Anda di halaman 1dari 3

Post Trauma Stress Disorder pada Anak Korban Pelecehan Seksual

Stres pasca trauma (Post traumatic stress Disorder/PTSD) merupakan suatu kondisi
atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian
buruk dalam hidupnya. Orang yang mengalami stres pasca traumatik merespon peristiwa
traumatik yang dialami dengan ketakutan dan keputus asaan, individu akan terus mengenang
peristiwa itu dan selalu menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali ke peristiwa
tersebut (Kaplan dkk., 1997). Salah satu stressor traumatic pada PTSD adalah mengalami
secara actual/terancam mengalami perkosaan, pelecehan, seksual yang mengancam integritas
fisik dan harga disi seseorang. Kepribadian juga dianggap sebagai factor pencetus terjadinya
PTSD, seperti pesimisme dan introvert, menyalahkan diri sendiri, penyangkalan (Shiraldi,
2000). PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan. Umumnya, gangguan tersebut
adalah panic attack (serangan panik), perilaku menghindar, depresi, membunuh pikiran dan
perasaan, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya dan dikhianati, mudah marah,
dan gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Membunuh pikiran dan perasaan.
Kadang -kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan empat jenis dampak trauma
akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:

1. Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban


kekerasan seksual. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang
mengancam anak.
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002) menemukan
bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan
seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah
tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan
sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban.
Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit.
4. Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran
diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan
merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya.
Kriteria Diagnosis PTSD (ICD-10)

a. Gangguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan setelah kejadian traumatik berat
(masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang
sampai melampaui enam bulan).
• Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).
c. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas.
d. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,misalnya saja
beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F 62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofia).
Sumber :

PPT Dosen IKMKPKK UC. dr. Azimatul Karimah, SpKJ(K), FISCM. Gangguan Stress
Pasca Trauma

Noviana, I., 2015. Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio
Informa, 1(1).

Uyun, Z., 2015. Kekerasan Seksual Pada Anak: Stres Pasca Trauma.

Wahyuni, H., 2016. Faktor Resiko Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak Korban
Pelecehan Seksual. KHAZANAH PENDIDIKAN, 10(1).

Anda mungkin juga menyukai