Anda di halaman 1dari 52

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Vitiligo
1. Definisi
Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang ditandai dengan bercak depigmentasi
berbatas tegas akibat hilangnya melanosit fungsional (Passeron dan Ortonne, 2018).
Penyakit ini bersifat progresif, kronis dan multifaktorial (Guerra et al., 2010). Vitiligo
tidak hanya mengenai kulit namun juga dapat mengenai area rambut dan mukosa seperti
bibir dan genitalia (Gawkrodger et al., 2010). Vitiligo berasal dari bahasa Latin, pertama
kali digunakan oleh Celsus pada abad pertama sesudah masehi dalam bukunya De
Medicina. Beberapa ahli menyatakan bahwa vitiligo berasal dari kata vituli yang berarti
daging anak sapi yang putih berkilauan. Sementara ahli lain berpendapat bahwa vitiligo
berasal dari kata vitelius yang berarti anak sapi (calf) karena ada bagian putih pada bulu
anak sapi. Pada pertengahan abad ke 16, Hieronymus Mercurialis mengemukakan
pendapat bahwa istilah vitiligo berasal dari bahasa Latin vitium dan vitellium yang berarti
cacat (Rahmayanti dan Rahmadewi, 2016). Vitiligo memiliki sejarah yang panjang,
pertama kali dideskripsikan sekitar 3000 tahun yang lalu dan telah tercatat pada kitab suci
Hindu dan catatan bangsa Mesir kuno (Millington dan Levell, 2007).

2. Epidemiologi
Belum banyak penelitian epidemiologi yang dilakukan pada populasi umum untuk
menentukan prevalensi vitiligo. Penentuan angka pasti prevalensi vitiligo cukup sulit
karena tidak seperti penyakit lain yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
jelas, pasien vitiligo sering tidak mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mencari
pengobatan. Sebagian besar angka perkiraan prevalensi vitiligo didasarkan pada survei
prospektif, penelitian observasional restrospektif dan penelitian prospektif pada populasi
terpilih, yang mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari angka sebenarnya, tergantung
dari pendekatan yang digunakan (Ezzedine dan Harris, 2019).
Penelitian epidemiologi vitiligo terbesar yang dilakukan di pulau Bornholm di
Denmark pada tahun 1977 menunjukkan bahwa prevalensi vitiligo sebesar 0,38% dari
seluruh total populasi (Howitz et al., 1977). Penelitian yang dilakukan pada populasi kulit

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

hitam yang didominasi orang-orang Hindia barat (Isle of Martinique) juga menunjukkan
hasil yang sama dengan populasi kulit putih (Boisseau-Garsaud et al., 2001). Perkiraan
angka prevalensi vitiligo di seluruh dunia berkisar 0,1 - 2% (Gonul et al., 2012), India
menunjukkan insiden tertinggi di dunia hingga 9,98% (Kumar et al., 2014). Laporan dari
Meksiko dan Jepang juga menunjukkan insiden vitiligo yang tinggi (Sehgal dan
Srivastava, 2007). Suatu ulasan hasil meta-analisis dari 50 penelitian di berbagai belahan
dunia pada tahun 2012 menunjukkan prevalensi vitiligo berkisar 0,06-2,28% pada
populasi dewasa dan 0,0–2,16% pada anak-anak serta remaja. Distribusi prevalensi
tersebut disajikan pada Gambar 1 (Krüger dan Schallreuter, 2012).

Gambar 3. Prevalensi vitiligo di dunia. Kotak Putih: Populasi Umum, Kotak


Kuning: Populasi Anak dan Remaja (Krüger dan Schallreuter, 2012).

Belum ada data epidemiologi yang lengkap mengenai prevalensi vitiligo di


Indonesia. Pada studi retrospektif oleh Rahmayanti dan Rahmadewi di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2012-2014 didapatkan 188 kasus baru
vitiligo (0,2%) dari total kunjungan pasien rawat jalan (Rahmayanti dan Rahmadewi,
2016). Studi retrospektif mengenai profil pasil vitiligo di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan jumlah pasien vitiligo periode 2013-2016
sebanyak 108 orang (0,46%) dari seluruh pasien dengan frekuensi laki-laki sebanyak
52,78% dan perempuan 47,22% (Diana dan Mulianto, 2017).
Vitiligo dapat mengenai semua usia, ras dan jenis kelamin, namun prevalensi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

meningkat seiring bertambahnya usia, dimana ditemukan 0,5% vitiligo pada anak-anak
kurang dari 1 tahun, 1% pada usia 1-5 tahun serta 2,1 % dari usia 5-12 tahun. Vitiligo
biasanya terjadi antara usia 10 tahun dan 30 tahun, meskipun dapat berkembang pada usia
berapa pun (Alikhan et al., 2011). Onset rata-rata munculnya vitiligo pada populasi adalah
pada usia 20 tahun (Passeron dan Ortonne, 2018). Vitiligo lebih sering ditemukan pada
wanita karena umumnya kelompok ini lebih banyak mengeluhkan gangguan penampilan,
kosmetik serta mencari pengobatan (Alikhan et al., 2011).

3. Patogenesis
Vitiligo merupakan penyakit multifaktorial, poligenik dengan patogenesis yang
kompleks namun belum sepenuhnya dipahami. Dari berbagai teori mengenai patogenesis
penyakit ini yang paling diterima adalah adanya interaksi antara faktor genetik dan
nongenetik yang mempengaruhi fungsi dan daya tahan sel melanosit. Penyebab dari
vitiligo dapat berbeda antar individu sehingga terdapat variasi pada manifestasi klinis
penyakit (Yaghoobi et al., 2011). Pada vitiligo terdapat adanya disfungsi dan destruksi
melanosit yang penyebabnya belum diketahui, namun kelainan metabolik, stres oksidatif,
pembentukan mediator inflamasi, detachment sel dan respons autoimun dianggap
berperan dalam patofisiologi penyakit ini (Picardo et al., 2015). Menurut Boissy et al.,
dibutuhkan tiga faktor dalam terjadinya vitiligo yaitu adanya gen yang rentan terhadap
vitiligo yang dapat mempengaruhi respons autoimun, melanosit yang secara genetis
abnormal dan faktor lingkungan atau fisiologis yang mengaktivasi program genetis untuk
penghancuran melanosit (Boissy et al., 2012). Berbagai faktor diperkirakan dapat
mencetuskan vitiligo seperti trauma fisik pada kulit, kulit terbakar, stres psikologis,
peradangan, kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan defisinsi vitamin. Hingga saat ini
belum ada faktor pemicu lingkungan tertentu yang terbukti menyebabkan vitiligo
(Passeron dan Ortonne, 2018; Ezzedine dan Harris, 2019). Terdapat beberapa teori yang
dikemukakan mengenai patogenesis vitiligo antara lain teori neural, teori autoimun, teori
biokimia-ROS, hipotesis defisiensi zinc-α2- gycoprotein (ZAG), teori virus, teori
intrinsik, teori perubahan seluler, molekular dan biokimia, melanositotagi serta teori
gabungan (Mohammed et al., 2015). Satu teori yang mengkombinasikan etiopatogenesis
vitiligo adalah teori konvergensi. Teori ini menyatakan bahwa stres oksidatif, akumulasi
senyawa toksik, infeksi, autoimunitas, mutasi, perubahan lingkungan seluler serta
gangguan migrasi dan atau proliferasi melanosit seluruhnya dapat berperan dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

etiopatogenesis vitiligo. Bagan mengenai teori konvergensi dapat dilihat pada Gambar 2
(Arora dan Kumaran, 2017)

Gambar 4. Teori konvergensi dalam patomekanisme vitiligo. Teori konvergensi menunjukkan bahwa
berbagai macam pencetus bekerja bersama-sama untuk menyebabkan terjadinya vitiligo. (I) Teori genetik:
pada orang dengan predisposisi genetik, berbagai faktor pencetus dari lingkungan seperti radiasi ultraviolet,
stres dan ROS dapat menimbulkan vitiligo. (II) Hipotesis neurohormonal: stres meningkatkan sekresi
katekolamin dan neuropeptida yang menyebabkan meningkatnya produksi radikal bebas, sehingga terjadi
kerusakan melanosit dan pembentukan antigen baru yang dapat mencetuskan respons imun. (III) Hipotesis
autositotoksik: pajanan terhadap radiasi ultraviolet menyebabkan produksi spontan ROS dan meningkatnya
kadar protein high-mobility group box-1 (HMGB-1) yang selanjutnya akan mengaktivasi kaspase dan
hilangnya melanosit. (IV) Hipotesis autoimun: berbagai macam pencetus dapat menimbulkan sintesis
neoantigen yang akan menyebabkan fenomena autoimun. (V) Melanositoragi: ROS, perubahan struktural
di melanosit dan perubahan pada tenascin menyebabkan hilangnya adesi melanosit dari membran basal,
sehingga terjadi eliminasi melanosit transepidermal setalah pajanan trauma ringan (Arora dan Kumaran,
2017).

Mekanisme patogenetik yang mendasari vitiligo nonsegmental dan segmental


dianggap berbeda karena pola klinis yang muncul berbeda. Pada vitiligo segmental,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

hipotesis neuronal atau bentuk somatik lebih dipilih. Namun data terbaru menunjukkan
bahwa patogenesis inflamasi yang tumpang tindih terjadi pada vitiligo segmental dan
nonsegmental. Keduanya melalui berbagai tahapan yang meliputi pelepasan awal sitokin
proinflamasi dan neuropetida yang dipicu oleh cedera eksternal atau internal kemudian
diikuti dengan dilatasi vaskular dan respons imun (Shin et al., 2015).
a. Faktor Genetik
Keterlibatan faktor genetik terlihat pada penyakit vitiligo. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa angka kejadian vitiligo yang diturunkan dari orangtua ke anak
bervariasi antara 0,14 - 20% (Alkhateeb et al., 2003; Nath et al., 1994; Majumder, 2000).
Angka-angka tersebut menunjukkan keterlibatan komponen genetik yang pasti. Namun
demikian, kesesuaian yang diamati antara dua kembar monozigot hanya sebesar 23%
dimana hal tersebut menunjukkan bahwa komponen nongenetik juga terlibat dalam
patogenesis vitiligo secara bermakna (Arora dan Kumaran, 2017).
Vitiligo merupakan suatu penyakit poligenik, beberapa gen yang terlibat antara lain
adalah major histocompatibility complex (MHC), angiotensin-converting enzyme (ACE),
catalase (CAT), cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4), catechol-O-
methyltransferase (COMT), estrogen receptor (ESR), mannan binding lectin-2 (MBL-
2), protein tyrosinase phosphatase non-receptor type-22 (PTPN-22), human leukocyte
antigen (HLA), NACHT leucine-rich repeat protein-1 (NALP-1), X-box binding protein-
1 (XBP-1), forkhead box P-1 (FOXP-1) dan interleukin-2 receptor A (IL-2RA) yang
berperan dalam imunitas dan telah diuji hubungan genetisnya dengan vitiligo generalisata
(Spritz, 2008; Spritz, 2010). Pada pasien dengan berbagai sindrom autoimun atau
autoinflamasi terkait vitiligo, haplotipe HLA, terutama HLA-A2, −DR4, −DR7 dan
DQB1*0303 memiliki peran penting (Liu et al., 2007). Di sisi lain, PTPN22, NALP1 dan
XBP1 menunjukkan peran kausal dalam terjadinya vitiligo saja (Canton et al., 2005; Jin
et al., 2007; Ren et al., 2009).
Vitiligo generalisata merupakan penyakit pigmentasi kulit autoimun yang
berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit autoimun lainnya, terutama
autoimmune thyroid disease (AITD; penyakit Hashimoto dan Grave), baik pada pasien
vitiligo maupun keluarganya, yang menunjukkan adanya faktor keturunan dan kerentanan
gen yang sama (Spritz, 2010). Ulasan sistematik oleh Vrijman et al., menunjukkan bukti
adanya peningkatan prevalensi dan risiko AITD pada pasien dengan vitiligo
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

dibandingkan dengan bukan vitiligo. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan lebih
menyadari risiko penyakit tiroid pada pasien vitiligo dan memperhatikan gejala penyakit
tiroid (Vrijman et al., 2012). Keterlibatan lokus autoimmune susceptibility (AIS)-1 dan 2
ditemukan pada keluarga dengan vitiligo bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya,
sedangkan AIS-3 ditemukan pada kelompok keluarga tanpa penyakit autoimun lain. Gen
lain yang diduga terlibat yaitu gen terkait lupus eritematosus sistemik-vitiligo (SLEV-1)
yang terletak pada kromosom 17 juga menunjukkan keterkaitan dengan vitiligo
generalisata yang muncul bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya (Spritz et al.,
2004; Mohammed et al., 2015).
b. Respons Imun (Hipotesis Autoimun)
Imunitas tubuh diduga memiliki peranan penting dalam patogenesis vitiligo, baik
imunitas seluler maupun humoral (Arora dan Kumaran, 2017). Hubungan yang jelas
antara vitiligo dan autoimunitas ditunjukkan oleh temuan bahwa vitiligo sering terjadi
bersamaan dengan penyakit autoimun lain sebagai komorbid. Temuan lain yang
mendukung hipotesis ini adalah bahwa vitiligo memberikan respons yang baik terhadap
terapi imunosupresif seperti fotokemoterapi dengan sinar ultraviolet A (PUVA),
kortikosteroid topikal dan oral. Penggunaan kortikosteroid sistemik dapat menurunkan
jumlah antibody mediated cytotoxicity terhadap melanosit pada vitiligo (Lepe et al., 2003;
Tarle et al., 2014).
Vitiligo dapat dikaitkan dengan berbagai penyakit autoimun termasuk AITD,
alopesia areata, halo nevi dan penyakit Addison. Vitiligo dan penyakit autoimun
mempengaruhi hingga 20% pasien ras Kaukasia. Autoimmune thyroid disease terutama
tiroiditis merupakan salah satu penyakit autoimun tersering yang berhubungan dengan
vitiligo (Alkhateeb et al., 2003).
1) Peran Imunitas Humoral
Imunitas humoral pertama kali diketahui terlibat pada vitiligo dengan
ditemukannya autoantibodi antimelanosit pada sejumlah kasus termasuk
diantaranya tirosinase, tyrosinase related protein-1 (TRP-1), dopakrom
tautomerase yang secara in vitro memiliki kemampuan untuk merusak melanosit
(Ezzedine dan Harris, 2019). Kadar autoantibodi yang beredar pada serum dideteksi
pada 5 - 10% pasien, didominasi oleh kelas IgG terutama TRP-1 dan 2. Meskipun
demikian, peran antibodi antimelanosit ini pada vitiligo belum sepenuhnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

dipahami dan diperkirakan keberadaannya adalah akibat kerusakan melanosit dan


keratinosit (Tarle et al., 2014). Selain itu, antibodi terhadap melanin concentrating
hormone receptor-1 (MCHR-1), antibodi antitirosinase, antibodi antitiroglobulin,
antibodi antitiroid, antitiroperoksidase dan antibodi anti-otot polos juga dapat
ditemukan (Ingordo et al., 2011; Uncu et al., 2011). Melanin concentrating
hormone (MCH) mengikat MCHR-1 sehingga meningkatkan influks kalsium dan
berperan sebagai antagonis α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH)
(Mohammed et al., 2015).
2) Peran Imunitas Seluler
Pada vitiligo telah jelas bahwa terdapat penurunan melanosit pada lesi
depigmentasi, selain itu dapat ditemui adanya imunosit terutama pada tepi lesi. Sel
inflamasi predominan yang dijumpai adalah sel T CD8+ dan CD4+ dengan
peningkatan rasio CD8:CD4, sehingga penghancuran melanosit dapat diperantarai
oleh T CD8+ sitotoksik (Boissy et al., 2012). Sel T CD8+ sitotoksik spesifik
melanosit sangat berperan dalam penghancuran melanosit, hal ini terbukti jumlah
sel T CD8+ sitotoksik lebih tinggi dalam darah pasien vitiligo dibandingkan dengan
pasien sehat, jumlah ini berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Sel T CD8+
sitotoksik ini dapat mengidentifikasi dan mengakibatkan kematian melanosit
normal secara in vitro (Wankowicz-Kalinska et al., 2003; Toosi et al.,2012). Sel T
ini dapat mengenali antigen melanosit dan ketika sel-sel ini diperkenalkan kembali
pada kulit sehat dari pasien yang sama, sel ini bermigrasi ke melanosit dan
menginduksi apoptosis melanosit (Picardo et al., 2015).
3) Peran Sitokin
Selain peran imunitas humoral dan seluler, pada vitiligo didapatkan
peningkatan ekspresi interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-
10 (Grimes et al., 2004). Interferon-γ dan TNF-α merupakan sitokin sel T helper-1
(Th-1) sehingga vitiligo dimediasi oleh respons Th-1 (Taher et al, 2009).
Interferon-γ yang diekspresikan pada lesi depigmentasi berperan penting
dalam memicu respons sel T autoreaktif dan penghancuran melanosit (Bertolotti et
al., 2014). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa IFN-γ diidentifikasi sebagai
bagian dari “signature cytokine profile” yang terlibat dalam patogenesis vitiligo.
Penelitian oleh Harris et al. dengan menggunakan hewan uji tikus vitiligo yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

direkayasa menunjukkan bahwa IFN-γ memainkan peran penting dalam


penyebaran lesi vitiligo dengan memicu peningkatan expresi CXCL-10 yang
mengakibatkan invasi sel T CD8+ ke jaringan folikuler dan epidermis (Harris et al.,
2012).
Interleukin-17 (IL-17) juga berperan pada makrofag, keratinosit, dan
fibroblas serta dapat mengaktifkan ekspresi IL-1, IL-6, dan TNF-α. Pemeriksaan
serum dan jaringan pada 30 pasien vitiligo dan 20 orang subjek normal
menunjukkan kadar IL-17 lebih tinggi pada pasien vitiligo dan sesuai dengan durasi
penyakit (Bassiouny dan Shaker, 2011; Mohammed et al., 2015).
c. Stres Oksidatif (Hipotesis Biokimia)
Peran patogenetik stres oksidatif pada vitiligo didukung oleh peningkatan kadar
reactive oxygen species (ROS) di kulit yang berlesi dan tidak berlesi pasien vitiligo baik
secara in vitro maupun in vivo. Reactive oxygen species menyebabkan gangguan ekspresi
atau aktivitas sistem antioksidan. Kadar katalase epidermal yang rendah mungkin
disebabkan oleh penonaktifan nicotineamide adenine dinucleotide (NADH) pada lokasi
ikatan enzim yang dimediasi oleh H2O2 karena ekspresi mRNA katalase tidak berubah
(Schallreuter et al., 2008; Liu et al., 2010; Bulut et al., 2011). Enzim antioksidan lain
termasuk tioredoksin reduktase dan tioredoksin, glutation peroksidase, glutation
reduktase, superoksida dismutase dan enzim perbaikan metionin sulfoksida reduktase A
dan B juga mengalami perubahan pada lesi kulit vitiligo, menunjukkan bahwa
pembentukan ROS menyebabkan perubahan yang luas pada sistem antioksidan
(Schallreuter et al., 2008; Kostyuk et al., 2010).
Stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi protein seluler dan lipid membran
(Dell’Anna et al., 2007). Salah satu protein yang terkena adalah tyrosinase-relate protein-
1 (TRP-1, dikenal juga sebagai DHICA oksidase) yang penting untuk sintesis melanin.
Modifikasi kompleks TRP-1 kalneksin yang dipicu oleh stres oksidatif dapat
menyebabkan penurunan stabilitas TRP-1 dengan produksi sejumlah zat antara melanin
yang toksik. Modifikasi tempat aktif (ikatan) enzim sitosol dihidropteridin reduktase
menyebabkan perubahan sintesis dan daur ulang biopterin (Schallreuter et al., 2008;
Hasse et al., 2004; Picardo et al., 2015). Modifikasi dan inaktivasi asetilkolinesterase
lebih lanjut memicu dan mempertahankan kerusakan oksidatif kulit (Schallreuter et al.,
2004). Perubahan redoks dari lipid membran mempengaruhi sejumlah besar lipid yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

membahayakan fungsi reseptor membran, transfer elektron dan produksi ATP dalam
mitokondria (Dell’Anna et al., 2010).
Ketidakseimbangan status prooksidan dan antioksidan pada vitiligo diduga
menyebabkan peningkatan sensitivitas melanosit terhadap rangsangan prooksidan
eksternal dan seiring berjalannya waktu akan memicu terjadinya kondisi pra-senescent
(Jimbow et al., 2001). Detachment melanosit akibat stres oksidatif telah diamati pada
batas tepi lesi vitiligo, hal ini menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena Koebner atau
induksi lesi baru oleh trauma kulit ringan (Wagner et al., 2015). Tidak seperti adhesi
keratinosit-keratinosit yang tergantung pada desmosom, interaksi melanosit-keratinosit
tidak melibatkan struktur adhesif spesifik tetapi molekul adhesi sederhana seperti integrin
dan cadherin. Pada kulit pasien vitiligo yang tampak normal secara klinis, terjadi
penurunan ekspresi cadherin dan peningkatan molekul antiadhesi tenascin (Le Poole et
al, 1997). Pada lesi vitiligo gesekan kronis dapat mengaktifkan sel epitel, dimana sel-sel
ini merasakan kekuatan mekanik dan mengubahnya menjadi sinyal biokimia yang
menghasilkan stres intraseluler dan mengubah ekspresi cadherin (Wagner et al., 2015).
Berbagai sumber penyebab pembentukan ROS sebenarnya telah banyak
diidentifikasi, tetapi penyebab utama terjadinya stres oksidatif dalam vitiligo belum
dipahami sepenuhnya. Adanya kerusakan intrinsik menyeluruh yang terjadi pada sel
vitiligo, fenotip biologis dan sifat metabolik sel yang berasal dari kulit yang tampak
normal mungkin terlibat dalam patogenesis vitiligo. Hal ini ditandai dengan adanya
deregulasi metabolisme biopterin, terutama karena peningkatan produksi 6-
tetrahydrobiopterin (6BH4) dan 7-tetrahydrobiopterin (7BH4) yang dapat menyebabkan
terhambatnya aktivitas enzim antioksidan dan sintesis melanin serta peningkatan
produksi katekolamin yang pada akhirnya membantu proses stres oksidatif (Gambar 3)
(Picardo et al., 2015).
Sintesis melanin melibatkan reaksi oksidasi dan pembentukan anion superoksid dan
hidrogen peroksida (H2O2) yang menyebabkan melanosit terpapar oleh stres oksidatif.
Terbatasnya sintesis melanin dalam melanosom melindungi organel sel lainnya dari
kerusakan oksidatif. Reaksi katalitik tirosinase yang mengoksidasi tirosin menjadi DOPA
dan selanjutnya dopaquinone akan menyebabkan pelepasan O2-. Dopaquinon kemudian
diubah menjadi dopachrome melalui suatu reaksi pertukaran redox. Sesudah mengalami
dekarboksilisasi spontan, dopachrome dapat menghasilkan dihidroxyindole (5,6-DHI)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

yang kemudian mengalami oksidasi menjadi indolequinone atau menghasilkan


dihydroxyindole carboxylic acid (5,6-DHICA) yang kemudian diubah menjadi quinone
sesudah mengalami tautomerisasi dengan tyrosine related protein-2 (TRP-2). Siklus
redox dari indole menjadi quinone ini menghasilkan ROS. Polimerisasi dari quinone
reaktif ini akan membentuk eumelanin berwarna coklat atau hitam. Sedangkan
feomelanin yang berwarna kuning-merah berbeda dengan eumelanin, dalam hal
sintesisnya yang menghasilkan cysteinyl-dopa yang diubah menjadi derivat
benzothiazine, sehingga pro-oksidan yang diinduksi paparan sinar yang lebih tinggi pada
feomelanin dibandingkan eumelanin (Gambar 4) (Denat et al., 2014).
d. Kematian melanosit
Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas kematian melanosit pada lesi vitiligo
masih menjadi perdebatan. Mekanisme apoptosis diduga akibat ekspresi berlebih dari
ribonuklease T2, yang memfasilitasi aktivitas proapotosis dari TNF-α, menderegulasi
ekspresi dari sirtuins silent mating type information regulation 2 homolog-1 (SIRT-1),
peningkatan pelepasan heat shock proteins-70 (HSP-70) dan apoptosis melanosit perilesi
yang disebabkan oleh sel T CD8+ (Wu et al., 2013). Namun, sebagian besar penelitian
ini mengandalkan data in vitro, sementara bukti in vivo masih kurang (Picardo et al.,
2015).
e. Melanositoragi
Gauthier et al. (2003) menyebutkan bahwa vitiligo nonsegmental terjadi karena
“melanositoragi” atau terlepas dan hilangnya melanosit secara kronis akibat trauma atau
stressor lain termasuk katekolamin, ROS atau elemen autoimun. Teori ini
mengkombinasikan konsep dari teori-teori lain yang telah dijelaskan sebelumnya untuk
membentuk satu penjelasan menyeluruh dari patogenesis vitiligo. Mereka juga
menjelaskan bahwa gangguan adhesi sel memainkan peran penting dalam patogenesis
vitiligo karena sintesis matriks ekstraseluler oleh keratinosit yang terganggu, adanya
celah terlokalisir pada lapisan basal dan gangguan pembentukan membran basal. Seluruh
abnormalitas ini akan melemahkan ikatan melanosit ke membran basal. Adanya trauma
dapat memicu kecenderungan hilangnya melanosit secara terus menerus dan kronis yang
dikenal sebagai melanositoragi (Gauthier et al., 2003).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Gambar 5. Melanosit dan kondisi lingkungannya. a. Pada lesi kulit yang sehat, mitokondria pada
melanosit menghasilkan energi dan proses metabolik yang efisien (termasuk metabolisme
biopterin). Sesudah pajanan stres eksternal (misal paparan radiasi ultraviolet (UV) atau kerusakan
kimia), reactive oxygen species (ROS) akan diproduksi dengan cara diatur dengan ketat dan
berfungsi sebagai sebagai pembawa pesan intraseluler. Melanosit beradaptasi tanpa mengaktifkan
sel imun, memulai perubahan fisiologis seperti produksi melanin atau aktivasi kinase tanpa
mempengaruhi kelangsungan hidupnya b. Pada lesi vitiligo terjadi cacat metabolik di melanosit.
Peningkatan kadar ROS merusak enzim dan mempengaruhi jalur mitokondria dan sintesis biopterin
yang menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan sel melanosit lebih lanjut. Perubahan ini
mengaktifkan sinyal kaskade yang dimulai dengan hiperproduksi ROS, mengaktifkan respons
protein dan pembentukan antigen. Debris membran dan damage associated molecular pattern
(DAMP) dilepaskan dan mengaktifkan sel makrofag dan dendritik, diikuti oleh aktivasi sitokin dan
kemokin dari sel T helper-17 (Th-17) dan disfungsi sel T regulatory (TReg) c. Degenerasi melanosit
juga dapat mempengaruhi proses autofagi dan menyebabkan pelepasan ATP dan menginduksi suatu
senesence associated secretory phenotype (SASP) termasuk interleukin-6 (IL-6), matrix
metalloproteinase-3 (MMP-3), cyclooxygenase-2 (COX-2) dan insuline like growth factor-binding
protein-3 (IGFBP3) dan IGFBP7 melalui ekspresi berlebihan dari p53. SASP ini mengaktifkan sel
dendrit. Keterangan: CXCL-10=CXC chemokine-ligan 10, FADH=flavin adenine dinucleotide,
ADH=nicotinamide adenine dinucleotide, 6BH4=6 tetrahydrobiopterin; 7BH4=7
tetrahydrobiopterin (Picardo et al., 2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Gambar 6. Pembentukan ROS pada sintesis melanin (Panich, 2010)


Keterangan: GSH: glutation stimulating hormone, TYRP: tyrosinase related protein, DOPA:
dihydroxyphenylalanine.

Penelitian yang dilakukan oleh Tobin et al. (2000) menyatakan hilangnya melanosit
pada vitiligo. Mereka menjelaskan bahwa temuan ini disebabkan oleh stres oksidatif yang
disebabkan oleh H2O2. Le Poole et al. menyebutkan bahwa protein tenascin mungkin
memainkan peran penting dalam menurunkan adhesi melanosit pada vitiligo. Protein ini
diekspresikan dalam jumlah banyak pada pasien vitiligo dibandingkan kontrol (Le Poole
et al., 1997). Hal ini juga dapat menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena Koebner,
yang mewakili suatu “migrasi transepidermal” (Cario-André et al., 2007).
Kumar et al. menemukan bahwa melanosit tidak melekat baik dengan kolagen tipe
IV pada pasien dengan vitiligo tidak stabil, sedangkan perlekatan pada pasien dengan
vitiligo stabil lebih baik. Pada pasien dengan vitiligo tidak stabil, dendrit pada melanosit
perilesi berukuran kecil, membulat dan mengkerut sehingga tidak dapat melekatkan
melanosit pada membran basal dan juga keratinosit di sekitarnya sehingga lebih rentan
terlepas secara transepidermal (Kumar et al., 2011).
f. Keratinosit dan fibroblas pada vitiligo
Melanosit, keratinosit dan fibroblas kulit saling berkomunikasi melalui faktor yang
disekresikan dan kontak langsung antar sel (Yamaguchi et al., 2007). Beberapa perubahan
yang diamati pada melanosit juga terjadi pada sel-sel kulit lainnya, hal ini menunjukkan
bahwa vitiligo menyebabkan degenerasi sel yang menyeluruh, seperti yang terjadi pada
keratinosit dan fibroblas dimana kedua sel ini juga mengalami stres oksidatif, fosforilasi
p38, ekspresi berlebihan dari p53 dan fenotip senescent. Perubahan ini bisa menjadi dasar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

untuk mengubah sekresi faktor pertumbuhan terlarut yang mendukung kelangsungan


hidup dan homeostasis melanosit (Picardo et al., 2015; Prignano et al., 2009).
1) Keratinosit
Keratinosit mengontrol pertumbuhan dan aktivitas melanosit melalui sistem
parakrin faktor pertumbuhan dan molekul adhesi sel (Lee, 2012). Melanosit dan
keratinosit juga merupakan sumber lokal dari berbagai hormon yang mengatur
proliferasi melanosit, melanogenesis dan pembentukan dendrit melanosit
(Sulaimon dan Kitchell, 2003). Cross-talk dari jalur pensinyalan yang berbeda
antara keratinosit dan melanosit merupakan bagian dari jaringan epidermal
kompleks yang terlibat dalam pemeliharaan homeostasis kulit (Cichorek et al.,
2013).
Keratinosit pada lesi vitiligo mengalami apoptosis. Terjadinya peningkatan
berbagai sitokin seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 berperan penting dalam proses
depigmentasi dan bertindak sebagai inhibitor poten dalam pertumbuhan melanosit
pada vitiligo (Birol et al., 2006). Sitokin TNF-α mengakibatkan apoptosis
keratinosit melalui jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik dipicu oleh pengikatan ligan dari
TNF dengan death receptor pada permukaan sel. Pada akhirnya merekrut caspases
inisiator yang menimbulkan kompleks pro-apoptosis yang disebut death-inducing
signaling complex (DISC). Caspase sendiri merupakan keluarga protease mamalia
yang memediasi berbagai gambaran morfologis dan proses biokimia dari apoptosis.
Selain itu, apoptosis keratinosit juga melibatkan gangguan pada jalur pensinyalan
nuclear factor erythroid 2-related factor 2 (Nrf-2)-antioxidant response element
(ARE) yang dipicu oleh ekspresi berlebihan ROS. Jalur Nrf2-ARE merupakan
penanda awal dari stres oksidatif, bertindak untuk meredam kerusakan oksidatif
dengan meningkatkan ekspresi enzim detoksifikasi fase II seperti hemeoxygenase-
1 (HO-1), catalase (CAT) dan superoxide dismutase (SOD) (Gambar 5) (Qiu et al.,
2014). Terjadinya apoptosis keratinosit memberikan efek pada berkurangnya
faktor-faktor pertumbuhan yang dihasilkan, hal ini menginduksi kematian
melanosit karena hilangnya rangsangan yang berperan dalam kelangsungan hidup
melanosit (Lee, 2012).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Gambar 7. Gangguan jalur komunikasi interseluler antar melanosit dan keratinosit akibat ROS
mengakibatkan proses melanogenesis yang berada di bawah kendali faktor-faktor yang
disekresikan oleh keratinosit di sekitar melanosit terhambat (Qiu et al., 2014).
Keterangan: b-FGF: basic fibroblast growth factor, IL-1: interleukin-1, Nrf-2: nuclear factor
erythroid 2-related factor-2, PAR-2: protease activated receptor-2, ROS: reactive oxygen species,
SCF: stem cell factor, TNF-α: tumor necrosis factor- α

Faktor pertumbuhan dan mitogen yang dihasilkan oleh keratinosit bekerja


sinergis, seperti basic fibroblast growth factor (b-FGF), endotelin-1 (ET-1), stem
cell factor (SCF), hepatocyte growth factor (HGF), nerve growth factor (NGF),
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), α-melanocyte
stimulating hormone (α-MSH) dan hormon adrenokortikotropik. Apoptosis
keratinosit ini mengurangi produksi faktor-faktor pertumbuhan tersebut yang
berkontribusi terhadap kerusakan melanosit (Lee et al, 2005; Cichorek et al., 2013).
Salah satu contoh faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh keratinosit adalah
SCF. Stem cell factor ini berperan sangat penting untuk kelangsungan hidup
melanosit dan berikatan dengan reseptor c-kit pada permukaan membran plasma
yang diekspresikan oleh melanosit, memicu transduksi sinyal melalui mitogen-
activated protein kinases (MAPK) di sitoplasma dan diteruskan ke microphthalmia-
associated transcription factor (MITF) di nukleus dan memicu proliferasi,
diferensiasi melanosit melalui tyrosinase (TYR), tyrosinase-related protein-1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

(TYRP-1), tyrosinase-related protein-2 (TYRP-2) (Lee, 2012; Cichorek et al.,


2013).
Pengaruh elemen dasar keratinosit pada biologi melanosit diilustrasikan pada
Gambar 6. Secara in vitro, keratinosit dapat meningkatkan sekresi faktor yang
mempengaruhi banyak aktivitas biologis melanosit diringkas dalam Tabel 2
(Cichorek et al., 2013).

Gambar 8. Skema kerjasama keratinosit dan melanosit. Proliferasi, diferensiasi dan proses
melanogenesis berada di bawah kendali berbagai faktor yang disekresikan oleh keratinosit (Cichorek
et al., 2013).
Keterangan: SCF – stem cell factor, bFGF – basic fibroblast growth factor, GM-CSF – granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor, ET-1 – endothelin 1, α-MSH – melanocyte-stimulating
hormone, PGE2 – prostaglandin E2, PGF2α – prostaglandin F2α, NGF – nerve growth factor, c-
Kit – tyrosine kinase receptor, FGFR1/2 – fibroblast growth factor receptor, GM-CSFR –
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor receptor, ETBR – endothelin B receptor, MC1R
– melanocortin 1 receptor, EP1/EP3/FP – prostanoid receptors, NGFR – nerve growth factor
receptor, MAPK – mitogen-activated protein (MAP) kinases, PKC – protein kinase C, PKA –
protein kinase A, PLC – phospholipase C, TYR – tyrosinase, TYRP1 – tyrosinase-related protein
1, TYRP2 – tyrosinase-related protein 2, MITF-M – melanocyte-specific MITF (microphthalmia-
associated transcription factor) isoform, CRE – cAMP response elements, CREB – cAMP response
element-binding

Secara in vitro, masa hidup keratinosit pada lesi vitiligo lebih pendek
dibandingkan keratinosit pada kulit normal pada pasien yang sama. Keratinosit ini
juga menunjukkan perubahan proliferasi dan ekspresi penanda penuaan, seperti
p16, p53 dan p21 jika dibandingkan dengan keratinosit pada kulit yang secara klinis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

tampak normal. Selain itu, keratinosit pada lesi vitiligo tidak dapat
mempertahankan dan menjaga kelangsungan hidup melanosit dalam jumlah
fisiologis (1 melanosit untuk 40 keratinosit) pada kultur terlepas dari bentuk klinis
vitiligo dan aktivitas atau stabilitas penyakit. Sebaliknya seluruh keratinosit pada
kulit tanpa lesi mampu mempertahankan melanosit dalam kultur. Penurunan kadar
SCF pada epidermis lesi vitiligo dikonfirmasi melalui pemeriksaan ELISA. Sekresi
SCF dari keratinosit pada lesi vitiligo jauh lebih rendah dibandingkan dengan
keratinosit pada kulit tanpa lesi pasien yang sama dan dari keratinosit kontrol sehat
(Bondanza et al., 2007). Mempertimbangkan data tersebut, maka disetujui hipotesis
bahwa gangguan keratinosit dapat menjadi penyebab hilangnya melanosit dalam
vitiligo (Lee et al., 2005; Moretti et al., 2003).

Tabel 2. Faktor parakrin yang disekresikan oleh keratinosit yang mempengaruhi fungsi melanosit
(Cichorek et al., 2013)
Faktor yang disekresikan Efek pada melanosit
keratinosit
bFGF ↑ Proliferasi
ET-1 ↓ Proliferasi, ↑ dendrisitas, melanogenesis
IL-1α/ -1β ↑ Proliferasi, ↑ melanogenesis, ↑ kelangsungan hidup
ACTH ↑ Proliferasi, ↑ dendrisitas, ↑ melanogenesis, ↑ kelangsungan hidup
α-MSH ↑ Dendrisitas, ↑ melanogenesis, ↑ transfer melanosomal
PGE2/ PGF2α ↑ Proliferasi, ↑ melanogenesis
GM-CSF ↑ Melanogenesis
NO ↓ Melanogenesis
TNF-α ↑ Dendrisitas, ↑ kelangsungan hidup
NGF ↓ Melanogenesis
BMP-4 ↑ Proliferasi, ↑ dendrisitas, ↑ melanogenesis
Keterangan: bFGF – basic fibroblast growth factor, ET-1 – endothelin 1, IL – interleukin, ACTH -
adrenocorticotropic hormone, α-MSH – melanocyte-stimulating hormone, PGE2 – prostaglandin E2,
PGF2α – prostaglandin F2α, GM-CSFR – granulocyte-macrophage colony-stimulating factor receptor,
NO – nitrit oxide, TNF-α – tumor necrosis factor- α, NGF – nerve growth factor, BMP-4 – bone
mophogenetic factor-4.

2) Fibroblas
Biologi melanosit juga dikontrol oleh faktor yang disekresi oleh fibroblas
dermal seperti HGF, KGF, SCF dan neuregulin-1 (NRG-1). Faktor-faktor ini tidak
hanya mempengaruhi pertumbuhan dan pigmentasi melanosit tapi juga bentuk,
dendritisitas, mobilitas dan kemampuan adhesinya. Fibroblas mempengaruhi
pigmentasi epidermal baik melalui aktivitas langsung pada distribusi atau degradasi
melanin dan aktivasi keratinosit untuk produksi faktor-faktor melanogenik. Faktor-
faktor tersebut bekerja dengan mengikat reseptor spesifik mereka dan memodulasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

jalur pensinyalan intraseluler melanosit (MAPK/ERK, cAMP/PKA, Wnt/b-catenin,


PI3K/Akt) sehingga memicu pertumbuhan, diferensiasi, migrasi dan kelangsungan
hidup melanosit. Beberapa penelitian menganalisis bahwa fibroblas dermal
memiliki peran penting dalam patogenesis vitiligo, tanpa memberikan penjelasan
khusus mengenai peran pasti fibroblas tersebut (Bastonini et al., 2018; Cichorek et
al., 2013).
Pada vitiligo terdapat bukti bahwa fibroblas mengalami senescence atau
penuaan. Proses ini dipicu karena stres oksidatif yang terjadi tidak hanya sebatas
sel melanosit, tetapi juga pada fibroblas. Penuaan fibroblas dapat terjadi pada onset
dan atau perkembangan vitiligo melalui pelepasan metabolik pertumbuhan dan
sitokin seperti DKK-1, ET-1 dan IL-6 yang dapat menurunkan regulasi ekspresi E-
cadherin pada melanosit. Penuaan pada fibroblas kulit dapat menderegulasi
berbagai faktor pertumbuhan seperti b-FGF dan sitokin yang menyebabkan
hilangnya atau berkurangnya fungsi melanosit (Rani et al., 2017). Proses penuaan
sel sendiri adalah program yang diaktifkan oleh sel-sel normal dalam menanggapi
berbagai jenis stres, termasuk telomere uncapping, kerusakan DNA, stres oksidatif
dan aktivitas onkogen. Penuaan dapat terjadi sesudah periode proliferasi sel atau
secara cepat sebagai respons terhadap stres akut. Sesudah sel mengalami penuaan,
sel berhenti membelah dan menjalani serangkaian perubahan morfologis dan
metabolisme (Ben-Porath dan Weinberg, 2005). Ekspresi penanda penuaan p16,
p21 dan hp1 pada tingkat mRNA dan protein ditemukan meningkat pada lapisan
dermis lesi nonsegmental vitiligo dibandingkan dengan kulit normal. Proses
penuaan terbukti berkaitan dengan akumulasi dan ekspresi level p16 yang tinggi.
Penuaan yang dipicu oleh stres oksidatif bekerja terutama melalui aktivasi p16.
Selain itu telah ditemukan juga bahwa protein p21 menghambat perkembangan
siklus sel dengan meregulasi kinase-siklin (Rani et al., 2017).
Fibroblas tidak hanya memberikan manfaat parakrin untuk menjaga integritas
kulit, namun juga menjadi struktur fondasi jaringan, menentukan ketebalan dan
kekakuan kulit melalui sintesis dan deposisi matriks ekstraseluler dan protein
membran basal seperti kolagen-1, kolagen-4, fibronektin, fibrillin, elastin dan
tenascin (Bastonini et al., 2019). Ekspresi tenascin-C lebih tinggi pada kulit vitiligo,
dimana terjadi peningkatan yang lebih signifikan pada daerah lesi dibandingkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

daerah tanpa lesi (Kim dan Lee, 2010). Efek buruk dari ekspresi tenascin-C yang
berlebihan yaitu perubahan aktivitas sel T, mempengaruhi respons imun adaptif dan
penghambatan adhesi melanosit terhadap fibronektin yang menyebabkan pelepasan
serta apoptosis melanosit (Midwood et al., 2016)

4. Gambaran Klinis dan Klasifikasi


Umumnya lesi vitiligo tidak menunjukkan gejala, berupa makula berwarna putih,
tidak bersisik dengan batas yang tegas dengan sekitarnya dan memberikan floresensi yang
lebih jelas saat disinari dengan lampu Wood (Ezzedine dan Harris, 2019). Kadang-kadang
dapat ditemukan tepi berwarna kemerahan pada fase akut akibat inflamasi (Yaghoobi et
al., 2011). Lesi vitiligo dapat mengenai bagian tubuh mana saja dan umumnya
terdistribusi secara simetris. Penyakit ini dapat mulai muncul dari bagian tubuh mana saja.
Daerah wajah, akral dan genital seringkali merupakan lokasi awal munculnya lesi
(Ezzedine dan Harris, 2019).
Karakteristik lesi vitiligo tersebar diskret, dapat berbentuk bulat, oval, ireguler atau
linear. Batas lesi umumnya cembung, seolah-olah proses depigmentasi menyerang kulit
berpigmen yang normal di sekitarnya (Passeron dan Ortonne, 2018). Makula atau patch
vitiligo memiliki ukuran yang bervariasi dari millimeter hingga beberapa sentimeter dan
bervariasi dalam luas area yang terkena. Pada individu yang berkulit lebih putih, lesi
umumnya tidak terlalu terlihat dan sulit dibedakan dengan sekitarnya. Pada individu
dengan pigmen kulit yang lebih gelap atau sesudah proses tanning, lesi vitiligo akan
terlihat lebih kontras dengan kulit sekitarnya. Vitiligo umumnya asimptomatik, keluhan
gatal dapat terjadi namun jarang (Passeron dan Ortonne, 2018; Alikhan et al., 2011).
Vitiligo dapat muncul pada berbagai area tubuh. Lesi vitiligo lebih sering muncul
pada area yang secara normal lebih gelap (hiperpigmentasi) seperti wajah (periorifisial),
permukaan dorsal tangan, areola maimmae, aksila, umbilikus, sakrum, inguinal serta
anogenital. Pada daerah ekstremitas, lesi sering dijumpai pada bagian siku, lutut, jari dan
area fleksor pergelangan tangan. Vitiligo secara umum berkembang lambat, baik saat
mulai muncul lesi baru maupun meluasnya lesi lama secara sentrifugal (Passeron dan
Ortonne, 2018; Alikhan et al., 2011).
Berdasarkan ulasan oleh Vitiligo Global Issues Consensus Conference (VGICC)
tahun 2011-2012, vitiligo dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk klinis (Gambar
7), yaitu (Ezzedine et al., 2012):
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

a. Vitiligo nonsegmental (VNS)


Kelompok vitiligo yang mengenai daerah akrofasial, mukosal, generalisata
atau umum, universal dan bentuk campuran serta bentuk yang jarang.
1) Akrofasial: dapat mengenai wajah, kepala, tangan dan kaki dan lebih
sering mengenai daerah perioral serta jari.
2) Mukosal: mengenai mukosa oral dan genital. Daerah mukosa juga dapat
terkena pada vitiligo tipe akrofasial, umum atau universal. Jika hanya
mengenai satu daerah mukosa maka diklasifikasikan sebagai vitiligo
indeterminan.
3) Generalisata atau umum: makula atau bercak seringkali simetris. Dapat
mengenai bagian manapun dari kulit, terutama tangan, jari, wajah dan
daerah yang sering mengalami trauma.
4) Universal: merupakan bentuk yang mengenai bagian tubuh yang paling
luas (80-90% luas permukaan tubuh). Umumnya diawali dengan vitiligo
tipe generalisata atau umum.
5) Campuran: merupakan campuran dari vitiligo tipe segmental dan
nonsegmental. Vitiligo segmental yang terjadi sebelum VNS lebih sering
terjadi.
6) Bentuk jarang: vitiligo punktata, minor dan folikular. Tipe-tipe ini juga
dianggap tidak terklarifikasi.
b. Vitiligo segmental (VS)
Vitiligo segmental dapat mengenai satu, dua atau beberapa segmen. Bentuk
unisegmental merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan berupa satu atau
lebih makula putih pada satu sisi tubuh, biasanya tidak melewati garis tengah tubuh,
terdapat keterlibatan rambut tubuh (leukotrikia) dan memiliki onset yang cepat.
Lesi dapat ditemui di dua segmen atau lebih dan bahkan bilateral segmental namun
hal ini lebih jarang dijumpai serta dapat muncul bersamaan atau bergantian.
c. Bentuk tidak terklasifikasi atau vitiligo indeterminan
1) Fokal: makula putih terlokalisir pada satu area tanpa distribusi segmental.
Bentuk ini dapat berubah dan berkembang menjadi VS atau VNS.
2) Mukosal: jika hanya satu area mukosa yang terkena.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Gambar 9. Klasifikasi vitiligo berdasarkan Vitiligo Global Issues Consensus Conference. Vitiligo
dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama: a. nonsegmental, b. segmental dan c. campuran.
Vitiligo nonsegmental memiliki pola yang berbeda, bisa muncul terutama di bagian akrofasial, mukosa
(di lebih dari dua situs) dan generalisata yang melibatkan sebagian besar tubuh (vitiligo universalis).
Vitiligo segmental bisa uni atau bisegmental. Jenis campuran memiliki onset yang sama dengan vitiligo
segmental tetapi kemudian berkembang menjadi vitiligo non-segmental (Ezzedine et al., 2012).

Vitiligo nonsegmental merupakan bentuk yang paling sering ditemukan dan


ditandai dengan munculnya bercak putih yang luas dan terdistribusi simetris bilateral.
Lesi biasanya tersebar dalam pola akrofasial (tangan, kaki dan wajah) atau tersebar
simetris pada seluruh tubuh dan perkembangannya tidak dapat terduga dari waktu ke
waktu. Rambut pada kulit awalnya tetap berpigmen tetapi pada akhirnya akan
berkembang menjadi warna putih atau leukotrikia (Prignano et al., 2008). Vitiligo
nonsegmental dapat berkembang seiring waktu dan dapat melibatkan lebih dari 90% area
permukaan kulit atau yang dikenal sebagai vitiligo universal (Taïeb dan Picardo, 2010).
Vitiligo segmental dilaporkan terjadi pada 5 - 16% dari seluruh kasus vitiligo. Lesi
kulit terdistribusi unilateral, onset muncul pada usia lebih awal dibandingkan VNS dan
melibatkan melanosit pada folikel rambut sehingga menghasilkan rambut berwarna putih
(Taïeb dan Picardo, 2007). Vitiligo segmental mempunyai manifestasi klinis yang
berbeda dengan perjalanan alamiah yang hampir selalu terbatas pada satu bagian tubuh
dan umumnya dimulai selama awal atau akhir masa kanak-kanak. Sesudah fase awal yang
meluas dengan cepat biasanya diikuti oleh fase stabil dan seringkali berhubungan dengan
munculnya rambut berwarna putih, yang mengindikasikan prognosis yang buruk dan
resistensi terhadap terapi. Terapi yang digunakan pada VS antara lain kortikosteroid,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

imunomodulator, fototerapi dan terapi bedah (Park et al., 2013). Lesi muncul berupa
patch kecil berbatas tegas tanpa pola distribusi yang jelas atau disebut juga sebagai
vitiligo fokal. Area yang paling sering terkena adalah area trigeminal (50%), leher dan
badan. Berbeda dengan VNS, pada VS biasanya tidak terdapat riwayat keluarga dengan
vitiligo dan jarang bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya, tetapi beberapa
penelitian melaporkan bahwa pasien VS juga berhubungan dengan dermatitis atopik,
nevus halo, penyakit tiroid, diabetes melitus dan alopesia areata. Dalam perjalanannya,
VS juga dapat berkembang menjadi bentuk nonsegmental atau bilateral yang disebut
sebagai vitiligo campuran (Taïeb dan Picardo, 2010).

5. Stabilitas pada Vitiligo


Konsep kestabilan pada vitiligo beragam dan belum ada konsensus yang baku untuk
mendefinisikan kriteria vitiligo stabil. Definisi pasti vitiligo stabil masih sulit dipahami
dan kesulitan muncul saat memeriksa pasien dan memutuskan stabilitas penyakit ini.
Konsep ini menjadi sangat penting ketika memilih pasien vitiligo yang tidak memberikan
respons terhadap pengobatan sehingga terapi intervensi bedah merupakan satu-satunya
pilihan. Beberapa ahli telah menetapkan kriteria klinis yang berbeda untuk
mendefinisikan vitiligo stabil. Salah satu pedoman yang sering digunakan untuk
menetapkan vitiligo stabil meliputi kriteria sebagai berikut (Sahni dan Parsad, 2013):
a. Riwayat progresivitas penyakit
Tidak ditemukan adanya lesi baru pada vitiligo stabil.
b. Perluasan lesi lama
Tidak ada perluasan atau bertambah besarnya lesi yang sudah ada sebelumnya.
c. Fenomena Koebner
Fenomena Koebner didefinisikan sebagai munculnya lesi vitiligo baru
pada tempat yang sebelumnya mengalami trauma. Pada vitiligo stabil tidak
didapatkan adanya fenomena Koebner.
d. Vitiligo disease activity score (VIDA)
Skor VIDA dapat menilai tingkat aktivitas penyakit pada pasien vitiligo
dari setiap terapi selama minimal 6 bulan. Penilaian aktivitas penyakit dengan
skor dari +4 hingga -1. Pasien dengan skor 0 artinya memiliki penyakit satbil
selama 1 tahun atau lebih, skor -1 berarti stabilitas penyakit lebih dari 1 tahun
disertai dengan repigmentasi spontan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

e. Repigmentasi spontan atau yang dipicu oleh pengobatan dan mini-grafting


positif dengan berkurangnya depigmentasi pada daerah lesi vitiligo adalah
kriteria lain untuk vitiligo stabil.
f. Durasi aktivitas stabil adalah 6 bulan hingga 2 tahun dimana tidak didapatkan
lagi penambahan lesi baru.
Aktivitas penyakit saat ini penting dijadikan sebagai pertimbangan saat membuat
keputusan klinis. Walaupun semua terapi medis mungkin sama efektifnya pada keadaan
penyakit aktif dan stabil, metode pembedahan hanya cocok untuk penyakit yang stabil
(Njoo et al., 1999).

6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang pada Vitiligo


Diagnosis vitiligo umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, termasuk
distribusi, perluasan lesi dan perjalanan penyakit. Prosedur diagnosis vitiligo yang
direkomendasikan menurut European Dermatology Forum Consensus pada kasus pasti
vitiligo adalah pemeriksaan anti-TPO (anti-tiroid peroksidase), antibodi antitiroglobulin,
thyroid stimulating hormone (TSH) dan tes lain jika diperlukan untuk mengetahui fungsi
tiroid dan diagnosis (misalnya antibodi anti-thyroid stimulating hormone/ TSHR jika
terdiagnosis penyakit Grave). Tambahan pemeriksaan autoantibodi (hanya jika riwayat
pasien, riwayat keluarga dan atau parameter laboratorium menunjukkan risiko kuat
adanya penyakit autoimun tambahan), saran dari ahli endokrinologi atau imunologi jika
terdeteksi adanya sindrom autoimun multipel. Jika diagnosis tidak pasti, dapat dilakukan
biopsi plong dari kulit dengan lesi dan nonlesi serta melakukan beberapa tes jika
diperlukan (mikologi, biomolekular untuk mendeteksi sel limfoma dan lain-lain) (Taieb
et al., 2012). Inspeksi dengan menggunakan lampu Wood juga dapat membantu
menegakkan diagnosis vitiligo (Wang et al., 2017).
Secara umum, hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran hilangnya
pigmen melanin dan tidak ditemukannya sel melanosit pada lapisan epidermis lesi vitiligo
(Gambar 8). Kondisi ini sesuai dengan proses imun yang diperantarai sel dan terjadinya
penghancuran melanosit in situ (Faria et al, 2014). Pada batas lesi, melanosit dapat
membesar dan bertambah dendrisitasnya (Gambar 9), terkadang limfosit juga ditemukan
pada area perbatasan lesi. Limfosit epidermotrofik dapat membentuk Pautrier-like
collection yang kecil pada lapisan basal. Infiltrat perivaskular yang terdiri dari sel
mononuklear yang mengenai pleksus superfisial dan beberapa edema superfisial juga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

dapat ditemukan pada lapisan dermis. Infiltrat limfositik berat di dermis bagian atas
jarang ditemukan. Dalam sebuah penelitian terhadap 210 kasus vitiligo, tepi lesi aktif
dengan eritema, bersisik dan hiperpigmentasi ditemukan pada 13% kasus. Infiltrat
limfosit pada taut demoepidermal ditemukan pada 89% kasus ini. Spongiosis fokal
kadang ditemukan pada batas lesi. Gambaran ini terutama terlihat pada lesi yang
didefinisikan sebagai “vitiligo marginal” dimana patch depigmentasi dikelilingi oleh
batas eritematosa yang meninggi. Daerah tersebut menunjukkan perubahan dermatitis
spongiotik dengan infiltrat limfosit dermis superfisial yang mengandung eosinofil.
Potongan ultrathin seringkali dapat memperlihatkan gambaran keratinosit vakuolar dan
bahan granular ekstraselular di lapisan basal kulit normal yang berdekatan dengan lesi
vitiligo. Jika dilakukan potongan serial, kadang-kadang dapat ditemukan limfosit di dekat
melanosit pada tepi yang meninggi. Perubahan degeneratif ditemukan pada syaraf dan
kelenjer keringat. Sel merkel tidak ditemukan dan sel langerhans sering ditemukan
meningkat pada lesi kulit vitiligo. Pengecatan dengan Melan-A dan HMB-45 dapat
dilakukan untuk mengetahui jumlah melanosit, sementara pada 16% kasus dengan
pengecatan Mason-Fontana dapat dijumpai sedikit melanin pada lapisan basal (Patterson,
2020). Beberapa jenis pewarnaan histokimia dan antibodi untuk mendeteksi melanin atau
melanosit normal dapat dilihat pada Tabel 3 (Aslanian et al., 2010).

Tabel 3. Jenis pewarnaan histokimia dan antibodi untuk mendeteksi melanin atau melanosit normal
(Aslanian et al., 2010)
Cat Tujuan Pengecatan Keterangan
Silver-nitrate Melanin (argirofilik) Terwarna hitam
Fontana-Masson Melanin (argentaffin) Presipitat silver hitam
Reaksi DOPA Melanosit Aktivitas tirosinase mengubah DOPA yang
tidak berwarna menjadi DOPA melanin
(warna coklat tua-hitam)
Antibodi Target
S-100 Melanosit Paling sensitif (skrining awal)
Tidak spesifik (sel Langerhans tercat)
Melan-A (A- Melanosit Spesifitas paling tinggi
103/Mart-1) Penanda terkait melanososm
Sensitifitas 60-80%
NKI-beteb Melanosit (100-kDa melanosome associated Spesifitas tinggi
antigen)
T311 Melanosit (anti-tirosinase) Sensitifitas 80%
HMB-45 Melanosit (melanosome associated Spesifitas tinggi
cytoplasmic antigen) Sensitifitas kurang
MEL-5 (clone Pigment associated antigen 70-80 kDa Sensitifitas baik
TA99) glycoprotein
Keterangan: DOPA=Dihydroxyphenylalanine
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

Gambar 10. Gambaran histopatologi vitiligo. A. Tidak ditemukan melanosit dan melanin pada lapisan basal
lesi vitiligo (Hematoksilin-Eosin, 400x) B. Tidak ditemukan melanin pada lapisan basal dengan pewarnaan
khusus melanin (Masson-Fontana, 400x) (Patterson, 2020).

Gambar 11. Gambaran histopatologi batas lesi


vitiligo. Tampak adanya melanosome raksasa yang
tampak pada perbatasan lesi (Hematoksilin-Eosin,
400x) (Patterson, 2020).

7. Penatalaksanaan vitiligo
Vitiligo merupakan penyakit dengan patogenesis yang kompleks sehingga
penatalaksanaannya masih merupakan suatu tantangan. Manajemen terapi vitiligo
didasarkan pada pendekatan personal dan beberapa faktor dapat mempengaruhi pilihan
terapi, seperti durasi penyakit, tipe kulit, perluasan, jenis kelamin, usia, area yang terkena,
kehidupan sosial dan pengaruh budaya. Seorang dokter spesialis kulit kelamin harus
memperhatikan harapan pasien dan menjelaskan hasil yang diharapkan dari terapi dengan
jelas. Terdapat berbagai pilihan terapi untuk penyakit vitiligo (Tabel 4) (Speeckaert dan
van Geel, 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

Tabel 4. Macam terapi vitiligo (Speeckaert dan van Geel, 2017)


Terapi Hasil yang Keterangan
diharapkan
Vitiligo nonsegmental
- Terapi lini pertama Kortikosteroid Stabilisasi penyakit Durasi pengobatan yang
topikal potensi Kemungkinan disarankan 2-4 minggu
sedang repigmentasi (wajah > Terapi jangka lama selama
badan > akral) minimal 6 bulan
Imunomodulator Stabilisasi penyakit Lebih mahal dibandingkan
topikal Kemungkinan steroid topikal
repigmentasi (wajah > Aplikasi 2 kali sehari lebih
badan > akral) efektif dibandingkan 1 kali
sehari
- Terapi lini pertama NB-UVB atau Repigmentasi pada Efektivititas fototerapi
untuk lesi yang Laser excimer sebagian besar pasien, dapat dilihat sesudah terapi
luas dan pilihan lini meskipun repigmentasi selama 7-12 bulan
kedua pada kasus sempurna jarang terjadi Jumlah sesi terapi terbatas
yang tidak karena adanya peningkatan
memberikan risiko kanker kulit
respons terhadap Sering terjadi kekambuhan
kortikosteroid sesudah penghentian terapi
topikal
- Vitiligo stabil Transplantasi sel Efektivitas lebih Hasil tergantung pada
pigmen rendah pada vitiligo stabilitas dan lokasi lesi
nonsegmental
dibandingkan vitiligo
segmental
- Vitiligo yang Kortikosteroid oral Sebagian besar pasien Efek samping penting
sangat aktif dengan mencapai stabilitas mungkin muncul seperti
dampak yang berat penyakit, meskipun kenaikan berat badan dan
terdapat keterbatasan hipertensi
repigmentasi dnegan Hanya untuk jangka waktu
terapi tunggal tertentu (3-6 bulan)
- Vitiligo yang Terapi Pengangkatan sisa kulit Kekambuhan pigmentasi
sangat luas dengan depigmentasi (laser, normal yang tersisa mungkin terjadi
dampak yang berat krioterapi, MBEH) (diperlukan perlindungan
terhadap sinar matahari)
Vitiligo segmental
- Penyakit aktif Kortikosteroid Stabilisasi penyakit Durasi pengobatan yang
(pada sebagian topikal potensi kuat disarankan 2-4 minggu
besar pasien 6-2
tahun sesudah
onset penyakit)
Imunomodulator Stabilisasi penyakit Lebih mahal dibandingkan
topikal steroid topikal
- Vitiligo stabil Transplantasi sel Angka kesuksesan Hasil bergantung pada
pigmen yang cukup tinggi stabititas penyakit
Keterangan: MBEH= monobenzyl ether of hydroquinone, NB-UVB= narrow band ultraviolet B

Hingga saat ini belum ada terapi vitiligo yang dapat memberikan hasil memuaskan
dan kesembuhan total. Kombinasi beberapa terapi seringkali lebih baik daripada terapi
tunggal, tetapi terapi yang terbaik pada vitiligo masih sulit untuk ditentukan. Tidak ada
satupun terapi yang dapat diperkirakan memberikan hasil yang baik pada setiap pasien.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

Prinsip terapi vitiligo adalah untuk mengurangi penghancuran melanosit dan mendorong
repopulasi melanosit di epidermal, baik dengan cara merangsang perbaikan dari
melanosit yang rusak maupun dengan mereaktivasi melanosit residual atau merangsang
migrasi melanosit dari folikel rambut atau daerah kulit yang berdekatan (Sarnoff, 2015).
Berdasarkan pengetahuan dan teori patogenesis vitiligo yang ada hingga saat ini,
menghentikan perkembangan penyakit merupakan hal yang berkaitan dengan proses
imunologis, sedangkan stimulasi repigmentasi terkait dengan diferensiasi dan migrasi
melanosit. Kedua hasil akhir tersebut membutuhkan pendekatan terapi yang berbeda. Saat
ini, sebagian besar penelitian menitikberatkan terhadap repigmentasi namun sebaliknya
sebagian besar terapi yang diberikan bersifat antiinflamasi yang tidak bermanfaat untuk
repigmentasi (Speeckaert dan van Geel, 2017).
Rencana terapi untuk pasien vitiligo bervariasi tergantung aktivitas dan perluasan
penyakit. Sebagai contoh pasien dengan perkembangan penyakit yang aktif lebih baik
mendapatkan terapi kombinasi termasuk obat-obatan antiinflamasi oral untuk
menghambat perkembangan penyakit dan terapi lain misalnya fototerapi yang dapat
diberikan selama beberapa minggu hingga bulan sehingga pengobatan lebih efektif.
Terapi tunggal dapat diberikan sebagai pilihan pada vitiligo stabil karena kemungkinan
berkembang ketika respons muncul lambat adalah minimal (Ezzedine dan Harris, 2019).
Penatalaksanaan vitiligo secara umum dapat dibedakan menjadi terapi farmakologis
(terdiri dari terapi topikal dan oral), fisik dan bedah (Faria et al., 2014).
a. Terapi Topikal
1) Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal masih menjadi pilihan lini pertama untuk pengobatan
vitiligo karena murah dan mudah diaplikasikan. Efek antiinflamasi yang dimiliki
kortikosteroid dapat mengurangi perkembangan penyakit, meskipun berhentinya
penyebaran lesi jarang digunakan sebagai ukuran keberhasilan terapi (van Geel et
al., 2016). Sebagian besar repigmentasi dapat diamati di daerah wajah dan leher
sementara batang tubuh, ekstremitas dan terutama tangan biasanya hanya
menunjukkan repigmentasi yang terbatas (Njoo et al., 1998). Lesi baru memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami repigmentasi. Tidak ada
perbedaan bermakna antara efektivitas kortikosteroid potensi kuat dan sangat kuat.
Efek samping yang mungkin ditimbulkan antara lain adalah atrofi kulit,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

teleangiektasis, striae, erupsi akneiformis dan penyerapan sistemik yang


mengakibatkan penekanan sistem imun, sehingga steroid topikal biasanya
digunakan untuk jangka waktu pendek atau diselang-seling dengan pengobatan lain
untuk menurunkan efek samping (Sarnoff, 2015). Apabila terjadi efek samping
akibat kortikosteroid, penggantian terapi imunomodulator topikal mungkin
diperlukan. Terapi dengan kortikosteroid topikal dapat diteruskan setidaknya
hingga 6 bulan untuk memantau efektivitasnya (Taieb et al., 2012). Pasien harus
diberikan penjelasan bahwa tujuan utama pengobatan topikal adalah untuk
mencapai stabilitas penyakit. Repigmentasi dapat diamati terutama saat musim
panas pada wajah, sementara tidak adanya perkembangan di daerah lain dapat
dianggap sebagai suatu terapi yang berhasil (Speeckaert dan van Geel, 2017)
2) Imunomodulator topikal
Pimekrolimus dan takrolimus topikal adalah kalsineurin inhibitor yang
menekan aktivitas sel T dan mengurangi produksi sitokin proinflamasi. Eksperimen
in vitro menunjukkan bahwa obat-obatan ini dapat meningkatkan migrasi melanosit
dan pigmentasi (Jung et al., 2016). Serupa dengan kortikosteroid, imunomodulator
topikal menunjukkan repigmentasi paling baik di daerah wajah, sementara di area
tubuh lain memberikan hasil yang sedang. Secara umum, efektivitas
imunomodulator topikal sebanding dengan kortikosteroid (Ho et al., 2011).
Pimekrolimus bekerja dengan menekan regulasi aktivasi sel T yang terlibat
dalam patogenesis vitiligo, sehingga secara teoritis lebih efektif pada lesi yang aktif
dibandingkan lesi yang stabil. Pimekrolimus bekerja dengan menghambat produksi
sel T dan mencegah pelepasan mediator proinflamasi oleh sel mast (Dawid, 2006).
Pimekrolimus memiliki struktur lipofilik yang lebih tinggi daripada takrolimus dan
berikatan dengan makrophilin 12 dengan afinitas tinggi. Kompleks ini menghambat
kalsineurin yang menyebabkan supresi sekresi sitokin proinflamasi oleh sel T yang
teraktivasi, terutama IFN-γ, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF dan TNF-α yang
diyakini bertanggung jawab terhadap kerusakan melanosit pada vitiligo (Caridi,
2011).
Serupa dengan pimekrolimus, takrolimus menghasilkan efek terapeutik
dengan target penghambatan kalsineurin di kulit yang mengatur pembelahan dan
aktivasi sel T dan pada akhirnya menghambat sitokin proinflamasi. Penelitian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

menunjukkan bahwa penekanan TNF-α sesudah pengunaan takrolimus memainkan


peranan penting dalam repigmentasi lesi vitiligo. Tumor necrosis factor-α telah
terbukti menghambat proliferasi melanosit dan melanogenesis sehingga
memberikan dugaan bahwa sitokin epidermal merupakan bagian dari umpan balik
negatif yang meniadakan stimulus melanosit (Swope, 1991; Caridi et al., 2011).
Selain itu, sejumlah sitokin termasuk TNF-α dapat mengatur ekspresi intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) pada melanosit yang dapat memicu perlekatan
limfosit-melanosit dan memainkan peran dalam penghancuran melanosit. Oleh
karena itu, takrolimus digunakan dengan tujuan untuk menghambat sel T dan
berbagai sitokin yang terlibat sehingga penggunaannya dapat mencegah umpan
balik negatif seperti yang telah disebutkan sebelumnya serta ekspresi ICAM-1 pada
melanosit (Caridi et al., 2011). Aplikasi takrolimus dua kali sehari terbukti lebih
efektif dibandingkan dengan aplikasi sekali sehari (Radakovic et al., 2009).
Respons takrolimus terhadap repigmentasi sedikit lebih baik dibandingkan dengan
pimekrolimus (Lotti et al., 2008). Potensi takrolimus yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pimekrolimus juga ditunjukkan dalam model induksi
Koebner secara in vivo (van Geel et al., 2012).
Efek samping yang paling sering muncul dari imunomodulator topikal adalah
munculnya sensasi terbakar terutama dalam 10-14 hari pertama aplikasi yang
umumnya bersifat sementara. Flushing yang terjadi sesudah konsumsi alkohol juga
sering diamati dan menimbulkan gangguan bagi beberapa pasien. Imunomodulator
topikal dapat digunakan pada kasus munculnya efek samping akibat penggunaan
kortikosteroid topikal (misalnya erupsi akneiformis) atau untuk mencoba
repigmentasi pada wajah ketika terapi dengan kortikosteroid topikal tidak
menunjukkan perbaikan (Speeckaert dan van Geel, 2017).
3) Antioksidan topikal
Meskipun masih relatif sering diresepkan, namun bukti efektivitas
antioksidan topikal hanya diamati pada sejumlah kecil uji coba (Leone dan Paro
Vidolin, 2015; Schallreuter et al., 2008). Pedoman konsensus yang ada saat ini
tidak merekomendasikan penggunaan antioksidan topikal untuk pengobatan
vitiligo (Speeckaert dan van Geel, 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

b. Fototerapi
Fototerapi dengan menggunakan radiasi ultraviolet (UV) baik UVA dan UVB telah
lama dikenal sebagai terapi yang efektif untuk memicu repigmentasi. Mekanisme pasti
fototerapi ini belum sepenuhnya dipahami namun diduga dapat memicu penekanan sistem
imun dengan menghambat penghancuran melanosit atau menstimulasi peningkatan
jumlah serta kemampuan migrasi melanosit (Pacifico dan Leone, 2011).
Narrow band UVB (NB-UVB) merupakan fototerapi pilihan untuk vitiligo dan
umumnya dilakukan dua hingga tiga kali seminggu. Tanda-tanda repigmentasi dapat
diamati pada sebagian besar pasien sesudah fototerapi NB-UVB, namun repigmentasi
sempurna hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien (Anbar et al., 2006). Njoo et al.
melaporkan bahwa repigmentasi sempurna terjadi hanya pada 6% pasien anak dengan
vitiligo sesudah 12 bulan terapi tunggal dengan NB-UVB (Njoo et al., 2000).
Kesembuhan sempurna dilaporkan sedikit lebih tinggi (16,5%) dalam studi lain dengan
subjek pasien vitiligo dari segala usia (Anbar et al., 2006). Oleh karena itu, pasien harus
diberi tahu mengenai kemungkinan risiko kambuh sesudah terapi dihentikan. Sekitar
setengah dari pasien akan mengalami lesi vitiligo di kulit yang telah mengalami
repigmentasi dalam satu tahun pertama jika tidak diobati (Nicolaidou et al., 2007; Sitek
et al., 2007). Menurut Caron-Schreinemachers et al., minimal erythemal dose (MED) lesi
vitiligo 35% lebih rendah dibandingkan dengan kulit normal yang membutuhkan
penyesuaian terhadap dosis UVB (Caron-Schreinemachers et al., 2005). Terapi ini masih
dilanjutkan jika repigmentasi masih berlanjut hingga maksimal 1-2 tahun. Evaluasi
perubahan berdasarkan foto follow-up direkomendasikan setiap 3 bulan. Sesudah
fototerapi dihentikan maka disarankan untuk melanjutkan terapi topikal untuk mencegah
kekambuhan. Aplikasi takrolimus dua kali sehari telah terbukti mengurangi tingkat
kekambuhan lesi (Cavalié et al., 2015).
Tujuan terapi NB-UVB adalah untuk menstimulasi pertumbuhan dan migrasi
melanosit dari daerah perilesional dan perifolikuler (Dell’Anna et al., 2007). Mekanisme
pasti fototerapi masih belum banyak dipahami, tetapi telah dilaporkan bahwa UVB dapat
menginduksi melanogenesis dan migrasi melanosit yang dimediasi oleh beberapa faktor
seperti IL-1, TNF-α dan leukotrien C4 (Wang et al., 2014). Ultraviolet B menstimulasi
sekresi IL-1α oleh keratinosit dan secara autokrin meningkatkan ekspresi gen endothelin-
1 (ET-1) yang merupakan stimulator melanogenik utama yang berhubungan dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

pigmentasi yang diinduksi UVB (Brazzelli et al., 2007). Ultraviolet B juga menyebabkan
pelepasan keratinocytic growth factors (KGF) dan pelepasan ekspresi melanositik dari
focal adhesion kinase (FAK) yang berperan pada proses adesi dan migrasi (Dell'Anna et
al., 2007). Radiasi NB-UVB dapat menstimulasi pelepasan b-FGF dan ET-1 dari
keratinosit yang dapat menginduksi proliferasi melanosit. Basic fibroblast growth factor
(b-FGF) dikenal sebagai mitogen alami dari melanosit, meningkatkan pertumbuhan dan
kelangsungan melanosit (Halaban dkk., 1988). Endothelin-1 dapat memicu sintesis DNA
melanosit dan menunjukkan efek stimulasi yang sinergis pada sintesis DNA yang
distimulasi bFGF pada melanosit. Radiasi NB-UVB juga dapat meningkatkan migrasi
melanosit melalui stimulasi ekspresi phosphorylated focal adhesion kinase (p125FAK)
pada melanosit dan melalui peningkatan eskpresi aktivitas matrix metalloproteinase-2
(MMP-2) melanosit. Sifat imunosupresif juga ditunjukkan oleh NB-UVB dengan
menginduksi apoptosis limfosit-T yang tampaknya memegang peranan penting pada
repigmentasi lesi vitiligo (Wu et al., 2004 dan Zhang et al., 2014).
Fotokemoterapi merupakan suatu metode terapeutik terdiri dari penggunaan obat
yang dapat meningkatkan efek radiasi pada penggunaan fototerapi. Psoralen adalah obat
yang paling umum digunakan pada vitiligo dalam bentuk 8-methoxypsoralen, 5-
methoxypsoralen atau trimethylpsoralen yang dapat digunakan baik secara oral maupun
topikal. Terapi psoralen dan UVA (PUVA) oral adalah pengobatan yang cukup popular
untuk vitiligo dimana menggunakan UVA (320-400nm) dan obat photosensitizing, yaitu
8-methoxypsoralen dengan dosis 0,6 mg/ kg berat badan yang diberikan 2 jam sebelum
fototerapi. Terapi PUVA topikal dapat digunakan untuk vitiligo yang terlokalisasi pada
orang dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun. Pada terapi PUVA topikal diberikan psoralen
topikal yaitu methoxsalen 0,1% yang diaplikasikan pada lesi 30-60 menit sebelum
paparan radiasi UVA. Terapi ini dipilih karena dosis UVA yang diberikan lebih rendah
dan penyerapan psoralen topikal kecil (Faria et al., 2014). Fotokemoterapi memberikan
hasil repigmentasi yang lebih rendah serta memiliki efek samping yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan NB-UVB (Bhatnagar et al., 2007). Laser excimer 308 nm mungkin
dapat menimbulkan repigmentasi sedikit lebih cepat dibandingkan dengan NB-UVB,
meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan perbedaan repigmentasi yang
signifikan ≥50% antara laser excimer dan NB-UVB (Lopes et al., 2016).
Efek samping fototerapi termasuk kulit terbakar yang terkait dosis dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

hiperpigmentasi kulit. Alat fototerapi targeted telah dikembangkan dan bermanfaat


terutama untuk daerah yang terlihat seperti wajah dan tangan. Risiko perkembangan
kanker kulit berhubungan dengan peningkatan jumlah sesi fototerapi (Lindelof et al.,
1991). Risiko karsinogenik ini jelas terlihat pada fotokemoterapi, namun pada terapi NB-
UVB belum ada bukti yang jelas. Belum ada konsensus yang menetapkan jumlah
maksimum sesi terapi NB-UVB yang dianggap aman untuk vitiligo. Meskipun fototerapi
merupakan salah satu perawatan paling efektif untuk menginduksi repigmentasi,
keterbatasan terapi ini harus disampaikan dengan jelas kepada pasien. Repigmentasi
sempurna jarang terjadi dan kekambuhan sesudah fototerapi dihentikan sering terjadi,
terutama jika tanpa disertai terapi pemeliharaan (topikal) (Cavalié et al., 2015). Tanning
yang diinduksi oleh UV akan meningkatkan kontras warna antara area berpigmen dan
depigmentasi, yang dapat mengganggu dan menjadi alasan untuk menghentikan
fototerapi (Speeckaert dan van Geel, 2017).
c. Terapi Sistemik
1) Kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral sering digunakan dalam durasi yang singkat pada vitiligo
yang aktif dan masih menyebar serta berkembang dengan cepat, umumnya pada
tahap awal penyakit (Manga et al., 2016). Terapi kortikosteroid oral mini-pulsed
menggunakan kortikosteroid dosis 2,5-10 mg deksametason selama dua hari
berturut-turut dalam seminggu digunakan untuk menghentikan perkembangan
penyakit. Kanwar et al. melaporkan bahwa terapi deksametason oral mini-pulsed
dosis rendah 2,5 mg per hari selama dua hari berturut-turut dalam seminggu
menghentikan perkembangan vitiligo pada 91,8% subjek penelitian dalam waktu
13 minggu (Kanwar et al., 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa terapi
kortikosteroid oral mini-pulsed deksametason 10 mg dua kali perminggu terbukti
dapat menghentikan perkembangan penyakit pada 88% pasien sesudah 18,2
minggu terapi. Repigmentasi yang terjadi karena kortikosteroid saja jarang
ditemukan. Efek samping yang dapat muncul yaitu penambahan berat badan,
jerawat, gangguan tidur, agitasi, hipertrikosis dan kelainan menstruasi, sehingga
penggunaannya untuk jangka waktu yang panjang harus dibatasi (Radakovic-Fijan
et al, 2001). Kombinasi kortikosteroid oral dengan NB-UVB efektif untuk
menghentikan perkembangan dan menginduksi repigmentasi dengan cepat,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

meskipun kewaspadaan diperlukan untuk melihat adanya efek samping jangka


panjang ketika mengkombinasikan UVB dan imunosupresan sistemik (Lee et al.,
2016; Speeckaert dan van Geel, 2017).
2) Antioksidan oral
Vitamin dan suplemen oral juga dipertimbangkan sebagai terapi pada vitiligo
dengan melihat manfaat antioksidan yang dimiliki. L-phenylalanine, khellin,
polupodium lencotomos, Ginko biloba, B12, asam folat, alpha lipoic acid, zink,
vitamin C dan E merupakan beberapa antioksidan yang disebutkan dalam literatur
baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan terapi lain dengan efektivitas
yang bervariasi dalam memicu repigmentasi pada vitiligo (Manga et al., 2016).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa kombinasi antioksidan oral (misalnya
polypodium leucotomos, vitamin E, vitamin C) dan NB-UVB menyebabkan
peningkatan repigmentasi, antioksidan oral dapat dipertimbangkan pada pasien
yang menjalani fototerapi (Colucci et al., 2015).
Meskipun beberapa obat antioksidan memberikan harapan yang menjanjikan
untuk terapi vitiligo, namun sebagian besar penelitian tersebut hanya melibatkan
sejumlah kecil subjek dan beberapa tanpa disertai kontrol. Randomized controlled
trial yang lebih besar dibutuhkan untuk menetapkan suatu rekomendasi terapi yang
pasti dan memberikan penjelasan yang lebih baik tentang bagaimana obat-obatan
ini dapat memperbaiki depigmentasi pada vitiligo (Manga et al., 2016).
d. Terapi Bedah
Terapi bedah pada vitiligo pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 oleh
Haxthausen, dimana mereka mencangkokkan kulit tipis dari kulit yang normal ke lesi
kulit vitiligo pada tiga orang pasien untuk mempelajari patogenesis penyakit ini
(Haxthausen, 1947). Sejak saat itu berbagai teknik bedah dan modifikasinya telah
digunakan dan dikembangkan menjadi lebih canggih dan bervariasi (Mohammad dan
Hamzavi, 2017). Behl (1964) dari India merupakan orang pertama yang melaporkan
terapi bedah untuk vitiligo dengan jumlah kasus yang besar yaitu sebanyak 107 pasien
dengan menggunakan cangkok Thiersch yang tipis (Behl, 1964). Falabella (1971)
menyebutkan penggunaan teknik suction blister untuk mencapai repigmentasi lesi vitiligo
dan kemudian mengembangkan teknik autologous minipunch graft pada tahun 1978
(Falabella, 1971; Falabella, 1978).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

Falabella et al. (1989) menyebutkan penggunaan kultur in vitro epidermis yang


mengandung melanosit untuk pengobatan vitiligo (Falabella et al., 1989). Penggunaan
suspensi epidermal yang diperoleh dengan tripsinasi pertama kali dilaporkan pada tahun
1992 oleh Gauthier dan Surleve-Bazeille dan dilanjutkan oleh Olsson dan Juhlin dengan
menambahkan media kultur melanosit untuk mendukung pertumbuhannya (Gauthier dan
Surleve-Bazeille, 1992; Olsson dan Juhlin, 2002). Kahn et al. (1996) melaporkan
penggunaan laser karbondioksida short-pulse untuk menipiskan area penerima (resipien)
dan dua tahun berikutnya menggunakan suatu alat dermatom bermotor untuk
mendapatkan jaringan cangkok atau donor yang sangat tipis sebagai terapi vitiligo (Kahn
et al., 1996; Kahn dan Cohen, 1998). Dengan demikian terapi bedah untuk vitiligo telah
berkembang selama bertahun-tahun meskipun etiologi dan patogrnesis vitiligo masih
tetap sulit dipahami hingga saat ini.
Prinsip dasar terapi bedah dalam vitiligo adalah untuk mencapai repigmentasi yang
baik secara kosmetik di area lesi vitiligo melalui transplantasi melanosit autologus dari
kulit berpigmen yang tidak terdampak ke lesi depigmentasi vitiligo. Terapi ini tidak dapat
menghentikan perkembangan penyakit dan diindikasikan untuk vitiligo stabil yang
menetap serta tidak menunjukkan respons yang baik terhadap terapi standar lainnya.
Modalitas terapi bedah yang tersedia bervariasi dan pilihan terapi tergantung pada jenis
vitiligo, luas dan lokasi lesi serta ketersediaan peralatan dan keahlian operator yang
melakukan tindakan (Khunger et al., 2009).
Terapi bedah pada vitiligo dapat memberikan hasil yang sangat baik, namun kunci
utama keberhasilan terapi ini adalah pemilihan pasien yang tepat. Terapi bedah pada
vitiligo diperuntukkan bagi pasien dengan vitiligo stabil, yaitu tidak muncul lesi baru atau
lesi lama tidak berkembang selama 1-2 tahun (Ezzedine dan Harris, 2019). Namun
demikian, keseluruhan stabilitas mungkin sulit untuk dinilai dan terkadang hanya
membantu untuk menentukan stabilitas pada lesi tertentu, dimana tindakan bedah akan
dilakukan. Vitiligo nonsegmental khususnya merupakan suatu proses yang dinamis dan
beberapa pasien memiliki baik lesi stabil maupun tidak stabil dalam waktu bersamaan.
Jadi, tindakan bedah dapat diterapkan pada lesi stabil terpilih saja pada pasien dengan
vitiligo generalisata (Picardo et al., 2015).
Pasien vitiligo segmental merupakan kandidat yang baik untuk terapi bedah ini
karena lesi vitiligo tipe ini stabil dengan cepat (Ezzedine dan Harris, 2019). Vitiligo
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

segmental yang ditandai dengan lesi depigmentasi unilateral dan tidak melewati garis
tengah tubuh memberikan respons yang baik dengan angka keberhasilan antara 58-84%
(Mulekar, 2004; Silpa-Archa et al., 2017; Mohammad dan Hamzavi, 2017). Terapi bedah
memberikan hasil yang kurang baik pada pasien vitiligo tipe yang lain dan hanya
digunakan ketika tatalaksana medis lainnya gagal (Ezzedine dan Harris, 2019). Lokasi
area yang diterapi juga menentukan hasil prosedur bedah. Area dengan suplai vaskular
yang lebih besar dan memiliki folikel rambut yang padat seperti kepala, wajah dan leher
akan memberikan respons yang lebih baik terhadap prosedur bedah daripada
ekstremitas. Lesi-lesi yang berada di ujung jari atau sekitar kuku dan lesi di atas
persendian memiliki respons yang kurang baik akibat adanya gesekan dan trauma
berulang pada area tersebut. Selain itu screening untuk kecenderungan keloid, riwayat
perdarahan, infeksi dan berbagai kontraindikasi tambahan pada prosedur bedah juga
harus dilakukan pada pasien (Mohammad dan Hamzavi, 2017).
Bedah vitiligo dikontraindikasikan pada pasien dengan vitiligo aktif yang tidak
stabil dan vitiligo pada anak-anak. Pada anak-anak, perkembangan penyakit ini sulit
diprediksi dan umumnya anak-anak memberikan respons yang lebih baik terhadap terapi
medis dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, prosedur bedah harus dilakukan
dengan anestesi umum, yang merupakan faktor risiko tambahan lainnya pada anak-anak
(Khunger et al., 2009).
Secara umum teknik bedah yang digunakan untuk terapi vitiligo dibedakan menjadi
teknik non-grafting dan grafting atau cangkok yang terdiri dari pencangkokan jaringan
dan selular. Teknik bedah non-grafting misalnya adalah therapeutic wounding, eksisi dan
jahitan primer serta mikropigmentasi Teknik cangkok jaringan misalnya adalah thin and
ultrathin split-thickness skin graft, suction blister epidermal graft, mini punch graft dan
hair follicle graft. Teknik ini menggunakan cangkok jaringan yang padat dimana
ukurannya sama dengan ukuran area penerima dengan rasio 1:1. Selain itu terdapat teknik
cangkok selular yang terdiri dari noncultured epidermal cell suspension (NCECS),
cultured “pure” melanocyte, cultured epithelial graft dan autologous noncultured
extracted hair follicle suspension (Tabel 5) (Khunger et al., 2009; Paul, 2011).
Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Secara
umum, cangkok jaringan lebih mudah dilakukan daripada cangkok selular, namun
memiliki keterbatasan karena rasio kebutuhan jaringan cangkok dengan area penerima
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

adalah 1:1. Split-thickness grafting murah dan mudah dilakukan, tetapi seringkali
menimbulkan hasil akhir ketidakcocokan warna kulit dengan sekitarnya (missmatch) dan
kadang-kadang terjadi kegagalan dalam mengambil jaringan cangkok. Punch grafting
mudah dilakukan dan tidak mahal tetapi hanya dapat digunakan pada area yang terbatas
karena adanya efek samping yang sering terjadi yaitu cobblestoning. Cobblestoning
menggambarkan suatu penyembuhan dengan jaringan donor yang terlihat dan teraba di
area penerima, memberi gambaran seperti ‘batu bulat di jalan setapak’. Blister grafting
umumnya memberikan hasil kosmetik yang lebih baik tanpa cobblestoning, tetapi
memakan waktu yang lebih lama akibat prosedur yang lebih sulit dimana memperlakukan
dan menempatkan jaringan donor berupa atap blister yang sangat tipis (Mohammad dan
Hamzavi, 2017).

Tabel 5. Teknik bedah pada vitiligo (Khunger et al., 2009; Paul, 2011)
Pencangkokan Jaringan Pencangkokan Selular Non-grafting
Mini-punch grafting Noncultured basal cell suspension Therapeutic wounding
Suction blister grafting Cultured melanocyte/ keratinocyte graft Eksisi & jahitan primer
Thin split thickness grafting Mikropigmentasi
Puch grafting
Hair follicle graft
Mesh graft
Flip-top pigment transplantation

Cangkok selular merupakan pilihan terapi bedah lini pertama untuk vitiligo stabil
karena memiliki kelebihan dapat meningkatkan rasio area donor dan penerima, persentase
hasil repigmentasi dan kecocokan warna kulit yang sangat baik serta penyembuhan
paskatindakan yang lebih baik. Teknik yang paling umum digunakan yaitu prosedur
cangkok sel melanosit-keratinosit, dengan membuat suatu suspensi keratinosit dan
melanosit dari epidermis donor yang diolah secara enzimatik dan mekanis menjadi satu
suspensi sel. Teknik ini telah diperbaiki dan disederhanakan selama beberapa tahun
terakhir dan saat ini hanya memerlukan proses laboratorium yang minimal. Dalam
beberapa tahun terakhir, cangkok selular dengan menggunakan teknik noncultured
melanosit-keratinosit menjadi populer karena lebih mudah, hasil estetika yang lebih baik
dan hanya membutuhkan jaringan donor yang kecil (Paul, 2011).
e. Terapi Noncultured Epidermal Cell Suspension
Noncultured epidermal cell suspension (NCECS) atau disebut juga sebagai
melanocyte-keratinocyte transplantation procedure (MKTP) merupakan teknik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

pemindahan atau cangkok sel epidermal (melanosit dan keratinosit) autologus yang telah
diolah secara enzimatik dan dipisahkan secara mekanis menjadi suatu suspensi sel pelet
ke area penerima, yang telah didermabrasi secara mekanis atau termal sebelumnya.
Teknik lain juga termasuk menyuntikkan suspensi sel ke dalam lepuh yang dibuat di area
penerima (Sahni et al., 2011; Dillon et al., 2017).
Teknik NCECS pada vitiligo dipelopori oleh Gauthier et al. pada tahun 1992.
Teknik ini merupakan metode alternatif yang lebih sederhana dan efektif jika
dibandingkan transplantasi kultur melanosit. Teknik ini diindikasikan terutama untuk
vitiligo segmental dan nonsegmental yang stabil yang tidak berespons dengan terapi
medis lainnya (Gauthier dan Surleve-Bazeille, 1992). Teknik ini telah diperbaiki dan
disederhanakan selama beberapa tahun terakhir dan saat ini hanya membutuhkan
prosedur serta peralatan laboratorium yang minimal (Ezzedine dan Harris, 2019). Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik yang dilakukan oleh Olsson & Juhlin
pada tahun 1998 dan kemudian dimodifikasi oleh Mulekar pada tahun 2003 (Olsson dan
Juhlin, 2002; Mulekar, 2004). Modifikasi teknik yang berbeda dalam metodologi
prosedur ini dapat ditemukan di berbagai penelitian yang lain, mulai dari cara
memperoleh sel-sel di area donor, persiapan area penerima dan jenis perban atau dressing
yang digunakan. Sel-sel epidermis dapat diperoleh dengan reseksi lapisan tipis kulit,
menggunakan pisau fleksibel, dengan kuretase lapisan epidermis atau melalui dermabrasi
manual (Machado Filho dan Timoner, 2014; Mulekar, 2016; Gupta et al., 2015). Area
penerima dapat dikondisikan dan disiapkan terlebih dahulu dengan alat-alat seperti
dermabrasi manual bermesin, laser CO2 dan cairan nitrogen (Al-Hadidi et al., 2015). Satu
artikel terbaru yang diterbitkan oleh Al-Hadidi et al. menunjukkan bahwa perawatan
pascatindakan juga penting dalam keberhasilan terapi. Balutan (dressing) yang
ditempatkan di area penerima, seperti dressing kolagen dapat menjamin perlekatan dan
kelangsungan hidup sel yang ditransplantasikan, sehingga merangsang proses
penyembuhan. Para peneliti juga menyoroti bahwa dengan meminimalkan kemungkinan
kontaminasi bakteri, trauma mekanik, kimia serta fototoksik juga penting untuk
meningkatkan kelangsungan hidup melanosit sehingga memungkinkan hasil
repigmentasi yang lebih baik (Al-Hadidi et al., 2015; Ramos et al., 2017).
Transplantasi NCECS autologus merupakan prosedur yang membutuhkan
penggunaan beberapa peralatan dan teknik laboratorium, namun dapat dilakukan dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

waktu singkat (sekitar 2 jam) di poliklinik rawat jalan atau klinik spesialis
dermatovenereologi. Metode ini memungkinkan pengobatan berbagai area tubuh dan area
yang lebih luas, dengan rasio hingga 1:10 dari luas area donor (1 cm2 luas area donor
digunakan untuk pencangkokan 10 cm2 area resipien). Untuk hasil yang lebih baik,
disarankan dengan menggunakan rasio 1:5, yaitu area perlakuan atau penerima lima kali
luas dari area donor (Mulekar, 2016; Huggins et al., 2015).
Prosedur transplantasi NCECS dilakukan dengan mengambil kulit dari area donor,
kemudian dibilas dan diinkubasi dalam 0,25% tripsin selama 30 menit, sesudah itu sel-
sel dibilas dengan media yang mengandung serum antitripsin. Prosedur selanjutnya yaitu
pemisahan epidermis dari dermis secara manual. Epidermis dipotong-potong secara
manual menjadi fragmen kecil kemudian disentrifugasi pada 1800 rpm selama 5 menit.
Proses ini menghasilkan sel pelet yang kemudian diresuspensi dalam larutan ringer laktat
dalam syringe 1 mL. Diperlukan sekitar 0,5 mL larutan untuk 100 cm2 area yang akan
diterapi. Suspensi seluler diaplikasikan di area penerima yang telah disiapkan sebelumnya
dengan dermabrasi atau laser dan kemudian ditutup dengan kasa steril (Gambar 10).
Pasien diinstruksikan untuk membatasi gerakan pascatindakan untuk menghindari
pergeseran atau terlepasnya balutan. Balutan dibuka 4 hari pascatindakan untuk area
kepala dan leher serta 7 hari untuk area yang lain. Keuntungan dari prosedur ini adalah
dapat dilakukan dalam waktu 1 hari dan tidak memerlukan perawatan inap (Mohammad
dan Hamzavi, 2017; Ezzedine dan Harris, 2019).
Melanosit memainkan peran penting dalam repigmentasi lesi vitiligo. Repigmentasi
dalam vitiligo dapat terjadi dalam empat pola klinis yaitu folikular, marginal, difus dan
gabungan ketiganya. Dasar terjadinya repigmentasi dengan prosedur NCECS karena
adanya pemindahan melanosit murni, termasuk melanosit yang belum berdiferensiasi dan
keratinosit yang memproduksi faktor pertumbuhan spesifik untuk melanosit sehingga
diharapkan terjadi repopulasi melanosit yang dapat menghasilkan melanin
(melanogenesis) dan pada akhirnya terjadi repigmentasi (Picardo et al., 2015).
Penelitian klinis yang menilai efektivitas teknik NCECS menunjukkan
repigmentasi pada seluruh pasien dalam penelitian (>76% [n = 4], 51-75% [n = 2], 26–
50% [n = 2], 0–25% [n = 2]) (Khodadadi et al., 2010). Penelitian acak telah menunjukkan
bahwa NCECS lebih efektif secara signifikan dibandingkan suction blister grafting dalam
memicu repigmentasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Budania et al., 2012).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

Noncultured epidermal cell suspension juga menghasilkan hasil objektif yang sebanding
dan kepuasan pasien yang lebih tinggi dibandingkan noncultured extracted hair follicle
outer root sheath cell suspension dengan keamanan yang sebanding (Singh et al., 2013).
Teknik ini juga telah terbukti menghasilkan repigmentasi yang baik hingga sangat baik
(50-100%) pada lebih dari 90 persen pasien dengan leukotria dalam waktu 9-12 bulan,
sehingga menghindarkan kebutuhan akan transplantasi rambut (Gan et al., 2012).

Gambar 12. Prosedur NCECS autologus. A. Pengambilan jaringan kulit donor B.


Jaringan yang telah didapatkan diproses untuk memisahkan lapisan epidermis dan
dipotong-potong secara mekanis menjadi fragmen kecil C. Sel pelet melanosit dan
keratinosit dihasilkan sesudah sentrifugasi D. Pengaplikasian suspensi sel pada area
penerima yang telah didermabrasi sebelumnya (Ezzedine and Harris, 2019).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

Efek samping utama yang ditemukan pada pasien yang diterapi dengan NCECS
antara lain rasa sakit dan ketidaknyamanan selama tindakan dan segera sesudah tindakan.
Komplikasi yang lebih berat seperti infeksi dan bekas luka di area donor maupun
penerima jarang ditemukan. Fenomena Koebner pada area donor dan hiperpigmentasi
dengan tepi depigmentasi di daerah reseptor mungkin dapat muncul sesudah prosedur ini.
Kemungkinan terjadinya efek ini harus dijelaskan kepada pasien sebelum memulai
tindakan (Ramos et al., 2017; Huggins et al., 2015; Isedeh et al., 2015).
f. Dermabrasi
Dermabrasi merupakan salah satu prosedur bedah dermatologis klasik yang
diindikasikan untuk mengobati berbagai kelainan kulit dan untuk resurfacing kulit.
Prosedur tersebut dikontraindikasikan untuk beberapa kondisi seperti pasien dengan
penyakit terkait fenomena Koebner termasuk vitiligo aktif (Coleman WP, 1990).
Prosedur dermabrasi pada vitiligo ditujukan sebagai sarana untuk de-epitelisasi kulit yang
mengalami depigmentasi dan untuk mempersiapkan kulit untuk pengaplikasian cangkok
epitelial pada kasus vitiligo stabil. Penelitian oleh Bayoumi et al. (2012) memperkenalkan
prosedur tersebut sebelum perlakuan narrow-band ultraviolet B dan steroid topikal untuk
meningkatkan keberhasilannya (Bayoumi et al., 2012).
Penelitian lain oleh Awad et al. (2007) menunjukkan bahwa dermabrasi dapat
menghasilkan repigmentasi pada vitiligo melalui stimulasi penanda melanosit dan
eliminasi hiperkeratosis. Repigmentasi ini dicapai dengan cara menerapkan prosedur
dermabrasi sebagai satu-satunya metode untuk mengobati vitiligo melalui regenerasi sel-
sel pigmen baru dengan menginduksi dan menstimulasi melanocyte stem cell (MSC) yang
berada dalam tonjolan atau selubung akar luar folikel rambut. Melanocyte stem cell ada
pada area tonjolan folikel rambut dalam kondisi hiernasi atau tidak aktif. Sebagian besar
kandungan folikel rambut adalah cadangan melanosit yang belum dewasa dan sel-sel ini
dapat melakukan repopulasi epidermis ketika distimulasi (Nishimura et al., 2002). Folikel
rambut dewasa mengandung melanosit dopa positif pada lapisan basal infundibulum dan
di sekitar papila dermis atas, sedangkan melanosit dopa negatif berada pada selubung akar
luar bagian tengah hingga bawah. Dari total 10 pasien, repigmentasi sempurna ditemukan
pada enam kasus dan repigmentasi parsial terlihat pada dua kasus, sedangkan dua kasus
lainnya gagal memberikan respons atau tidak terlihat repigmentasi. Vitiligo aktif dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

perkembangan lesi baru adalah salah satu mekanisme yang dapat menjelaskan kegagalan
tersebut, namun kasus lain tidak menunjukkan tanda aktivitas klinis (Slominski et al.,
2005).
Hiperkeratosis merupakan temuan patologis pada area vitiligo (Kim et al., 2008;
Sapam et al., 2012). Ketebalan stratum korneum berperan sebagai pelindung terhadap
efek sinar UV dan apabila terjadi hiperkeratosis bisa menyebabkan efek blocking cahaya
matahari (Gniadecka et al., 1996). Hiperkeratosis dapat mencegah efek dari sinar UV
dalam menstimulasi proliferasi melanosit dan melanisasi pada epidermis atau maturasi
MSC pada selubung akar luar folikel rambut. Prosedur dermabrasi disini mampu
mengatasi lapisan keratotik yang tidak diinginkan (Ortonne et al., 1980). Berdasarkan
uraian diatas prosedur dermabrasi dapat membantu repigmentasi pada vitiligo stabil
melalui stimulasi MSC yang ada pada epidermis atau folikel rambut dan melalui efek
sinar ultraviolet dengan menghilangkan hiperkeratosis yang memungkinkan efek
stimulatif yang lebih potensial pada regenerasi melanosit baru.
Pada berbagai prosedur bedah pada vitiligo, repigmentasi dapat terjadi meskipun
dengan prosedur yang sederhana. Terjadinya perubahan lingkungan dari berbagai sitokin
epidermal mampu menstimulasi melanosit yang tidak aktif dari selubung akar luar
rambut. Melanosit muncul pada epidermis dalam waktu 8 - 10 hari sesudah dermabrasi
dengan ukuran dua hingga tiga kali lebih besar dibanding melanosit normal, dapat
memicu repigmentasi dengan pola difus maupun perifolikular (Kumar, 2018).
Beberapa penelitian lain juga menggambarkan mekanisme repigmentasi terjadi
sesudah prosedur pencangkokan pada vitiligo atau prosedur bedah lainnya. Pertama,
proses cedera dan penyembuhan luka akibat cangkok merangsang disosiasi melanosit dari
lapisan basal, proliferasi melanosit, migrasi dan reposisinya di lapisan basal, pada
dasarnya ini merupakan proses fisiologis normal untuk homeostasis melanosit.
Lingkungan yang menguntungkan untuk stimulasi melanosit ini diciptakan oleh faktor-
faktor pro-melanogenik seperti HGF, bFGF, KGF (Gan et al., 2017). Mekanisme kedua
melibatkan perubahan pada taut dermoepidermal atau dermal-epidermal junction (DEJ)
dan peningkatan enzim heparanase post-grafting. Pengurangan heparan sulfat yang
dimediasi oleh heparanase pada DEJ diyakini meningkatkan transfer faktor pertumbuhan
pengikat heparin pro melanogenik seperti FGF dan HGF dari dermis ke melanosit
(Kovacs et al., 2015). Ketiga melalui peran MMP seperti MMP-2 yang diatur dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

penyembuhan luka, juga berkontribusi terhadap migrasi melanoblas (Lei et al., 2002).
Mekanime terakhir melibatkan downregulation molekul adhesi E-cadherin yang
menyebabkan terjadinya pelebaran ruang antar sel epidermal yang terjadi selama
penyembuhan luka, hal ini memfasilitasi terjadinya migrasi melanosit (Gan et al., 2017;
Praharsini dan Suryawati, 2018).
g. Platelet Rich Plasma
Platelet-rich plasma (PRP), suatu produk biologis, merupakan bagian dari fraksi
plasma darah autologous dengan konsentrasi trombosit di atas baseline. Platelet-rich
plasma tidak hanya mengandung trombosit tingkat tinggi, tetapi juga memiliki berbagai
faktor pembekuan. Selain itu, PRP juga diperkaya dengan beberapa faktor pertumbuhan,
kemokin, sitokin dan protein plasma lainnya (Alves dan Grimalt, 2018).
Melalui sekresi granul alfa trombosit, PRP meningkatkan pelepasan faktor
pertumbuhan, molekul adhesi dan kemokin yang berinteraksi dengan lingkungan
setempat, memicu diferensiasi sel, proliferasi dan regenerasi (Hesseler dan Shyam, 2019;
Mercuri et al., 2020) (Gambar 11). Faktor pertumbuhan utama yang disekresikan adalah
platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF) alfa-beta,
vascular endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor (EGF), fibroblast
growth factor (FGF), connective tissue growth factor (CTGF) dan insulin-like growth
factor-1 (IGF-1). Biasanya, sekresi aktif faktor pertumbuhan ini oleh trombosit dimulai
dalam 10 menit sesudah aktivasi (Dhurat dan Sukesh, 2014; Marx, 2004). Berbagai
manfaat dari faktor pertumbuhan dalam PRP dapat dilihat dalam Tabel 6 (Mahajan et al.,
2018). Selain itu, PRP memicu pelepasan mediator dan modulator inflamasi. Trombosit
dapat melepaskan banyak sitokin anti-inflamasi, seperti IL-1 reseptor antagonis (IL-1a),
soluble tumor necrosis factor reseptor (sTNF-R) I, IL-4, IL-10, IL-13 dan interferon γ
(Woodell-May et al., 2011).
Mekanisme kerja PRP pada terapi vitiligo masih belum banyak diketahui. Telah
diketahui bahwa dalam patogenesis vitiligo tidak hanya melibatkan melanosit tetapi juga
keratinosit dan fibroblast (Picardo et al., 2015; ). Adanya defisiensi faktor pertumbuhan
seperti FGF dan KGF dapat melemahkan perlekatan melanosit dan memicu pelepasan
melanosit secara transepidermal serta melanositoragi kronis (Ortonne, 2008). Efek
menguntungkan PRP pada vitiligo didapatkan melalui berbagai faktor pertumbuhan
tersebut yang dapat memicu proliferasi keratinosit dan fibroblas serta peningkatan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

interaksi keduanya dengan melanosit yang menyebabkan stabilisasi melanosit.


Penggunaan PRP juga dapat menginduksi proliferasi dan migrasi fibroblas melalui
peningkatan regulasi siklin E dan CDK4 yang penting untuk migrasi dan proliferasi sel
(Cho et al., 2012).

Gambar 13. Efek PRP pada faktor pertumbuhan, sitokin, kemokines, mediator inflamasi
dan modulator. Keterangan: PDGF - platelet-derived growth factor, TGF - transforming
growth factor, VEGF - vascular endothelial growth factor, EGF - epidermal growth
factor, FGF - fibroblast growth factor, CTGF - connective tissue growth factor, IGF -
insulin-like growth factor-1, IL – interleukin, sTNF - soluble tumor necrosis factor, IFN
γ - interferon γ (Mercuri et al., 2020).

Tabel 6. Faktor pertumbuhan dalam PRP dan fungsinya (Mahajan et al., 2018)

Faktor-faktor pertumbuhan pada PRP seperti PDGF dan TGF-β berikatan dengan
reseptor transmembran pada sel target (misalnya sel punca mesenkimal, osteoblas,
fibroblas, sel endotel dan sel epidermis) dan mengaktifkan protein sinyal intraseluler yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

memicu ekspresi gen yang menghasilkan proliferasi seluler, pembentukan matriks baru,
pembentukan kolagen baru atau proliferasi sel epidermis (Mei-Dan et al., 2010; Eppley
et al., 2006). Selain itu berbagai faktor pertumbuhan angiogenik seperti VEGF dan FGF-
2 dapat meningkatkan angiogenesis dan revaskularisasi jaringan. Faktor pertumbuhan
lain dan protein sekretori bekerja dengan menarik sel punca yang tidak berdiferensiasi ke
matriks yang terbentuk sehingga memicu proliferasi dan diferensiasi dan berperan dalam
penyembuhan serta regenerasi jaringan (Ibrahim et al., 2016). Sel punca sendiri dapat
berkontribusi pada sel lain yang membentuk kulit seperti keratinosit dan fibroblas.
Komunikasi keratinosit dengan sel punca mesenkimal di dermis sangat penting dalam
menjaga struktur yg menutupi kulit (Metz, 2003).
Studi in vitro menunjukkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi IL-6 dan IL-
8 oleh monosit pasien dengan vitiligo aktif. Hal ini tidak hanya memainkan peran penting
dalam migrasi sel efektor dan perlekatan target efektor tetapi juga menyebabkan aktivasi
sel B (Lucarelli et al., 2010). Selain itu, sel T-helper mensekresi IL-17 yang bekerjasama
dengan mediator inflamasi lokal ini, menyebabkan penghambatan proliferasi melanosit
lebih lanjut (Anitua et al., 2009). Huang et al. menyimpulkan bahwa sitokin seperti IL-1,
IFN-γ atau TNF-α yang dilepaskan oleh limfosit, keratinosit dan melanosit dapat memicu
terjadinya apoptosis pada vitiligo (Huang et al., 2002). Faktor-faktor pertumbuhan yang
terdapat pada PRP mampu menekan pelepasan berbagai sitokin, menekan peradangan dan
menghambat terjadinya apoptosis melanosit pada vitiligo (Mishra et al., 2009; Ibrahim et
al., 2016).
Berdasarkan berbagai bukti di atas, maka penggunaan PRP dalam vitiligo dapat
mengakibatkan repigmentasi melalui kandungan b-FGF yang secara signifikan dapat
meningkatkan proliferasi dan interaksi antara keratinosit dan fibroblas dengan melanosit,
meningkatkan migrasi melanosit, penarikan dan stimulasi sel punca. Selain itu PRP juga
memiliki efek antiinflamasi yang membatasi pelepasan berbagai sitokin (seperti IL1,
interferon-c dan TNF-α) sehingga memberi keuntungan dalam hal interaksi melanosit-
keratinosit dan penghambatan proses apoptosis melanosit. Penggunaan PRP juga
memperbaiki lingkungan sel agar melanosit tumbuh dan melekat dengan baik pada
keratinosit. Semua mekanisme tersebut bekerja secara sinergis untuk meningkatkan hasil
akhir terapi (Ibrahim et al., 2016; Lin et al., 2020).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

h. Platelet Rich Fibrin


Platelet rich-fibrin (PRF) merupakan konsentrat platelet generasi kedua sesudah
PRP. Platelet rich-fibrin pertama kali dikembangkan oleh Choukroun et al. pada tahun
2001. Berbeda dengan PRP, PRF memerlukan persiapan yang lebih sederhana tanpa
menggunakan antikoagulan. Platelet rich-fibrin kaya akan berbagai faktor pertumbuhan
yang ditemukan dalam alfa granula yang mengandung lebih dari 30 zat bioaktif, seperti
PDGF, TGF-β1 dan 2, EGF dan VEGF (Dohan et al., 2006).
Pada dasarnya PRF merupakan biomaterial komposit alami (autologus) yang terdiri
dari fibrin, trombosit, faktor pertumbuhan dan berbagai jenis sel termasuk leukosit dan
sel punca. Elemen-elemen utama yang diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan dan
mendukung regenerasi jaringan terdapat pada fibrin (berfungsi sebagai matriks
pendukung), trombosit (kaya akan faktor pertumbuhan) serta sel leukosit dan sel punca
yang memiliki aktivitas antibakteri, neovaskularisasi dan regeneratif (Hartshorne dan
Gluckman, 2016).
Membran fibrin tiga dimensi yang dihasilkan PRF mampu meniru matriks
ekstraseluler dalam hal strukturnya dan menciptakan suatu perancah atau scaffolding bagi
sel sehingga dapat berfungsi secara optimal selama proses penyembuhan dan regenerasi.
Matriks fibrin ini mengandung trombosit, leukosit, faktor pertumbuhan dan sel punca
yang bertindak secara alami dan bersinergi untuk merangsang, meningkatkan dan
mempercepat penyembuhan dan meregenerasi jaringan (Hartshorne and Gluckman,
2016). Selain itu, matriks fibrin PRF berfungsi sebagai adhesive scaffolding untuk sel
endotel yang terlibat dalam angiogenesis, berbagai faktor pertumbuhan dan glikoprotein
matriks, serta mengontrol pelepasan dan mempertahankan bioaktivitas mereka selama
lebih dari 7 hari. Membran tetap utuh setidaknya selama 7 hari dan melepaskan sejumlah
besar faktor pertumbuhan TGF-β1, PDGF, VEGF dan berbagai protein atau sitokin
seperti trombospondin-1, fibronectin, vitronectin, osteocalcin, osteonectin (Passaretti et
al., 2014; Hartshorne dan Gluckman, 2016).
Berbagai faktor pertumbuhan yang terkandung pada PRP dan PRF dibutuhkan
dalam memicu proliferasi sel target. Faktor pertumbuhan PDGF, b-FGF, TGF-β dan
VEGF juga dapat memicu proliferasi dan migrasi fibroblas melalui peningkatan regulasi
siklus sel yaitu siklin E dan CDK4 (Cho et al., 2012). Pemeriksaan Western blot yang
dilakukan oleh Guo et al. menunjukkan adanya enkapsulasi VEGF, b-FGF dan PDGF di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

dalam PRP yang dapat mengaktivasi jalur PI3K/ Akt dan Erk sehingga berpengaruh
terhadap proliferasi sel (Guo et al., 2017). Berbagai faktor pertumbuhan tersebut juga
menginduki proliferasi sel, migrasi sel dan angiogenesis melalui phosphoinositide 3-
kinase (PI3K)-Akt, jalur persinyalan mitogen-activated protein kinase (MAPK)-Erk,
bersilangan dengan TGF-β dan Yes-associated protein (YAP) dan menyebabkan
perbaikan pada proses penyembuhan luka (Torregiani et al.,2014).

8. Melanogenesis
Melanogenesis adalah proses produksi melanin, yang memerlukan tiga enzim untuk
aktivitas normalnyal, yaitu tirosinase (TYR), tyrosinase related protein-1 (TRP-1) dan
tyrosinase related protein-2 (TRP-2). Fungsi TYR sebagai katalisator dua reaksi pertama
biosintesis melanin yang diperlukan untuk menghasilkan eumelanin dan feomelanin,
sementara TRP-1 dan TRP-2 terlibat dalam alur sintesis eumelanin. Tirosinase
menggunakan tirosin, DOPA dan 5, 6 dihidroxyindole (DHI) sebagai substrat untuk
memproduksi DOPA, DOPAquinone dan DHI-melanin. Aktivitas TYR diregulasi oleh
beberapa faktor seperti pH (optimal pada pH 6,8 melanosom) dan α-MSH (Gendreau et
al, 2013). Jika α-MSH berikatan dengan melanocortin receptor-1 (MC1R) maka akan
memproduksi pigmen eumelanin, sementara jika α-MSH tidak berikatan dengan MC1R
akan menghasilkan pigmen feomelanin. Sesudah melanin diproduksi, melanosom yang
sudah berpigmen ditranspor ke ujung dendrit melanosit oleh aktin dan filamen tubulin.
Kemudian, melanosom akan ditransfer ke keratinosit (Gendreau, et al, 2013; Marks MS
dan Seabra MC, 2001; Wasmeier, et al, 2008) (Gambar 12).

9. Evaluasi Hasil Terapi Vitiligo


Hingga saat ini belum ada metode yang sudah distandarisasi untuk penilaian
vitiligo. Terdapat berbagai teknik yang dapat digunakan untuk diagnosis dan penilaian
kelainan pigmentasi kulit (Alghamdi et al., 2012). Vitiligo Global Consensus Conference
menyimpulkan bahwa repigmentasi dan pemeliharaan repigmentasi yang sudah dicapai
merupakan pengukuran utama hasil akhir yang penting untuk penelitian pada vitiligo di
masa yang akan datang. Terapi dinilai sukses jika repigmentasi melebihi 80% dan
repigmentasi yang sudah dicapai dipertahankan selama lebih dari 6 bulan. Tidak ada
kesepakatan pada penilaian hasil akhir yang terbaik untuk menilai repigmentasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

keseluruhan atau target. Alat-alat yang ada harus dipilih sesuai kebutuhan masing-masing
penelitian hingga terdapat konsensus yang jelas (Gan et al., 2017).

Gambar 14. Melanogenesis. Alur sintesis melanin

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk penilaian vitiligo di antaranya adalah
metode subjektif, semi objektif dan objektif. Metode subjektif didalamnya mencakup
evaluasi klinis oleh dermatologis dan perbandingan secara visual pada kulit sebelum dan
sesudah terapi menggunakan fotografi digital dan nondigital yang diambil menggunakan
cahaya tampak atau ultraviolet dan Vitiligo Disease Activity Score (VIDA). Metode semi
objektif mencakup Vitiligo Area Scoring Index (VASI) dan point counting. Metode
objektif yaitu analisis gambar menggunakan software, kalorimetri tristimulus,
spektrofotometri dan confocal laser microscopy (CLM) (Alghamdi et al., 2012).
a. Teknik Evaluasi Objektif berbasis Morfometrik
Teknik ini menggunakan pengukuran dengan analisis gambar. Analisis gambar
dapat mengukur depigmentasi atau repigmentasi menggunakan gambar digital atau
nondigital. Teknik ini mudah, tapi membutuhkan keahlian khusus. Beberapa program
yang bisa digunakan untuk mengukur luas lesi pada vitiligo adalah Image Pro Plus 4.5,
AutoCad 2000, Photoshop, Corel Draw dan lainnya (Alghamdi et al., 2012).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

Penilaian menggunakan photoshop (Adobe Photoshop, San Jose, CA, USA)


merupakan metode penilaian vitiligo berbasis morfometrik untuk mengevaluasi area
repigmentasi. Photosop memungkinkan manipulasi area yang dipilih atau fitur yang
terkandung dalam gambar digital. Analisis gambar berbasis photosop menggunakan
informasi warna yang terdapat di setiap piksel area dan memungkinkan pemisahan warna
pada tingkat resolusi piksel. Metode ini dapat digunakan untuk menilai daerah
depigmentasi dan berpigmen pada pasien vitiligo sebelum dan sesudah transplantasi non-
kultur sel melanosit (Alghamdi et al., 2012).
b. Analisis Imunohistokimia dengan penanda Melan-A
Penelitian imunohistokimia pada berbagai ekspresi antigen melanositik di kulit
memberikan informasi penting tentang kondisi melanosit pada lesi vitiligo. Beberapa
penanda berbeda telah digunakan untuk mengidentifikasi melanosit, tetapi belum ada
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas mutlak (Aslanian et al., 2010). Salah satu
penanda melanositik yang paling penting adalah Melan-A. Penanda Melan-A atau dikenal
juga dengan MART-1 (melanoma antigen recognized by T cells-1) diekspresikan pada
melanosom dan retikulum endoplasma melanosit dan dapat mengidentifikasi protein
melanosomal yang berpartisipasi pada pembentukan dan maturasi melanosom karena
Melan-A diekspresikan pada melanosit yang matur. Antigen melanositik yang dienkode
oleh Melan-A akan diekspresikan pada kulit, retina, dan tepi sel melanositik tetapi tidak
dapat diekspresikan pada jaringan normal lainnya. Dengan membentuk suatu kompleks
bersama protein Pmel 17 (atau dikenal sebagai produk gp100 atau "silver locus"), Melan-
A memiliki peran penting pada ekspresi, stabilitas, transport, dan proses melanosom.
Sedangkan protein Pmel 17 (teridentifikasi dengan penanda HMB-45, HMB-50, dan
NKI-beteb) berperan sebagai protein struktural utama pada serat matriks internal
melanosom (Sheffield et al., 2002; Kubanov et al., 2016).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penanda Melan-A lebih spesifik dan
sensitif dibandingkan penanda S-100 dan HMB-45. Penanda S-100, yang
mengidentifikasi protein S-100, tidak cukup spesifik karena diekspresikan tidak hanya
pada melanosit tetapi juga adiposit, sel Schwann dan sel mioepitelial. Penanda HMB-45,
yang mengidentifikasi gp100, dianggap lebih spesifik dibandingkan penanda S-100 tetapi
tidak menunjukkan spesifisitas absolut karena juga dapat terekspresi pada sel kelenjar
keringat dan tumor nonmelanositik. Melan-A paling banyak diekspresikan dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

melanosit kulit dan retina. Melan-A merupakan suatu determinan imunogenik melanosit
yang akan bersirkulasi autoreaktif dengan sel T CD8+ dan ditemukan pada darah pasien
vitiligo. Telah dibuktikan bahwa Melan-A mempunyai peranan dalam melihat
patogenesis vitiligo sebab memiliki fenotip sel T memori (CD45RO+) dan akan
mengekspresikan cutaneous lymphocyte antigen (CLA). Kadar Melan-A spesifik sel T
CD8+ akan terdeteksi dalam proporsi besar HLA-A individu (Tuettenberg et al., 2006;
Kubanov et al., 2016).
Penanda Melan-A dapat terekspresikan baik di kulit normal maupun lesi vitiligo.
Pada pasien vitiligo, melanosit Melan-A+ ditemukan pada seluruh zona (zona
depigmentasi, zona marginal dan zona perilesional kulit berpigmen). Pada sebagian
pasien, Melan-A+ terdeteksi pada kulit yang mengalami depigmentasi sebagai suatu
indikasi bahwa melanosit residual terdapat pada lesi vitiligo (Kubanov et al., 2016).

Gambar 15. Ekspresi Melan-A pada kulit normal. Reaksi


imunohistokimia dengan antibodi moloklonal A103(200X)
(Kubanov et al., 2016).

Penelitian Barn dan Bagchi melaporkan bahwa tidak terdapat transkrip Melan-A
pada sel mononuklear darah perifer (PBMCs/peripheral blood mononuclear cells) pasien
vitiligo, tetapi terdeteksi dalam kadar rendah pada individu yang sehat. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa Melan-A, mirip dengan TRP-2, tidak terdapat pada sirkulasi perifer
melalui ekspresi naif daları PBMCs pasien vitiligo. Absennya autoantigen spesifik
tersebut kemungkinan dapat menjadi penanda awal mula perjalanan penyakit, dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

memperlihatkan adanya kerusakan pada toleransi periferal. Transkrip Melan-A tersebut


dinilai dengan teknik RT-PCR. Pada pasien yang kehilangan transkrip Melan-A, juga
dengan absennya protein, menandakan jika respons autoimun juga dapat merusak protein.
Hal tersebut juga didukung dengan kondisi tidak semua pasien vitiligo memiliki target
respons autoimun terhadap autoantigen yang selalu sama. Strategi dan perdekatan terapi
yang tepat diperlukan untuk menangani bermacam-macam kemungkinan mekanisme
molekular yang berkaitan dengan vitiligo (Bam dan Bagchi, 2009).

Gambar 16. Ekspresi Melan-A pada kulit pasien vitiligo.


Reaksi imunohistokimia dengan antibodi monoklonal A193
(200X). (a) Zona depigmentasi kulit. b) Zona marginal. (c) Zona
perilesional kulit berpigmen normal (Kubanov et al., 2016).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

B. Kerangka Teori

PRP Dermabrasi PRF

PDGF R bFGF R TGF R


PDGF bFGF TGF EGF

Non-cultured epidermal cell


(Melanosit & Keratinosit)
Cyclin, cdk2 Sitoplasma
Keratinosit /
Fibroblaast MAPK

ERK
C-Fos

Nukleus
Inflamasi dan adhesi
antar sel
Transisi G1/S

Proliferasi dan migrasi sel


Proliferasi melanosit
dan keratinosit bFGF SCF HGF

Repopulasi melanosit
dan keratinosit

- Genetik
- Penyakit • Kehamilan
Repigmentasi • Infeksi
autoimun
- Stres

• Kehamilan
- Genetik
Gambar 17. Kerangka Teori. NCECS: noncultured epidermal cell suspension, bFGF/R: beta fibroblast
• Infeksi
growth factor/receptor, Cdk: cyclin-dependent kinase, α-MSH: melanocyte stimulating hormone, GM-
- Penyakit
autoimu
CSF: granulocyte macrophages-colony stimulating factor, SCF: stem cell factor, FGF: fibroblast growth
factor, nHGF: hepatocyte growth factor, MAPK-ERK: mitogen-activated protein kinases-extracellular
• Kehamilan
signal-regulated
- Stres kinases, PRP: platelet rich plasma, PRF: platelet rich fibrin, PDGF: platelet-derived
growth factor • Infeksi

- Genetik
Keterangan:
- Penyakit : Memicu
: Variabel bebas
autoimu
n : Menghasilkan
: Variabel terikat
- Stres
: Diteliti : Melalui

: Tidak diteliti : Variabel perancu tidak terkendali


- Genetik
: Variabel perancu terkendali
- Penyakit
autoimu
n

- Stres
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

C. Kerangka Konsep

Gangguan Defisiensi Apoptosis Melanositoragi


Genetik
adhesi faktor melanosit kronis
pertumbuhan

Melanosit ↓

Ekspresi Melan A ↓

NCECS + PRP +
Vitiligo
PRF

Melanosit ↑

Ekspresi Melan A ↑

Repigmentasi
Vitiligo

Gambar 18. Kerangka Konsep

Keterangan :
: diteliti

: tidak diteliti
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Penjelasan Kerangka Konsep Penelitian


Vitiligo merupakan suatu kelainan depigmentasi yang ditandai dengan menurunnya
jumlah melanosit. Penurunan jumlah melanosit akan menyebabkan kulit mengalami
depigmentasi sehingga kulit berwarna seperti putih kapur dan lebih terang dari wama kulit
normal, yang merupakan ciri khas vitiligo. Penyebab menurunnya jumlah melanosit
antara lain dapat dipicu oleh latar belakang genetik, defek autoimun, gangguan adhesi
dan faktor pertumbuhan, peningkatan proses apoptosis, dan melanositoragi kronis.
Terapi noncultured epidermal cell suspension (NCECS) merupakan alternatif terapi
pembedahan pada vitiligo yang saat ini mulai populer dan banyak digunakan.
Noncultured epidermal cell suspension autologus merupakan terapi cangkok seluler yaitu
dengan mentransplantasikan sel melanosit yang berasal dari kulit non-lesi ke lesi vitiligo
pada pasien yang sama. Dengan pemberian terapi NCECS, diharapkan terjadi
peningkatan jumlah melanosit diikuti peningkatan ekspresi Melan-A dan perbaikan
fungsinya sehingga terjadi repigmentasi kulit pada lesi vitiligo.
Repigmentasi diartikan sebagai pengurangan luas lesi vitiligo, berupa status
perbaikan klinis dan histologis vitiligo. Perbaikan klinis diukur dengan adanya
pengurangan luas lesi vitiligo dari bulan 0 hingga bulan 6 yang dilihat dari fotografi
digital dan analisis gambar dalam cm2 menggunakan program Photoshop cc software
2019 versi 20.0.4. Pemeriksaan imunohistokimia Melan-A akan dilakukan sebelum dan
sesudah pasien menjalani terapi NCECS untuk memperoleh perbandingan ekspresi
Melan-A. Melan-A merupakan salah satu penanda imunohistokimia yang dapat
digunakan untuk menilai kondisi melanosit pada pasien. Penurunan jumlah melanosit
pada kulit pasien akan diikuti dengan penurunan ekspresi Melan-A dan peningkatan
Melan-A menandakan peningkatan melanosit pada jaringan kulit.

D. Hipotesis
Terapi kombinasi NCECS autologus, PRP dan PRF efektif memicu terjadinya
repigmentasi pada vitiligo stabil.

Anda mungkin juga menyukai