Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena berkat rahmat
dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugas mengenai “Asuhan
Keperawatan Kebutuhan Khusus dan Asuhan Keperawatan Pada
Korban Pemerkosaan” dan semoga tugas ini dapat bermanfaat dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam tugas ini
masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan tugas yang
kami buat di masa mendatang.
Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada
umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa anak-
anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa anak-anak
dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-anak yang masih
di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim, 2006), bahkan kepala
sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya melakukan pelecehan
seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang menghamili ABG (Anonim,
2007), hingga personel tentara perdamaian pun melakukan pelecehan seksual (Anonim,
2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita, akan
tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan dilakukan oleh
orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri
maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya
mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet, pelecehan
seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak psikologisnya. Anak
akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang
yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain
(Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada
para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami gangguan
stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami
korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma
(Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
B. RUMUSAN MASALAH
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
a) Menyangkal
b) Syok emosional
c) Marah
d) Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
e) Rasa bersalah
f) Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah
adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
F. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat
yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta, seperti;
propranolol, klonidin, dan karbamazepin.
. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini
dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin ─ conoh,
estazolam 0,5 – 1 mg per os, oksanazepam 10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg
per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga
dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi
yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kapla et al, 1997).
2. Psikoterapi
Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk
mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi
yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman,
korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini.
Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma
yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).
G. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai
perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut
terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang umumnya dialami korban.
a) Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan. Korban
pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan
terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar. Sayangnya orang-orang
terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung pulihnya kondisi pasien.
Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima kenyataan atau justru
menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit. Kebanyakan
korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini bukanlah
salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-
obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi
perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika
dalam pikiran.
b) Bunuh diri Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko
untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan
merasa tidak berharga.
c) Kriminalisasi korban pemerkosaa.
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban
disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab
diperkosa. Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-
akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik,
mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri,
menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada
kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular
seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin. b.
b) Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita konsekuensi yang
berpengaruh pada kesehatan mereka:
Peradangan pada vagina atau vaginitis.
Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD):
keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru menghindari semua atau
hampir semua kontak seksual.
Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
Infeksi kantong kemih.
Nyeri panggul kronis.
c) Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi pada
korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan
pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka
harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi
mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur. Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam
waktu lebih singkat. Namun dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga,
kerabat, dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi
mereka yang menjadi korban pemerkosaan.
Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup. Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan
dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan
rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan
bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan
perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat
rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan
bertindak meningkatkan ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan
atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat
dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode
segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada
anak dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan keluhan bahwa
si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya menjadi
korban pemerkosaan. ibu mengatakan beberapa hari sebelumnya pasien mengungkapkan
bahwa dia telah membuat aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi. Ibu
mengatakan saat ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke
kamarnya ibu pasien melihat si anak mengkonsumsi narkotika. Ibu juga mengatakan bahwa si
anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi kepada orang lain
sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan mengurung diri dikamar. Saat
dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak berkomunikasi, tidak menatap lawan bicara,
lebih banyak menunduk dan pasien tampak ketakutan.
1. Pengkajian
Anamnesa
Nama : Mrs.S
Umur : 11 tahun
Factor psikologis : Pasien tampak ketakutan Pasien tampak panic Pasien mudah curiga
kepada orang lain Pasien mengatakan membaut aib keluarga Pasien mengatakan bahwa dinya
tidak berguna lagi
2. DS : Isolasi social
Ibu mengatakan bahwa pasien mudah curiga
kepada orang lain
Ibu mengataan pasien tdak mau beriteraksi
kepada orang lain Ibu mengatakan pasien
mengurung diri di kamar
DO :
Pasien tidak mau berkomunikasi
Pasien tampak ketakutan Isolasi sosial
Isolasi social
4. Diagnosa
5. Intervensi
Setelah 3 x SP 3 -
pertemuan, pasien Evaluasi kegitan yang
mampu : lalu (sp 1 dan 2)
-Menyebutkan -Latih secara
kegiatan yang social/verbal
sudah dilakukan -Menolak dengan
-Memperagak an baik
cara social/ verbal -
untuk mengontrol Masukkan dalam
perilaku kekerasan jadwal pasien
2. Isolasi sosial Pasien mampu : Setelah melakukan SP 1 Identifikasi
-Menyadari penyebab 3 kali pertemuan penyebab -
iolasi social pasien mampu : -
- Berinteraksi dengan Siapa yang satu
orang lain membina rumah dengan pasien
hubungan saling -
percaya -
Siapa yang dekat
menyadari dengan pasien -
penyebab isolasi
social, keuntungan Siapa yang tidak
dan kerugian dekat dengan pasien
berinteraksi Tanyakan keuntungan
dengan orang lain dan kerugian
berinteraksi dengan
orang lain -
Tanyakan pendapat
pasien Diskusikan
keuntungan bila
pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab dengan
mereka -
Diskusikan kerugian
bila pasien hanya
mengurung diri dan
tidak bergaul dengan
orang lain -
Jelaskan pengaruh
isolasi social terhadap
kesehatan fisik
pasien. Latih
berkenalan -
evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1) -
latih berhubungan
social secara
bertahap -
masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien SP 3 -
evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1 dan 2)
-
Perlihatkan respon
yang kondusif dan
menjadi pendengar
yang aktif Pilih
kemampuan yang
akan dilatih SP 2 -
Pilih kemampuan
kedua yang dapat
dilakukan -
Latih kemampuan
yang dipilih -
Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien SP 3 -
Memilih kemampuan
ketiga yang dapat
dilakukan -
Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
BAB III
KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan
baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati dan Hartono . 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Stuart dan Sundeen . 2005. Buku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Keliat Budi Ana.1999.
Nita Fitria. 2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika. Rasmun, (2001).