Anda di halaman 1dari 23

i

REFERAT
NOVEMBER 2023

PEMERIKSAAN FISIS SHOULDER

DISUSUN OLEH:
Melani Erty Barung
C014222139

SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. dr. Nuralam Sam, Sp.KFR.,M.S(K).,AIFO-K.,FEMG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Melani Erty Barung

NIM : C014222139

Judul referat : Pemeriksaan Fisis Soulder

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada Departemen Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2023

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Nuralam Sam, Sp.KFR., M.S(K)., AIFO-K., FEMG

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..……………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….….………..iii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..………….…….iv
BAB I……………………………………………………………………….…..………..1
PENDAHULUAN ………………………………………………...……………...…..…1
BAB II……………………………………………………………………….……...……2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………...…….2
2.1 Anatomi Shoulder ………………………………...………………...………2
2.2 Biomekanik Sendi Bahu……………………………………………...……..4
2.3 Pemeriksaan Fisis Bahu……………………………………….…...……….5
2.4 Tes Pemeriksaan Fisi Bahu…………………………………….……...……7
2.4.1 Pemeriksaan Otot Rotator Cuff……………………………...………8
2.4.2 Uji Impingegemnt Subakromial…………………….………………..8
2.5 Uji Intergritas Tendon………………………………………………………9
2.5.1 Supraspinatus…………………………………………….……………9
2.5.2 Subscapularis…………………………………………….……………10
2.5.3 Infraspinatus dan Teres Minor………………………………………10
2.5.4 Lesi Superior Labrum Anterior Hingga Posterior…………...…….11
2.5.5 Lesi Pada Tendon Biceps……………………………………….…….12
2.5.6 Acromioclavicular Joint ( AC Joint )……………………….……….12
2.6 Intabilitas………………………………………………………….….……..13
2.6.1 Instabilitas Anterior/Posterior……………….………………....……14
2.6.2 Instabilitas Inferior……………………………………...……………14
BAB III……………………………………………………………………….………….16
KESIMPULAN………………………………………………………………………....16
DAFTAR PUSTAKA……………………………….…………………………………..17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Anatomi Tulang Pada Shoulder............................................................................. 2

Gambar 3.2: Pemeriksaan fisis pada shoulder ........................................................................... 9

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2. Nilai diagnostik dari uji pemeriksaan fisik untuk shoulder ...................................... 13

v
1

BAB I

PENDAHULUAN
Shoulder joint adalah ball-and-socket jointI yang terbentuk oleh head humerus dan
glenoid cavity dari tulang scapula. Hal ini sering disebut juga humeroscapular atau
glomehumeral joint.

Scapula merupakan salah satu tulang pembentuk shoulder joint terletak pada posterior
tubuh. Scapula merupakan tulang berbentuk segitiga yang memiliki tiga borders, tiga angle,
dan dua surface. Tiga borders meliputi medial (vertebral) border yang merupakan margin
paling panjang atau margin yang dekat dengan vertebrae, superior border merupakan margin
paling atas dari scapula, dan lateral ( axillary) border merupakan margin paling dekat dengan
axilla.

Humerus adalah tulang terpanjang pada ekstremitas atas. Tulang tersebut bersendi
pada bagian proksimal dengan scapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan
dengan tulang; ulna dan radius.

Rasa sakit dan kelemahan pada bahu adalah keluhan umum di antara pasien, yang
dapat menyebabkan cacat dan memengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Rasa sakit dan kelemahan pada bahu dapat terkait dengan kondisi bahu
seperti gangguan rotator cuff, adhesive capsulitis, lesi superior labrum anterior hingga
posterior, lesi pada otot biceps, penyakit sendi acromioclavicular, atau ketidakstabilan.
Seringkali, pemahaman menyeluruh tentang jaringan anatomi tulang, ligamen, otot, dan
neurovaskular diperlukan untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis patologi bahu dengan
benar. Mengidentifikasi patologi spesifik pada bahu dapat menjadi tantangan, mengingat
banyaknya struktur yang terlibat dalam fungsi bahu. Pemeriksaan fisik yang tepat pada bahu
penting untuk membuat diagnosis yang akurat dan membedakan beberapa patologi bahu
tertentu. Evaluasi masalah bahu mungkin bergantung pada pemeriksaan fisik, yang
melibatkan inspeksi, palpasi, penilaian rentang gerak, kekuatan, dan integritas neurovaskular.
Selain itu, tes khusus digunakan untuk memprovokasi gejala dan tanda yang akan membantu
dokter mengidentifikasi patologi masalah bahu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
meninjau anatomi bahu dan menjelaskan tes khusus yang digunakan untuk mengevaluasi
kondisi bahu umum guna memfasilitasi diagnosis yang akurat dan membimbing pengobatan
yang tepat untuk kondisi tersebut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Shoulder
Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint)
yang terdiri atas bonggol sendi dan mangkuk sendi, Cavitas sendi bagu sangat
dangkal, sehingga memungkinkan seorang dapat menggerakkan lengannya secara
leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Namun struktur yang demikian akan
meninbulkan ketidaksatabilan sendi bahu dan ketidaksabilan ini sering menimbulkan
gangguan pada bahu.

Sendi bahu merupakan sendi yang kompleks pada tubuh manusia dibentuk
oleh tulang-tulang yaitu : Scapula ( shoulder blade), clavicula (collar bone), humerus (
Upper arm bone) dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu
sendi sterno clavicular dan sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi
scapulothoracal. Empat sendi tersebeut bekerja sama secara sinkron. Pada sendi
glenohumeral sangat luas lingkup geraknya karena caput humeri tidak masuk ke
dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal.

Gambar 2.1. Anatomi tulang pada shoulder

Sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis scapulae dan caput


humeri. Fossa glenoidalis scapulae berperan sebagai mangkuk sendi glenohumeral
yang terletak di anterosuperior angulus scapulae yaitu pertengahan antara acromion
dan processus cocacoideus. Sedangkan caput humeri berperan sebagai kepala sendi
yang berbentuk bola dengan diameter 3 cm dan menghadap ke superior, medial, dan
posterior. Berdasarkan bentuk permukaan tulang pembentuknya, sendi glenohumeral
termasuk dalam tipe ball and socket joint Sudut bulatan caput humeri 180°,
sedangkan sudut cekungan fossa glenoidalis scapulae hanya 160°, sehingga 2/3

2
permukaan caput humeri tidak dilingkupi oleh fossa glenoidalis scapulae. Hal ini
mengakibatkan sendi glenohumeral tidak stabil. Oleh karena itu, stabilitasnya
dipertahankan oleh stabilisator yang berupa ligamen, otot, dan kapsul.

Ligamen pada sendi glenohumeral antara lain ligament coracohumeral dan


ligament glenohumeral. Ligament coracohumeral terbagi menjadi 2, berjalan dari
processus coracoideus samapai tuberculum mayor humeri dan tuberculum minor
humeri. Sedangkan ligament glenohumeral terbagi menjadi 3 yaitu :

a. Superior band yang berjalan dari tepi atas fossa glenoidalis scapulae sampai caput
humeri.
b. Middle band yang berjalan dari tapi atas fosaa glenoidalis scapulae sampai ke
depan humeri.
c. Inferior band yang berjalan menyilang dari tepi depan fossa glenoidalis sampai
bawah caput humeri.

Kapsul sendi merupakan pembungkus sendi yang berasal dari fossa


glenoidalis scapulae sampai collum anatomicum humeri. Kapsul sendi dibagi menjadi
dua lapisan yaitu : kapsul synovial dan kapsul fibrosa (Snell, 2000).
a. Kapsul synovial ( lapisan dalam )
Kapsul synovial mempunyai jaringan fibrocolagen agak lunak dan tidak
memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan cairan
synovial dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi. Cairan
synovial normalnya bening, tidak berwarna,dan jumlahnya ada pada tiap-tiap
sendi antar 1 sampai 3 ml.
b. Kapsul fibrosa ( lapisan luar )
Kapsul fibrosa berupa jaringan fibrous keras yang memiliki saraf reseptor
dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabilitas sendi regenerasi
kapsul sendi.

Otot-oto pembungkus sendi glenohumeral terdiri dari m.supraspinatus,


m.infraspinatus, m.teres minor dan m.subscapularis.
a. M. Supraspinatus
m. supraspinatus berorigo di fossa supraspinatus scapulae, berinsertio di
bagian atas tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi

3
oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah membatu m.deltoideus melakukan
abduksi bahu dengan memfiksasi caput humeri pada fossa glenoidalis scapulae.
b. M. Infraspinatus

m. infraspinatus berorigo di fossa infraspinata scapulae, berinsertio di


bagian tengah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan
disarafi oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah melakukan eksorotasi
bahu dan menstabilkan articulation.

c. M. Teres minor
m. Teres minor berorigo di 2/3 bawah pinggir lateral scapulae berinsertio
di bagian bawah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan
disarafi oleh cabang n. axillais. Otot ini berfungsi melakukan eksorotasi bahu
dan menstabilakan articulation humeri.
d. M. Subscapularis
m. subscapularis berorigo di fossa subscapularis pada permukaan anterior
scapula dan berinsersio di tuberculum minor humeri yang disarafi oleh n.
subscapularis superior dan inferior serta cabang fasciculus posterior plexus
brachialis. Fungsi otot ini adalah melakukan endorotasi bahu dan membantu
menstabilkan sendi

2.2 Biomekanik Sendi Bahu


1. Gerakan arthokinematika

Pada sendi glenohumeral gerakan fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi


terjadi karena rolling dan sliding caput humerus pada fossa glenoid. Arah gerakan
sliding berlawanan arah dengan shaft humerus. Pada gerakkan fleksi shoulder caput
humerus bergeser ke arah posterior dan inferior, pada gerakan ekstensi bergeser ke
arah anterior dan superior.

2. Gerakan osteokinematika
Gerakan fleksi yaitu pada bidang sagital dengan axis pusat caput humeri.
Otot penggerak utama adalah m.deltoid anterior dan m. Supraspinatus dibantu oleh
m. Pectoralis mayor, m. Corachobracialis dan m. Biceps brachii.
Gerakan ekstensi yaitu gerakan pada bidang sagital menjauhi posisi
anatomis. Otot penggerak utama adalah m. Latissimus dorsi dan m. teres mayor.
Sedangkan pada gerakan hiper ekstensi, fungsi m. Teres mayor digantikan m.
4
Deltoid posterior. Gerakan abduksi yaitu gerakan menjahui midline tubuh. Bergerak
pada bidang frontal. Otot penggerak utama m. Pectoralis mayor dan m. Latissimus
dorsi.
Gerakkan adduksi yaitu gerakkan lengan ke medial mendekati midline
tubuh. Otot penggerak utama m. Pectoralis mayor, m. Teres mayor, m. Latissimus
dorsi. Gerakan rotasi internal dengan arah gerakan searah axis longitudinal yang
mendekati midline tubuh. Otot penggerak utama m. Subscapularis, m. pectoralis
mayor, m. teres mayor, m. latissimus dorsi, m. Deltoid anterior.
Gerakkan rotasi ekternal adalah gerakan rotasi lengan searah axis
longitudinal yang menjahui midline tubuh. Otot penggerak utama m. Infraspinatus,
m. Teres minor, m. Deltoid posterior.
2.3. Pemeriksaan Fisis Bahu

Pemeriksaan fisik pada bahu dimulai dengan pengambilan riwayat, inspeksi,


palpasi, penilaian Rentang Gerak (ROM), uji kekuatan otot, dan uji pemeriksaan fisik
untuk mendapatkan petunjuk diagnostik penting. Pertama, penting untuk melakukan
riwayat yang rinci, yang dapat membimbing pemeriksaan lebih lanjut yang diperlukan
untuk mengidentifikasi patologi dari masalah bahu apa pun. Pengambilan riwayat
penting untuk menyingkirkan etiologi ekstrinsik dari nyeri bahu, yang biasanya ditandai
oleh nyeri yang sulit dilokalisasi dan tidak terpengaruh oleh ROM pasif dan aktif.

Riwayat trauma kemungkinan berkaitan dengan patah tulang atau dislokasi.


Pertanyaan khas untuk menilai karakteristik nyeri bahu harus mencakup durasi, kualitas,
gejala terkait, radiasi, serta faktor yang memperburuk dan meredakan. Penting juga
untuk mengetahui usia pasien saat menilai masalah bahu; cedera traumatik sering terjadi
pada orang dewasa muda sedangkan penyakit rotator cuff dan adhesive capsulitis umum
pada orang tua.

Langkah penting berikutnya adalah inspeksi, yang melibatkan melihat seluruh


bahu dengan paparan yang tepat. Pasien harus diperiksa baik secara anterior maupun
posterior. Pemeriksa harus mencari adanya ketidaksimetrian antara sisi bahu yang
terkena dan yang tidak terkena. Keberadaan atrofi, deformitas, ekimosis, pembengkakan,
luka, bekas luka, dan kemerahan kulit harus dicatat. Pada kasus robekan besar pada
rotator cuff, kepala humerus dapat terlihat sebagai tonjolan anterior di dalam bahu

5
Semua kelainan yang terlihat pada sisi yang terkena harus dibandingkan dengan sisi
kontralateral.

Palpasi adalah langkah penting lainnya. Menemukan area yang terasa nyeri
fokus penting; misalnya, nyeri pada area tertentu dapat mencerminkan osteoartritis
akromioklavikular, tendinitis biceps, atau gangguan rotator cuff. Nyeri yang timbul
akibat palpasi dalam yang dalam dari deltoid lateral inferior ke proses akromial mungkin
mencerminkan adanya tendinitis supraspinatus atau robekan rotator cuff.. Palpasi pada
kedua bahu biasanya disarankan, mengingat bahwa struktur tertentu pada bahu dapat
menyebabkan nyeri pada palpasi di bahu yang terkena. Posisi spesifik meningkatkan
kehandalan palpasi. Sebagai contoh, posisi Crass yang dimodifikasi disarankan untuk
evaluasi tendon supraspinatus.

Dalam posisi ini, aspek dorsal tangan ipsilateral ditempatkan di belakang


pantat, dengan lengan hiperditekstensi dan dirotasi internal. Hal ini menarik tendon
supraspinatus keluar dari akromion dan memungkinkan visualisasi yang lebih baik.
Tuberositas mayor terletak sedikit anterior, yang mudah dilokalisasi. Tendon
supraspinatus dengan mudah dapat divisualisasikan dengan ultrasonografi dalam posisi
ini, yang memungkinkan identifikasi yang akurat terhadap robekan.

Penilaian Rentang Gerak (ROM) bahu harus mencakup gerakan aktif (tanpa
bantuan) dan pasif (dengan bantuan dari pemeriksa). Kehilangan keduanya dapat
menunjukkan adhesive capsulitis, sedangkan kehilangan hanya ROM aktif
mencerminkan impingement bahu. ROM meliputi fleksi ke depan dari 150° hingga 180°,
ekstensi dari 40° hingga 60°, abduksi dari 150° hingga 180°, dan rotasi eksternal dari 60°
hingga 90°. Rotasi internal dinilai berdasarkan tingkat vertebral yang dapat dicapai oleh
tangan. Tingkat vertebral batas superior scapula adalah sekitar T4, batas inferior scapula
adalah sekitar T7, dan pinggir ileum adalah sekitar L4. ROM sisi yang terkena juga
harus dibandingkan dengan sisi yang tidak terkena. Penting bagi pemeriksa untuk
menstabilkan scapula untuk mengevaluasi ROM sejati dari sendi glenohumeral. Gerakan
skapulothoracic sehubungan dengan gerakan sendi glenohumeral selama peningkatan
lengan juga penting. Ritme skapulohumeral adalah rasio gerakan glenohumeral terhadap
gerakan skapulothoracic. Rasio ini biasanya ditemukan menjadi 2:1, tetapi gerakan
scapula dilaporkan sangat bervariasi pada subjek normal dan pasien dengan penyakit

6
bahu yang simtomatik. Restorasi dan optimalisasi ritme skapulohumeral adalah tujuan
utama dalam rehabilitasi karena penting untuk fungsi bahu.

Pengukuran ROM dapat dipengaruhi oleh berbagai posisi tubuh, seperti posisi
duduk, berdiri, atau berbaring. Posisi duduk dapat berguna untuk mengukur mobilitas
bahu seseorang selama melakukan tugas fungsional dan untuk mengamati strategi
kompensasi yang tidak normal.

Posisi berbaring dapat diandalkan karena mengendalikan variabel bingung dari


posisi pelvis dan menghilangkan efek gravitasi. Beberapa dokter lebih suka membatasi
gerakan scapula untuk mengisolasi gerakan glenohumeral sementara yang lain tidak, dan
jumlah gerakan yang diukur mungkin berbeda tergantung pada apakah pasien duduk atau
berbaring telentang. Pasien dengan kelemahan deltoid mungkin mencapai ROM yang
lebih besar dalam posisi berbaring daripada dalam posisi duduk, karena gaya gravitasi
membantu gerakan setelah 90°. Keandalan intra-rater yang serupa dilaporkan ketika
pengukuran ROM bahu diambil dalam posisi duduk atau berbaring telentang dalam
penelitian sebelumnya oleh Sabari et al. Studi ini menyarankan bahwa ROM bahu harus
diukur dalam posisi yang konsisten dan bahwa posisi pengujian harus rutin dicatat.

2.4. Tes Pemeriksaan Fisis


Tes pemeriksaan fisik untuk masalah bahu melibatkan uji kekuatan otot dan
uji provocatif. Uji kekuatan biasanya dilakukan dengan membandingkan otot bahu dari
sisi yang terkena dengan sisi kontralateral. Tes pemeriksaan fisik pada bahu dilakukan
untuk mendiagnosis berbagai penyakit bahu. Sensitivitas, spesifisitas, dan rasio
kemungkinan digunakan untuk memberikan data tentang akurasi diagnostik dari tes-tes
ini. Sensitivitas mewakili proporsi hasil positif sebenarnya, dan spesifisitas mewakili
proporsi hasil negatif. Rasio kemungkinan (LR) digunakan untuk menilai kegunaan
klinis dari suatu tes diagnostik. Sensitivitas dan spesifisitas digabungkan dalam LR
menjadi suatu rasio yang mengukur probabilitas keberadaan atau ketiadaan penyakit
dalam tes positif atau negatif. LR positif (LR+) adalah probabilitas keberadaan kondisi
ketika hasil tes positif, sedangkan rasio kemungkinan negatif (LR−) adalah probabilitas
keberadaan kondisi ketika hasil tes negatif. LR >1 mengindikasikan bahwa hasil tes
mengkonfirmasi keberadaan penyakit, sedangkan LR <1 mengindikasikan bahwa hasil
mengkonfirmasi ketiadaan penyakit. LR+ besar menunjukkan bahwa kondisi sangat
mungkin ada, dan LR− kecil mencerminkan bahwa kondisi sangat tidak mungkin ada.

7
Akurasi diagnostik tes pemeriksaan fisik biasanya dianggap dapat diterima jika LR+ ≥2
atau LR− ≤0,50 (25).
2.4.1.Pemeriksaan Otot Rotator Cuff
Penyakit rotator cuff merupakan suatu kontinum patologi bahu yang berkembang
dari impingement ringan hingga robekan parsial, robekan penuh ketebalan, robekan
besar, dan akhirnya, artritis dari rotator cuff. Sindrom impingement kronis biasanya
melibatkan robekan yang dimulai pada permukaan bursa atau di dalam tendon. Robekan
rotator cuff umum terjadi, dengan kelainan cuff asimtomatik dilaporkan pada 30% pasien
yang berusia lebih dari 60 tahun. Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai
mengalami gangguan rotator cuff sebaiknya mencakup evaluasi pada tulang leher
(cervical spine). Masalah yang berasal dari tulang leher seringkali keliru didiagnosis
sebagai gejala dari bahu dan seringkali sulit secara klinis untuk menentukan sumber
nyeri yang tepat. Penilaian ROM aktif dan pasif sama-sama penting seperti yang
disebutkan sebelumnya. Kehilangan ROM aktif dengan pemeliharaan relatif ROM pasif
kemungkinan menunjukkan impingement bahu atau cedera rotator cuff. Pembatasan baik
ROM pasif maupun aktif dapat menunjukkan adanya adhesive capsulitis, yang juga
dapat diamati dalam uji impingement. Pengujian kekuatan otot rotator cuff sebaiknya
dilakukan untuk mendeteksi kelemahan yang mungkin disebabkan oleh robekan rotator
cuff atau tendinitis.
2.4.2.Uji impingement subakromial
Impingement subakromial merujuk pada jepitan antara tendon rotator cuff dan
bursa di antara tuberositas mayor humerus, akromion, dan ligamen korakoakromial saat
lengan diangkat. Pertama, dalam uji lengkung nyeri (painful arc test), pasien
diinstruksikan untuk mengangkat lengan dalam bidang scapular. Pemprovokasian nyeri
antara 70° dan 120° selama pengangkatan menghasilkan tes positif. Kedua, uji
impingement Neer dilakukan dengan pemeriksa menggunakan satu tangan untuk
menstabilkan skapula, sementara dengan tangan yang lain, lengan pasien diangkat dan
dirotasi internal (Gambar 3A). Nyeri diprovokasi saat tuberkel mayor kontak dengan
atap sendi bahu dan volume ruang subakromial berkurang. Hasil tes positif jika ada nyeri
di sekitar bahu anterior. Ketiga, uji impingement Hawkins-Kennedy dilakukan dengan
lengan dan siku pasien ditekuk pada sudut 90° (Gambar 3B). Hasil tes positif ketika ada
nyeri di sekitar bahu anterior atau lateral saat pemeriksa mengrotasi internal lengan. Uji
ini menyempitkan ruang subakromial antara tuberkel mayor dan ligamen
korakoakromial. Dua tes ini telah menunjukkan sensitivitas yang tinggi daripada
8
spesifisita dan direkomendasikan untuk menyingkirkan impingement subakromial ketika
hasilnya negatif (Tabel 1).

Gambar 3 (A) Neer impingement test. (B) Hawkins-Kennedy impingement test. (C) Empty
can test. (D) Lift-off test. (E) Resisted external rotation lag sign. (F) O’Brien test. (G) Crank
test. (H) Speed test. (I) Yergason test. (J) Apprehension test. (K) Anterior and posterior
drawer test. (L) Sulcus sign.

2.5. Uji Intergritas Tendon


2.5.1. Supraspinatus
Evaluasi otot supraspinatus, yang umumnya terpengaruh dalam cedera rotator
cuff, dilakukan dengan uji "empty can" atau yang juga dikenal sebagai uji Jobe.
Lengan diangkat hingga 90° dan bahu dirotasi internal dengan pergelangan tangan
secara maksimal di pronasi, sehingga ibu jari menghadap ke bawah (Gambar 3C).
Hasil positif adalah nyeri atau kelemahan pada lengan saat pemeriksa menerapkan
tekanan ke bawah pada lengan. Uji ini menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan LR+ lebih dari 2 dan LR− kurang dari 0,5 (1,25,39) dan

9
direkomendasikan sebagai uji skrining dan konfirmatori untuk robekan penuh tebal
besar atau besar (Table 1). Uji ini diulang dengan lengan dalam rotasi eksternal,
sehingga ibu jari menghadap ke atas. Ini dikenal sebagai uji "full can".
2.5.2. Subscapularis
Empat uji umumnya digunakan untuk mengevaluasi subscapularis. Pertama,
uji lift-off, juga dikenal sebagai uji Gerber (Gambar 3D), dilakukan. Lengan dirotasi
internal dengan siku ditekuk dan tangan ditempatkan di tulang belakang. Hasil positif
adalah ketidakmampuan untuk mengangkat dorsum tangan dari punggung tanpa
menggunakan otot triceps.
Kedua, uji belly-press, yang juga disebut tanda Napoleon, dapat dilakukan,
yang melibatkan meletakkan tangan di perut dengan lengan dirotasi internal dan siku
ditekuk dengan pergelangan tangan dalam posisi netral. Hasil positif adalah
ketidakmampuan untuk menjaga siku ke depan dan pergelangan tangan netral ketika
pasien diminta untuk menekan perut.
Ketiga, uji belly-off dilakukan dengan siku ditekuk hingga 90° dengan telapak
tangan di atas perut. Pemeriksa memindahkan siku ke depan, menempatkan lengan
dalam rotasi internal maksimal bahu. Hasil positif adalah ketidakmampuan untuk
menjaga pergelangan tangan lurus dan mempertahankan posisi rotasi internal ketika
pemeriksa melepaskan pergelangan tangan.
Keempat, uji bear hug dilakukan dengan meminta pasien untuk merangkul
bahu kontralateral dengan lengan yang terkena di fleksi ke depan dan siku ditekuk di
depan dada. Hasil positif adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan gaya ke
bawah saat pemeriksa melakukan tarikan resisted pull-off. Performa sisi yang terkena
dibandingkan dengan sisi yang sehat. Uji lift-off dan belly-press menunjukkan
spesifisitas dan LR+ tinggi, dan oleh karena itu direkomendasikan sebagai uji
konfirmatori (32,40). Uji belly-off menunjukkan LR+ tinggi (9,67) dan LR− rendah
(0,14), mendukung diagnosis robekan subscapularis (30,41).
2.5.3. Infraspinatus dan teres minor
Evaluasi otot infraspinatus dan teres minor dilakukan dengan resistensi rotasi
eksternal. Eksternal rotation lag sign melibatkan lengan yang diposisikan pada 20°
fleksi dan siku ditekuk hingga 90° (Gambar 3E). Tanda lag positif ditandai ketika
pemeriksa melakukan rotasi eksternal lengan sampai pada batas maksimum dan
pasien tidak dapat mempertahankan lengan dalam posisi ini. Uji ini menunjukkan
sensitivitas dan LR+ tinggi serta LR− rendah dan direkomendasikan sebagai uji
10
skrining. Uji ini dilaporkan berguna dalam mendeteksi robekan penuh tebal gabungan
supraspinatus dan infraspinatus dengan LR+ tinggi dan LR− rendah (0,03) .
Uji Hornblower, juga dikenal sebagai uji Patte, juga dilakukan. Lengan secara
pasif diangkat dengan siku ditekuk hingga 90° dengan dukungan pemeriksa. Pasien
diminta untuk memutar lengan secara eksternal. Hasil positif adalah ketidakmampuan
untuk mempertahankan posisi tersebut. Uji Hornblower direkomendasikan sebagai uji
skrining dan konfirmatori, karena menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, dan LR+
tinggi serta LR− rendah. Baik otot infraspinatus maupun teres minor membantu
menstabilkan sendi glenohumeral dan berkontribusi pada rotasi eksternal humerus.
Sulit untuk dengan jelas membedakan teres minor dari infraspinatus, karena keduanya
memiliki fungsi yang serupa. Oleh karena itu, seringkali sulit untuk mengidentifikasi
kelemahan infraspinatus atau teres minor yang terisolasi berdasarkan pemeriksaan
fisik semata .
2.5.4. Lesi superior labrum antrerior hingga posterior
Pada lesi superior labrum anterior hingga posterior (SLAP), robekan labrum
meluas ke bagian anterior dari labrum superior posterior, dan labrum superior terlepas
bersama dengan tendon biceps. Lesi SLAP sering dinilai menggunakan uji O'Brien.
Lengan pasien ditekuk hingga 90° dan sedikit diadduksi dengan pergelangan tangan
dipronasi dan dirotasi internal, sehingga ibu jari menghadap ke bawah (Gambar 3F).
Hasil positif adalah nyeri atau kelemahan ketika pemeriksa menerapkan tekanan ke
bawah pada lengan. Uji ini dilanjutkan dengan mengrotasi lengan secara eksternal
dengan supinasi pergelangan tangan, sehingga ibu jari menghadap ke atas. Sekali lagi,
pemeriksa menerapkan tekanan ke bawah pada lengan.
Jika nyeri berkurang dalam posisi ini, patologi labrum dapat dicurigai. Uji
Crank dilakukan pada kasus-kasus dugaan robekan labrum (Gambar 3G). Pasien
berbaring telentang dengan lengan diangkat hingga 160° dalam bidang skapula.
Beban aksial diterapkan pada sendi glenohumeral saat humerus dirotasi internal dan
eksternal. Hasil positif adalah nyeri dengan atau tanpa bunyi klik. Kedua uji ini
umumnya digunakan sebagai uji pemeriksaan untuk robekan SLAP, tetapi keduanya
menunjukkan bukti yang tidak mencukupi untuk secara akurat memprediksi lesi
SLAP dengan sensitivitas dan spesifisitas moderat di sejumlah penelitian sebelumnya

11
2.5.5. Lesi pada tendon biceps
Luka pada tendon kepala panjang biceps dapat menyebabkan nyeri pada bahu
bagian depan. Evaluasi tendon kepala panjang biceps dimulai dengan palpasi. Uji
kecepatan dilakukan dengan bahu pasien ditekuk, siku ditekuk, dan pergelangan
tangan dirotasi eksternal (Gambar 3H). Pemeriksa memberikan tekanan ke bawah
pada lengan. Jika nyeri terjadi sepanjang tendon biceps atau di dalam alur bicipital,
hasil uji dianggap positif. Uji Yergason juga digunakan untuk mengidentifikasi luka
pada tendon kepala panjang biceps. Uji ini dilakukan dengan lengan pasien diadduksi
dalam rotasi netral dan siku ditekuk hingga 90° (Gambar 3I). Hasil uji dianggap
positif jika nyeri terjadi pada tendon biceps atau alur bicipital dengan supinasi yang
diresist, dengan LR+ tinggi (3,0) . Baik uji kecepatan maupun uji Yergason semakin
sering digunakan dalam mendiagnosis lesi SLAP yang tidak stabil.
Selain itu, uji upper cut dilakukan untuk mendeteksi luka pada tendon biceps
dengan meminta pasien untuk membuat kepalan tangan dengan siku ditekuk 90° dan
pergelangan tangan dirotasi eksternal. Pemeriksa menahan kepalan tangan pasien
dengan tangannya saat pasien mengangkat tangan dan mendekatkannya ke dagu
pemeriksa.
2.5.6. Acromioclavicular joint (AC Joint )
Evaluasi sendi akromioklavikula (AC) dimulai dengan melakukan palpasi
pada bagian atas sendi AC. Sendi AC adalah sendi sinovial bergliding atau tipe datar,
terbentuk di pertemuan klavikula dan akromion. Uji yang terkenal untuk evaluasi
sendi AC adalah uji O'Brien, yang telah disebutkan sebelumnya. Pada lesi SLAP,
nyeri terasa di dalam bahu, sedangkan pada gangguan sendi AC, nyeri terasa di bagian
atas bahu, pada pengujian dengan ibu jari menghadap ke bawah. Sendi AC juga
dievaluasi dengan uji adduksi lintang.
Lengan dan siku ditekuk melintasi dada oleh pemeriksa. Hasil uji positif
adalah nyeri bahu anterior atau nyeri di sekitar sendi AC. Rasa nyeri pada palpasi
sendi AC, yang tampaknya menjadi metode yang paling mudah dan efektif,
direkomendasikan sebagai uji skrining untuk penyakit sendi AC karena menunjukkan
sensitivitas tinggi (96%) dan LR− rendah (0,4).

12
Tabel 1 Nilai diagnostik dari uji pemeriksaan fisik untuk bahu

2.6. Instabilitas
Instabilitas glenohumeral sering terjadi pada orang dewasa muda. Sendi
glenohumeral sangat fleksibel dan memiliki kisaran gerak yang luas. Untuk melindungi
sendi ini, bahu memiliki berbagai penstabil statis dan dinamis, yang memberikan
stabilitas dalam berbagai posisi. Instabilitas adalah proses patologis yang melibatkan
peningkatan simtomatik translasi kepala humerus relatif terhadap glenoid. Hal ini
menyebabkan nyeri, gangguan fungsi fisik, dan kelemahan.
Ketika dicurigai adanya instabilitas bahu, pemeriksa juga harus mencari bukti
kelebihan kekenduran dan translasi. Skor Beighton digunakan untuk mengukur
kekenduran dan hiperlaksitas sendi. Ini adalah skala sembilan poin dan ambang batas
diagnostiknya bervariasi dari 4 hingga 6 atau lebih. Penting untuk menangani

13
keberadaan hiperlaksitas umum karena dislokasi bahu dapat muncul sebagai gejala
pertama dari sindrom hiperlaksitas sendi, seperti Ehlers-Danlos atau sindrom Marfan .
Uji pemeriksaan fisik untuk instabilitas harus selalu mencakup perbandingan dengan
bahu sebelah kontralateral.
2.6.1. Instabilitas Anterior/Posterior
Evaluasi instabilitas anterior dilakukan dengan uji kecemasan. Pasien berdiri atau
berbaring telentang dengan lengan dalam abduksi dan siku ditekuk hingga 90°. Lengan
ditempatkan di luar tempat tidur sementara pemeriksa memberikan gaya rotasi eksternal,
menstabilkan skapula (Gambar 3J). Evaluasi instabilitas posterior dilakukan dengan
bahu ditekuk ke depan sejauh mungkin hingga 90° dan dirotasi secara internal saat
pemeriksa memberikan gaya ke arah posterior pada siku pasien. Hasil positif adalah
laporan pasien tentang kecemasan atau nyeri. Uji relokasi Jobe dapat dilakukan dengan
cara serupa, memberikan gaya posterior pada kepala humerus. Hasil positif adalah
perasaan lega dari kecemasan atau nyeri.
Uji beban dan pergeseran juga dilakukan untuk mendeteksi instabilitas anterior-
posterior dari sendi glenohumeral. Dengan pasien duduk dengan tangan istirahat di paha,
pemeriksa menstabilkan skapula dengan satu tangan dan menggunakan tangan lainnya
untuk mendorong kepala humerus ke glenoid, menghasilkan "beban". Pemeriksa
memindahkan kepala humerus ke arah anterior dan posterior. Hasil positif adalah
translasi berlebih atau perasaan kecemasan. Uji ini menunjukkan sensitivitas tinggi
(71,7% hingga 98,3%), spesifisitas tinggi (71,6% hingga 96%), dan LR+ (3,46 hingga
20,22) serta LR- rendah (<0,5), dan bermanfaat untuk mendiagnosis instabilitas bahu.
Uji lain yang dilakukan untuk menilai jumlah translasi kepala humerus adalah uji
laci anterior dan posterior. Pasien berbaring telentang, dengan bahu dalam abduksi 80–
120°, fleksi 0–20°, dan rotasi eksternal 0–30°. Pemeriksa menempatkan satu tangan di
aksila pasien dengan jari-jari di sekitar humerus, dan tangan lainnya ditempatkan di sisi
lateral lengan atas (Gambar 3K). Kemudian pemeriksa menarik humerus ke arah
anteromedial (geser anterior) atau posterolateral (geser posterior). Hasil positif adalah
nyeri, kecemasan, dan/atau peningkatan ROM. Uji ini direkomendasikan sebagai uji
konfirmatori dengan spesifisitas tinggi dan LR+ .
2.6.2. Instabilitas Inferior
Tanda sulcus dievaluasi untuk mendeteksi keberadaan instabilitas inferior dari
sendi glenohumeral. Pemeriksa memberikan gaya ke bawah pada siku lengan atas pasien
yang rileks (Gambar 3L). Hasil positif adalah adanya celah atau depresi yang terlihat
14
antara tepi lateral akromion dan kepala humerus. Meskipun sering digunakan dalam
praktik klinis, data mengenai efikasitasnya untuk mendiagnosis instabilitas inferior tidak
tersedia.

15
BAB III

KESIMPULAN
Nyeri bahu adalah masalah muskuloskeletal umum yang menyebabkan nyeri
dan kecacatan yang signifikan. Evaluasi nyeri bahu dapat menjadi sangat kompleks,
tetapi tampaknya tidak perlu dan memakan waktu untuk melakukan setiap teknik
pemeriksaan fisik untuk setiap pasien. Lebih baik jika klinisi fokus pada pemilihan uji
terbaik, berdasarkan riwayat pasien, untuk mengonfirmasi diagnosis yang dicurigai.
Uji-ujian ini sendiri tidak cukup untuk mencapai diagnosis yang akurat.

Kombinasi dari uji-ujian khusus ini dapat meningkatkan akurasi diagnostik


dari pemeriksaan fisik bahu. Riwayat pasien dan pencitraan diagnostik harus
dipertimbangkan untuk meningkatkan akurasi jika diperlukan.

16
DAFTAR PUSTAKA

House J, Mooradian A. Evaluation and management of shoulder pain in primary care clinics.
South Med J 2010;103:1129-35; quiz 1136-7.

Bishay V, Gallo RA. The evaluation and treatment of rotator cuff pathology. Prim Care
2013;40:889-910.

Burbank KM, Stevenson JH, Czarnecki GR, et al. Chronic shoulder pain: part I. Evaluation
and diagnosis. Am Fam Physician 2008;77:453-60.

Ben Kibler W, Sciascia AD, Hester P, et al. Clinical utility of traditional and new tests in the
diagnosis of biceps tendon injuries and superior labrum anterior and posterior lesions in
the shoulder. Am J Sports Med 2009;37:1840-7.

Collin P, Treseder T, Denard PJ, et al. What is the Best Clinical Test for Assessment of the
Teres Minor in Massive Rotator Cuff Tears? Clin Orthop Relat Res 2015;473:2959-66

Ferri M, Finlay K, Popowich T, et al. Sonography of full-thickness supraspinatus tears:


comparison of patient positioning technique with surgical correlation. AJR. AJR Am J
Roentgenol 2005;184:180-4.

Farber AJ, Castillo R, Clough M, et al. Clinical assessment of three common tests for
traumatic anterior shoulder instability. J Bone Joint Surg Am 2006;88:1467-74.

Guanche CA, Jones DC. Clinical testing for tears of the glenoid labrum. Arthroscopy
2003;19:517-23.

Hippensteel KJ, Brophy R, Smith MV, et al. Comprehensive Review of Provocative and
Instability Physical Examination Tests of the Shoulder. J Am Acad Orthop Surg
2019;27:395-404.

Hertel R, Ballmer FT, Lombert SM, et al. Lag signs in the diagnosis of rotator cuff rupture. J
Shoulder Elbow Surg 1996;5:307-13.

Hegedus EJ, Goode A, Campbell S, et al. Physical examination tests of the shoulder: a
systematic review with meta-analysis of individual tests. Br J Sports Med 2008;42:80-
92; discussion 92.

Jacobson JA. Shoulder US: anatomy, technique, and scanning pitfalls. Radiology 2011;260:6-

17
16.

Juul-Kristensen B, Røgind H, Jensen DV, et al. Interexaminer reproducibility of tests and


criteria for generalized joint hypermobility and benign joint hypermobility syndrome.
Rheumatology (Oxford, England) 2007;46:1835-41.

Lee SH, Yoon C, Chung SG, et al. Measurement of Shoulder Range of Motion in Patients
with Adhesive Capsulitis Using a Kinect. PLoS One 2015;10:e0129398.

Sabari JS, Maltzev I, Lubarsky D, et al. Goniometric assessment of shoulder range of motion:
comparison of testing in supine and sitting positions. Arch Phys Med Rehabil
1998;79:647-51.

Van der Helm FC. Analysis of the kinematic and dynamic behavior of the shoulder
mechanism. J Biomech 1994;27:527-50.

Sabari JS, Maltzev I, Lubarsky D, et al. Goniometric assessment of shoulder range of motion:
comparison of testing in supine and sitting positions. Arch Phys Med Rehabil
1998;79:647-51.

Van der Helm FC. Analysis of the kinematic and dynamic behavior of the shoulder
mechanism. J Biomech 1994;27:527-50.

18

Anda mungkin juga menyukai