan pada anak yang melakukan
perawatan. Pada umunya setiap anak yang menjalani perawatan di rumah sakit akan
muncul rasa cemas, karena anak berfikir bahwa mereka akan disakiti oleh dokter,
perawat maupun petugas medis yang lainnya (Wong, 2003; Hidayat, 2005; Supartini,
2012).
perasaan tidak nyaman pada anak sehingga diperlukan proses penyesuaian diri untuk
mengurangi dan meminimalkan perasaan cemas pada anak agar tidak berkembang
menjadi kecemasan yang krisis. Hospitalisasi / masuk rumah sakit adalah suatu
proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat sehingga mengharuskan
anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani proses terapi dan perawatan
2
sampai anak pulih dan dapat kembali ke rumah. Ketika masa anak-anak, anak masih
rentan dalam kondisi sakit karena sistem daya tahan tubuh anak masih rentan
terhadap berbagai macam jenis penyakit. Sakit yang biasanya dapat terjadi pada anak
Angka kesakitan anak di Indonesia usia 3-6 tahun adalah sebanyak 14,91%,
anak yang mendapatkan perawatan di rumah sakit akan berpengaruh pada kondisi
fisik dan psikologinya berkaitan dengan kecemasan, stress dan ketakutan saat di
terakhir dari bulan Oktober sampai dengan November 2014 didapatkan data jumlah
pasien anak yang dirawat 184 pasien anak dan anak yang berusia 3-5 tahun sebanyak
57 pasien anak atau sebanyak 46 % anak yang mengalami cemas akibat dampak dari
efektif dalam menurunkan kecemasan sebelum terapi bermain puzzle yaitu 34,71%
dan sesudah terapi bermain puzzle yaitu 28,71% (Kaluas, 2015). Berdasarkan data
awal yang di dapat dari Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang pada bulan Agustus-
Oktober 2018, sebanyak 63 anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang menjalani
oleh dokter maupun perawat dan tidak ingin berjauhan dari ibunya.
makan, tidak tenang, takut, gelisah, cemas, tidak mau bekerja sama dalam tindakan
3
effek negatif dari hospitalisasi dengan berbagai macam media yang dapat digunakan
dalam upaya untuk mengatasi koping maladaptif anak saat di hospitalisasi adalah
dengan cara bermain. Oleh karena itu dengan diberikannya aktivitas bermain pada
anak di rumah sakit akan memberikan nilai terapeutik yang akan sangat berperan
melepaskan ketegangan maupun kecemasan pada anak. Pada saat kondisi sakit atau
anak harus di rawat di rumah sakit aktivitas bermain dapat tetap dilaksanakan, namun
harus menyesuaikan dengan kondisi anak itu sendiri. Anak bermain puzzle saat
mengembangkan kreatifitas anak dan anak dapat lebih beradaptasi dengan efektif.
Pada anak usia pra-sekolah yang di rawat di rumah sakit dengan menggunakan terapi
yang akan melepaskan hormon endorphine, sehingga adrenalin menurun yang akan
memberikan rasa tenang dan menurunkan frekuensi nadi sehingga kecemasan yang
dialami oleh anak dapat menurun. Anak-anak pada usia pra-sekolah senang bermain
dengan berbagai macam hal terutama permainan yang sederhana namun dapat
mengasah kemampuan anak untuk mengingat bentuk gambar yang ada pada
2016).
Bentuk permainan yang sesuai dengan anak usia prasekolah adalah bermain
mengalami cemas, cemas dapat dialihkan dengan distraksi pada saat permainan
puzzle berlangsung sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan ada penurunan
terbesar anak usia prasekolah adalah kecemasan yang ditimbulkan oleh prosedur atau
tindakan keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak, keduanya akan
2016). Bermain merupakan salah satu cara paling efektif untuk menurunkan
kecemasan pada anak dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak di
perasaannya sehingga rasa cemas yang timbul akibat dirawat di rumah sakit
berkurang karena adanya peningkatan serotonin pada anak. Pada anak-anak yang
diberikan terapi bermain sesuai dengan prinsip yaitu permainan tidak boleh
yang aman, waktu yang digunakan untuk permainan relative singkat, harus selalu
mendapat persetujuan dan melibatkan orang tua, melibatkan kelompok usia anak
bermain puzzle. Penulis ingin meneliti tentang penerapan aktivitas bermain puzzle
5
terhadap penurunan kecemasan hospitalisasi pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun)
2. Bagaimana respon anak saat proses penerapan terapi bermain puzzle dalam
Sepanjang?
1.3 Objektif
2. Menjelasakan respon anak saat proses penerapan terapi bermain puzzle dalam
2. Bagi pendidikan
hospitalisasi.
4. Bagi responden
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Hosptalisai adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan di
rawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga keadaan tersebut
sebagai suatu stressor bagi anak maupun bagi orang tua dan keluarga. Hospitalisasi
merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan
anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi pengobatan dan perawatan.
Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis yang terjadi pada anak, yang
terjadi saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit
merupakan krisis utama yang tampak pada anak karena anak yang dirawat di rumah
sakit mengalami perubahan status kesehatan dan juga lingkungan seperti ruangan
kesehatan. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami berbagai hal tidak
menyenangkan bagi dirinya, biasanya ditunjukkan dengan anak tidak aktif, tidak
8
komunikatif, merusak mainan, tidak mau makan, bahkan mundur pada perilaku
pertentangan dengan orang tua, bahkan menarik diri. Keadaan ini terjadi karena anak
berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu lingkungan rumah sakit sehingga
kondisi tersebut menjadi factor stressor bagi anak maupun orang tua dan keluarga
yang bisa menimbulkan kecemasan, berbagai perasaan yang sering muncul pada
anak yaitu cemas, sedih, takut dan merasa bersalah (Hockenberry & Wilson, 2011)
krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak di rawat di rumah sakit maka anak
tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak menjadi stress akibat perubahan
sehari-hari yang bersifat menekan. Stressor atau pemicu timbulnya stress di rumah
sakit dapat bersifat fisik, psikososial maupun spiritual (Nursalam, 2005; Jannah,
2016).
Perubahan lingkungan fisik seperti tempat tidur yang sempit dan kurang
nyaman, tingkat kebersihan yang kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang
maupun terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa
terganggu dan ketakutan, keadaan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak
kurang nyaman.
Stressor pada anak yang di rawat di rumah sakit dapat berupa perubahan
serta dengan orang-orang terdekatnya sehingga anak akan akan merasa kehilangan
mengurung diri dan tidak mau melakukan tindakan sehingga tidak dapat kooperatif
saat dirawat.
Anak yang merasa asing dapat membuat beberapa perubahan lingkungan fisik
selama dirawat di rumah sakit. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak
aman dan tidak nyaman selama menjalani perawatan. Ditambah dengan adanya
perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialami saat sakit.
Anak yang menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya yang
lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan
yang dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu dapat mengakibatkan
pada anak akan orang tua yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang
dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa
Anak pada kondisi cemas akibat perpisahan akan memberikan respon berupa
perubahan perilaku. Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi kedalam tiga
tahap, yaitu tahap protes (phase of protest), tahap putus asa (phase of despair), dan
tahap menolak (phase of denial). Pada tahap protes, reaksi anak di manifestasikan
dengan menangis secara kencang, menjerit, memanggil orang tuanya atau bertingkah
laku agresif agar orang lain tahu bahwa anak tersebut tidak ingin ditinggalkan orang
tuanya serta menolak perhatian orang lain atau orang yang tidak dikenali
sebelumnya. Tahap putus asa menampilan perilaku anak yang cenderung tampak
10
tenang, tidak aktif, menarik diri, menangis berkurang, tidak ada minat untuk bermain,
nafsu makan menurun atau tidak nafsu makan, sedih dan apatis. Tahap berikutnya
hubungan dangkal dengan orang lain, terlihat menyukai lingkungan serta anak mulai
tampak gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah anak berpisah lama dengan orang
tua. Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga dapat mengalami cemas apabila
kehilangan kendali atas dirinya sediri. Akibat sakit dan mengharuskan di rawat di
Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak
akan menjadi cepat marah dan berperilaku agresif (Nursalam, 2005; Jannah 2016).
sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan ketidakberdayaan.
Kecemasan juga dapat diartikan rasa khawatir serta rasa takut yang tidak jelas
berbeda-beda, ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu, yaitu
kecemasan tingkat ringan, kecemasan tingkat sedang, kecemasan tingkat berat serta
Anak usia pra sekolah adalah anak yang berada di rentang usia 3 sampai 6
tahun. Anak usia pra-sekolah sebagian besar mengatasi dan mampu mengerti bahasa
yang kompleks. Selain itu, kelompok usia pra-sekolah ini juga memiliki kebutuhan
Pada usia ini, anak membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk proses tumbuh
11
menciptakan pengalamannya sendiri, baik bersama orang tua, teman sebaya maupun
Bagi anak usia pra-sekolah, sakit adalah sesuatu hal yang menakutkan. Selain
itu, perawatan di rumah sakit akan menimbulkn suatu kecemasan karena anak
Anak juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang di kenalnya, permainan dan
teman-teman sebayanya. Beberapa hal tersebut menjadikan anak stress dan tertekan.
Sebagai akibatnya, anak merasa gugup dan tidak tenang bahkan pada saat menjelang
tidur. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan aktivitas selama anak mengalami sakit
Anak yang mengalami cemas dapat menjadi agresif dengan marah dan
berontak dan kecemasan pada anak biasanya muncul karena berbagai perubahan
yang terjadi di sekelilingnya, baik fisik maupun emosional. Kecemasan pada anak
pra-sekolah juga dapat akibat kurangnya support system atau suatu bentuk dukungan
yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedangkan gejala klinis kecemasan yang sering di
temukan pada anak usia prasekolah adalah perasaan cemas, kekhawatiran dan mudah
dapat terjadi berbagai macam perubahan seperti tidak nafsu makan / nafsu makan
menurun, gugup, tremor hingga pusing dan insomnia. Kulit mengeluarkan keringat
dingin dan wajah menjadi pucat atau bahkan mengalami kemerahan. Selain respon
fisiologis, biasanya anak juga akan menampakkan respon perilaku, seperti gelisah,
keteganan fisik, tremor atau gemetaran, reaksi kaget, bicara cepat, menghindar
hingga menarik diri dari hubungan interpersonal. Respon kognitif yang mungkin
muncul adalah perhatian terganggu, kurang konsentrasi, mudah lupa, salah dalam
yang dapat muncul adalah tidak sabar, tegang dan waspada berlebihan (Supartini,
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Anak Usia Pra-sekolah (3-6 Tahun)
Terhadap Hospitalisasi
Menurut Supartini 2012, reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah
1. Perkembangan usia nanak merupakan salah satu faktor utama yang dapat
mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak
muda usia anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri
2. Pengalaman adak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat
saat di rawat di rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan
yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan
3. Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak untuk
beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit tempat anak dirawat. Anak biasanya
akan meminta dukungan dari orang-orang terdekat misaknya orang tua, saudara
maupun keluarga. Perilaku ini biasanya ditandai dengan perilaku anak untuk
pengobatan pada anak, minta dipeluk saat merasa takut dan cemasa bahkan saat
selama nasa perawatan termasuk di dalamnya adalah keluarga dan pola asuh
informasi tentang kondisi kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit menjadi
terlalu khawatir atau stress akan menyebabkan anak semakin takut dan cemas.
Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan terlalu memanjakan anak
juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas pada anak yang dirawat di
rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yamng memiliki pola asuh mandiri
terhadap anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif saat
4. Keterampilan koping saat menangani stress sangat penting bagi proses adaptasi
anak selama masa perawatan. Apabila mekanisme koping anak baik dalam
anak akan menjadi lebih kooperatif selama menjalani pengobatan dan perawatan
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan keadaan krisis yang tampak pada
anak. Jika anak di rawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis karena
anak stress akibat perubahan baik pada status kesehatan maupun lingkungannya
menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit ketakutan. Selain itu, ada
sebagian anak yang menganggap sakit sebagai hukuman sehingga timbul perasaan
malu dan bersalah. Ada di antaranya beberapa anak yang menolak untuk dirawat di
rumah sakit dan secara terbuka menangis tidak mau di rawat. Jika anak sangat
ditampilkan seperti dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama
suatu hukuman, merasa tidak aman dan kemandiriannya terhambat. Biasanya ank
akan melontarkan beberapa pertanyaan karena bingung dan anak tidak mengetahui
15
keadaan di sekelilingnya. Selain itu, anak juga dapat menangis, bingung, khususnya
bila keluar darah atau mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi
beberapa prosedur medis membuat anak semakin takut, cemas dan stress (Wong,
kecemasan karena berpisah dengan lingkungan yang nyaman, penuh kasih sayang,
lingkungan bermain, permainan, dan teman bermain. Reaksi saat kehilangan kontrol
anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap
perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir ataupun dengan memegangi
sesuatu dengan erat. Anak harus mengaatasi berbagai sumber stress seperti rasa sakit,
lingkungan rumah sakit, aturan-aturan dokter serta treatment yang diberikan. Proses
perawatan yang sering kali membutuhkan waktu yang lama akhirnya menjadikan
yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang dikembangkan anak
untuk beradaptasi dengan penyakit yang sedang diderita (Wong, 2008; Audina,
2017).
dialami selama dirawat di rumah sakit, antara lain dengan penolakan (Avoidence),
anak akan berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan dan biasanya
anak tidak kooperatif dengan petugas medis yamng memberikan perawatan. Selain
itu anak akan berusaha mengalihkan perhatian (Distraction) dari pikiran atau sumber
yang membuatnya tertekan dengan perilaku yang dilakukan anak di rumah sakit
misalnya membaca buku cerita, menonton televisi, atau bermain. Anak akan
16
berusaha untuk aktif (Active), mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara
aktif dengan perilaku yang sering dilakukan seperti menanyakan kondisi sakitnya
kepada orang tua ayau petugas medis, bersikap kooperatif, meminum obat secara
teratur, dan mau beristirahat sesuai dengan peraturan. Akibatnya anak akan berusaha
mencari dukungan dari orang lain (Suppot Seeking) untuk melepaskan tekanan yang
dialaminya dengan perilaku yang biasanya ditandai seperti anak minta ditunggui
selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat menjalani treatment, dan minta
dengan perasaan takut, sering disertai oleh sensasi fisik seperti jantung berdebar,
nafas pendek atau nyeri dada (Keliat, 2011; Kholisatun 2013). Kecemasan
hospitalisasi adalah respon psikologis, fisiologis dan perilaku pada individu akibat
dirawat di rumah sakit dan menjalani perawatan yang ditrunjukkan dengan menangis,
sebagai berikut :
1. Kecemasan ringan
17
2. Kecemasan sedang
3. Kecemasan berat
pada sesuatu yang spesifik dan dan tidak berfikir tentang hal lain. Semua
kecemasan berat membutuhkan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4. Panik
apabila berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
Gambar 2.1 Rentang respon kecemasan (Stuart & Sundeen, 1998 dalam Keliat 2011)
Menurut Keliat (2011), tanda dan gejaladari kecemasan yang dapat dialami
1. Fisik, berupa jantung berdebar keras, susah tidur, pusing, berkeringat, muliut
buruk).
a. Kecemasan ringan
1. Fisik : sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, gejala
ringan berkeringat.
19
3. Perilaku dan emosi : Tidak dapat duduk dengan tenang, tremor halus pada
b. Kecemasan Sedang
1. Fisik : sering nafas pendek, nadi ekstra sistole, tekanan darah meningkat,
lebih banyak dan cepat, susah tidur, lebih sering bertnya, perasaan tidak
aman.
c. Kecemasan Berat
1. Fisik : nafas pendek nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, dan
masalah.
d. Kecemasan panik
1. Fisik : Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi dada, pucat, hipotensi,
orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut : Cemas,
khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa
tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian,
dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi – mimpi yang menegangkan,
gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan – keluhan somatik, misalnya rasa sakit
pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar – debar, sesak
sebagainya.
a. Faktor Predisposisi
dengan krisis yang dialami oleh individu baik krisis perkembangan atau
situasional.
kecemasannya.
b. Faktor Presipitasi
hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri dan
c. Faktor Internal
22
1. Potensi stressor
2. Maturitas
3. Umur
4. Pendidikan
d. Faktor Eksternal
1. Dukungan Keluarga
instrumental.
23
2. Dukungan sosial
Adanya dukungan sosial yang tinggi membuat individu mengalami hal yang
positif dalam kehidupan, mempunyai harga diri yang tinggi dan mempunyai
digunakan salah satunya adalah Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah
ini terdiri dari 38 pertanyaan, yang memiliki total skor 114. Responden diminta untuk
menunjukkan frekuensi setiap gejala yang terjadi pada empat skala poin mulai dari
tidak pernah (skor 0) sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan menjadi
kriteria tingkat kecemasan anak: ringan skor 1-38, sedang skor 39-76, berat skor 77-
Untuk menyesuaikan alat ukur kecemasan pada anak usia prasekolah, maka
di pilih beberapa item pertanyaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan anak saat
dirawat di rumah sakit. Dari jumlah total 38 item pertanyaan dan pernyataan pada
lembar kuisioner Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) diambil 10 iem yang
mewakili kondisi anak ketika dirawat di rumah sakit (Wiludjeng, 2017). Uji validitas
Kecemasan dan stres yang dialami anak saat hospitalisasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain faktor dari petugas kesehatan (perawat, dokter, dan tenaga
perawatan (Nursalam, 2005 dalam Apriany, 2013). Hockenberry dan Wilson (2011)
hospitalisasi diantaranya usia, jenis kelamin, lama dirawat dan pengalaman dirawat.
Anak yang lebih besar, lebih bisa mengendalikan kopingnya menjadi positif
dibanding anak yang lebih muda. Pada semua tingkat usia dilihat sebagai suatu
dipengaruhi oleh kecemasan hospitalisasi yang terdiri dari tiga fase. Fase pertamas
adalah fase protes, ditunjukkan dengan reaksi anak seperti menangis, menjerit,
mencari dan memegang erat orangtua, menolak bertemu dan menyerang orang yang
tidak dikenal. Fase kedua adalah fase putus asa, ditandai dengan anak tidak aktif,
menarik diri dari orang lain, sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan, tidak
komunikatif, dan menolak makan atau minum. Pada fase ketiga yaitu fase
25
dangkal dengan orang lain atau perawat. Pada hari pertama anak dirawat di rumah
sakit, berarti anak berada pada fase pertama yaitu fase protes. Pada fase ini, anak
belum melewati fase adaptasi untuk mencapai tahap penerimaan, karena tahap
penerimaan biasanya terjadi setelah anak dirawat di rumah sakit dalam aktu lebih
semangat untuk sembuh dan tidak kooperatifnya anak terhadap tindakan perawatan
semua tingkatan usia. Selain anak yang merasakan kecemasan keluarga juga dapat
merasakan kecemasan karena kondisi anaknya yang sakit (Nursalam 2005; Apriany,
2013).
masalah. Secara sosial dapat mengganggu hubungan dengan orang lain. Secara
spititual, dapat memberikan tantangan terhadap keyakinan dan nilai – nilai seseorang
(Perry&Potter, 2005). Anak sakit dan di rawat di rumah sakit akan mengalami
menimbulkan regresi dan pada akhirnya anak akan menarik diri dari hubungan
pengalaman dirawat atau ketidak tahuan tentang prosedur tindakan. Apabila anak
tidak mempunyai koping yang efektif, maka hal hal tersebut akan menimbulkan
kecemasan. Hal ini dapat dicegah dengan cara memberikan penjelasan kepada anak,
seperti membawa anak berkeliling rumah sakit (Nursalam, 2005; Apriany, 2013).
1. Rooming in
Rooming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa,
sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan
Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit,
3. Modifikasi lingkungan
memakai poster atau gambar sehingga anak merasa aman jika berada di ruang
tersebut.
Kehilangan kegiatan rutinitas merupakan stressor bagi anak dan hal ini akan
yang disusun perawat, orang tua, dan anak secara bersama – sama.
Hospitalisasi membuat anak menjadi tergantung pada orang lain dan ini
1. Perawat dapat menjelaskan apa yang dilakukan, siapa yang dapat ditemui
tubuh.
3. Untuk mengatasi rasa nyeri dapat dilakukan dengan dan tanpa obat, misalnya
Anak usia prasekolah adalah anak yang berada di kisaran usia 3-6 tahun.
Dalam usia yang umumnya program anak (3-5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3
tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun, biasanya anak mengikuti program-program
Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3-6 tahunyang memiliki
Anak diartikan seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun dalam
masa tumbuh kembang dengan bantuan khusus, baik kebutuhan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Anak adalah antara usia 0-14 tahun karena di usia inilah resiko
Anak usia prasekolah ada pada tahap perkembangan psikoseksual fase falik (3-
6 tahun) dimana artinya selama fase ini, genetalia menjadi area yang menarik dan
area tubuh yang sensitive. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan jenis kelamin. Sering
perbedaan ini. Orang tua harus lebih bijak dalam memberi penjelasan tentang hal ini
pemahaman yang benar. Selain itu, untuk memahami identitas gender anak sering
pakaian ibu atau ayahnya. Secara psikologis pada fase ini mulai berkembang super
ego. Yaitu anak muulai berkurang sifat egoisnya (Frued 2006; Erna, 2016).
terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah
timbul pada anak apabila anak tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas
1. Perkembangan fisik
terlihat kurus tetapi aktivitas motoric tinggi, diamana system tubuh sudah
2. Perkembangan motorik
3. Perkembangan Bahasa
bunyi untuk mengidentifikasi objek, orang dan aktivitas, meniru berbagai bunyi
sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan
dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu,
Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk
memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan
kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena
bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada
anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar
mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta
Puzzel berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau bongkar
pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang dimainkan dengan bongkar
bahwa media puzzle merupakan alat permainan edukatif yang dapat merangsang
Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk
memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan
kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena
32
bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada
anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar
mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta
sosial pada anak. Aktivitas bermain dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak,
ketika berada di bangsal anak membutuhkan permainan yang dapat dilakukan dengan
waktu yang relative singkat agar tidak mengganggu terapi pengobatan medis. Waktu
yang dibutuhkan anak dalam melakukan satu kali aktivitas bermain idealnya adalah
15- 30 menit dengan bimbingan dari perawat dan orang tua. (Supartini, 2009; Erna
2016).
sedang dijalani
2. Permainan tidak boleh menguras energy dari anak, anak tidak boleh kelelahan saat
bermain.
4. Waktu yang digunakan untuk bermain harus relative singkat (maksimal 30 menit).
a. Puzzle konstruksi
33
Mainan rakitan yang paling umum adalah blok-blok kayu sederhana berwarna-
warni. Mainan rakitan ini sesuai untuk anak yang suka bekerja dengan tangan,
Puzzle batang ada yang dimainkan dengan cara membuat bentuk sesuai yang
kita inginkan ataupun menyusun gambar yang terdapat pada batang puzzle.
c. Puzzle lantai
Puzzle lantai terbuat dari bahan sponge (karet/busa) sehingga baik untuk alas
memiliki desain yang sangat menarik dan tersedia banyak pilihan warna yang
d. Puzzle angka
Mainan ini bermanfaat untuk mengenalkan angka. Selain itu anak dapat melatih
itu, puzzle angka bermanfaat untuk melatih koordinasi mata dengan tangan,
e. Puzzle transportasi
34
berbagai macam kendaraan darat, laut dan udara. Fungsinya selain untuk melatih
motorik anak, juga untuk stimulasi otak kanan dan otak kiri. Anak akan lebih
f. Puzzle logika
keterampilan serta anak akan berlatih untuk memecahkan masalah. Puzzle ini
g. Puzzle geometri
mengenali bentuk geometri (segitiga, lingkaran, persegi dan lain-lain), selain itu
anak akan dilatih untuk mencocokkan kepingan puzzle geometri sesuai dengan
papan puzzlenya.
yaitu:
35
a. Perkembangan sensoris-motorik
komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk
b. Perkembangan intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala
ukuran, tekstur, dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak akan
c. Perkembangan kreativitas
ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan
bermain puzzle, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-
sesuai dengan pola agar terbentuk gambar yang utuh akan merangsang
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang
sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.
Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan
stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan, anak akan dapat
36
Hospitalisasi
Keadaan yang mengharuskan anak untuk
37
= Diteliti
= Tidak di teliti
BAB 3
ANALISIS KASUS
38
Pada karya tulis ilmiah ini, peneliti menentukan karakteristik responden yang
dijadikan sampel penelitian yaitu pasien anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang
mengalami hospitalisasi di ruang perawatan anak Ismail Rumah Sakit Siti Khodijah
Sepanjang. Karakteristik pasien dalam penelitian ini adalah anak yang menunjukkan
menangis, wajah tampak tegang, anak berperilaku agresif, berteriak dan tidak mau
jauh dari orang tua nya. Sampel yang di teliti sebanyak dua anak yang menjalani hari
(Gastroenteritis = Vomitting), pasien yang di dipilih sesuai dengan kriteria dari anak
dalam aktivitas bermain puzzle (anak tidak dalam keadaan lemah / tidak sadarkan
diri).
tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak sebelum dan sesudah penerapan aktivitas
bermain puzzle. Penelitian studi kasus ini dilakukan dengan cara penerapan aktivitas
anak yang di hospitalisasi. Instrument yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu
anak Ismail Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang sebanyak 2x pertemuan dengan
penelitian (Nursalam, 2010). Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan sendiri
oleh peneliti.
1. Persiapan
Pertama peneliti membuat surat pengambilan data awal dan penelitian di bagian
Surabaya. Selanjutnya surat tersebut di serahkan pada bagian diklat Rumah Sakit
Setelah disetujui oleh pihak Rumah sakit untuk melakukan pengambilan data
awal, peneliti berkoordinasi dengan kepala ruangan perawatan anak Ismail untuk
2. Pelaksanaan
peneliti melakukan kontrak waktu dengan orang tua pasien untuk melakukan
40
selanjutnya untuk melakukan aktivitas permainan puzzle. Pada saat hari ke dua
Unit analisis merupakan cara atau metode yang digunakan oleh peneliti
untuk melakukan analisis dari hasil penelitian yang merupakan gambaran atau
deskriptif. Pada studi kasus ini mempunyai tiga unit analisis yang terdiri dari:
1. Tingkat cemas hospitalisasi pada anak usia pra sekolah sebelum dilakukan
hospitalisasi
anak usia prasekolah modifikasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) sebagai
lembar observasi tingkat kecemasan hospitalisasi apabila jawaban tidak pernah diberi
kode (0), apabila jawaban kadang – kadang diberi kode (1), apabila jawaban sering
diberi kode (2), dan apabila jawaban sering sekali diberi kode (3). Hasil kuesioner
1. Kecemasan Ringan : 1 – 10
2. Kecemasan Sedang : 11 – 20
3. Kecemasan Berat : 21 – 30
peneliti memahami hak dasar manusia terutama terkait etik studi kasus yang harus
diperhatikan. Dalam studi kasus ini memperhatikan masalah etika yang meliputi:
Lembar persetujuan diberikan kepada orang tua / keluarga pasien anak yang
manfaat aktivitas permainan puzzle yang di lakukan. Setelah ibu pasien setuju, maka
apabila ibu pasien tidak setuju maka peneliti tidak akan memaksa.
42
Pada penelittian ini kerahasiaan identitas pasien sangat di jaga, peneliti tidak
mencantumkan nama lengkap (hanya inisial), alamat pasien hanya di tulis sesuai kota
saja, cukup memberi kode atau tanda pada lembar observasi dan lembar persetujuan.
Kerahasiaan informasi sngat dijaga oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu
yang akan di sajikan pada hasil penelitian. Data yang diperoleh dari masing-masing
pasien disimpan hingga lembar pengesahan karya tulis ilmiah ditandatangani oleh
observasi berupa print out (kertas) di bakar dan data yang berupa soft copy di hapus
untuk mencegah data rahasia diketahui oleh orang lain atau pihak yang tidak
bertanggung jawab.
tingkat cemas hospitalisasi terutama bagi anak yang baru pertama kali di rawat di
rumah sakit, penelitian ini tidak bertentangan dengan terapi pengobatan yang di
Dalam penelitian ini, bersikap adil dan tidak membedakan perlakuan pada masing-
masing responden, baik dari segi RAS, suku maupun budaya. Pasien yang masuk
kedalam kriteria cemas hospitalisasi diberikan perlakuan yang sama yaitu permainan
puzzle dengan pola dan bentuk yang sama selama 15-30 menit.
43
1. Alat ukur kecemasan yang digunakan pada lembar observasi hanya mengadopsi
beberapa item pertanyaan saja yang dianggap dapat mewakilli perasaan cemas
2. Sampel yang diteliti hanya dua anak yang mengalami cemas hospitalisasi.
44
BAB 4
Pada bab ini akan membahas tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan
judul “Studi Kasus Penerapan Aktivitas Bermain Puzzle Untuk Menurunkan Cemas
Sidoarjo, Jawa Timur. Rumah Sakit Siti Khodijah memiliki berbagai macam
pelayanan seperti Instalasi Gawat Darurat / IGD & trauma center, kamar operasi,
pelayanan konsultasi gizi, pijat bayi & balita, poli spesialis, radiologi, endoskopi,
hemodialisa, farmasi, laboratorium, medical check up, ICU, kamar bersalin, ruang
perawatan (nifas, bedah, saraf, penyakit dalam dan ruang perawatan anak). Tenaga
kesehatan di RS Siti Khodijah meliputi Dokter umum dan spesialis, perawat, bidan,
4.1.2 Identifikasi Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Sebelum
Responden pada penelitian ini adalah anak usia prasekolah (5,4 tahun dan 5,9
tahun) yang mengalami cemas ketika menjalani hari perawatan pertama di RS Siti
Khodijah Sepanjang dan dapat di ajak untuk melakukan aktivitas bermain puzzle
yang berlangsung selama 2 hari yaitu pada tanggal 23-24 Desember 2018.
45
Responden pertama adalah An. R dengan usia 5,4 tahun, jenis kelamin
pertama di rumah salit. Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan hasil tanda-tanda
vital menunjukkan suhu tubuh 37,4oC, pernafasan 24x / menit, irama pernafasan
vaskuler, nadi 92x / menit. Keluhan yang dirasakan anak yaitu nyeri perut, diare +
3x di pagi hari, mual, anak muntah 1x pagi hari, anak tidak mau makan dan minum
susu.
Pengkaian kecemasan pada anak didapatkan hasil bahwa An. R ketakutan saat
melihat dokter yang memeriksa, takut saat perawat akan melakukan tindakan seperti
mengukur suhu tubuh, memasang infus, anak ketakutan saat melihat jarum suntik,
anak sering rewel dan mengangis, anak menolak saat akan dilakukan tindakan
dengan cara memukul dan berteriak, anak tidak mau membalas sapaan dari perawat,
anak tidak mau diajak berbicara oleh perawat dan harus dibujuk agar mau
memperhatikan perawat, anak susah tidur ketika sakit. Saat didekati oleh peneliti
anak cenderung diam dan menghindari kontak mata dengan peneliti, anak sesekali
Responden kedua adalah An. M dengan usia 5,9 tahun, jenis kelamin laki-
rumah salit. Pada saat dilakukan pengkajian, didapatkan hasil tanda-tanda vital
menunjukkan suhu tubuh 36,9oC, pernafasan 26x / menit, irama pernafasan vaskuler,
nadi 98x / menit. Keluhan yang dirasakan anak yaitu nyeri perut, diare + 1x di pagi
46
hari, mual, anak muntah 2x pagi hari, batuk sejak pagi hari, anak tidak mau makan,
merasa ketakutan saat melihat dokter yang memeriksa, takut saat perawat akan
mengukur suhu tubuh, anak sering menangis saat ke kamar mandi, anak
memberontak saat akan dilakukan tindakan dengan cara memukul ibu atau ayahnya,
anak tidak mau berbicara pada perawat, anak susah tidur ketika malam hari. Saat
dikaji oleh peneliti anak tampak lemas, menghindari kontak mata dengan peneliti,
anak sesekali merengek kepada ibunya ketika diberi pertanyaan oleh peneliti.
Tabel 4.1 Observasi Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum Aktivitas Bermain
Puzzle di RS Siti Khodijah Sepanjang Tanggal 23 Desember 2018.
Responden Usia Jenis Diagnosa Tingkat cemas
kelamin penyakit berdasarkan Spence
Children’s Anxiety
Scale (SCAS) sebelum
aktivitas bermain
puzzle
An. R 5,4 tahun Perempuan Gastroenteritis Skor kecemasan = 19
+ Vomitting (Cemas sedang)
An. M 5,9 tahun Laki-laki Gastroenteritis Skor kecemasan = 17
+ Vomitting (Cemas sedang)
Dari data di atas menunjukkan bahwa ada dua responden dalam penelitian ini
yaitu An. R dengan usia 5,4 tahun, jenis kelamin perempuan, diagnose
Gastroenteritis + Vomitting, dan An. M dengan usia 5,9 tahun, jenis kelamin laki-
4.1.3 Identifikasi Respon Anak Saat Penerapan Aktivitas Bermain Puzzle Untuk
Aktivitas bermain puzzle dilakukan selama dua hari dengan waktu 15-30
langkah yaitu memilih gambar puzzle yang di sukai oleh anak, memisahkan kepingan
pola puzzle, kemudian menyusun kembali pola puzzle sesuai dengan gambar.
Responden 1
kontrak waktu dengan ibu pasien, kemudian menjelaskan manfaat dari bermain
2018 pukul 08.30 WIB dilanjutkan pada hari berikutnya tanggal 24 Desember
5. Aktivitas permainan puzzle dilakukan di atas tempat tidur pasien di ruang Ismail
6. Pada hari pertama responden 1 memilih puzzle dengan gambar marsha & the
bear, melakukan aktivitas bermain puzzle dibantu oleh ibunya untuk meletakkan
kepingan pola yang sesuai pada papan, anak mulai mau menyusun sendiri pola
48
7. Pada hari kedua gambar puzzle yang dipilih adalah Monki Trunk, anak terlihat
tidak malu-malu lagi saat bermain puzzle, anak lebih kooperatif dan mau
dimainkan, anak mau menyusun puzzle secara mandiri tanpa meminta bantuan
dari ibunya.
Responden 2
2. Peneliti terlebih dahulu melakukan kontrak waktu dengan ibu pasien, kemudian
menjelaskan manfaat dari bermain puzzle bagi anak yang mengalami cemas
hospitalisasi.
2018 pukul 09.15 WIB dilanjutkan pada hari berikutnya tanggal 24 Desember
5. Aktivitas permainan puzzle dilakukan di atas tempat tidur pasien di ruang Ismail
6. Pada hari pertama responden 2 memilih puzzle dengan gambar Monki Trunk,
melakukan aktivitas bermain puzzle dengan sesekali dibantu oleh ibunya untuk
49
menyesuaikan kepingan pola pada papan puzzle, merengek ketika puzzle yang
7. Pada hari kedua, gambar yang dipilih adalah Upin & Ipin, anak sudah mau
berinteraksi dengan peneliti dan mau di tinggal oleh ibunya ketika sedang
bermain, mau menjawab setiap pertanyaan peneliti ketika di tanya tentang puzzle
responden mulai terbiasa dengan terapi saat dirawat di rumah sakit dan kooperatif
Responden 1
kecemasan ringan (skor kecemasan = 8). Pada saat hari kedua melakukan aktivitas
bermain puzzle anak mulai mau berinteraksi dengan peneliti, mau bermain puzzle
secara mandiri dan mau menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh peneliti. Ibu
mengatakan bahwa saat di lakukan tindakan oleh perawat, anak sudah jarang
merengek, dan jarang menangis saat akan di berikan obat lewat injeksi pada selang
infus, sudah mulai mau makan dan lebih kooperatif dengan lingkungan sekitar. Anak
mengatakan ingin bermain puzzle lagi, ketika diberi pertanyaan mau menjawab dan
mengatakan suka dengan gambar-gambar yang ada pada papan puzzle. Ketika diberi
pertanyaan seputar gambar yang ada pada puzzle anak bisa menjawab dan
50
mengatakan tidak takut lagi dengan perawat. Pada saat dilakukan pengkajian,
didapatkan hasil tanda-tanda vital menunjukkan suhu tubuh 36,4oC, pernafasan 26x /
Responden 2
kecemasan ringan (skor kecemasan = 7). Pada saat melakukan permainan puzzle hari
kedua anak sudah tidak merengek lagi ketika di tinggal ibunya pergi ke kamar mandi
dan mau berinteraksi dengan peneliti walaupun tidak di damping oleh ibunya, mau
menjawab beberapa pertanyaan yang di ajukan oleh peneliti terkait dengan puzzle
yang sedang dimainkan dan menyusun kedua puzzle secara mandiri. Ibu mengatakan
bahwa saat di lakukan tindakan oleh perawat, anak sudah tidak takut lagi, tidak
menangis saat akan di berikan obat lewat injeksi pada selang infus, sudah mulai mau
makan dan lebih kooperatif dengan lingkungan sekitar terutama dengan perawat yang
setiap saat datang memeriksa dan mengganti cairan infus. Anak mengatakan ingin
bermain puzzle lagi dan ketika diberi pertanyaan mau menjawab dan mengatakan
suka dengan gambar-gambar yang ada pada papan puzzle, paling suka dengan kartun
animasi Upin & Ipin dan mengatakan tidak takut lagi dengan perawat yang datang.
suhu tubuh 36,2oC, pernafasan 24x / menit, irama pernafasan vaskuler, nadi 94x /
menit.
Tingkat Cemas
19
20
15
17
10 8
5 7
0
Pre Post
R1 R2
Diagram 4.1 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum dan Sesudah
Aktivitas Bermain Puzzle di RS Siti Khodijah Sepanjang Tanggal 23-
24 Desember 2018.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sebelum Dilakukan Aktivitas Bermain
sedang.
yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi
menimbulkan ketakutan, stress maupun cemas terhadap anak (Wong, 2009; Apriany,
2013).
Faktor penyebab hospitalisasi salah satunya adalah karena pasien baru masuk
rumah sakit, atau pasien tidak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien
merasa bahwa ketika menjalani perawatan maka tidak akan dapat lagi bermain
dengan teman sebayanya. Disamping itu pula, kondisi lingkungan yang baru bagi
pasien turut mempengaruhi stress yang di alami saat hospitalisasi sehingga dapat
menjadi salah satu pengalaman yang menimbulkan dampak negatiif baik pada anak
maupun orang tua sehingga memunculkan reaksi reaksi tertentu yang di tunjukkan
saat perawatan. Sebagai perasaan yang sering muncul pada anak yang sedang
menjalani hospitalisasi di rumah sakit yaitu cemas, marah, sedih dan takut. Perasaan
tersebut dipengaruhi oleh kondisi fisik yang sedang dialami oleh anak. Kondisi
53
dominan. Jika anak dalam keadaan yang kurang sehat, maka akan bereaksi dengan
ketakutan yang lebih besar dibandingkan dengn keadaan normal, dan mereka akan
lebih mudah takut terhadap berbagai macam situasi yang dalam keadaan normal
cemas hospitalisasi yang dialami oleh anak ketika pertama kali masuk rumah sakit
untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang. Hal ini
menjadi cemas, takut, maupun stress saat menjalani perawatan terutama ketika
berada di lingkungan yang asing dan banyak bertemu dengan orang yang tidak
dikenal sebelumnya hingga menyebabkan anak tidak kooperatif saat akan dilakukan
tindakan. Ketika anak mengalami cemas hospitalisasi, maka sikap yang sering di
mau di dekati oleh orang lain selain ibu atau keluarga yang di kenal saja. Hal ini
sejalan dengan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 yang
sakit akan berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologinya berkaitan dengan
waktu 15-30 menit menggunakan media puzzle papan yang memiliki gambar dan
pola beragam. Repon yang ditunjukkan oleh kedua responden adalah sebagai berikut:
1. Pada saat hari pertama tanggal 23 Desember 2018 di lakukan aktivitas bermain
puzzle pada Responden 1 pukul 08.30 WIB sedangkan responden 2 pukul 09.15
WIB sesuai dengan standar operasional prosedur dari permainan puzzle papan
yang memiliki berbagai macam kepingan pola puzzle dan gambar yang berbeda-
beda. Anak memilih gambar puzzle yang di sukai kemudian membongkar pola
puzzle untuk kemudian di satukan kembali agar terbentuk gambar yang utuh
pada papan puzzle. Pada hari pertama ini pelaksanaan bermain puzzle
Kedua respon yang ditunjukkan oleh anak berbeda-beda pada hari pertama saat
2. Pada hari kedua pelaksanaan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan cemas
pelaksanaan untuk responden 1 pada pukul 09.15 WIB dan responden 2 pukul
09.45 WIB sesuai dengan kontrak waktu yang telah disepakati oleh ibu kedua
responden dan peneliti. Sama seperti ketika hari pertama pelaksanaan aktivitas
permainan puzzle berjalan sesuai dengan standar operasional prosedur dan kedua
55
responden memilih puzzle dengan pola dan gambar yang berbeda dari puzzle
yang telah dimainkan pada hari pertama. Respon kedua anak saat permainan
puzzle sedang berlangsung pada hari kedua menunjukkan adanya perbedaan dari
hari pertama yaitu kedua anak lebih kooperatif saat sedang bermain dan mau
perasaan saat bermain puzzle dan saat menjalani perawatan di rumah sakit.
Kedua responden sudah tidak takut dengan tindakan yang dilakukan oleh
perawat dan mau di tinggal oleh ibunya saat sedang bermain puzzle.
cemas yang signifikan pada anak ketika menjalani hospitalisai dengan adanya
penerapan aktivitas bermain puzzle untuk menurunkan tingkat cemas yang dialami
oleh anak. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama dua hari, respon yang
anak di ajak untuk bermain maka cemas yang di alami akan teralihkan dengan teknik
Oleh karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak sangatlah penting untuk
memberikan rasa aman dan menyenangkan. Kegiatan bermain pada anak merupakan
kegiatan yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena
bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dapat menurunkan cemas pada
anak, sebagai media yang baik dalam berkomunikasi dengan lingkungan, belajar
mengenal dunia sekitar dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta
sosial pada anak. Aktivitas bermain dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak,
56
ketika berada di bangsal anak membutuhkan permainan yang dapat dilakukan dengan
waktu yang relative singkat agar tidak mengganggu terapi pengobatan medis. Waktu
yang dibutuhkan anak dalam melakukan satu kali aktivitas bermain idealnya adalah
15- 30 menit dengan bimbingan dari perawat dan orang tua. (Supartini, 2009; Erna
2016).
Pada saat anak menjalani perawatan di rumah sakit, anak tidak hanya
membutuhkan terapi medis yang dapat membantu memulihkan status kesehatan fisik
saja, tetapi aktivitas pengalihan rasa cemas juga perlu di terapkan hal ini berkaitan
dengan perilaku kooperatif anak saat dilakukan tindakan perawatan. Hal ini sesuai
emosional, dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena
menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan
4.2.3 Tingkat Cemas Hospitalisasi Pada Anak Sesudah Dilakukan Aktivitas Bermain
pada kedua responden mengalami penurunan tingkat kecemasan. Hasil skor yang
anak tetapi juga dapat menghilangkan rasa takut, tegang, bahkan stress yang bias
menggunakan teknik distraksi ini. Bermain bagi anak merupakan hal yang
57
saat anak sudah mulai asyik dengan permainan yang disenanginya., anak akan mulai
akrab dengan orang yang mengajaknya bermaian sehingga rasa takut pada anak akan
menglami penurunan bahkan tidak takut lagi. Ketika anak sudah merasa akrab maka
anak tidak lagi menolak saat akan dilakukan tindakan dan bahkan anak tidak lagi
dialami selama dirawat di rumah sakit, antara lain dengan penolakan (Avoidence),
anak akan berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan dan biasanya
anak tidak kooperatif dengan petugas medis yamng memberikan perawatan. Selain
itu anak akan berusaha mengalihkan perhatian (Distraction) dari pikiran atau sumber
yang membuatnya tertekan dengan perilaku yang dilakukan anak di rumah sakit
misalnya membaca buku cerita, menonton televisi, atau bermain. Anak akan
berusaha untuk aktif (Active), mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara
aktif dengan perilaku yang sering dilakukan seperti menanyakan kondisi sakitnya
kepada orang tua ayau petugas medis, bersikap kooperatif, meminum obat secara
teratur, dan mau beristirahat sesuai dengan peraturan. Akibatnya anak akan berusaha
mencari dukungan dari orang lain (Suppot Seeking) untuk melepaskan tekanan yang
dialaminya dengan perilaku yang biasanya ditandai seperti anak minta ditunggui
selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat menjalani treatment, dan minta
melakukan permainan puzzle. Sesuai dengan teori dimana permainan puzzle sebagai
58
input yang berupa stimulus atau rangsangan energy residual perlakuan atau
menimbulkan respon, dan pada saat penerapan terapeutik berlangsung adalah proses
dalam bentuk mekanisme koping anak sehingga output atau hasil proses permainan
bahwa hasil penelitian terapi bermain puzzle membuktikan bahwa terapi bermain
rumah sakit. Ketika anak yang menjalani perawatan di rumah sakit sudah dapat
mengendalikan perasaan cemas dengan bermain puzzle maka sikap yang ditunjukkan
anak adalah lebih kooperatif ditandai dengan tidak lagi menangis, berteriak dan takut
BAB 5
Bermain Puzzle Untuk Menurunkan Cemas Hospitalisasi Pada Anak Di Rumah Sakit
5.1 Kesimpulan
pada An. R adalah 19 dan skor kecemasan yang diperoleh An. M adalah 17 yang
2. Respon dari An. R dan An. M saat bermain puzzle menunjukkan adanya
perubahan yang awalnya masih meminta didampingi oleh orang tua nya pada hari
pertama permainan menjadi lebih kooperatif dan mandiri pada hari ke dua
permainan.
5.2 Saran
menimbulkan ketakutan.
2. Bagi perawat
kecemasan.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya, dan
perlu adanya penggunaan alat ukur kecemasan yang sesuai dengan karakteristik
kecemasan dari pasien, sampel yang digunakan pada penelitian selanjutnya dapat
di tambah.
61
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan terapi bermain Pada Anak. Jakarta:
Slemba Medika.
Apriany, D. (2013). Hubungan Antara Hospitalisasi Anak Dengan Kecemasan Orang
Tua. The Soedirman Journal Of Nursing, Vol. 8 No. 2.
Audina, M. (2017). Hubungan Dampak Hospitalisasi Anak Dengan Tingkat
Kecemasan Orang Tua Di Irina E Atas Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
E-Journal Keperawatan (E-KP), Volume 5 Nomor 1.
Erna, P. (2016). Studi Kasus Penerapan Aktivitas Mewarnai Terhadap Penurunan
Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surabaya. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Freud, S. (2016). Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawari, D. (2013). Manajemen Stres, Cemas, Dan Depresi. Jakarta : FKUI.
Hockenberry, M. W. (Hockenberry). Hockenberry, MWong’s Book 2 Nursing Care
of Infants and Children. Edition 9. USA: Mosby Elseiver.
Jannah, N. (2016). Gambaran Tingkat Stres Pada Anak Usia Sekolah Dengan
Hospitalisasi di RSUD Labuang Baji. Makassar: Jannah, N.I., (2016).
Gambaran Tingkat Stres Pada Anak Usia Skripsi. Universitas Islam Nergri
Alauddin.
Kaluas, I. I. (2015). Perbedaan Terapi Bermain Puzzle Dan Bercerita Terhadap
Kecemasan Anak Usia Pra Sekolah (3-5 Tahun) Selama Hospitalisasi Di
Ruang Anak RS. Tk III R.W. Monginsidi Menado. E-Jurnal Keperawatan, Vol.
1 Page 3.
Keliat, B. A. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.
62