PENDAHULUAN
Vitiligo telah dijelaskan 3.500 tahun yang lalu dalam teks-teks Mesir dan India, dan
stigma sosial yang terkait dengan penyakit yang merusak penampilan ini sudah terlihat sejak
awal. Atharvaveda, sebuah teks kuno yang ditulis di India antara 1500 dan 1000 SM,
mencatat rincian bercak putih pada kulit, seperti juga Papirus Ebers Mesir (1500 SM) dan
kitab Imamat dalam Alkitab Ibrani dari waktu yang hampir sama. Sastra India menunjukkan
bahwa pernikahan seorang anak laki-laki atau perempuan dengan orang yang memiliki
bercak putih ini "dimurkai" (1). Sastra Buddha awal menyatakan bahwa pria dan wanita
dengan vitiligo tidak memenuhi syarat untuk diordain, dan teks Hindu menyarankan bahwa
mereka yang menderita penyakit ini mungkin pernah mencuri pakaian di kehidupan
sebelumnya (2).
Vitiligo adalah kelainan pigmen yakni hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan
adanya makula putih yang dapat meluas dan dapat mengenai seluruh tubuh yang mengandung
sel melanosit. Vitiligo ditandai oleh depigmentasi kulit berbentuk bercak yang dapat muncul
di bagian mana pun pada tubuh. Ini memengaruhi sekitar 1% dari populasi dunia tanpa
perbedaan signifikan dalam prevalensi berdasarkan jenis kelamin, etnis, atau wilayah
geografis (3). Seperti pada zaman kuno, vitiligo secara negatif mempengaruhi kualitas hidup
pasien dengan menurunkan rasa harga diri dan menyebabkan tekanan psikologis yang
signifikan (4–6). Penurunan kualitas hidup ini sebanding dengan penyakit kulit yang
menyulitkan lainnya seperti psoriasis dan eksim (5). Lesi kulit vitiligo adalah tanda-tanda
penyakit yang terlihat yang menyebabkan rasa malu, kecemasan, dan depresi (4). Lokasi
yang terlihat seperti tangan dan wajah umumnya terkena, dan pasien sering kali khususnya
takut terhadap penyebaran dan memburuknya penyakit mereka di lokasi-lokasi ini (4).
Kemajuan signifikan telah dicapai baru-baru ini dalam pemahaman kita terhadap
patogenesis vitiligo, dan sekarang jelas diklasifikasikan sebagai penyakit autoimun, terkait
dengan faktor genetik dan lingkungan bersama dengan kelainan metabolik, stres oksidatif,
dan pelepasan sel. Vitiligo seharusnya tidak dianggap sepele atau hanya sebagai masalah
kosmetik, karena dampaknya dapat merusak secara psikologis, seringkali dengan beban yang
signifikan pada kehidupan sehari-hari .
1. EPIDEMIOLOGI
Sebuah tinjauan mendalam terhadap data prevalensi dari lebih dari 50 studi di
seluruh dunia telah menunjukkan bahwa prevalensi vitiligo berkisar dari 0,06% hingga
2,28% [12]. Sebuah meta-analisis yang menilai prevalensi vitiligo dan mencakup total
103 studi menemukan bahwa prevalensi vitiligo dari 82 studi berbasis populasi atau
komunitas adalah 0,2%, sedangkan dari 22 studi berbasis rumah sakit adalah 1,8% [13].
SV menyumbang 5–16% dari total kasus vitiligo ; namun, insiden dan prevalensinya
belum terlalu jelas. Prevalensi SV berkisar antara 5 hingga 30% dalam laporan yang
diterbitkan. Variabilitas dalam data epidemiologi ini dapat dijelaskan oleh perbedaan
dalam klasifikasi penyakit karena kurangnya konsensus pada tahun-tahun sebelumnya,
pelaporan yang tidak konsisten oleh pasien, dan variasi dalam populasi.
2. Definisi Vitiligo
Vitiligo adalah gangguan multifaktorial yang ditandai oleh hilangnya melanosit
fungsional. Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk penghancuran melanosit pada
vitiligo. Ini termasuk respons genetik, autoimun, stres oksidatif, pembentukan mediator
peradangan, dan mekanisme pelepasan melanosit. Keduanya, baik sistem kekebalan
bawaan maupun adaptif, tampaknya terlibat. Tidak satu pun dari teori-teori yang
diusulkan ini cukup untuk menjelaskan berbagai fenotipe vitiligo, dan kontribusi
keseluruhan dari setiap proses ini masih diperdebatkan, meskipun sekarang ada konsensus
mengenai sifat autoimun vitiligo. Beberapa mekanisme mungkin terlibat dalam hilangnya
progresif melanosit, dan mereka terdiri dari serangan kekebalan atau degenerasi dan
pelepasan sel. Teori konvergensi atau teori terpadu mengusulkan bahwa beberapa
mekanisme dapat bekerja bersama dalam vitiligo untuk berkontribusi pada penghancuran
melanosit, akhirnya mengarah ke hasil klinis yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Barman S. 1995. Switra and its treatment in Veda. Ancient Sci. Life 15:71–74
2. Singh G, Ansari Z, Dwivedi RN. 1974. Vitiligo in ancient Indian medicine. Arch.
Dermatol. 109:913
3. Zhang Y, Cai Y, Shi M, Jiang S, Cui S, et al. 2016. The prevalence of vitiligo: a meta-
analysis. PLOS ONE 11(9):e0163806-17
4. Salzes C, Abadie S, Seneschal J, Whitton M, Meurant J-M, et al. 2016. The Vitiligo
Impact Patient scale (VIPs): development and validation of a vitiligo burden
assessment tool. J. Investig. Dermatol. 136(1):52– 58
5. Linthorst Homan MW, Spuls PI, de Korte J, Bos JD, Sprangers MA, van der Veen
JPW. 2009. The burden of vitiligo: patient characteristics associated with quality of
life. J. Am. Dermatol. 61(3):411–20
6. Elbuluk N, Ezzedine K. 2017. Quality of life, burden of disease, co-morbidities, and
systemic effects in vitiligo patients. Dermatol. Clin. 35(2):117–28
7. Howitz J, Brodthagen H, Schwartz M, Thomsen K. Prevalence of vitiligo.
Epidemiological survey on the Isle of Bornholm, Denmark. Arch Dermatol. 1977
Jan;113(1):47–52
8. Ezzedine K, Eleftheriadou V, Whitton M, van Geel N. Vitiligo. Lancet. 2015
Jul;386(9988): 74–84.
9. Lu T, Gao T, Wang A, Jin Y, Li Q, Li C. Vitiligo prevalence study in Shaanxi
Province, China. Int J Dermatol. 2007 Jan;46(1):47–51.
10. Behl PN, Bhatia RK. 400 cases of vitiligo. A clinico-therapeutic analysis. Indian J
Dermatol. 1972 Jan;17(2):51–6.
11. Sehgal VN, Srivastava G. Vitiligo: compendium of clinico-epidemiological features.
Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2007 MayJun;73(3):149–56
12. Krüger C, Schallreuter KU. A review of the worldwide prevalence of vitiligo in
children/ adolescents and adults. Int J Dermatol. 2012 Oct;51(10):1206–12
13. Das SK, Majumder PP, Chakraborty R, Majumdar TK, Haldar B. Studies on vitiligo.
I. Epidemiological profile in Calcutta, India. Genet Epidemiol. 1985;2(1):71–8.