Anda di halaman 1dari 25

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena berkat rahmat
dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugas mengenai “Asuhan
Keperawatan Kebutuhan Khusus dan Asuhan Keperawatan Pada
Korban Pemerkosaan” dan semoga tugas ini dapat bermanfaat dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Kami sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam tugas ini
masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan tugas yang
kami buat di masa mendatang.

Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada
umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.

Padang, 11 Juni 2021


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa anak-
anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa anak-anak
dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-anak yang masih
di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim, 2006), bahkan kepala
sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya melakukan pelecehan
seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang menghamili ABG (Anonim,
2007), hingga personel tentara perdamaian pun melakukan pelecehan seksual (Anonim,
2006).

Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).

Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita, akan
tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan dilakukan oleh
orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri
maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.

Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya
mengantarkan korban ke suatu tempat.

Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet, pelecehan
seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak psikologisnya. Anak
akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang
yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain
(Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).

Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada
para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami gangguan
stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami
korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma
(Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud dengan korban perkosaan?


2. Apa saja gangguan stress pasca trauma korban perkosaan?
3. Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4. Apa saja batasan karakteristik?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban.
Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina  perempuan yang tidak
dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan  baik fisik maupun
mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP : 1. Seorang laki-laki dengan
perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa  persetubuhan atau dengan
persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya atau wanita dibawah
14 tahun dianggap perkosaan. 2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke
dalam anus atau mulut perempuan,  benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus
perempuan.
Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa hubungan seksual
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi atas kehendak dan
persetujuaan  perempuan, dengan persetujuan perempuan namun dibawah ancaman, dengan
persetujuan  perempuan namun melalui penipuan.
Dalam KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia (laki-laki) diluar pernikahan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


 Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui  batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W.,
2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan suatu
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al 1997).
Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), definisi PTSD adalah gangguan
berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang mengalami suatu peristiwa yang
mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang menimbulkan trauma ini bisa
berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang
(Anonim, 2005) Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang
muncul setelah  pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang seperti  bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa
traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan
atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu
sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang
cukup  berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak,
atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang
peristiwa traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik

1. Fase akut

a. Respons somatic

a) Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)


b) Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
c) Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis

a) Menyangkal
b) Syok emosional
c) Marah
d) Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
e) Rasa bersalah
f) Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual

a) Tidak percaya pada laki-laki


b) Perubahan dalam perilaku seksual

2. Fase jangka panjang

Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi

a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan


1) Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik
ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan
panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai
gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat,
gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati
rasa.
2) Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-
kadang  penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap hari
dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang
pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut
untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
3) Depresi Banyak
Orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak tertarik
dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka mengembangkan
perasaan- perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa
bahwa  peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak
benar.
4) Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil  penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi
dengan para  profesional.
5) Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan
orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain
dapat memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan
kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau
oleh Tuhan.

 Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah
adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.

 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari


Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam
jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat
takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam
berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.

 Persepsi dan kepercayaan yang aneh


Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya bahwa dia
bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini
menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya

F. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat
yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta, seperti;
propranolol, klonidin, dan karbamazepin.
. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini
dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin ─ conoh,
estazolam 0,5 – 1 mg per os, oksanazepam 10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg
per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga
dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi
yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kapla et al, 1997).

2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk
mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi
yang disertai  penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai  pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman,
korban  bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini.
Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma
yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).
G. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai
perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut
terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang umumnya dialami korban.
a) Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan. Korban
pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan
terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar. Sayangnya orang-orang
terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung pulihnya kondisi pasien.
Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima kenyataan atau justru
menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit. Kebanyakan
korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini bukanlah
salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-
obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi
perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika
dalam pikiran.
b) Bunuh diri Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko
untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan
merasa tidak berharga.
c) Kriminalisasi korban pemerkosaa.
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban
disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab
diperkosa. Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-
akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik,
mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri,
menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada
kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.

2. Efek terhadap Fisik Korban


Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian. Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan
atau gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun,
dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina. Berikut beberapa kondisi yang
umum terjadi pada korban pemerkosaan:

a) Penyakit menular seksual (PMS)


Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat
masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja yang
lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.

Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena  penyakit menular
seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure  prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun  perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.  b.

 
b) Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita konsekuensi yang
berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis. 
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD):
keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru menghindari semua atau
hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih. 
 Nyeri panggul kronis.
 
c) Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi  pada
korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan
pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka
harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi
mengalami kondisi kelainan atau lahir  prematur. Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam
waktu lebih singkat. Namun dampak  psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga,
kerabat, dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi
mereka yang menjadi korban pemerkosaan.

Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu  
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup. Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan
dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan
rasa  percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan
bahwa  pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.

3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan
perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat
rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan
bertindak meningkatkan ansietas.

4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.

5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan
atau  bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat
dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode
segera  pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.

6. Discharge Planning Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada
anak dengan  penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:

 Anak tidak mengalami ansietas panik lagi


 Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
 Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
 Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
 Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
 Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
 Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
 Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan
 pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus

Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan keluhan bahwa
si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya menjadi
korban pemerkosaan. ibu mengatakan beberapa hari sebelumnya pasien mengungkapkan
bahwa dia telah membuat aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi. Ibu
mengatakan saat ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke
kamarnya ibu pasien melihat si anak mengkonsumsi narkotika. Ibu juga mengatakan bahwa si
anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi kepada orang lain
sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan mengurung diri dikamar. Saat
dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak berkomunikasi, tidak menatap lawan bicara,
lebih banyak menunduk dan pasien tampak ketakutan.

1. Pengkajian

Anamnesa

Nama : Mrs.S

Umur : 11 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi korban pemerkosaan

Factor fisiologis : Pasien tampak lemas

Factor psikologis : Pasien tampak ketakutan Pasien tampak panic Pasien mudah curiga
kepada orang lain Pasien mengatakan membaut aib keluarga Pasien mengatakan bahwa dinya
tidak berguna lagi

Perilaku : Pasien tidak mau beriteraksi kepada orang lain

Respon emosional : Pasien mudah emosi


2. Analisis Data

No Data Pasien Masalah Keperawatan


.
1. DS : Resiko bunuh diri
 Keluarga mengatakan bahwa pasien melakukan
pencobaan bunuh diri
 Ibu mengatakan bahwa pasien menjadi korban
pemerkosaan
 Ibu mengatakan bahwa melihat anaknya
mengkonsumsi narkotika pasca kejadian
pemerkosaan
DO : -

2. DS : Isolasi social
 Ibu mengatakan bahwa pasien mudah curiga
kepada orang lain
 Ibu mengataan pasien tdak mau beriteraksi
kepada orang lain Ibu mengatakan pasien
mengurung diri di kamar
DO :
 Pasien tidak mau berkomunikasi
 Pasien tampak ketakutan Isolasi sosial

3. DS : Harga diri rendah


 Pasien mengatakan bahwa dia telah membuat
aib keluarga
 Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah tidak
berguna lagi
 Keluarga mengatakan pasien tidak mau
beraktivitas seperti biasanya
DO :
 Pasien tidak mau menatap lawan  bicara
 Pasien tampak menunduk
3. Pohon masalah

Effect Bunuh Diri

Care Problem Resiko Bunuh Diri

Isolasi social

Causa Harga Diri Rendah

4. Diagnosa

2. Resiko bunuh diri


3. Isolasi sosial
4. Harga diri rendah

5. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi


Keperawatan
1. Resiko Bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1 :
diri -mengidentif ikasi pertemuan, pasien -Identifikasi
penyebab dan tanda mampu : penyebab, tandadan
perilaku kekerasan -Menyebutkan gejala serta akibat
-menyebutkan jenis penyebab, tanda, dari perilaku
perilaku kekerasan gejala, dan akibat kekerasan
yang pernah dilakukan perilaku kekerasan Latih cara fisik 1 :
-menyebutkan akibat -Memperagakan -tarik nafas dalam
dari perilaku cara fisik 1 untuk -Masukkan dalam
kekerasan yang mengontrol jadwal harian pasien
dilakukan perilaku kekerasan
-menyebutkan cara
mengontrol perilaku
kekerasan
Setelah 2 x SP 2
pertemuan, pasien -Evaluasi kegiatan
mampu: yang lalu (sp 1)
-Menyebutkan -Latih cara fisik 2:
kegiatan yang pukul kasur atau
sudah dilakukan bantal
-Memperagakan -Masukkan dalam
cara fisik untuk jadwal harian pasien
mengontrol
perilaku kekerasan

Setelah 3 x SP 3 -
pertemuan, pasien Evaluasi kegitan yang
mampu : lalu (sp 1 dan 2)
-Menyebutkan -Latih secara
kegiatan yang social/verbal
sudah dilakukan -Menolak dengan
-Memperagak an baik
cara social/ verbal -
untuk mengontrol Masukkan dalam
perilaku kekerasan jadwal pasien
2. Isolasi sosial Pasien mampu : Setelah melakukan SP 1 Identifikasi
-Menyadari penyebab 3 kali pertemuan penyebab -
iolasi social pasien mampu : -
- Berinteraksi dengan Siapa yang satu
orang lain membina rumah dengan pasien
hubungan saling -
percaya -
Siapa yang dekat
menyadari dengan pasien -
penyebab isolasi
social, keuntungan Siapa yang tidak
dan kerugian dekat dengan pasien
berinteraksi Tanyakan keuntungan
dengan orang lain dan kerugian
berinteraksi dengan
orang lain -

Tanyakan pendapat
pasien Diskusikan
keuntungan bila
pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab dengan
mereka -

Diskusikan kerugian
bila pasien hanya
mengurung diri dan
tidak bergaul dengan
orang lain -

Jelaskan pengaruh
isolasi social terhadap
kesehatan fisik
pasien. Latih
berkenalan -

Jelaskan kepada klien


cara berinteraksi
SP 2 -

evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1) -

latih berhubungan
social secara
bertahap -

masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien SP 3 -

evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1 dan 2)
-

latih cara berkenalan


denga 2 atau lebih

3. Harga Diri Pasien mampu : - Setelah 3 x SP 1 Identifikasi


Rendah pertemuan, pasien kemampuan positif
Mengidentifikasi mampu : - yang dimiliki -
kemampuan dan asfek
positif yang dimiliki - Mengidentifikasi Diskusikan bahwa
kemampuan aspek pasien masih memiliki
Menilai kemampuan positif yang dimiliki sejumlah kemampuan
yang dapat digunakan - dan asfek positif -
-
Memiliki Beri pujian yang
Menetapkan/memilih kemampuan yang realistis dan hindari
kegiatan yang sesuai
dengan kemampuan - dapat digunakan - bertemu dengan
penilaian negative
Melatih kegiatan yang Memilih kegiatan Nilai kemampuan
sudah dipilih, sesuai yang sesuai yang dilakukan saat ini
kemampuan - kemampuan - -

Merencanak an Melakukan Diskusikan dengan


kegiatan yang sudah kegiatan yang pasien kemampuan
dilatihnya sudah dipilih - yang masih digunakan
saat ini -
Merencanakan
kegiatan yang Bantu pasien
sudah dipilih menyebutkannydan
memberikan
penguatan terhadap
kemampuan yang
masih digunakan
pada saat ini -

Perlihatkan respon
yang kondusif dan
menjadi pendengar
yang aktif Pilih
kemampuan yang
akan dilatih SP 2 -

Evaluasi kegiatan yang


lalu (sp 1) -

Pilih kemampuan
kedua yang dapat
dilakukan -
Latih kemampuan
yang dipilih -

Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien SP 3 -

Evaluasi kegiatan yang


lalu (sp 1 dan 2) -

Memilih kemampuan
ketiga yang dapat
dilakukan -

Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
BAB III

KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.

Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan
baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Halusinasi. Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 12


Oktober 2019]

Kusumawati dan Hartono . 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.

Stuart dan Sundeen . 2005. Buku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Keliat Budi Ana.1999.

Nita Fitria. 2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika. Rasmun, (2001).

Anda mungkin juga menyukai