Diagnosis strongiloidiasis sebaiknya dicurigai jika terdapat tanda dan gejala klinis,
eosinofilia, atau temuan serologis yang mendukung. Diagnosis pasti strongiloidiasis biasanya
didasarkan pada deteksi larva dalam tinja. Namun, pada sebagian besar kasus strongiloidiasis
yang tidak rumit, temuan cacing usus seringkali rendah dan produksi larva minimal. Eosinofilia
biasanya merupakan indikasi tunggal infeksi oleh S. stercoralis, tetapi bersifat ringan (5%–15%)
dan tidak spesifik. Pada lebih dari dua pertiga kasus, terdapat 25 larva per gram tinja. Telah
terbukti bahwa pemeriksaan tinja tunggal gagal mendeteksi larva pada hingga 70% kasus.
Pemeriksaan berulang pada spesimen tinja meningkatkan kemungkinan menemukan parasit;
dalam beberapa penelitian, sensitivitas diagnostik meningkat menjadi 50% dengan 3
pemeriksaan tinja dan dapat mendekati 100% jika 7 sampel tinja berturut-turut diperiksa.
Sejumlah teknik telah digunakan untuk membedakan larva dalam sampel tinja, termasuk
sapuan langsung feses dalam pewarnaan saline-Lugol, konsentrasi Baermann, konsentrasi
formalin-etil asetat, kultur kertas saring Harada-Mori, dan kultur agar nutrien pada lempeng
(gambar 7). Pemeriksaan tinja dengan formalin-etil asetat dapat meningkatkan hasil, tetapi larva
individu yang sudah mati lebih sulit dibedakan pada pembesaran rendah. Metode Baermann dan
kertas saring Harada-Mori memanfaatkan kemampuan Strongyloides stercoralis untuk memasuki
siklus perkembangan bebas hidup. Metode-metode ini jauh lebih sensitif dibandingkan sapuan
tunggal dari tinja, tetapi jarang digunakan sebagai prosedur standar di laboratorium parasitologi
klinik.
Pada teknik Harada-Mori, kertas saring yang berisi bahan tinja segar ditempatkan dalam
tabung reaksi dengan air yang terus menerus meresapi kertas saring dengan tindakan kapiler.
Inkubasi pada suhu 30C memberikan kondisi yang sesuai untuk perkembangan larva, yang dapat
bermigrasi ke salah satu sisi kertas saring. Pada prosedur Baermann, tinja ditempatkan di atas
layar jaring dan kain kasar dalam corong yang diisi dengan air hangat dan terhubung ke selang
yang terklem. Setelah satu jam inkubasi, larva keluar dari suspensi tinja dan bermigrasi ke dalam
air hangat, dari mana mereka dapat dikumpulkan dengan sentrifugasi.
Empat metode berbeda pemeriksaan tinja (sapuan langsung feses, konsentrasi formalin-
etil asetat, kultur kertas saring Harada-Mori, dan kultur lempeng agar) menunjukkan bahwa
metode kultur lempeng agar memiliki sensitivitas sebesar 96%. Dalam penelitian lain, metode
kultur lempeng agar terbukti 4,4 kali lebih efisien dibandingkan dengan prosedur sapuan
langsung. Meskipun metode kultur lempeng agar membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak
(memerlukan 2–3 hari), metode ini lebih sensitif dibandingkan dengan prosedur lain (misalnya,
analisis wet mount) untuk deteksi larva dalam tinja.
Secara ringkas, pemeriksaan tinja saat ini merupakan teknik utama untuk mendeteksi
infeksi S. stercoralis. Jika diagnosis sangat dicurigai dan teknik khusus tidak tersedia, sejumlah
spesimen yang dikumpulkan pada hari-hari yang berbeda sebaiknya diperiksa. Umumnya, tidak
ada gejala klinis khas yang menunjukkan infeksi, meskipun tinja yang positif guaiac dan
eosinofilia umum terjadi pada pasien yang terinfeksi.