PADA ANAK
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu :
Ns. Nanang Saprudin S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh :
Andhini Gumiwang Distyanto (CKR0180082)
Ficka Khotimah (CKR0180091)
Nopa Sugianto (CKR0180103)
Reza Romdona (CKR0180106)
KELAS :
REGULAR C
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum............................................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1. Definisi Penyakit Jantung Bawaan................................................................................3
2.2. Etiologi PJB.....................................................................................................................3
2.3. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan...........................................................................4
2.3 Patofisiologi Penyakit Jantung Bawaan......................................................................11
2.4 Manifestasi Klinik Penyakit Jantung Bawaan...........................................................14
2.5. Pemeriksaan Diagnostik PJB (CHD)..........................................................................16
2.6. Penatalaksanaan Medis PJB (CHD)...........................................................................16
2.7 Komplikasi PJB (CHD)................................................................................................22
2.8 Deteksi Dini PJB (CHD)...............................................................................................23
BAB III PROSES KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN PJB (CHD)........27
I. Pengkajian.........................................................................................................................27
II. Analisa data...................................................................................................................31
III. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul..........................................................35
IV. Rencana Keperawatan..................................................................................................37
BAB IV PENUTUP......................................................................................................................43
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................43
4.2 Saran..............................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................44
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease adalah suatu kelainan formasi dari
jantung atau pembuluh darah besar dekat jantung. “Congenital” hanya berbicara tentang
waktu tapi bukan penyebabnya, yang artinya adalah “lahir dengan” atau “hadir pada
kelahiran”.
Nama alternatif lainnya untuk penyakit jantung bawaan termasuk: congenital heart
defect, congenital heart malformation, congenital cardiovascular disease, congenital
cardiovascular defect dan congenital cardiovascular malformation.
Penyakit jantung congenital adalah bentuk yang paling sering dijumpai pada kerusakan
utama pada kelahiran bayi-bayi, mempengaruhi hampir 1% dari bayi-bayi baru lahir (8 dari
1000). Penyakit jantung congenital dapat mempunyai beragam penyebab. Penyebab-
penyebabnya termasuk faktor lingkungan (seperti bahan-bahan kimia, obat-obatan dan
infeksi-infeksi), penyakit-penyakit tertentu ibu, abnormalitas kromosom, penyakit-penyakit
keturunan (genetic) dan faktor-faktor yang tidak diketahui (Idiopathic).
Exposure terhadap obat-obatan tertentu selama kehamilan dapat juga menyebabkan PJB.
Satu contoh adalah retinoic acid (nama merek Accutane) yang digunakan untuk jerawat
(acne). Contoh-contoh lain adalah obat-obatan anticonvulsant, terutama hydantoins (seperti
Dilantin) dan valproate.
1
berada pada spesial dietnya selama kehamilan, bertendensi juga mempunyai bayi dengan
PJB.
2
BAB II PEMBAHASAN
Penyakit jantung bawaan adalah penyakit struktural jantung dan pembuluh darah
besar yang sudah terdapat sejak lahir. Perlu diingatkan bahwa tidak semua penyakit
jantung bawaan tersebut dapat dideteksi segera setelah lahir, tidak jarang penyakit
jantung bawaan baru bermanifestasi secara klinis setelah pasien berusia beberapa
minggu, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun (Markum, 1996).
3
Exposure terhadap obat-obatan tertentu selama kehamilan dapat juga
menyebabkan PJB. Satu contoh adalah retinoic acid (nama merek Accutane) yang
digunakan untuk jerawat (acne). Contoh-contoh lain adalah obat-obatan anticonvulsant,
terutama hydantoins (seperti Dilantin) dan valproate.
4
Penatalaksanaan
Pasien dengan DSV besar perlu ditolong dengan obat-obatan untuk mengatasi
gagal jantung. Biasanya diberikan digoksin dan diuretik, misalnya lasix. Bila
obat dapat memperbaiki keadaan, yang dilihat dengan membaiknya pernafasan
dan bertambahnya berat badan, maka operasi dapat ditunda sampai usia 2-3
tahun. Tindakan bedah sangat menolong karena tanpa tindakan tersebut harapan
hidup berkurang.
b. Defek Septum Atrium
Kelainan septum atrium disebabkan dari suatu lubang pada foramen ovale atau
pada septum atrium. Tekanan pada foramen oval atau septum atrium, tekanan
pada sisi kanan jantung meningkat.
Manifestasi Klinis
Anak mungkin sering mengalami kelelahan dan infeksi saluran pernafasan atas.
Mungkin ditemukan adanya murmur jantung. Pada foto rongen ditemukan
adanya pembesaran jantung dan diagnosa dipastikan dengan katerisasi jantung.
Penatalaksanaan
Kelainan tersebut dapat ditutup dengan dijahit atau dipasang suatu graft
pembedahan jantung terbuka, dengan prognosis baik.
c. Duktus Atereosus Persisten
DAP adalah terdapatnya pembulu darah fetal yang menghubungkan percabangan
arteri pulmonalis sebelah kiri ke aorta desendens tepat disebelah arteri
subklavikula kiri. DAP terjadi bila duktus tidak menutup bila bayi lahir.
Penyebab DAP bermacam-macam, bisa karena infeksi rubella pada ibu dan
prematuritas.
Manifestasi Klinis
Neonatus menunjukkan tanda-tanda respiratori distres seperti mendengkur
takipnea dan retraksi. Sejalan dengan pertumbuhan anak maka anak akan
mengalami dyspnea, kardio megali, hipertrofi ventrikuler kiri akibat penyesuaian
jantung terhadap peningkatan volume darah, adanya tanda ‘machinery type’.
5
Murmur jantung akibat aliran darah turbulen dari aorta melewati duktus
menetap. Tekanan darah sistolik mungkin tinggi karena pembesaran ventrikel
kiri.
Penatalaksanaan
Karena neonatus tidak toleransi terhadap pembedahan, kelainan biasanya diobati
dengan aspirin atau ideomethacin yang menyebabkan kontraksi otot lunak pada
duktus arteriosus. Ketika anak berusia 1-5 tahun, cukup kuat untuk dilakukan
operasi.
2. PJB Non Sianotik dengan Vaskularisasi Paru Normal
a. Stenosis Aorta
Pada kelainan ini striktura terjadi diatas atau dibawah katup aorta. Katupnya
sendiri mungkin terkena atau retriksi atau tersumbat secara total aliran darah.
Manifestasi Klinik
Anak menjadi kelelahan dan pusing sewaktu cardiac output menurun. Tanda-
tanda ini lebih nampak apabila pemenuhan kebutuhan terhadap O2 tidak
terpenuhi, hal ini menjadi serius dapat menyebabkan kematian, ini juga ditandai
dengan adanya murmur sistolik yang terdengar pada batas kiri sternum, diagnosa
ditegakkan berdasarkan gambaran ECG yang menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel kiri, dan dari kateterisasi jantung yang menunjukkan striktura.
Penatalaksanaan
Stenosis dihilangkan dengan insisi pada katup yang dilakukan pada saat anak
mampu melakukan pembedahan.
b. Stenosis Pulmonal (SP)
Kelainan pada stenosis pulmonik, dijumpai adanya striktura pada katup normal
tetapi puncaknya menyatu.
Manifestasi Klinik
Tergantung pada kondisi stenosis. Anak dapat mengalami dyspnea dan kelelahan,
karena aliran darah ke paru-paru tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan O2
dari cardiac output yang meningkat. Dalam keadaan stenosis yang berat, darah
6
kembali ke atrium kanan yang dapat menyebabkan kegagalan jantung kongesti.
Stenosis ini di diagnosis berdasarkan murmur jantung sistolik, ECG dan
kateterisasi jantung.
Penatalaksanaan
Stenosis dikoreksi dengan pembedahan pada katup yang dilakukan pada saat anak
berusia 2-3 tahun.
c. Koarktasio Aorta
Kelainan pada koarktasi aorta, aorta berkontriksi dengan beberapa cara. Kontriksi
mungkin proksimal atau distal terhadap duktus arteriosus. Kelainan ini biasanya
tidak segera diketahui, kecuali pada kontriksi berat. Untuk itu, penting melakukan
skrening anak saat memeriksan kesehatannya, khususnya bila anak mengikuti
kegiatan-kegiatan olahraga.
Manifestasi Klinik
Ditandai dengan adanya kenaikan tekanan darah, searah proksimal pada kelainan
dan penurunan secara distal. Tekanan darah lebih tinggi pada lengan daripada
kaki. Denyut nadi pada lengan terasa kuat, tetapi lemah pada popliteal dan
femoral. Kdang-kadang dijumpai adanya murmur jantung lemah dengan frekuensi
tinggi. Diagnosa ditegakkan dengan aortagraphy.
Penatalaksanaan
Kelainan dapat dikoreksi dengan Balloon Angioplasty pengangkatan bagian aorta
berkontriksi atau anastomi bagian akhir, atau dengan cara memasukkan suatu
graf.
3. PJB Sianotik dengan Vaskularisasi Paru Berkurang
Tetralogy Of Fallot (TOF) adalah kelainan jantung dengan gangguan sianosis
yang ditandai dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum ventrikel
(VSD), obstruksi aliran keluar ventrikel kanan (stenosis pulmonal), overriding aorta,
dan hipertrofi ventrikel kanan (Wahab, A, Samik, 2003).
Menurut Kirklin, tetralogy of fallot yang murni tidak hanya sederetan kompleks
tersebut diatas tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: VSD (defek sekat
ventrikel) harus besar, paling sedikit harus sebesar lubang aorta, stenosis pulmonal
7
derajat tinggi, sedemikian sehingga tekanan pada ventrikel kanan sama atau lebih
besar daripada tekanan pada ventrikel kiri. Dengan demikian jelas akan shunt dari
kanan ke kiri.
Manifestasi Klinik
Bayi baru lahir dengan TOF menampakan gejala yang nyata yaitu adanya
sianosis, letargi dan lemah. Selain itu juga tampak tanda-tanda dyspnea yang
kemudian disertai jari-jari clubbing, bayi berukuran kecil dan berat badan kurang.
Bersamaan dengan pertambahan usia, bayi diobservasi secara teratur, serta
diusahakan untuk mencegah terjadinya dyspnea. Bayi mudah mengalami infeksi
saluran pernafasan atas. Diagnosa berdasarkan pada gejala-gejala klinis, murmur
jantung, EKG foto rongent dan kateterisasi jantung.
Sebenarnya, secara hemodinamik yang memegang peranan adalah adanya VSD
dan stenosis pulmonal. Dan dari kedua kelainan ini yang terpenting adalah obstruksi
atau stenosis pulmonal. Misalnya, VSD sedang kombinasi dengan stenosis pulmonal
ringan, tekanan pada ventrikel kanan masih lebih rendah daripada tekanan ventrikel
kiri. Tentu saja shunt akan berjalan dari kiri ke kanan. Bila anak dan jantung semakin
besar (karena pertumbuhan), defek pada sekat ventrikel relatif lebih kecil, tetapi
derajat stenosis menjadi lebih berat, arah shunt dapat berubah. Pada suatu saat dapat
terjadi tekanan ventrikel kanan sama dengan ventrikel kiri, meskipun defek pada
sekat ventrikel besar, shunt tidak ada. Tetapi bila keseimbangan ini terganggu,
misalnya karena melakukan pekerjaan. Isi sekuncup bertambah, tetapi obstruksi pada
ventrikel kanan tetap, tekanan pada ventrikel kanan lebih tinggi daripada tekanan
ventrikel kiri, shunt menjadi dari kanan ke kiri dan terjadi sianosis. Jadi, sebenarnya
gejala klinis sangat bergantung pada derajat stenosis, juga pada besarnya defek sekat.
Kadang-kadang darah dari atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui
foramen ovale yang terbuka karena tekanan pada atrium kanan menjadi lebih besar
daripada tekanan pada atrium kiri.
4. PJB Sianostik dengan Vaskularisasi Paru Bertambah
a. Transposisi Arteri Besar (TAB) / Transpotition Great Artery (TGA)
8
Apabila pembuluh darah besar mengalami transposisi aorta, arteri aorta dan
pulmonal secara anatomis akan terpengaruh. Anak tidak akan hidup kecuali ada
suatu duktus ariosus menetap atau kelainan septum ventrikular atau atrium, yang
menyebabkan bercampurnya darah arteri-vena. Pada TGA terjadi perubahan
tempat keluarnya posisi aorta dan a.pulmonalis yakni aorta keluar dari ventrikel
kanan dan terletak di sebelah anterior a.pulmonalis, sedangkan a.pulmonalis
keluar dari ventrikel kiri terletak posterior terhadap aorta. Akibatnya aorta
menerima darah v. Sistemik dari vena cava, atrium kanan, ventrikel kanan dan
darah diteruskan ke sirkulasi sistemik. Sedang darah dari vena pulmonalis
dialirkan ke atrium kiri, ventrikel kiri dan diteruskan ke a. Pulmonalis dan
seterusnya ke paru. Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan paru
tersebut terpisah dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada komunikasi
antara 2 sirkulasi ini. Pada neonatus percampuran darah terjadi melalui duktus
arteriosus dan foramen ovale keatrium kanan. Pada umumnya percampuran
melalui duktus dan foramen ovale ini tidak adekuat, dan bila duktus arteriosus
menutup maka tidak terdapat percampuran lagi di tempat tersebut, keadaan ini
sangat mengancam jiwa penderita.
Manifestasi Klinik
Transportasi pembuluh-pembuluh darah ini bergantung pada adanya kelainan atau
stenosis. Stenosis kurang tampak apabila kelainan merupakan PDA atau ASD
atau VSD, tetapi kegagalan jantung akan terjadi.
Penatalaksanaan
Pembedahan paliatif dilakukan agar terjadi percampuran darah. Pada saat
prosedur suatu kateter balon dimasukkan ketika katerisasi jantung untuk
memperbesar kelainan septum intra arterial. Pada cara blalock Halen dibuat suatu
kelainan septum atrium. Pada Edward vena pulmonal kanan. Cara Mustard
digunakan untuk koreksi yang permanen septum dihilangkan dibuatkan
sambungan sehingga darah yang teroksigenasi dari vena pulmonalis kembali ke
ventrikel kanan untuk sirkulasi tubuh dan darah tidak teroksigenasi kembali dari
vena cava ke arteri pulmonal untuk keperluan sirkulasi paru-paru. Kemudian
9
akibat kelainan ini telah berkurang secara nyata dengan adanya koreksi dan
paliatif.
10
2.3 Patofisiologi Penyakit Jantung Bawaan
Dalam keadaan normal darah akan mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi
ke daerah bertekanan rendah. Daerah bertekanan tinggi ialah jantung kiri dan sedangkan
yang bertekanan rendah adalah jantung kanan. Sistem sirkulasi paru memiliki tahanan
yang rendah sedangkan sistem sirkulasi sistemik memiliki tahanan tinggi. Apabila terjadi
hubugan antara rongga-rongga jantung yang bertekanan tinggi dengan rongga-rongga
jantung yang bertekanan rendah maka akan terjadi aliran darah dari rongga jantung yang
bertekanan tinggi ke rongga jantung yang bertekanan rendah.
Sebagai contoh adanya defek pada sekat ventrikel, maka akan terjadi aliran darah
dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Kejadian ini disebut pirau (shunt) kiri ke kanan.
Sebaliknya pada obstruksi arteri pulmonalis dan defek septum ventrikel tekanan rongga
jantung bagian kanan akan lebih tinggi dibanding rongga jantung bagian kiri sehingga
darah dari ventrikel kanan yang miskin oksigen mengalir melalui defek tersebut ke
ventrikel kiri yang kaya oksigen, keadaan ini disebut pirau (shunt) kanan ke kiri, yang
dapat berakibat pada kurangnya kadar oksigen pada sirkulasi sistemik.
Kadar oksigen yang terlalu rendah akan menyebabkan sianosis. Kelainan jantung
bawaan pada umumnya dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
11
Pathway Penyakit Jantung Bawaan
12
13
2.4 Manifestasi Klinik Penyakit Jantung Bawaan
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang
menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak.
14
e. Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi
bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Namun
tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisik, tidak menyingkirkan
adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.
Gejala-gejala dan tanda-tanda dari PJB dihubungkan dengan tipe dan keparahan
dari kerusakan jantung. Beberapa anak tidak memiliki gejala atau tanda-tanda, dimana
yang lainnya mengembangkan sesak napas, cyanosis (warna kulit yang biru disebabkan
kurangnya kadar oksigen dalam darah), nyeri dada, syncope, kurang gizi, atau kurang
pertumbuhannya.
Kerusakan atrial septal (sebuah lubang di dinding antara atrium kanan dan kiri),
misalnya dapat menyebabkan sedikit atau sama sekali tidak ada gejala. Kerusakan dapat
berlangsung tanpa terdeteksi selama puluhan taun.
Aortic Stenosis (halangan aliran darah pada klep aortic karena katup yang
abnormal) juga umumnya tidak menyebabkan gejala-gejala terutama ketika stenosis
(penyempitan) ringan. Pada kasus aortic stenosis berat yang mana kasus ini jarang terjadi,
gejala-gejala dapat terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Gejala-gejala dapat termasuk
pingsan, pusing, nyeri dada, sesak napas dan keletihan yang luar biasa.
15
adalah umum pada bayi dan anak-anak dengan TOF. Cyanosis dapat timbul segera
setelah kelahiran dengan episode mendadak dari cyanosis parah dengan pernapasan yang
cepat bahkan mungkin menjadi pingsan. Selama latihan anak-anak yang lebih dewasa
dengan TOF bisa tiba-tiba sesak napas atau pingsan.
Coarctation dari aorta adalah bagian yang menyempit dari arteri besar ini.
Umumnya tidak ada gejala saat kelahiran, tapi dapat berkembang lebih awal, misalnya
minggu pertama setelah kelahiran. Seorang bayi dapat mengalami gagal jantung
kongestive atau hipertensi.
16
tanda disamping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-obatan
tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi.
Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang
sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Perburukan
keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan progresivitas
penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya
duktus. Keadaan ini termasuk ke dalam golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap
terbukanya duktus ini diperlukan untuk (1) percampuran darah pulmonal dan sistemik,
misalnya pada transposisi arteri besar dengan septum ventrikel utuh, (2) penyediaan
darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis pulmonal berat,
atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, (3) penyediaan darah untuk aliran sistemik,
misalnya pada stenosis aorta berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan
sindrom hipoplasia jantung kiri. Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini
hanya bersifat sementara dan merupakan upaya untuk‘menstabilkan keadaan pasien,
menunggu tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap
kelainan struktural jantung yang mendasarinya.
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus
dilakukan adalah (1) mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien
ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan oksigen, (2)
kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus dipertahankan
di atas 15 g/dl, (3) memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa, (4)
memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran darah
ke paru, (5) pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan
dosis permulaan 0,1 µg/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat
diturunkan menjadi 0,05µg/kg/menit. Obat ini akan bekerja dalam waktu 10-30 menit
sejak pemberian dan efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO2 15-20 mmHg dan
perbaikan pH. Pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga sianosis akan
berkurang. Pada PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka akan menjamin sirkulasi sistemik lebih baik. Pada transposisi
17
arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi yang bergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka akan memperbaiki percampuran darah.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan
yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan memakai
sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi
endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1
µg/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus
tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan
dengan dosis dan cara yang sama dengan tata laksana gagal jantung.
Pada pasien PJB dengan gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah
memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan
bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus dipandang sebagai
terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung
meliputi (1) penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian
oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan
gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu dilakukan
ventilasi mekanis (2) pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan.
Obatobat yang digunakan pada gagal jantung antara lain (a) obat inotropik seperti
digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk
neonatus misalnya, dipakai dosis 30 µg/kg. Dosis pertama diberikan setengah dosis
digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempat dosis sedangkan
dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan
setelah 8-12 jam pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi.
Obat inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 µg/kg/menit diberikan bila terdapat
bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 mg/kg/menit
atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 mg/kg/menit.
Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika
ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi
digitalis. (b) vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. Terakhir (c) diuretik, yang sering digunakan adalah
furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/hari per oral atau intravena.
18
b. Kardiologi Intervensi
Salah satu prosedur pilihan yang sangat diharapkan di bidang kardiologi
anak adalah kardiologi intervensi nonbedah melalui kateterisasi pada pasien
penyakit jantung bawaan. Tindakan ini selain tidak traumatis dan tidak
menimbulkan jaringan parut, juga diharapkan biayanya lebih murah. Meskipun
kardiologi
intervensi telah dikembangkan sejak tahun 1950, namun hingga pertengahan
tahun 1980 belum semua jenis intervensi trans-kateter dapat dikerjakan pada
anak, termasuk balloon atrial septostomy.
Di Indonesia kardiologi intervensi pada anak dimulai pada tahun 1989,
diawali dengan kemajuan di bidang balloon mitral valvotomy yang dilakukan di
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada kasus stenosis katup mitral.
Kemudian disusul prosedur balloon atrial septostomy pada tahun 1989. Pada
tahun yang sama balloon pulmonal valvotomy mulai dikerjakan. Selanjutnya
prosedur intervensi yang dilakukan adalah oklusi duktus arteriosus persisten
dengan coil Gianturco yang baru dimulai tahun terakhir. Di Indonesia sejauh ini
baru 3 pusat pelayanan kardiologi anak yang melakukan intervensi kardiologi,
yaitu RS Jantung Harapan Kita dan RSUP Cipto Mangunkusumo di Jakarta dan
RSUP Dr. Soetomo Surabaya. Berbagai jenis kardiologi intervensi antara lain
adalah:
Balloon atrial septostomy (BAS) adalah prosedur rutin yang dilakukan pada
pasien yang memerlukan percampuran darah lebih baik, misalnya TAB
(transposisi arteri besar) dengan septum ventrikel yang utuh. Prosedur ini
dilakukan dengan membuat lubang di septum interatrium, dan biasanya
dilakukan di ruang rawat intensif dengan bimbingan ekokardiografi. Di
RSJHK telah dilakukan 64 prosedur BAS dan umumnya prosedur ini berhasil
menciptakan lubang di septum interatrium dan memperbaiki kondisi pasien.
Namun sebanyak 3 pasien mengalami kegagalan karena sulitnya kateter balon
memasuki foramen ovale paten pada pasien dengan septum atrium yang
melengkung atau atrium kiri yang kecil. Satu pasien meninggal karena
perforasi di daerah vena pulmonalis.
19
Balloon pulmonal valvuloplasty (BPV) kini merupakan prosedur standar
untuk melebarkan katup pulmonal yang menyempit, dan ternyata hasilnya
cukup baik, dan biayanya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan
operasi. Di RSJHK, prosedur ini sejak tahun 1985 telah dilakukan pada 48
kasus stenosis katup pulmonal yang seringkali disertai stenosis infundibulum.
Umumnya pasca BVP kondisi fisik pasien bertambah baik. Penyulit terjadi
pada 1 kasus karena muskulus papilaris katup trikuspid putus saat tindakan
dikerjakan sehingga memerlukan pembedahan emergensi.
Balloon mitral valvotomy (BMV) umumnya dikerjakan pada kasus stenosis
katup mitral akibat demam reumatik.
Balloon aortic valvuloplasty (BAV) belum dilakukan rutin dan kasusnya juga
jarang dijumpai. Prosedur ini baru dikerjakan pada 2 kasus.
Penyumbatan duktus arteriosus menggunakan coil Gianturco juga dikerjakan
pada beberapa kasus, namun belum dianggap rutin karena harga coil dan
peralatan untuk memasukkan coil tersebut cukup mahal. Tindakan ini telah
dilakukan pada 12 kasus dengan duktus arteriosus persisten, kesemuanya
memakai coil Gianturco. Penyulit hemolisis terjadi pada 3 kasus.
Di Subbagian Kardiologi FKUI/RSCM tindakan intervensi kardiologi yang
pernah dilakukan adalah dilatasi balon dan pemasangan stent pada arteri
renalis pada pasien arteritis Takayasu. Pasca tindakan kondisi pasien baik dan
tekanan darah turun. Tindakan lainnya seperti penutupan DSA (defek septum
atrium), DSV (defek septum ventrikel), fistula koroner, MAPCA (major
aortico-pulmonary collateral arteries) belum pernah dilakukan.
Di Institut Jantung Negara Kuala Lumpur Malaysia, penutupan duktus
arteriosus persisten dilakukan dengan menggunakan umbrella, coil dan ADO
(amplatzer ductal occluder); sedangkan untuk defek septum atrium ditutup
dengan menggunakan ASO (amplatzer septal occluder).14 Di Royal
Children,s Hospital Melbourne, Australia telah dilakukan penutupan defek
septum ventrikel tipe muskular yang sulit dioperasi dengan amplatzer device.
2. Penatalaksanaan Bedah
20
Kemajuan dalam bidang perinatologi memungkinkan bayi dengan keadaan umum
yang buruk dapat bertahan hidup. Sementara itu perkembangan teknologi diagnostik
telah mampu mendeteksi kelainan jantung secara dini pada bayi baru lahir, bahkan
sejak dalam kandungan dengan ekokardiografi janin. Di dalam bidang bedah jantung,
kemampuan untuk melakukan operasi ditunjang oleh (1) teknologi pintas jantung-
paru yang sudah semakin aman untuk bayi dengan berat badan yang rendah, (2)
tersedianya instrumen yang diperlukan, (3) perbaikan kemampuan unit perawatan
intensif pasca bedah, dan (4) pengalaman tim dalam mengerjakan kasus yang rumit.
Pada prinsipnya penanganan penyakit jantung bawaan harus dilakukan sedini
mungkin. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan mencegah terjadinya
distorsi pertumbuhan jantung, juga mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Operasi
paliatif saat ini masih banyak dilakukan dengan tujuan memperbaiki keadaan umum,
sambil menunggu saat operasi korektif dapat dilakukan. Namun tindakan paliatif ini
seringkali menimbulkan distorsi pertumbuhan jantung, disamping pasien menghadapi
risiko operasi dua kali dengan biaya yang lebih besar pula. Oleh karena itu terus
dilakukan upaya serta penelitian agar operasi jantung dapat dilakukan pada neonatus
dengan lebih aman. Kecenderungan di masa mendatang adalah koreksi definitif
dilakukan pada neonatus.
Bentuk operasi paliatif yang sering dikerjakan pada penyakit jantung bawaan
antara lain (1) Banding arteri pulmonalis. Prosedur ini dilakukan dengan memasang
jerat pita dakron untuk memperkecil diameter arteri pulmonalis. Banding arteri
pulmonalis dilakukan pada kasus dengan aliran pulmonal yang berlebihan akibat
pirau dari kiri ke kanan di dalam jantung seperti pada defek septum ventrikel besar,
ventrikel kanan jalan keluar ganda tanpa stenosis pulmonal, defek septum
atrioventrikular, transposisi arteri besar, dan lain-lain. (2) Pirau antara sirkulasi
sistemik dengan pulmonal. Prosedur ini dilakukan pada kelainan dengan aliran darah
paru yang sangat berkurang sehingga saturasi oksigen rendah, anak menjadi biru dan
sering disertai asidosis. Jenis-jenis operasi pirau antara lain: (a) Blalock-Taussig
klasik, yaitu membebaskan arteri subklavia dan menyambungkannya ke arteri
pulmonalis kiri atau kanan, (b) Modifikasi Blalock-Taussig, memasang pipa Gore-
Tex antara arteri subklavia dengan arteri pulmonalis kanan atau kiri, (c) Pirau sentral,
21
membuat hubungan antara aorta dengan arteri pulmonalis (Waterson, Potts, dengan
Gore-Tex) dan (d) Pirau antara vena kava superior dengan arteri pulmonalis (Glenn
shunt atau bidirectional cavo-pulmonary shunt). (3) Septostomi atrium. Prosedur ini
dilakukan pada bayi sampai usia 3 bulan, yakni dengan kateter balon melalui vena
femoralis. Tindakan ini dapat dilakukan di ruang perawatan intensif dengan
bimbingan ekokardiografi, atau dapat juga dikerjakan di ruangan kateterisasi jantung.
Pada anak yang lebih besar, tindakan ini dilakukan menurut metode Blalock-Hanlon.
Septostomi atrium dilakukan pada transposisi arteri besar untuk menambah
percampuran darah, pada anomali parsial drainase v. pulmonalis untuk mengurangi
bendungan v. pulmonalis, dan pada atresia trikuspid untuk mengurangi bendungan
vena sistemik.
Kemajuan yang pesat dalam pembedahan memungkinkan dilakukannya tindakan
korektif pada penyakit jantung bawaan. Tindakan pembedahan korektif ini terutama
dilakukan setelah ditemukan rancang-bangun oksigenator yang aman, khususnya
pada bayi kecil. Metode yang banyak dipakai adalah “henti sirkulasi”, sehingga
lapangan operasi menjadi bersih dari genangan darah dan tidak terganggu oleh kanula
vena. Ada beberapa kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan korektif
pada usia neonatus misalnya anomali total drainase vena pulmonalis dengan
obstruksi, transposisi tanpa defek septum ventrikel, trunkus arteriosus dengan gagal
jantung. Sebagian lagi pembedahan dapat ditunda sampai usia lebih besar, atau
memerlukan operasi paliatif untuk menunggu saat yang tepat untuk koreksi.
2.7 Komplikasi PJB (CHD)
1. Sindrom Eisenmenger. Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik yang
menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan pembuluh
kapiler di paru akan bereaksi dengan meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di
arteri pulmonal dan di ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan
melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga
anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.
2. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat serangan anak
menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak bahkan dapat timbul kejang.
Kalau tidak cepat ditanggulangi dapat menimbulkan kematian.
22
3. Abses otak. Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya abses otak terjadi
pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini diakibatkan adanya hipoksia dan
melambatnya aliran darah di otak. Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat
defisit neurologis.
2.8 Deteksi Dini PJB (CHD)
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang sering dijumpai, sekitar
10% dari seluruh kelinan bawaan dan PJB sering mnejadi penyebab kematian pada masa
neonatus. Perkembangan diagnosik, tata laksana medikamentosa dan teknik intervensi
non bedah maupun bedah jantung dalam 40 tahun terakhir memberikan harapan hidup
sangat besar pada neonatus dengan PJB yang kritis. Bahkan dengan perkembangan
perkembangan ekokardiografi fetal, telah dapat dideteksi defek anatomi jantung,
disritmia, serta disfungsi miokard pada masa janin.
Bila menghadapi seorang anak yang dicurigai menderita penyakit jantung bawaan,
yang perlu dilakukan adalah:
23
Walaupun cara diagnosis canggih dan akurat telah berkembang dengan pesat, namun
hal ini tidak bisa dilakukan oleh semua dokter terutama di daerah dengan sarana
diagnostic yang belum memadai. Hal ini tidak menjadi alasan untuk dokter tidak mampu
membuat diagnosis dini dan sekaligus terapi awal, yang dilanjutkan dengan terapi
definitive yaitu terapi bedah korektif di pusat pelayanan jantung. Oleh karena itu, perlu
dipahami perubahan-perubahan sirkulasi fetal ke neonatal dan bebagai penyimpangannya
dalam periode minimal1 bulan pertama. Keberhasilan deteksi dini merupakan awal
keberhasilan tatalaksana lanjutan PJB kritis pada neonatus.
Gejala cyanosis sentral pada penyait jantung bawaan biru (Cardiac Cyanosis) sering
belum terdeteksi pada masa neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa gejala juga
yang memberikan gejala yang hampir sama:
24
masih terjadi secara anatomis tetapi secara fungsionis masih terbuka. Pada saat seperti ini
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri memang sangat diperlukan.
Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100% dengan kecepatan 1 liter/menit selama 10
menit, bila saturasi oksigen >98% bukan PJB sianosis, bila satuurasi oksigen>90%
kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi apabila saturasi oksigen tetap<90% hampir
dipastikan suatu PJB sianosis.
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala
takipnea ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai
pernafasan cuping hidung, retraksi tulang iga maupun suara pernafasan grunting.
Hipoksemia akan berjalan progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan
duktus yang sudah persisten yaitu secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis
sentral semakin nyata dan tampak mentap yaitu saat tidur maupun aktifitas.
Gejala penurunan fungsi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer karena
tidak terbentuknya struktur jantung bagian kiri, obstruksi ditingkat aorta atau disfungsi
miokard akibat sepsis, hipoglikemi, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan
polisitemia. Dalam beberapa jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang masih
terbuka akan meniadakan gejala (masking effect) penurunan fungsi perifer, hal ini
mengakibatkan fungsi perifer yang ditandai dengan tidak mau minum, pucat dan
berkeringat.
Gejala takipnea yaitu frekuensi pernapasan yang sangat cepat yang tidak selalu
berhubungan dengan kesulitan bernapas, adalah tanda penting PJB yang sering dilupakan.
Pengamatan frekuensi pernapasan harusnya merupakan salah satu bagian penting dari
pemeriksaan neonatus. Neonatus normal bernafas lebih ceoat daripada bayi, namun tidak
lebih dari 60 kali permenit dalam waktu yang lama. Frekuensi pernapasan 45x/menit
pada bayi fullterm dan 60x/menit pada bayi premature setelah beberapa jam kelahiran
diduga ada beberapa kelainan oleh beberapa hal termasuk hal sederhana seperti
“overheating” frekuensi biasanya abnormal dan biasanya memerlukan pemeriksaan.
Pada neonatus dengan PJB sianotik (terdapat pirau dari kiri ke kanan) baru terjadi
beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi penurunan tahanan pembuluh
darah paru dan penurunan hemoglobin kea rah normal. Oleh karena itiu, takipnea yang
timbul segera setelah lahir tanpa disertai sianosis sentral dan penurunan perfusi perifer
25
menunjukan suatu kelainan paru, bukan PJB. Takipne adalah tanda yang biasa ditemukan
pada bayi dengan shunt-kiri-kanan missal (Ventricular Seftal Deffect atau Patent Duktus
Arterius), obstruksi vena pulmonalis (anomali total aliran vena pulmonalis) dan kelianan
lainya akibat gagal jantung misalnya pada dugaan diagnosa klinik, adanya aorta koarktasi
dimana pulsasi nadi femoralis melemah/tidak teraba.
26
BAB III PROSES KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN PJB
(CHD)
I. Pengkajian
1. Biodata
Meliputi identitas klien dan penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien , suku, alamat.
2. Keluhan Utama
Klien atau keluarga klien biasanya mengeluh klien mengalami serangan sianotik
mendadak ditandai dengan dyspnea, napas cepat dan dalam, lemas, kejang, sinkop
bahkan sampai koma.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien tampak biru (sianosis) setelah tumbuh, sianosis ini menyeluruh atau pada
mukosa bibir, lidah, konjungtiva. Sianosis juga timbul saat menangis, makan, dan
pada saat klien tegang. Dyspnea biasanya menyertai saat klien makan, menangis,
atau pada saat tegang/stress. Klien akan sering squatting (jongkok) pada saat anak
bisa berjalan, setelah beberapa lama anak akan berjongok dalam waktu yang lama
sebelum ia berjalan kembali. Pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan
usia. Digital clubbing.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Dari lahir telah ditemukan adanya kelainan penyakit jantung. Kaji riwayat
penyakit infeksi pada ibu selama trimester pertama, riwayat prenatal pada ibu
seperti penyakit DM dengan ketergantungan pada insulin, kepatuhan ibu pada
menjaga kehamilan dengan baik termasuk menjaga gizi ibu, tidak mengkonsumsi
obat-obatan dan merokok, dan proses kelahiran alami atau adanya factor-faktor
yang memperlama proses kelahiran serta penggunaan alat.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti SLE, DM, Hipertensi, penyakit
jantung kongenital pada keluarga baik dengan abnormalitas kromosom seperti
syndrome down maupun tidak, atau kelainan bawaan. Riwayat selama antenatal
(kehamilan) ibu, seperti sebelumnya menggunakan KB oral atau suntik, minum
27
obat-obatan tanpa resep dokter, konsumsi jamu tradisional, serta kebiasaan
meminum alkohol dan merokok selama hamil. Adanya kemungkinan menderita
penyakit infeksi seperti rubella (campak jerman) pada ibu.
6. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual (Virginia Handerson)
a. Pola respirasi
Kaji adanya dyspnea, napas cepat dan dalam, klien sering berjongkok
dalam beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali.
b. Pola nutrisi
Kaji adanya anoreksia, gangguan pada pertambahan tinggi badan pada
klien dikarenakan pemenuhan gizi kurang dari kebutuhan normal, bb
menurun, pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia.
c. Pola eliminasi
Kaji adanya perubahan dalam urin dan pola defekasi.
d. Pola aktivitas
Kaji adanya kelelahan dan dyspnea karena dalam hal ini biasanya ini
sering terjadi pada saat klien melakukan aktivitas fisikc
e. Kebutuhan istirahat dan tidur
Kaji adanya gangguan istirahat tidur seperti keluhan insomnia, hal ini
dikarenakan adanya dyspnea paroxysmal.
f. Kebutuhan aman dan nyaman
Kaji adanya keluhan nyeri dada.
g. Kebutuhan personal hygene
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan personal hygene
berhubungan dengan kelemahan yang ada.
h. Mempertahankan temperature tubuh
Kaji pengetahuan klien dan keluarga dalam menjaga temperature tubuh
dan dalam memgatasi demam yang mungkin terjadi.
i. Pola komunikasi dan sosial
Kaji kemampuan klien dalam bersosialisasi dan kaji perubahan yang
terjadi akibat perasaan rendah diri akibat diasingkan oleh lingkungan
sekitar.
28
j. Kebutuhan bekerja
Kaji perubahan yang dialami oleh klien dalam bekerja dan beraktivitas
akibat kelemahan dan dyspnea.
k. Kebutuhan bermain/rekreasi
Kaji adanya perubahan dalam kegiatan bermain/berekreasi dan cara
keluarga dalam menciptakan lingkungan yang nyaman.
l. Kebutuhan berpakaian
Kaji adanya perubahan dari cara berpakaian klien dari klien berpakaian
untuk menutupi sianosis dan dyspnea yang dihadapi.
m. Kebutuhan belajar
Kaji pengetahuan klien dan keluarga mengenai penyakit yang klien
hadapi.
n. Kebutuhan spiritual
Kaji adanya perubahan dalam beribadah dan bagaimana klien pandangan
klien terhadap penyakitnya dan bagaimana klien menghadapinya.
7. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
a. Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemui sianosis, bayi
tampak biru setelah tumbuh. Sianosis ini muncul menyeluruh, mukosa
bibir, atau konjungtiva dan lidah.
b. Clubbing finger timbul setelah 6 bulan
c. Serangan sianotik mendadak (blue spells/cyanotic spells/paroxysmal
hyperpnea/hypoxic spells) ditandai dengan dyspnea, napas cepat dan
dalam, lemas, kejang, sinkop, bahkan sampai koma dan meninggal
dunia.
d. Anak akan sering squatting (jongkok) setelah anak dapat berjalan,
setelah beberapa lama anak akan berjongkok beberapa waktu sebelum
ia berjalan kembali.
e. Bentuk dada bayi masih normal, namun pada anak yang besar akan
sedikit lebih menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan.
f. Gingiva hypertrofi, gig sianotik.
29
g. Pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat lebih kendur dan
lunak.
2) Palpasi
Pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak,
hipertrofi otot.
3) Perkusi
Jantung biasanya terlihat dalam ukuran normal, apeks jantung terlihat
lebih jelas, suatu getaran sistolis dapat dirasakan disepanjang tepi kiri
tulang dada, pada celah parasternal 3
4) Auskultasi
a. Pada auskultasi terdengar bunyi sistolik di daerah pulmonal yang
semakin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi.
b. Bunyi jantung I lunak, namun pada bunyi II tunggal dan keras.
30
II. Analisa data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 DO:
- Kulit pucat Darah masuk ke ventrikel Penurunan curah jantung
(perubahan warna kiri
kulit)
- Aritmia Ventrikel kiri kelelahan
- Perubahan EKG (fungsi pompa)
- Penurunan nadi
perifer Penurunan curah jantung
- Gelisah
- Perubahan denyut
jantung
- Peningkatan RR
DS: -
2 DO:
- Perubahan status Distribusi darah Gangguan perfusi
mental jaringan serebral
- Perubahan reaksi Distribusi O2 dan nutrisi
pupil
- Perubahan motorik Perfusi ke sel
- Kelemahan
ekstremitas Terjadi di otak
- Ketidaknormalan
dalam berbicara Gangguan perfusi
DS: - jaringan serebral
31
- CRT memanjang
- Akral mendingin Perfusi ke sel
DS: -
Gangguan perfusi
jaringan perifer
32
napas abnormal
- Diaphoresis Gangguan pada jaringan
- Hiperkapnea paru
- Hipoksia
- PCH Gangguan pertukaran gas
- Somnolen
- Takikardia
DS: -
33
- Ht meningkat
- Kelemahan
DS: -
34
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
35
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhuubungan dengan
penurunan nafsu makan akibat sesak napas.
9. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan kesulitan minum akibat sesak
napas.
10. Resiko infeksi berhubungan dengan pembendungan darah dalam jantung.
11. Gangguan body image berhubungan dengan adanya clubbing finger akibat
sianosis yang kronik.
36
IV. Rencana Keperawatan
No DX Keperawatan Tujuan/KH Rasional Intervensi
1. Penurunan curah Setelah diberikan asuhan 1. Monitor TTV, 1. Abnormalitas TTV, pulsasi
jantung bd keperawatan ...x/24jam observasi kekuatan nadi dan jantung
kegagalan fungsi pasien dapat mentoleransi denyut jantung, menunjukan
jantung. gejala-gejala akibat nadi perifer, ketidakadekuatan curah
penurunan curah jantung. warna, dan jantung.
Kriteria hasil: kehangatan kulit. 2. Istirahat dapat mengurangi
1. TTV dalam ambang 2. Informasikan dan beban kerja jantung.
normal anjurkan tentang 3. Oksigen tambahan dapat
2. Pasien dapat pentingnya membantu pemenuhan
beristirahat dengan istirahat yang saturasi oksigen tanpa harus
tenang. adekuat. memerlukan energy yang
3. Saturasi oksigen 3. Berikan oksigen berlebih.
normal dengan nasal 4. Sianosis menunjukan tanda
4. Tidak menunjukan kanul/masker ketidakadekuatan perfusi
tanda-tanda sianosis sesuai indikasi. akibat penurunan curah
5. GCS normal. 4. Identifikasi derajat jantung.
sianosis (sircum 5. Penurunan kesadaran dapat
oral, membrane diakibatkan karena
mucosa, clubbing) ketidakadekuatan curah
5. Kaji perubahan jantung.
pada sensori, 6. Digitalis dapat memperkuat
missal letargi, kerja jantung sehingga
bingung kebutuhan dapat terpenuhi.
disorientasi cemas.
6. Secara kolaborasi
berikan tindakan
farmakologis
berupa digitalis ,
digoxin.
2. Gangguan perfusi Tujuan: 1. Pantau/catat status 1. Mengkaji tingkat kesadaran
37
jaringan serebral bd Setelah dilakukan neurologis secara dan mengidentifikasi potensial
penurunan fungsi tindakan keperawatan teratur dan TIK dan menentukan lokasi
pompa. diharapkan dapat bandingkan perluasan untuk mengetahui
mempertahankan tingkat dengan nilai penyebaran SSP.
kesadaran, kognisi, dan standar GCS. 2. Reaksi pupil diatur oleh syaraf
fungsi motoric/sensorik. 2. Evaluasi keadaan okumolator (III) berguna
Kriteria hasil: pupil, ukuran, untuk menentukan apakah
1. TTV stabil kesamaan antara batang otak masih berguna
2. Tidak ada tanda kiri dan dengan baik.
peningktan TIK kanan,respon Ukuran/kesamaan ditentukan
3. Tingkat kesadaran terhadap cahaya. oleh syaraf simpatis dan
membaik 3. Pantau TTV parasimpatis. Reaksi terhadap
4. Saturasi oksigen 4. Bantu pasien cahaya menentukan fungsi
normal. untuk menghindari yang terkombinasi antara
batuk, muntah, syaraf optikus (II) dan
mengejan. okumulator (III) .
5. Tinggikankepala 3. Peningkatan TD sistemik
pasien 15-45 yang diikuti oleh peningkatan
derajat. TD diastolic (nadi yang
6. Berikan oksigen membesar) menunjukan
tambahan sesuai terjadinya TIK, jika diikuti
dengan indikasi. oleh penurunan kesadaran.
4. Aktivitas ini akan
meningkatkan kesadaran
tekanan intrathorak dan
intraabdomen yang dapat
meningkatkan TIK.
5. Meningkatkan alliran balik
vena dari kepala sehingga
akan menurunkan kongesti
dan edema atau resiko terjadi
38
peningkatan TIK.
6. Menurunkan hipoksemia,
yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi
dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
39
2. Chest expansion yang ketidaksimetrisan pernapasan dalam memenuhi
normal pengembangan kebutuhan oksigen.
3. Hb dan GDA dalam dada. 3. GDA dan Hb normal
ambang normal. 3. Kaji ulang hasil Hb menunjukan keseimbangan
4. Anak dalam keadaan dan GDA sesuai hemostasis.
tenang. dengan indikasi. 4. Menangis dan aktivitas
4. Minimalkan berlebih menyebabkan
menangis atau oksigen demand semakin
aktivitas pada anak. bertambah.
40
dapat menyebabkan masalah
yang ebih serius seperti
asidosis metabolik.
6. Intoleransi aktivitas 1. Kaji perkembangan
yang bd kurangnya TTV, seperti
energy yang adanya sesak.
dihasilkan dari 2. Bantu pasien dalam
metabolism yang melakukan
berubah. aktivitas yang tak
dapat dilakukanya.
3. Dukung
pemenuhan nutrisi.
7. Gangguan tumbuh Tujuan: 1. Brikan diet dengan 1. Memperbaiki status gizi anak
kembang bd Setelah dilakukan nutrisi yang cukup. 2. Untuk mengetahui/
ketidakcukupan tindakan keperawatan 2. Monitor mengontrol tingkat
nutrisi untuk diharapkan pasien dapat pertumbuhan dan pertumbuhan dan
regenerasi dan mengalami pertumbuhna perkembangan. perkembangan.
perkembangan sel- dan perkembangan sesuai 3. Berikan suplemen 3. Untuk mencegah terjadinya
sel tubuh. dengan kurva besi. anemia.
pertumbuhan atau 4. Berikan kebebasan 4. Untuk menghindari stress dan
perkembangan dan anak untuk membantu anak dalam
mampu melakukan mengekspresikan perkembangannya.
aktivitas yang sesuai aktivitasnya dan
dengan usianya. bantu anak untuk
Kriteria hasil: melakukan tuguas
1. Pertumbuhan dan perkembangan
perkembangan sesuai sesuai dengan
dengan usia anak. usianya.
8. Ketidakseimbangan Tujuan: 1. Anjurkan ibu untuk 1. ASI memberikan nutrisi yang
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan asuhan terus menyusui cukup untuk bayi.
kebutuhan tubuh keperawatan diharapkan walaupun sedikit 2. Nutrisi parenteral membantu
bd penurunan nafsu klien menunjukan tapi sering. pemenuhan nutrisi yang tidak
41
makan akibat pemenuhan kebutuhan 2. Pasang IV infus dapat masuk peroral.
sesak. nutrisi. jika terjadi 3. Makanan sedikit tapi sering
Kriteria hasil: ketidakadekuatan dapat memicu anak untuk
1. Intake nutrisi adekuat. nutrisi. makan lebih banyak.
2. BB dalam ambang 3. Jika anak sudah 4. Pemberian makanan secara
normal sesuai usia. tidak menyusu, intensif dapat memperbaiki
3. Kebutuhan nutrisi berikan makanan status gizi anak.
terpenuhi. sedikit tappi sering
dengan diet sesuai
dengan instruksi.
4. Observasi
pemberian
makanan sesuai
dengan instruksi.
42
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyait Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari awla lahir dan terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada awal fase
perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan
sianotik (biru) yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan
yang berbeda.
Adapun kelainan dari jenis penyakit jantung bawaan sangat bervariasi, ada yang
hanya menyebabkan gangguan ringan pada fungsi jantung tapi ada juga kelainan yang
cukup fatal hingga mengganggu fungsi kerja jantung dalam mendistribusikan darah ke
seluruh tubuh. Pada umumnya kelainan jantung dapat dideteksi sejak lahir, namun tak
jarang gejalanya baru muncul setelah bayi berumur beberapa minggu atau beberapa
bulan.
Gejala umum dari penyakit jantung bawaan adalah adanya sesak napas, bibir kebiru-
biruan. Kelainan yang termasuk dalam penyakit jantung bawaan ada banyak sekali
jenisnya, mencakup pada bilik atau serambi jantung serta gangguan pembuluh darah
jantung. Adapun jenis kelainan pada penyakit jantung bawaan, semuanya mengakibatkan
ketidaklancaran sirkulasi darah, karena jantung sebagai organ vital dalam tubuh memiliki
tugas untuk memompa dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
4.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan
mengenai penyakit jantung bawaan (PJB), sehingga dapat mengenali lebih jauh gejala-
gejala yang ditimbulkan, baik gejala yang dirasakan maupun tidak, serta dapat
memberikan asuhan keperawatan yang sebaik-baiknya.
43
DAFTAR PUSTAKA
A.H Markum. (1991). Buku Ajar Ilmu Kesehatan jilid 1. Jakarta : Fakultas kedokteran UI
Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA, Tynan M. (1987). Fetal circulation and
circulatory changes at birth. In : Anderson RH, Macartney FJ, Shinebourne EA, and Tynan M,
eds. Paediatric Cardiology. Vol.2 Churchill Livingstone, 1987: 109.
Artman M, Mahony L, Teitel DF. (2002). Neonatal Cardiology. The McGraw-Hill Companies
Medical Publishing Division.
Doenges, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 3 EGC.
Jakarta
Madiyono B. (1997). Kardiologi anak masa lampau, kini, dan masa mendatang : Perannya dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskuler. Jakarta : Pidato upacara pengukuhan
sebagai guru besar tetap dalam ilmu kardiologi anak pada Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ontoseno T. (1996). Kelainan Jantung Bawaan Dan Etiologinya Masa Kini. Buletin Toraks
Kardiovaskuler Indonesia.
Saenz RB, Diane KB, Laramie C. Triplett, M.D. (2003). Caring for Infants with Congenital
Heart Disease and Their Families. University of Mississippi Medical Center Jackson, Mississippi
American Academy of Family Physician.
Wilkinson JL. (2002). Initial management and referral for surgical intervention of neonates with
critical congenital heart disease. Indones J Pediatr Cardiol.
Djer, Mulyadi M., Madiyono Bambang (2000). Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari
Pediatri 2 (3): 155-162. DOI: https://dx.doi.org/10.14238/sp2.3.2000.155-62.
44
Hanifah, Rizka. (2010). Deteksi Dini dan Tata Laksana Penyakit Jantung Bawaan. [Internet].
Bersumber dari: http://www.berbagimanfaat.com/2010/05/deteksi-dini-dan-tata-laksana-
pjb.html. (Diakses pada tanggal 04 November 2020, pukul 13.00 WIB).
45