Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak dulu vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni

shwetekusta,suitra, behak, dan beras. Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin,

yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna

putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai

diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua2

Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat

mengenaisemua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo

yang terjadi padaperempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini

dianggap berasal daribanyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena

masalah kosmetik. Penyakit jugadapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan

frekuensi tertinggi (50% dari kasus)pada usia 10 – 30 tahun 3.

Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga

iniadalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secarapoligenikatau secara

autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari30% dari penderita

vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka.

Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar identik 3,4.

Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun, beberapa

faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang :

1. Faktor mekanis

Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah

tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.

1
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A

Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atauUV

A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan.

3. Faktor emosi/psikis

Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat

gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat.

4. Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi

oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'

(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas

yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002).

Kata vitiligo mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti

bercak putih pada lembu (Habif, 2003). Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang

didapatkan dan ditegakkan dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak

adanya melanosit epidermal (Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit

hipomelanosis idiopatik yang didapat dengan adanya gejala klinis berupa

makula putih yang dapat meluas dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang

mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata (Soepardiman, 2011).

2. EPIDEMIOLOGI

Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia

berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan.

Di Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1

dari 200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India,

angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian

besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat

keluarga dan pola pewarisannya konsisten dengan trait poligenik.

3
Umumnya vitiligo muncul setelah kelahiran, dapat berkembang di masa

anak-anak, onset usia rata-ratanya adalah 20 tahun. Sementara ahli berpendapat

vitiligo dijumpai baik pada pria maupun wanita, tidak berbeda signifi kan dalam

hal tipe kulit atau ras tertentu. Pada 25% kasus, dimulai pada usia 14 tahun;

sekitar separuh penderita vitiligo muncul sebelum berusia 20 tahun.

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit autoimun, termasuk

penyakit tiroid autoimun, SLE (systemic lupus erythematosus), dan IBD,

berkelompok pada keluarga penderita vitiligo. Vitiligo merupakan komponen

dari APECED (APS1) dan sindrom-sindrom autoimunitas multipel Schmidt

(APS2). Vitiligo juga terkait erat dengan berbagai penyakit autoimun organ

spesifi k, seperti: penyakit tiroid, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison,

diabetes melitus tipe 1, hipotiroidisme primer, dan anemia pernisiosa, alopecia

areata, dan penyakit Addison. Tiroiditis Hashimoto paling sering dijumpai pada

anak-anak. Uveitis juga sering dijumpai pada penderita vitiligo.

3. ETIOLOGI dan KLASIFIKASI

Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai

faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya

krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011).

Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang

memiliki ciri khas masing-masing, yaitu:

1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:

4
a. Fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak

segmental,

b. Segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi

sesuai dermatom, misalnya pada satu tungkai,

c. Mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.

2. Generalisata Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi

generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya

simetris. Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi:

a. Akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas

dan muka, yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,

b. Vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,

c. Campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir

menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan

patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk

menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama

vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2

dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun,

sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang

merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran

genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan

5
dengan adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)

(Seyedalinahi et al., 2009).

Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni ditandai

dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan jenis

genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang

berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan

regulasi dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan yang paling sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun

berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo.

Beberapa jenis HLA dengan vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4,

DR7, dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah

diketahui. Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat

sering berkaitan dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya

seperti penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia

pernisiosa, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid

artritis, psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan

lain yang berkaitan dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan

ini yang masih diperdebatkan. Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis

autoimun adalah demonstrasi dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo

(Halder dan Taliaferro, 2008).

6
Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di

patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses

imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh

autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik

CD8+ yang reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh

sel T ), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan

vitiligo. Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka

pada kulit yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan

di lapisan melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama

(Halder dan Taliaferro, 2008).

4. GEJALA KLINIS

Vitiligo merupakan bercak putih pucat, berbatas tegas, umumnya

berdiameter 0,5-5 cm, dapat disertai gatal atau panas, namun keluhan terutama

pada problem kosmetik.

Distribusi vitiligo mengikuti tiga pola, yaitu: fokal, segmental, dan

generalisata (nonsegmental). Fokal; vitiligo terbatas pada satu atau dua area

tubuh. Segmental; hilangnya warna hanya pada satu sisi tubuh, bisa juga

mengenai minimal satu segmen atau lebih. Bersifat stabil dan unilateral.

Distribusinya sesuai dengan satu atau lebih dermatoma tubuh yang berdekatan

atau sesuai Blaschko’s lines. Sering dimulai di masa anak-anak. Onset cepat.

Sering terjadi pada wajah. Biasanya tidak disertai penyakit autoimun lainnya.

Pada kasus onset dini, sulit dibedakan dengan nevus depigmentosus.

7
Generalisata (nonsegmental); terbanyak dijumpai, hilangnya pigmen tersebar

dan simetris. Bersifat progresif dan “bergejolak” (fl are-ups). Karakterisasinya

adalah bercak putih biasanya simetris, sering bertambah/ meluas seiring

berjalannya waktu. Umumnya terjadi di tempat yang sensitif terhadap tekanan-

gesekan, dan cenderung mudah trauma, seperti di: jari-jari, persendian (siku,

lutut), aksila, pergelangan tangan, pusat, sekitar mata, hidung, telinga, mulut,

lipat paha, genitalia, dan anus. Dapat dimulai di masa anak, namun biasanya

terjadi kemudian. Kerapkali berhubungan dengan riwayat autoimunitas pada

keluarga atau personal. Sering kambuh lagi di tempat sama (in situ) setelah

autologous grafting. Terkait erat dengan kehilangan fungsi epidermis secara

substansial, dan terkadang juga melanosit folikel rambut. Vitiligo non-

segmental vitiligo disebut juga vitiligo vulgaris/simetris atau tipe acro-facial.

Sebagian literatur menyebutkan tipe klinis vitiligo universal, yaitu: hilangnya

pigmen di seluruh area permukaan tubuh. Presentasi klinis paling umum adalah

lesi depigmentasi di area yang terpapar sinar matahari.

Adapun klasifikasi klinis vitiligo adalah sebagai berikut:

1. Localized, terbagi tiga: fokal (satu makula atau lebih dengan distribusi

sederhana), unilateral (satu makula atau lebih di salah satu bagian tubuh,

dengan distribusi dermatomal; ciri khasnya adalah lesi berhenti

mendadak di garis tengah tubuh), mukosal (keterlibatan mukosa

membran).

2. Generalized, terbagi tiga: vulgaris (bercak putih tersebar atau

berpencar), acrofacialis (bagian putih atau patches terlokalisir atau

8
terbatas pada ekstrimitas distal dan wajah), mixed atau campuran

(bentuk vulgaris dan acrofacialis).

3. Universalis (lesi sepenuhnya atau hampir di seluruh permukaan kulit).

Perubahan warna kulit pertama kali dijumpai di daerah terbuka, seperti

di wajah atau punggung tangan. Lalu pembentukan pigmen berlebih

(hiperpigmentasi) terdapat di: ketiak, lipat paha, sekitar puting-susu, dan

kelamin. Vitiligo juga banyak dijumpai di bagian yang sering terkena

gesekan, seperti: punggung tangan, kaki, siku, lutut, tumit. Pada kasus

tertentu, warna rambut di kulit kepala, bulu-alis mata, atau janggut

memudar menjadi agak putih atau keabu-abuan; warna retina berubah atau

hilang. Vitiligo juga dapat mengenai bagian tubuh yang menonjol dan

terpajan sinar surya, misalnya: di atas jari, di sekitar mata-mulut-hidung,

tulang kering, dan pergelangan tangan. Terkadang juga ditemukan di alat

kelamin, puting susu, bibir, dan gusi.

Pada vitiligo juga dijumpai beragam varian klinis. Vitiligo trichrome

dengan karakteristik makula depigmented dan hypopigmented sebagai

tambahan kulit berpigmen normal. Vitiligo quadrichrome, bercirikan

hiperpigmentasi marginal atau perifollicular. Varian ini lebih sering pada

tipe kulit yang lebih gelap, terutama di area repigmentasi. Vitiligo

pentachrome, dengan makula hiperpigmentasi biru abu-abu, mewakili area

melanin incontinence. Adakalanya penderita vitiligo memiliki varian luar

biasa yang dinamakan tipe confetti, ciri khasnya adalah memiliki beberapa

9
makula hipomelanotik, discrete, dan amat kecil (tiny). Peradangan pada

vitiligo secara klinis ditandai erythema di tepi makula vitiligo.

Meluasnya bercak putih menyebabkan penderita vitiligo kurang percaya

diri, cemas, stres, hingga depresi, ditambah beban psikologis akibat stigma

negatif dari sebagian orang yang meyakini takhayul bahwa vitiligo ini

akibat penderita memiliki pesugihan bulus Jimbung (bulus adalah istilah

Jawa untuk kura-kura, Jimbung adalah nama daerah di Klaten, Jawa

Tengah).

Depigmentasi wajah atau tangan pada penderita vitiligo memiliki

pengaruh (impact) signifi kan terhadap kualitas kehidupan dan kepercayaan

diri.

5. PATOGENESIS

Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun,

diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik

atau secara autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari30%

dari penderita vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara,

atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada

kembar identic.

Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,

beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada

seseorang2:

10
1. Faktor mekanis

Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik,

misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan

kimiawi.

2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A

Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar

matahari atau UVAdan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian

kulit yang terpajan.

3. Faktor emosi / psikis

Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah

mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat.

4. Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan

kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga

patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3

hipotesis utama tentang mekanisme penghancuran melanosit pada vitiligo, yang

masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu:

1. Hipotesisautoimun

Menyatakan bahwa melanosit yang terpilih dihancurkan oleh limfosit

tertentu yang telah diaktifkan. Namun, mekanisme pengaktifan limfosit

tersebut belum diketahui secara pasti. Teori ini juga berdasarkan adanya

temuan klinis terhadap hubungan antara vitiligo terhadap gangguan

11
autoimun. Autoantibodi organ spesifik untuk tiroid, sel parietal lambung,

dan jaringan adrenal lebih sering ditemukan pada serum pasien dengan

vitiligo dibandingkan dengan populasi umum. Antibodi terhadap melanosit

orang normal dapat dideteksi dengan menggunakan tes

immunoprecipitation spesifik yang memiliki pengaruh sitolisis. Didapati

profil sel-T yang abnormal pada pasien vitiligo dengan penurunan sel T-

helper .

2. Hipotesisneurogenik

Didasarkan pada interaksi dari melanosit dan sel saraf. Hipotesis ini

menyatakan bahwa adanya pelepasan mediator kimiawi tertentu yang

berasal dari akhiran saraf yang akan menyebabkan menurunnya produksi

melanin. Namun, studi baru pada penanda neuropeptida dan saraf pada

vitiligo menunjukkan bahwa neuropeptida Y mungkin memiliki peran

dalam proses terjadinya vitiligo.

3. Hipotesisneurogenik

Menyatakan bahwa melanosit dihancurkan oleh zat-zat beracun yang

dibentuk sebagai bagian dari biosintesis melaninyang alami. Penghancuran

ini merupakan mekanisme proteksi alami untuk menyingkirkan prekursor

melanin yang beracun. Hipotesis ini berdasarkan temuan klinis dari vitiligo

dan penelitan eksperimen terhadap depigmentasi kulit oleh senyawa kimia

yang memilik efek mematikan pada fungsi melanosit. Senyawa ini juga dapat

menghasilkan leukoderma yang dibedakan dengan vitiligo idiopatik. Sementara

itu, mekanisme langsung terjadinya makula putih disebabkan penghancuran

12
melanosit yang progresif oleh sel-T sitotoksi, lainnya ditentukan secara

genetis melalui perubahan sitobiologika dan sitokinyang terlibat.

6. FAKTOR RISIKO

Hingga saat ini, penyebab kurangnya melanosit masih belum diketahui

secara pasti, namun beberapa pakar menduga kondisi ini dipicu oleh sejumlah

seperti:

 Penyakit autoimun. Autoimun merupakan suatu kondisi di mana sistem

kekebalan tubuh menyerang dan menghancurkan sel-sel tubuh yang sehat,

salah satunya adalah melanosit di kulit.

 Riwayat keluarga (keturunan).

 Kondisi yang memicu terjadinya vitiligo, seperti terbakar sinar matahari,

stres, atau paparan bahan-bahan kimia.

 Melanin yang menentukan warna kulit dan melindungi kulit dari efek buruk

sinar matahari.

7. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada

anamnesis ditanyakan:

a. awitan penyakit

b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini

c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus,

dan anemia pernisiosa.

13
d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya,

dan pajanan bahan kimiawi.

e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.

2. Pemeriksaan Fisik

Perlu dilakukan pemeriksaan umum, adanya depigmentasi yang

asimptomatik, tanpa gejala inflamasi, ada tidaknya batas inflamasi sekitar

lesi, tempat lesi pertama kali muncul (tangan, lengan, kaki, muka dan bibir),

pola vitiligo (fokal, segmental, universal atau akral/akrofasial).

3. Pemeriksaan Penunjang

 Tes Diagnostik

Dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang menyerupai,

misalnya limfoma kutan sel-T, LED/LES, lepra, pinta, nevus

anemikus, depigmentosus, skleroderma, tinea versikolor dan lain –

lain.

 Tes Laboratorium

Dilakukan untuk mendeteksi penyakit – penyakit sistemik yang

menyertai seperti insufisiensi adrenal, diabetes mellitus. Tes – tes yang

mungkin membantu antara lain biopsi.

 Pemeriksaan Histopatologi

14
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) tampaknya normal

kecuali tidak ditemukan melanosit, kadang – kadang ditemukan

limfosit pada tepi makula.

8. DIAGNOSIS BANDING

 Pityriasis versicolor (sisik halus dengan warna fluoresensi kuning –

kehijauan di bawah lampuWood, KOH positif)

 Morbus hansen tipe PB (daerah endemis, warna tidak terlalu putih,

biasanya terdapat makula anestesi yang tidak berbatas tegas)

9. PENATALAKSANAAN

 Non-Farmakologi dan Edukasi

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita

untuk menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak

tampak, dan diberikan edukasi kepada pasien berupa penjelasan kepada pasien

mengenai penyakit dan perjalanan penyakit. Pengobatan pada viitiligo juga

dijelaskan bahwa prinsipnya adalah hanya menyamarkan lesi yang ada supaya

dari segi kosmetik pasien dapat lebih percaya diri. Edukasi yang tidak kalah

pentingnya adalah mengenai kepatuhan pengobatan dengan memperhatikan

cara penggunaanya.

 Farmakologi

Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen

dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung

ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg

15
berat badan dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun.

Pengobatan dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum

penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pada beberapa

penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason valerat 0.1% atau

klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan pigmen (Soepardiman, 2011).

Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan salep

metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus dilutus. Cairan tersebut

dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu dijemur selama 10 menit.

Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya generalisata, pengobatannya

digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut dimakan 2 kapsul

(20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi lokalisata, hanya

diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada perbaikan

pengobatan dihentikan dan dianggap gagal (Soepardiman, 2011).

MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat dipakai untuk

mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil

dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan

dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang normal (Soepardiman, 2011).

16
Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1 tahun.

Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah yang

terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus

17
dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011). Cara lain ialah tindakan

pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis,

maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung jari, bibir, siku, dan lutut

umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk (Soepardiman, 2011).

10. KOMPLIKASI

Apabila tidak ditangani, vitiligo akan terus berkembang dan terkadang

mengakibatkan beberapa komplikasi, di antaranya meliputi:

 Stres sosial atau psikologis

 Kulit terbakar matahari atau bahkan kanker kulit

 Masalah pada mata, seperti peradangan pada iris (iritis).

 Gangguan pendengaran

 Efek samping pengobatan, misalnya kulit kering atau gatal.

11. PROGNOSIS

Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi

prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan

kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.

18
BAB III

KESIMPULAN

Vitiligo merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya secara

pasti. Namun, beberapa faktor diduga bisa menjadi pencetus untuk penyakit ini.

Begitu juga, telah banyak hipotesis yang diungkapkan oleh para peneliti untuk

menyingkap misteri dibalik perjalanan penyakit ini.

Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas penyakit ini.

Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal sampai

universal. Daerah tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang

(misalnya mulut) adalah daerah-daerah predileksi dari vitiligo.

Setelah anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan wood lamp dan

pemeriksaan laboratorium histopatologi dapat menjadi penunjang untuk

menegakkan diagnosis vitiligo.Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang

memuaskan. Tabir surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang

murah dan mudah serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan

terapi lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk

vitiligo. Tindakan pembedahan Minirafting pada vitiligo dapat menjadi pilihan

terapi apabila terapi lain memang tidak berhasil. Khusus untuk vitiligo dengan luas

permukaanya lebih dari 50% dan pengobatan psoralen tidak berhasil, dapat dipilih

terapi depigmentasi agar seluruh kulit memiliki warna yang seragam. Prognosis

vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan

penderita terhadap pengobatan yang diberikan.

19

Anda mungkin juga menyukai