Anda di halaman 1dari 33

ROLE PLAY KEPERAWATAN JIWA

“PASCA BENCANA”

Dosen Pembimbing :
Ns. Sri Supami, S.Kep., S.Pd., M.Kes

Disusun Oleh :

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang senantiasa


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga Tugas kelompok berupa
makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Dalam pembuatan makalah ini,penulis
bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-
teman yang telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari
segi materi yang penulis sajikan maupun dari segi penulisannya. Untuk itu segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi
para pembaca pada umumnya.

Tangerang Selatan, Desember 2019

1
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara
emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar
dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan
dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi ,
psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang
tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul,
ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam
berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita
dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari
dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih

2
panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan merusak
nilai-nilai luhur yang mereka miliki.

2. Tujuan
a. Untuk mengetahui dampak psikologis pada wanita dan lansia
b. Untuk mengetahui terapi psikologis pada wanita dan lansia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Dampak Psikologis Dalam Bencana


A. Dampak psikologis pada individu
Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam
merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang
tindih. Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi,
tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90% atau bahkan lebih korban
akan menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang negatif setelah
beberapa jam paska bencana . Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan
cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.
a. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana. Pada
tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan
penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus
ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas,
bantuan dan perhatian medis, serta makanan dan air yang cukup.
Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul pada tahap tanggap darurat:
 Kecemasan berlebihan
Korban menunjukkan tIbu-ibu/Bapak-tIbu-ibu/Bapak kecemasan, mudah
terkejut bahkan oleh hal-hal yang sederhana, tidakmampu untuk bersantai,
atau tidak mampu untuk membuat keputusan.
 Rasa bersalah
korban yang selamat, namun anggota keluarganya meninggal, seringkali
kemudian menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah
selamat, ketika orang yang dikasihinya meninggal.
 Ketidaksatbilan emosi dan pikiran

3
Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan
bertindak agresif atau sebaliknya, mereka menjadi apatis dan tidak peduli,
seakan kekurangan energi. Mereka menjadi mudah lupa ataupun mudah
menangis.
 Kadang-kadang, korban muncul dalam keadaan kebingungan, histeris
ataupun gejala psikotik seperti delusi, halusinasi, bicara tidak teratur, dan
terlalu perilaku tidak teratur juga dapat muncul.
b. Tahap Pemulihan
Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang.
Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak
datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para korban
mulai menghadapi realitas. Pada tahap ini berbagai gejala pasca-trauma
muncul, misalnya "Pasca Trauma Stress Disorder," "Disorder Kecemasan
Generalized," "Abnormal Dukacita, " dan " Post Traumatic Depresi ".
Akut Stress Paska Trauma:
Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang
tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang
seiring dengan berjalannya waktu.
 Emosi
Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya
labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah,
perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.
 Pikiran
Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga
(pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi,
menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar,
suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang
hal itu
 Tubuh
Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau
sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil,
tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid, hilangnya
gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
 Perilaku
Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang
berlebihan atau penarikan social, sikap permusuhan, kemarahan,
merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri.

4
c. Post Trauma Stress Disorder (PTSD):
Meliputi: Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas (ASPT) masih
ada maka, maka dapat diduga mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala ini
selepas 2 bulan dari kejadian bencana:
 Reecperience atau mengalami kembali
Korban akan mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu;
misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat
kembali kejadian yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya
kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan
tidak mampu mengalihkan pikirannya dari bencana. Pada anak-anak
korhan konflik senjata, mereka bermain perang-perangan berulang-ulang.
 Avoidance atau menghindar
Hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya
menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana;
menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang mengingatkan korban dari
trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana,
termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong
 Hyperarusal atau rangsangan yang berlebihan
Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan
berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik dan
nafas terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan
mudah terkejut.
d. Generalized Anxiety Disorder:
Meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai peristiwa
ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak
mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu.
Dukacita Eksrim:
Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama
adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan.
Post Trauma Depresi:
Depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling umum dalam
penelitan terhadap penyintas trauma. Gangguan ini sering terjadi dalam
kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder. Gejala umum depresi
termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun kebalikannya
hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan berkurang (atau

5
berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis dan perasaan tak
berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan dalam
aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa,
ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak dapat dibatalkan, dan lekas marah.
e. Tahap Rekonstruksi
Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola
kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun
banyak korban mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang
serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat
meningkat, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan
minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir dengan logis. Mereka
menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain termasuk orang-orang
yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak hubungan korban
dengan keluarga dan komunitasnya.
B. Dampak Bencana Pada Komunitas
Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska
bencana dapat saja tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal
sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang saling curiga
(padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah melakukan
kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani
dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki
masyarakat.
Saat korban dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di
tempat lain, tanpa pelatihan dan bekal yang memadai, tidak hanya kehidupan
mereka yang terancam, namun juga identitas dirinya. Mereka dipaksa menjadi
peladang padahal sepanjang hidupnya adalah nelayan, ataupun sebaliknya.
Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik perkawinan meningkat, kenaikan
tingkat perceraian pada tahun-tahun setelah bencana dapat terjadi dan juga
meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan pada anak dan pasangan).
Pemberian bantuan yang tidak terpola pada akhirnya merusak etos kerja
mereka dan terjadi ketergantungan pada pemberi bantuan. Bencana fisik bisa
menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah dan komunitas agama,
atau dapat mengganggu fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada
orang yang bertanggung jawab atas lembaga-lembaga, seperti guru atau imam.

6
Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi korban dari bencana dan tidak
dapat mejalankan fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas
menjadi terganggu.
C. Dampak Psikologis Bencana Pada Wanita
Kondisi psikososial didaerah bencana khususnya bagi kaum perempuan
mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti hilangnya rasa percaya
diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan gejala phobia yaitu perasaan
takut yang berlebihan. Individu dan komunitas mengalami trauma dan tekanan
hidup bertubi-tubi dan berkelanjutan.
Situasi demikian dapat menurunkan motivasi untuk mempertahankan hidup
selanjutnya. Selain implikasi psikososial yang pada umumnya muncul
dikalangan perempuan, biasanya mereka mengalami pengalaman traumatis
dimana daya penyesuaian satu individu dengan individu lainnya akan
mengalami kendala.
Hal tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya:
1. Gambaran umum tentang dirinya,
2. Dukungan sosial yang diterimanya,
3. Kapasitas berpikir dan penyesuaian diri,
4. Tingkat keparahan,
5. Pengalaman traumatik
Selain itu korban bencana akan mengalami perubahan dalam kepribadian yang
berpengaruh pada tingkat fungsi dan hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan
bahkan mereka tidak mampu menata kembali hidup mereka. Sebagian besar dari
korban bencana mengalami gejala temporer. Gejala yang paling popular adalah
stres dan stres paska trauma yang seringkali menghinggapi korban-korban
bencana. Stres terjadi karena adanya situasi eksternal atau internal yang
memunculkan tekanan atau gangguan pada keseimbangan hidup individu.
Kaum perempuan di daerah bencana karena hidup dengan kondisi yang lebih
lebih buruk dari sebelumnya maka memunculkan perasaan gelisah, sedih, tak
berdaya dan bingung. Harapan hidupnya seolah-olah hilang. Depresi akan mucul
akibat ketidakmampuan melakukan perubahan. Individu dan komunitas
mengalami situsi belajar dari pengalaman dan situasi hidup bahwa mereka tidak
mampu mengatasinya. Trauma yang muncul ini bersifat kolektif dan memberikan
dampak psikososial.
Beberapa gejala yang pada umumnya muncul akibat bencana adalah sebagai
berikut:
o Ingatan yang senantiasai mencengkeram berbagai bayangan tentang trauma
o Perasaan seolah-olah trauma muncul kembali

7
o Mimpi buruk
o Gangguan tidur
o Gangguan makan (muntah/mual)
o Gangguan saat mengingat traumna
o Ketakutan
o Kewaspadaan yang berlebih
o Kesulitan mengendalikan emosi
o Kesulitan berkonsentrasi
D. Dampak Psikologis Bencana pada Lansia
Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan mental.
Kemampuan adaptasi yang dimiliki juga sudah sangat jauh berkurang, sehingga
sangat rentan terhadap perubahan. Selain itu kaum lanjut usia ini juga telah
kehilangan peran, sehingga merasa dirinya tidak berarti dan tidak dibutuhkan
lagi oleh keluarganya. Mereka juga rentan terhadap kemungkinan diabaikan
oleh keluarga.
2. Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi Dampak Psikologis
A. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Tahap Bencana
Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung
a) Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya
defusing dan debriefing untuk mencegah secondary trauma
b) Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya
berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis
c) Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
d) Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak
e) Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.

Tahap Pemulihan: Bulan pertama


a) Lanjutkan tahap tanggap darurat
b) Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek
trauma
c) Melatih konselor bencana tambahan
d) Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas
e) Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat
Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua
a) Lanjutkan tugas tanggap bencana.
b) Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau
ketangguhan.
c) Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang
masih membutuhkan pertolongan psikologis.
d) Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang
membutuhkan.
e) Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya
berbasis lembaga.

8
Fase Rekonstruksi
a) Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja
kemanusiaan dan penyintas bencana.
b) Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi.
c) Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi
konselor jika mereka membutuhkannya.
d) Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang
pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri.
B. Aktivitas Psikososial Pada Orang Dewasa
a) Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan agama
b) Temani mereka
c) Ajak bicara tentang apa saja sehingga ia tidak merasa sendiri
d) Menjadi pendengar yang baik terutama saat ia menceritakan perasaannya
tentang bencana yang menimpa
e) Dorong korban untuk banyak beristirahat dan makan yang cukup
f) Ajak korban melakukan aktifitas yang positif
g) Ajak korban untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari
h) Ajak bercIbu-ibu/Bapak dengan menggunakan humor ringan
i) Ajak berbincang-bincang tentang kondisi saat ini diluar
j) Membantu menemukan sanak saudara yang masih terpisah
k) Memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga menimbulkan harapan
C. Aktivitas Psikososial Pada Wanita
Dalam memulihkan diri sendiri :
a) Mengungkap masalah yang dirasakan kepada orang yang dipercayai
b) Merawat dan menjaga kesehatan diri, baik fisik maupun psikis
c) Melakukan aktivitas-aktivitas yang disukai yang dapat mengalihkan dari
pikiran pikiran akan kejadian, baik dilakukan sendiri maupun secara
berkelompok
d) Belajar Ketrampilan Baru
e) Mencoba iklas dan mendekatkan diri kepada-Nya
f) Membantu keluarganya dalam memulihkan kondisi pasca bencana
g) Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai bencana (gempa, banjir,
tsunami, longsor dll) kepada anak dan keluarga
h) Saling mendukung dan memperhatikan sesama anggota keluarga, serta
memberikan perhatian lebih kepada anggota keluarga yang masih memiliki
masalah akibat bencana dan peristiwa sulit
i) Memberikan dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan baik di
sekolah maupun di luar sekolah
j) Apabila dia berperan sebagai orang tua tunggal, maka dia bekerja untuk
mencari nafkah bagi keluarga sesuai dengan kemampuan/ketrampilan yang
dimiliki.
Memulihkan sesama perempuan dalam komunitas:

9
a. Saling memberikan perhatian kepada sesama perempuan korban bencana yang
tinggal di sekitarnya.
b. Saling bercerita dan berbagi perasaan antar sesama perempuan di komunitas
c. Saling memberi informasi kepada sesama perempuan baik dalam hal
mengembangkan usaha (industri kecil) bersama-sama dan dapat berupa
informasi lainnya.
d. Mengajak rekan perempuan dalam komunitas agar lebih percaya diri, dan aktif
dalam kegiatan-kegiatan kelompok
e. Bersama-sama ikut memberikan pendapat dalam rapat atau pertemuan
penyelesaian masalah karena suara perempuan juga penting.
D. Aktivitas Psikososial Pada Lansia
a. Berikan keyakinan yang positif
b. Dampingi pemulihan fisiknya dengan melakukan kunjungan berkala
c. Berikan perhatian yang khusus untuk mendapatkan kenyamanan pada lokasi
penampungan
d. Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga maupun lingkungan
sosial lainnya
e. Dampingi untuk menapatkan pengobatan dan bantuan keuangan
E. Trauma Healing
Untuk mengatasi trauma pada korban bencana, maka dilaksanakan program
trauma healing. Trauma healing merupakan salah satu program yang bertujuan
untuk penyembuhan luka trauma yang dialami oleh korban bencana, mulai dari
anak-anak, dewasa, dan lansia. Beberapa program trauma healing yang dapat
dilaksanakan yaitu:
a. Diskusi kelompok
Diskusi kelompok dapat dijalankan dengan membentuk FGD (Focus Group
Discussion) dimana dalam kelompok ini, peserta mendiskusikan sebuah topic
masalah kemudian mencari pemecahan masalah dari topic yang diangkat dan
disepakati.
b. Kegiatan ibadah
Kegiatan ibadah sangat membantu korban bencana dalam menerima apa yang
dialaminya dengan ikhlas dan lapang dada. Selain, fisik, rohani korban juga
perlu diberikan siraman agar korban tetap tegar dalam menjalani kondisinya
saat pasca bencana. Salah satu kegiatan ibadah yang dapat dijalankan untuk
korban dewasa yaitu majelis taklim.
c. Kesenian dan keterampilan
Kegiatan kesenian dan keterampilan yang dilakukan hendaknya kegiatan yang
dapat menghasilkan uang, sehingga kegiatan ini memberikan manfaat bagi

10
korban dewasa. Diantara kegiatan kesenian dan keterampilan yang dapat
dilakukan, yaitu: menyulam, merajut, memasak, dan lain-lain.

d. Terapi Aktivitas dan exercise pada lansia


Melakukan latihan fisik secara teratur dengan tujuan meningkatkan kesehatan,
bisa dilakukan individu dan kelompok.

3. Triage
A. Pengertian
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah
pasien berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan
gawat darurat. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu
konsep pengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang
paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD
setiap tahunnya (Pusponegoro, 2010).
B. Tujuan Triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat
kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
a. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
b. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan
c. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
C. Prinsip Dan Tipe Triage
“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care
Provider.
a. Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang
mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen
kegawatdaruratan.
b. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat

11
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses
interview.
c. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila
terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
d. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat
seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas
terhadap suatu tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.Tercapainya
kepuasan pasien. Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat
dilakukan dengan :
(1) Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
(2) Menilai kebutuhan medis
(3) Menilai kemungkinan bertahan hidup
(4) Menilai bantuan yang memungkinkan
(5) Memprioritaskan penanganan definitive
(6) Tag warna
D. Kategori Triase

12
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengertian Post traumatic stress disorder (PTSD)


Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang
terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam
hidupnya. PTSD merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD
dianggap sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety disorder).
PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan
ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat di diagnosis mengalami
PTSD.
Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah
reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis.
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk
PTSD, karena banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD.
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive
yang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman traumatis. Berlawanan dengan
ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau sampai
beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah
adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pasca trauma dengan gangguan
stress akut, suatu diagnostic yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua
orang yang mengalami trauma akan mengalami stress, kadangkala hingga tingkat
yang sangat berat. Hal itu normal. Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan
dalam keberfungsian social dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan, diagnosis
yang ditegakkan adalah gangguan stress akut. Jumlah orang yang mengalami jumlah
stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka alami.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD


a. Faktor Resiko

13
Beberapa faktor resiko terjadinya PTSD dilihat dari aspek trauma,
pengalaman saat trauma, karakteristik masing-masing individu dan faktor post-
trauma
Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang
dialami, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak
korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan
seksual.
Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa
kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta
adanya gejala disosiatif saat kejadian.
Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya
penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
b. Faktor pasca trauma
berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan atas apa yang telah
dialami serta kurangnya dukungan lingkungan sekitar.
c. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan
tentang pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
Kebangkitan trauma waktu anak-anak menimbulkan regresi dan menggunakan
mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan dan reaksi formasi.
d. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD. Mereka terus
merasakan stres dan mencoba untuk menghindari apa yang dialami dengan teknik
penghindaran. Orang-orang tersebut menekan ingatan tentang trauma yang
dialami ke alam bawah sadar, yang mana lama-kelamaan semakin menumpuk,
jika terjadi trauma lagi hal itu dapat menimbulkan bangkitan ingatan trauma
sebelumnya.
e. Faktor neurobiologi
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya
berperan dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang
kejadian trauma yang dialami. Seseorang mengembangkan PTSD adalah akibat
respon terhadap suatu trauma yang ekstrem – sebuah kejadian yang mengerikan
yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup

14
atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan
seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya.
Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
1) Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan,
atau berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan. Para survivor ini
termasuk :
a. Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
b. Perkosaan atau pelecehan seksual
c. Serangan tiba-tiba atau pembajakan
d. Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
2) Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
a. Kecelakaan mobil atau kebakaran
b. Bencana alam, seperti gempa bumi
c. Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau
serangan teroris
d. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan
industri.
3) Veteran perang atau korban perang sipil
4) Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau
verbal, atau orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
5) Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau
teman dekat atau orang yang dicintai
6) Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti
pekerja emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan
penyelamat.

15
3. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD )
dikelompokkan dalam 3 kategori utama. Diagnostic dapat ditegakkan jika simtom-
simtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
a. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang
hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang
menyimbolkan kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu.
Pentingnya “mengalami kejadian kembali” tidak dapat diremehkan karena
kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain. Beberapa teori
PTSD membuat “mengalami kembali” sebagai ciri utama dengan mengotribusikan
gangguan tersebut pada ketidakmampuan untuk berhasil mengintegrasikan
kejadian
traumatic ke dalam skema yang ada saat ini.
b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas (Avoidance)
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berfikir tentang trauma atau
menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa
adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidak mampuan untuk merasakan sebagai emosi positif. Simtom-simtom ini
tampaknya hampir kontradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD
kenyataannya terdapat suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami kembali
dan mati rasa.
c. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)
Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan. Berbagai
studi laboratorium menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan
mendokumentasikan meningkatnya reaktifitas fisiologis pada pasien penderita
PTSD terhadap pencitraan pertempuran dan respon-respon terkejut yang sangat
tinggi. Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan
anxietas lain, depresi, kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan zat, masalah
perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, dan disfungsi seksual. Pikiran dan
rencana untuk bunuh diri umum terjadi. Menurut DSM, anak-anak dapat menderita

16
PTSD sering kali merupakan respon karena menyaksikan kekerasan dalam rumah
tangga atau mengalami penyiksaan fisik. Gambaran klinis PTSD pada anak-anak
tampaknya berbeda dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk
dengan monster umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai
contoh, seorang anak semula periang menjadi pendiam atau menarik diri atau
seorang anak yang bermula pendiam menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak
yang mengalami trauma mulai berfikir bahwa mereka tidak akan hidup hingga
mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan keterampilan perkembangan
yang sudah dikuasai, seperti berbicara atau menggunakan toilet. Terakhir, anak-
anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan mereka dibanding orang dewasa,
suatu hal yang sangat penting untuk diingat bila terdapat kemungkinan penyiksaan
fisik atau seksual.
4. Kriteria Diagnostik PTSD berdasar DSM III-R (Diagnostik and Statistical
Manual of Mental Disorders III-Revisi) (Kaplan et al., 2007):
a. Orang telah mengalami suatu peristiwa luar biasa bagi manusia umumnya dan
yang amat menekan terhadap semua orang
b. Peristiwa traumatik itu secara menetap dialami dalam cara yang disebut di
bawah ini:
o Teringat kembali peristiwa itu secara berulang dan sangat mengganggu.
o Mimpi yang berulang tentang peristiwa itu yang membebani pikiran
o Perasaan atau tindakan mendadak seolah peristiwa traumatik itu telah
terjadi lagi
o Tekanan jiwa yang amat sangat karena terpaku pada satu peristiwa yang
melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik itu,
termasuk hari ulang tahun trauma tersebut.
c. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau
kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tak ada sebelum trauma
itu), yang ditunjuk sedikitnya 3 dari yang berikut :
o Upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan
ingatan terhadap trauma itu
o Ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma
itu
o Minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting
o Rasa terasing dari orang lain
o Kurangnya afeksi
o Merasa tidak punya masa depan

17
d. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (yang tak ada sebelum trauma)
yang ditunjukkan oleh 2 dari gajala berikut :
o Sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur yang cukup
o Irritable atau mudah marah
o Sulit berkonsentrasi
o Amat bersiaga
o Reaksi kaget yang berlebihan
o Reaksi rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai aspek dari peristiwa traumatik
o Jangka waktu gangguan itu (gejala pada B, C dan D) sedikitnya sebulan.
5. Pengobatan Untuk Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD)
a. Psikoterapi
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada maslah PTSD percaya bahwa ada
tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,
yaitu : anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy. Terapi bermain
(play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD.
b. Debriefing
Ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan
di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Sesungguhnya, Cochranc, seorang
penulis sebuah buku merekomendasikan “perlu untuk melakukan debriefing pada
kasus korban-korban trauma”. Mengenai debriefing oleh bidan, Small (2000)
gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya. Meskipun begitu, Boyce dan
Condon (2000) itu merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada
semua wanita yang berpotensi untuk mengalami kejadian traumatik ketika
melahirkan.
c. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui :
a. Relaxation Training
Kita akan belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utamamu.

b. Breathing retraining
Kita akan belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit
kepala.

18
c. Positive thinking dan self-talk
Kita belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan
pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
d. Assertiveness Training
Kita belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain.
e. Thought Stopping
Kita belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan
hal-hal yang membuat kita stress.
d. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang
korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan
kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
e. Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang
lain, obyek, memory atau emosi yang mengingatkanmu pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi
ini dapat berjalan dengan dua cara :
o Exposure in the imagination yaitu Terapis bertanya kepada penderita untuk
mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai
mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
o Exposure in reality yaitu Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang
sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang
sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di
rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk
mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan
membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi
berbahaya dan kita dapat mengatasinya.
f. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan PTSD. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara
langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya.

19
g. Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan penderita PTSD,
yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami,
korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan
tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi
penguatan satu sama lain.
h. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi
cerita mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita.
Dengan berbagi pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan
kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesama
penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang
dideritanya dan melawan kecemasan.
j. Pendidikan dan supportive konseling
Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan
keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam-macam treatmen
(terapi dan pengobatan) yang cocok untuk PTSD. Walaupun kamu mempunyai
gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat
ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga kita mengerti
apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya.

6. Asuhan Keperawatan kasus PTSD


A. Pengkajian
a. Identitas: nama, tempat tangga lahir, alamat, agama, pekerjaa, status dll.
b. Riwayat Kesehatan :
o Keluhan utama : cemas/ ansietas
o Pengkajian fisik : Tanda-tanda Vital
o Aktivitas atau istirahat : gangguan tidur, mimpi buruk, hypersomnia dsb
o Sirkulasi
o Integritas ego
o Neurosensori
o Pernapasan
o Keamanan
o Seksualitas
o Interaksi sosial

B. Diagnosa Keperawatan
Anxietas berhubungan dengan Koping individu tidak efektif

20
C. Rencana dan Intervensi Keperawatan

DX Intervensi
Tujuan
1 Klien dapat menjalin dan  jadilah pendengar yang hangat dan responsif
membina hubungan  Beri waktu yang cukup pada klien untuk berespon
saling percaya  Beri dukungan pada klien untuk mengekspresikan
perasaannya
 Identifikasi pola prilaku klien atau pendekatan yang dapat
menimbulkan perasaan negatif bersama klien mengenali
perilaku dan respon sehingga cepat belajar dan
berkembang.
 Dorong klien untuk menggunakan relaksasi dalam
menurunkan tingkat ansietas

21
BAB IV
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami patah hati (broken heart) dan pelecehan seksual
secara fisik maupun psikologis, maka kejadia n tersebut dapat menimbulkan suatu
trauma yang sangat mendalam dalam diri seseorang. Kejadian traumatis tersebut
dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu PTDS. Gangguan Stres Pasca
trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD) adalah suatu kejadian atau beberapa
kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang
berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik atau diri seseorang. Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-
beda tergantung seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis
korban. Gejala PTSD meliputi 3 kategori yaitu:
1. Re-experiencing (pengalaman berulang)
Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang
hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang
menyimbolkan kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu.
2. Avoidance (penghindaran segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma) Orang
yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berfikir tentang trauma atau
menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk merasakan sebagai emosi positif.
3. Arousal (keadaan emosi mudah bangkit)
Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, sensitive, dan
lebih cepat marah. Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa perubaha n;
perubahan pikiran, perasaan, dan tingkah laku pada YL yang mengalami gangguan
stress pasca trauma selepas kepergian orang yang sangat dicintainya dan setelah ia
mendapatkan pelecehan seksual dari orang yang dicintainya tersebut.
 Perubahan pikiran, seperti sering teringat-ingat, mimpi buruk, pusing, dan menjadi
pelupa untuk menghindar dari ingatan traumanya.
 Perubahan Perasaan, seperti sedih berlebihan, dan merasa dirinya kotor.

22
 Perubahan tingkah laku, seperti insomnia (susah tidur), nafsu makan menurun,
menarik diri dari orang lain, menjadi lebih pendiam, sering menagis seharian, dan
menjadi lebih rajin beribadah

2. SARAN
 Secara Teoritik
Diharapkan ada penelitian lanjutan yang akan memperkaya khazanah gangguan
stress pasca trauma pada seseorang yang mengalami broken heart.
 Secara Praksis
a. Bagi subjek, diharapkan tetap semangat dan tidak berkecil hati dalam menjalani
hidup sebab setiap masalah pasti ada suatu hikmah yang bermanfaat di balik itu
semua. Tetap percaya diri dan yakin jika semua masalah dapat teratasi, serta
lebih berhati-hati merupakan cara yang aman untuk pergaul.
b. Bagi keluarga subjek, diharapkan bisa memberi lebih banyak dukungan social
pada subjek, untuk mempermudah pemulihan. Sebab keluarga sangat berperan
penting. Jangan pernah mengganggap remeh luka psikis pada diri seseorang
sebab efek luka psikis akan berakibat pada kehidupan seorang selanjutnya.

23
DAFTAR ISI

Dalami, E. (2009). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: TIM.


Keliat, B. A. (2005). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok. EGC, Jakarta.
Kemenkes RI. (2014). Modul Keperawatan Bencana Dasar. Jakarta: Badan PPSDM
Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana.
Khambali, I., & ST, M. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana. Penerbit Andi.
Kharismawan, K. (2008). Panduan program psikososial paska bencana. Semarang: Center
For Trauma Recovery Unika Soegijapranata.
Mubarak, W. I. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Poltekkes Kemenkes Bandung. (2015). Modul PPGD-B Nasional. Bandung.
Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
WHO, I. (2009). Kerangka Kerja ICN: kompetensi keperawatan bencana. Switzerland.
Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency
Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK

24
Lampiran-lampiran

SATUAN ACARA PENDIDIKAN KESEHATAN (SAP)

Topik : Terapi relaksasi otot progresif untuk mengatasi kecemasan


pasca bencana
Sasaran : Masyarakat umum
Tujuan : Trauma Healing
Hari / tanggal : Jumat, 22 November 2019
Tempat : Kelurahan Cibadak
Pukul : 09.00 – 09.30 WIB

A. Definisi
Relaksasi adalah satu teknik dalam terapi perilaku untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan. Teknik ini dapat digunakan oleh klien tanpa bantuan
terapis dan mereka dapat menggunakannya untuk mengurangi ketegangan dan
kecemasan yang dialami sehari-hari
Relaksasi merupakan salah satu cara untuk mengistirahatkan fungsi fisik dan
mental sehingga menjadi rileks (Suryani,2000).Relaksasi merupakan kegiatan untuk
mengendurkan ketegangan, pertama-tama ketegangan jasmaniah yang nantinya akan
berdampak pada penurunan ketegangan jiwa (Wiramihardja,2006).
Edmund Jacobson (1929) dalam bukunya menjelaskan bahwa teknik relaksasi
progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi,
ketekunan atau sugesti. Berdasarkan kenyakinan bahwa tubuh manusia berespon pada
kecemasan dan kejadian yang merangsang pikiran dengan ketegangan otot (Davis,
dkk, 1995).
Pengertian teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara
melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan
intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru
dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

B. Tujuan

25
Relaksasi nafas bertujuan untuk mengenali apa yang terjadi pada tubuh, sehingga
dapat mengurangi ketegangan dan sakit serta dapat melanjutkan kegiatan. Digunakan
untuk mengurangi berbagai keluhan yang berhubungan dengan stress, seperti kecemasan,
nyeri lambung, hipertensi dan insomnia (sulit tidur).
C. Indikasi
1. Menurunkan kecemasan /stress
2. Agar seseorang merasa lebih nyaman, santai
3. Menurunkan nyeri
4. Membantu melupakan nyeri yang dirasakan
5. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
6. Meningkatkan rasa nyaman
7. Mengaktifkan kekuatan energi dari otak kanan, yaitu bagian otak yang mengurusi
masalah emosi dan imajinasi manusia.

D. Penatalaksanaan
a. Langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam:
Prosedur teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2003) Bentuk pernapasan
yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada
pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen
bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-
langkah teknik relaksasi napas alternatif adalah sebagai berikut :
1. Ciptakan lingkungan yang tenang
2. Usahakan tetap rileks dan tenang
3. Mari kita duduk dengan sikap nyaman
4. Letakkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan didahi
5. Tutup lubang hidung kanan dengan ibu jari
6. Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung kiri’
7. Tutup lubang hidung kiri dengan jari manis dan buka lubang hidung kanan bersamaan
8. Hembuskan nafas melalui lubang hidung kanan pelan-pelan
9. Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung kanan
10. Tutup lubang kanan dan buka lubang hidung kiri bersamaan
11. Hembuskan nafas melalui hidung kiri
12. Teruskan putaran 5 kali, lalu dapat ditambah secara bertahap
c. Langkah-langkah relaksasi pernapasan menurut Stewart (1976: 959), yaitu sebagai berikut:
1. Tarik nafas dalam-dalam dan tahan di dalam paru
2. Keluarkan udara perlahan-lahan dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan
betapa nyaman hal tersebut
3. Bernapaslah secara normal dalam beberapa waktu
4. Ambil nafas dalam-dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan

26
5. Biarkan telapak kaki rileks
6. Konsentrasikan pikiran pada kaki
7. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan pikiran pada lengan, perut, punggung dan
kelompok otot-otot lain
8. Setelah merasa relaks, bernapaslah secara perlahan.
9. Bila nyeri menjadi hebat klien bernapas secara dangkal dan cepat.
D. Metode
Mendemostrasikan
E. Media
Music Instrumental
F. Strategi pelaksanaan
Moderator : Devi Andriani
Leader : Nilawati
Fasilitator : - Jinni Simamora
- Nurul Asti
- Desyana
- Umatun Khasanah
- Niken Sulistya
- Evi
- Suyati

27
No Kegiatan Waktu Media
1 Persiapan 5 menit Vidio
Ø Menyiapkan ruangan
Ø Menyiapkan alat
Ø Menyiapkan peserta
2 Orientasi 5 menit
-Salam terapeutik
Ø Beri salam pembuka
Ø Memperkenalkan diri
Ø -Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
-Kontrak
Ø Menjelaskan waktu/durasi, tempat, serta tujuan
kegiatan
3 Tahap Kerja 15
Sesi 1 menit
1. Ucapkan salam.
2. Perkenalkan diri perawat dengan menyebutkan
nama lengkap dan panggilan yang disukai.
3. Tanyakan nama klien dan panggilan yang
disukai.
4. Jelaskan tujuan pertemuan dan tindakan yang
akan dilakukan.
5. Buat kontrak dan kesepakatan
6. Posisikan klien duduk
7. Letakkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanan didahi
8. Tutup lubang hidung kanan dengan ibu jari
9.Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung kiri’
10.Tutup lubang hidung kiri dengan jari manis dan
buka lubang hidung kanan bersamaan
11.Hembuskan nafas melalui lubang hidung kanan
pelan-pelan
12.Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung
kanan
13Tutup lubang kanan dan buka lubang hidung kiri
bersamaan
14.Hembuskan nafas melalui hidung kiri
4 Ø Terminasi 5 menit
-Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah
28
mengikuti relaksasi
-Tindak Lanjut
Menganjurkan klien untuk mengulangi langka-
ROLEPLAY

A. Peran
Mahasiswa : - Nilawati - Umatun Khasanah
- Nurul Asti - Evi
- Desyana - Devi Andriani
- Jinni Simamora - Niken
- Suyati
Masyarakat : Warga sekitar cibadak

B. Naskah Role Play


Tanggal 20 November 2019, Banjir merendam ratusan rumah warga di Kota
Garut tepatnya didaerah cibadak akibatnya ratusan warga harus dievakuasi ke tempat
yang lebih aman. Banjir terjadi akibat hujan deras yang mengguyur kawasan tersebut
sepanjang Kamis sore hingga Jumat pagi. Serta diperparah meluapnya sungai sekitar
Satu kelompok relawan yang terdiri dari mahasiswa keperawatan STIKes IMC
Bintaro, datang ke Kecamatan cibadak untuk memberikan Trauma Healing pada
wanita dan lansia di salah satu desa di Kecamatan cibadak ini, banyak terdapat
lansia dengan bermacam-macam trauma (kehilangan rumah, anak/cucu, istri/suami,
keluarga).
2. Pelaksanaan Kegiatan
a. Topik : Trauma Healing pada korban pasca bencana
b. Sasaran : Wanita dan Lansia korban pasca banjir
c. Metode : Diskusi
d. Media dan Alat : Speaker
e. Tempat : Balai Desa
f. Hari/Tanggal : Jum’at / 22 November 2017
g. Waktu : 09.00-09.30 Wib
3. Pengorganisasian
Struktur Pengorganisasian
a. Moderator : Devi Andriani
b. Penyaji : Desyana
c. Leader : Nilawati
d. Fasilitator : - Jinni Simamora
- Evi
- Niken Sulistya
- Suyati
- Nurul Asti
- Umatun Khasanah
Tugas Pengorganisasian
a. Leader :
 Uraian tugas

29
- Mengkoordinir persiapan dan pelaksanaan kegiatan
b. Fasilitator :
 Uraian tugas
- Memotivasi dan memfasilitasi para masyarakat untuk bertanya
- Mengajak para audiens untuk menyampaikan luahan hati
- Meminimalkan gangguan dari luar yang menghambat lancarnya
kegiatan

STRATEGI KOMUNIKASI
Tahap orientasi
(Mahasiswa IMC akan melakukan penyuluhan trauma healing pasca bencana)
Leader : “ Assalamu’alaikum Ibu-ibu/Bapak-bapak”
Peserta : “ Wa’alaikum salam”
Leader : “Bagaimana kabarnya pagi ini?”
Semua peserta : “ Baik (beberapa orang menjawab sehat)....”
Leader : “ Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu-ibu/Bapak yang telah
meluangkan waktunya untuk datang ke balai desa ini dan bertemu dengan kami ”
Leader : “ Perkenalkan nama saya ..............., biasa dipanggil .........
Teman saya yang berada ditengah-tengah Ibu-ibu/Bapak sekalian yang berbaju ..........,
namanya ............. biasa dipanggil.... Dan yang memakai baju ............. namanya
.............. biasa dipanggil .........., dan yang pakai baju ........ namanya ....... biasa
dipanggil ........ Kami bertiga adalah mahasiswa Keperawatan STIKes IMC Bintaro
Ibu-ibu/Bapak.”
Fasilitator : “ Salam kenal Ibu-ibu/Bapak “
Leader : “Apakah Ibu-ibu/Bapak semua sudah saling kenal?”
Peserta : “ Sudah dek....”
Leader : “ Baiklah, kan semuanya udah saling kenal, sekarang kami
juga ingin mengenal Ibu-ibu/Bapak. Sekarang kita kenalan dulu ya Bu. Dimulai dari
Ibu yang di sebelah kanan saya. Silahkan Bu, perkenalkan nama, nama panggilan, dan
alamatnya.“
( Masing-masing ibu memperkenalkan diri )
Leader : “Oke, semua ibu telah memperkenalkan diri, saya ulangi ya
Bu. ( Leader menyebutkan nama masing-masing Ibu). Kami datang ke sini agar
sejenak melepaskan rasa sedih yang ibu alami pasca bencana yaitu dengan saling
berbagi kesedihan dan kami pun ingin sedikit menjelaskan bagaimana agar hati kita

30
bisa tegar menghadapi cobaan ini, dan kami juga ingin memberikan terapi kepada
Bapak Ibu semua yaitu berupa teknik relaksasi nafas alternatif, gunanya merilekskan
kondisi pikiran, tubuh dan membangkitkan motivasi bapak/ibu sekalian. Bagaimana
Ibu-ibu/Bapak?? Setuju??”
Peserta : “ Setuju”
Leader : “Selama 30 menit ke depan, kami juga akan membantu Ibu-
ibu/Bapak dalam relaksasi tersebut”
Fase kerja
(Leader mulai memberikan motivasi kepada para korban bencana untuk self talk
dan positive thinking)
Leader : “Baik, sebelumnya ada tidak diantara Ibu / Bapak semua yang
ingin berbagi tentang pengalaman ataupun isi hati tentang
bencana banjir ini”?
Ibu 3 : “Saya dek, saya sangat khawatir sekali sama keadaan kami ini
dek, sedih bagaimana nasib kami kedepannya nanti, rumah saya
tenggelam dan saya tidak tau bagaimana kondisinya, anak saya
sekarang sulit disuruh makan, saya stress dibuatnya dek”.
Leader :”Baiklah ibu, mari kita banyak berdo’a kepada Allah, yakin
bahwa disebalik musibah Allah telah menyiapkan hikmah yang
luar biasa, mari kita berprasangka baik kepada Allah, dan
renungkan kembali apa dari kita yang menyebabkan bencana
banjir ini, apakah itu kita selalu membuang sampah
sembarangan atau kita telah menebang hutan secara liar?,
sekarang mari kita lakukan hal-hal yang positif, mari kita
perbanyak interaksi sesama teman kita yang terkena musibah
disini, agar kita tidak merasa terlalu berat dalam menghadapi
semua ini, apakah ada ibu bapak disini yang kehilangan
keluarganya?
Bapak : “saya dek, saya belum bertemu dengan keluarga saya”
Leader :”Oke, mari selepas ini kita bantu Bapak / Ibu yang belum
menemukan keluarganya, kita bantu bersama-sama agar lebih
memudahkan,”
Leader : “ Baiklah Bapak / Ibu semua mari kita mencoba percaya
bahwa apa yang terjadi kepada kita semua hari ini karena Allah

31
tahu kita mampu. Sekararang mari sama-sama katakana pada
diri kita sendiri bahwa “Allah tahu kita mampu dan Allah tidak
akan memberikan cobaan diluar kemampuan kita”. Hayuk kita
sama-sama mengucapkan dalam hati.
Peserta : (Peserta hening dan melakukan self talk dan positive
thingking)
Leader : “baik selanjutnya kita akan melakukan terapi berupa tekhnik
relaksasi otot, yang mana fungsinya merilekskan kondisi pikiran
tubuh melalui olah otot, Sebelumnya apakah sudah ada diantara
Ibu-ibu/Bapak yang pernah mencobakan teknik relaksasi
otot??”
Ibu-ibu/Bapak : “ Belum”
Leader : “ Hm.. Baiklah, nanti kita akan latihan teknik relaksasi.
Bagaimana kalau sebelum memulai acara ini. Kita berdoa dulu?”
(Terdengar Musik klasik mengalun ditengah posko bencana banjir)
Baik kita mulai ya ibu-ibu sekalian :
1. Mari kita duduk dengan sikap nyaman
2. Letakkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan didahi
3. Tutup lubang hidung kanan dengan ibu jari
4. Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung kiri’
5. Tutup lubang hidung kiri dengan jari manis dan buka lubang hidung kanan
bersamaan
6. Hembuskan nafas melalui lubang hidung kanan pelan-pelan
7. Tarik nafas pelan-pelan dari lubang hidung kanan
8. Tutup lubang kanan dan buka lubang hidung kiri bersamaan
9. Hembuskan nafas melalui hidung kiri
10. Teruskan putaran 5 kali, lalu dapat ditambah secara bertahap
Ini mengakhiri secara resmi prosedur relaksasi ini. Sekarang eksplorasi tubuh Ibu-
ibu/Bapak dari kaki ke atas. Nah, sepertinya semua sudah santai sekarang. Tetaplah
duduk (atau berbaringlah) di sana, perhatikan pada rasa hangat yang dihasilkan oleh
relaksasi ini. Tahan keadaan ini (kira-kira 1 menit). Sekarang saya akan menghitung
dari satu sampai lima. Saat sampai hitungan ke lima saya ingin Ibu-ibu/Bapak
membuka mata Ibu-ibu/Bapak dengan perasaan sangat tenang ,santai dan sangat segar.
Satu…merasa sangat tenang; Dua… sangat tenang, sangat segar; Tiga… sangat segar;
Empat…; dan Lima.
Fase terminasi
Leader : “ Bagaimana perasaan Ibu-Ibu/Bapak setelah melakukan relaksasi

32
tadi?”
Ibu 1 :” Lebih tenang dek”
Ibu 2 :” Senang, dek.”
Ibu 3 :” Alhamdulillah dek.”
Leader :“Nanti setelah ini ibu bisa memperlihatkan dan mengajarkan kepada
teman-teman ibu. Jika memungkinkan, Ibu bahkan bisa membentuk
kelompok untuk melakukan teknik relaksasi ini”
Leader : “ Karena semua acara kita udah selesai,, kita akan menutup acara ini
dengan membacakan lafaz Alhamdulillah. Sampai ketemu lagi di lain
waktu. Kami berharap kedatangan kami ke sini memberi manfaat bagi
Ibu-Ibu/Bapak semua. Mohon Maaf Atas Semua kesalahan. Saya tutup
dengan Asslamualaikum. Wr.wb. “
Peserta : “ Wa’alaikum salam. “

33

Anda mungkin juga menyukai