Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DISLOKASI BAHU

Disusun guna melengkapi tugas Mata Kuliah Stase Keperawatan Bedah

Dosen Pembimbing Murtaqib, S.Kp., M.Kep

oleh :

Riza Aminiyah
NIM 212311101014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan profesi daring yang dibuat oleh:

Nama : Riza Aminiyah

NIM : 212311101014

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Dislokasi Bahu

telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing pada :


Hari :
Tanggal :

Jember, Oktober 2021


Menyetujui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Murtaqib, S.Kp., M.Kep Riza Aminiyah


NIP. 19740813 200112 1 002 NIM. 212311101014

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.................................................................................................i
Lembar Pengesahan............................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii
BAB I. Konsep Teori..........................................................................................1
1.1 Review Anatomi....................................................................................1
1.2 Definisi..................................................................................................4
1.3 Epidemiologi.........................................................................................4
1.4 Etiologi..................................................................................................5
1.5 Klasifikasi..............................................................................................5
1.6 Patofisiologi..........................................................................................7
1.7 Manifestasi klinik..................................................................................8
1.8 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................9
1.9 Penatalaksanaan....................................................................................9
BAB 2. Clinical Pathway....................................................................................14
BAB 3. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................15
3.1 Pengkajian.............................................................................................15
3.2 Diagnosa................................................................................................19
3.3 Intervensi...............................................................................................20
3.4 Evaluasi.................................................................................................25
3.5 Discharge Planning...............................................................................25
Daftar Pustaka.....................................................................................................26

iii
1

BAB 1. KONSEP TEORI

1.1 Review Anatomi dan Fisiologi


Sistem ekstremitas atas tersusun dari berbagai macam tulang yaitu gelang
bahu, tulang humerus, tulang radius dan ulna, tulang karpal, tulang
metacarpal dan tulang phalang. Selain berbagai macam tulang, ekstremitas
atas juga dihubungkan oleh sendi-sendi yang berfungsi menghubungkan
tulang yang satu dengan yang lain di anggota gerak atas. Berikut beberapa
tulang yang menyusun ekstermitas atas (Yanto dkk., 2019).
1. Scapula
Scapula adalah tulang yang berbentuk pipih segitiga yang menempel
dan melekat di daerah posterior region thorax. Tulang ini beratikulasi
dengan clavicula dan tulang humerus dan tersembunyi di otot otot
punggung yang melekat pada tulang scapula.

Gambar 1.1 Scapula


2. Clavicula
Clavicula adalah tulang yang letaknya membujur horizontal dari
sternum dan acromion tulang scapula. Tulang scapula dan clavicula
merupakan tulang yang membentuk gelang bahu yang menjadi
penghubung anggota gerak atas sehingga dapat bergerak bebas. Tulang
bahu ini merupakan tulang yang sering mengalami cidera salah
satunya yaitu karena jatuh.
2

3. Humerus
Humerus adalah tulang yang terbesar pada bagian ektermitas atas.
Tulang ini merupakan tulang yang berbentuk panjang. Tulang ini
berartikulasi dengan fosa gleinoidalis os. Scapula pada superior
melewati sendi humeroscapular dan berartikulasi dengan tulang radis
dan ulna pada inferior dengan sendi siku. Tulang ini dapat bergerak
bebas pada sendi bahu, dan bergerak terbatas pada sendi siku. Sendi
humeoscapular adalah sendi sinoval semacam sendi putar. Tingkat
pembatasan pada gerak sendi disini tergantung pada otot-otot yang ada
disekitarnya, sedangkan kelonggaran ligamen berupa kapsul
memberikan kelonggaran gerak ke semua arah.

Gambar 1.3 Humerus


4. Radius
Radius adalah salah satu tulang penyusun lengan bawah yang berada di
sebelah tulang ulna. Memiliki ukuran yang lebih kecil dari tulang ulna.
Tulang ini berartikulasi bersama tulang ulna dengan bagian superior
berbentuk layaknya roda yang membuat tulang ini bisa berputar. Di
bagian ujung inferior, tulang ini akan berartikulasi dengan inferior ulna
beserta pergelangan tangan.

Gambar 1.4 Radius dan Ulna


3

5. Ulna
Ulna adalah salah satu tulang penyusun lngan bawah yang berada di
medial tulang dari tulang radius. Tulang ini memiliki ukuran yang
lebih besar dan panjang dari tulang radius
6. Carpus
Tersusun dari 8 tulang ireguler yang tersusun atas 2 baris. Bagian
proksimal akan berartikulasi pada bagian tulang radius dan bagian
distal berartikulasi dengan tulang metacarpal.
7. Metacarpal dan Phalang
Metacarpal atau tulang telapak tangan terdiri dari 5 buah sesuai dengan
5 jari. Phalang atau tulang jari terdiri dari 3 ruas dimana setiap ruas
dihubungkan oleh sendi jari.

Gambar 1.5 Carpal dan Metacarpal


Otot yang menggerakkan tulang bahu secara umum terletak di tulang badan
dan melekat di tulang scapula dan clavicula. Berikut adalah nama otot yang
menggerakkan gelang bahu:
1. Otot subclavius untuk gerakan depresi clavicula
2. Pectoralis untuk gerakan depresi dan menggerakkan scapula ke
anterior
3. Serratus anterior gerakan untuk gerakan berputar scapula ke atas dan
lateral
4. Trapezius untuk gerakan elevasi travicula, aduksi scapula, rotasi
scapula, depresi scapula, dan mempertahankan posisi kepala
5. Levator scapula untuk gerakan mengangkat scapula
6. Rhomboideus Major untuk gerakan aduksi scapula
7. Rhomboideus minor untuk adduksi scapula.
4

1.2 Definisi Diskolakasi Bahu

Gambar 1.5 Dislokasi Bahu


Dislokasi merupakan cedera yang terjad pada sendi yang membuat
tulang berpindah dan bergeser dari posisi dimana tulang seharusnya
berada. Dislokasi biasanya diikuti dengan kerusakan pada jaringan ikat di
sekitar area dislokasi yang cukup parah. Dislokasi sering terjadi pada area
patella, bahu dan jari. Lokasi yang sering terjadi dislokasi pada orang
dewasa yaitu adalah dislokasi bahu (Yusni, 2019).
Dislokasi bahu memiliki nilai 50 persen kejadian dislokasi dari
semua sendi, dengan dislokasi bahu anterior merupakan dislokasi yang
sering terjadi. Bahu itu merupakan sendi yang tidak stabil karena glenoid
dangkal dan hanya melekat pada sebagian kecil dari kepala humerus.
Sendi bahu adalah sendi yang paling sering terkilir di tubuh. Kemudian
ada sebuah kondisi dimana jaringan fibrosa yang ada pada tulang dapat
robek, yang nantinya dapat memperparah dislokasi. Rotasi ekstrem dapat
membuat bahu keluar dari tempatnya. Cedera olahraga kontak sering
menyebabkan bahu terkilir. Trauma dari kecelakaan kendaraan bermotor
dan jatuh juga merupakan sumber umum dislokasi (Abrams dan Akbarnia,
2021).
1.3 Epidemiologi
Insiden dislokasi bahu glenohumeral mencapai 21,9 per 100.000
penduduk. Usia rata-rata saat insiden kejadian yaitu 51 tahun. Insiden puncak
kejadian dislokasi bahu pada wanita yaitu pada kelompok usia 65 tahun
sampai 74 tahun. Angka kejadian dislokasi bahu lebih besar pada pria
dibandingkan pada wanita. Rata-rata dislokasi terjadi disebabkan oleh jatuh
atau cedera pada saat olahraga (Shields dkk., 2018).
5

Di UK dislokasi sendi bahu adalah dislokasi yang paling umum terlihat


pada kecelakaan dengan 80%-97% dislokasi glenohumeral traumatis berada
di anterior. Tujuh puluh dua persen dislokasi bahu terjadi pada pria. Tingkat
insiden keseluruhan pada pria adalah 40,4 per 100.000 orang pertahun dan
pada wanita adalah 15,5 per 100.000 orang pertahun.. Insiden tertinggi
diamati pada pria berusia 16–20 tahun. Insiden pada wanita meningkat seiring
bertambahnya usia hingga yaitu 61-70 tahun (Shah dkk., 2017).
1.4 Etiologi
Penyebab paling umum untuk kejadian dislokasi yaitu:
1. Jatuh
2. Kecelakaan kendaraan bermotor
3. Cedera saat berolahraga
4. Adanya kelainan kongenital seperti RA dan OA
5. Kerusakan akibat cedera sebelumnya seperti keseleo
(Salvo, 2022)
1.5 Klasifikasi
Dislokasi Bahu terbagi menjadi 3 macam yaitu dislokasi bahu anterior,
dislokasi bahu posterior dan dislokasi bahu inferior. Berikut penjelasan dari
klasifikasi dislokasi bahu:
1. Dislokasi Bahu Anterior
Dislokasi bahu anterior dapat diakibatkan dari peristiwa traumatis atau
dari kecenderungan anatomis. Pada dislokasi bahu akibat traumatis dapat
merusak struktur penstabil, yang dapat mempengaruhi individu untuk
mengalami dislokasi bahu yang berulang. Sendi bahu merupakan bagian
sendi yang paling mudah bergerak dan karena itu sangat rentan terhadap
ketidakstabilan maupun cedera. Dislokasi bahu anterior paling sering
terjadi diantara kasus dislokasi bahu lainnya yaitu sekitar 95% dari kasus
dislokasi bahu, diikuti oleh dislokasi posterior. Manifestasi klinis dari
dislokasi bahu interior yaitu terpisahnya glenoid dan kepala humerus yang
bergeser ke depan glenoid (Armed dkk., 2021)
Sifat dan tingkat kerusakan jaringan yang berada di sekitar sendi bahu
dari dislokasi anterior traumatis bervariasi, dan mungkin melibatkan
6

tulang, tulang rawan, ligamen serta tendon atau struktur otot. Beberaa
tingkat kerusakan jaringan di sekitar dislokasi bahu anterior yaitu lesi
bankart yang ditandai dengan kerusakan pada bagian anteroinferior
labrum glenoid (fibrokartilago) tepi yang memperdalam soket sendi dan
kapsul yang mengelilingi bersama. Lesi Hill-Sachs, yang melibatkan
fraktur kompresi kepala humerus, serta kerusakannya tulang rawan di
atasnya (Braun dan McRobert, 2019).
2. Dislokasi Bahu Posterior
Dislokasi bahu posterior dapat terjadi karena adanya gaya aksial atau gaya
beban yang diterapkan atau diberikan pada ekstremitas atas ketika dalam
posisi rotasi internal, adduksi, dan elevasi ke depan. Selain itu, kontraksi
otot yang intens sekunder akibat sengatan listrik atau terapi kejut
elektrokonvulsif dapat menyebabkan dislokasi glenohumeral atau
dislokasi bahu posterior (Paparoidamis dkk., 2021)
Tanda-tanda klinis khas dari dislokasi bahu posterior: penonjolan
punggung kepala humerus dan coracoid menonjol, rotasi eksternal pada
bahu terbatas atau bahkan tidak bisa, atau rotasi internal tetap dan abduksi
terbatas di bawah 90 derajat (Guehring dkk., 2017)
Dislokasi posterior biasanya dapat menyebabkan lesi tulang (fraktur
impresi kaput humerus anterior atau dikenal sebagai "lesi Hill-Sachs
reverse") dan cedera lain seperti lesi labrum posterior, atau fraktur tepi
glenoid posterior (Guehring dkk., 2017)
3. Dislokasi Bahu Inferior
Dislokasi bahu inferior adalah bentuk dislokasi bahu yang paling tidak
umum. Kondisi ini juga disebut luxatio erecta karena lengan tampak
dipegang secara permanen ke atas, dalam abduksi tetap (Hamdi dkk.,
2018). Dislokasi bahu inferior ini menjadi kasus yang langka yang hanya
ditemukan sekitar 0,5% dari kasus dislokasi bahu yang ada. Pasien yang
datang biasanya posisi tangan tegak ke atas diletakkan di kepala atau di
dekatnya. Dislokasi bahu inferior disebabkan oleh hiperabduksi lengan
kuat secara tiba-tiba, adanya pembebanan langsung pada lengan yang
sepenuhnya diabduksi, kaput humerus terdorong ke arah akromion akibat
7

ruptur kapsul glenohumeral inferior dan gangguan rotator cuff (Vasiliadis


dkk., 2020).
1.6 Patofisiologi
1. Dislokasi Bahu Anterior
Patologi dari dislokasi bahu anterior terdapat perbedaan antara
pasien dengan usia muda dan tua. Mekanisme cedera dislokasi bahu
anterior pada pasien muda yaitu pasien yang lebih muda memiliki
jaringan manset rotator yang kuat dan sehat, penekanan dengan energi
tinggi dapat mengakibatkan kegagalan pengekangan statis anterior yang
lebih lemah yaitu, labrum, kapsul. Akibatnya, pasien muda sering
mengalami lesi Bankart yang merupakan robekan dari labrum anterior-
inferior dan ligamen glenohumeral inferior. Lesi lain yang mungkin
terjadi terkait dengan trauma dislokasi anterior yaitu robekan labral
superior dari anterior ke posterior (SLAP), Bankart tulang, avulsi lengan
periosteal labral anterior (ALPSA), avulsi humerus dari ligamen
glenohumeral (HAGL), dan robekan rotator cuff (Wang, 2018).
Berbeda dari individu yang muda, individu yang lebih tua memiliki
risiko lebih besar untuk cedera rotator cuff karena tendon manset yang
melemah yang disebabkan oleh degenerasi terkait dengan penuaan selama
dislokasi. Bisep pecah, fraktur tuberositas , dan cedera neurovaskular
merupakan cedera pyang menyertai dislokasi bahu anterior yang sering
terjadi pada pasien yang lebih tua daripada yang lebih muda. Selain itu
cedera saraf aksilaris juga paling sering menjadi penyerta dari dislokasi
bahu anterior, dengan insiden yang dilaporkan (9,3% hingga 63,0%)
diikuti oleh saraf suprascapular (29%), saraf muskulokutaneus (19%),
saraf radial (22%), dan saraf ulnaris (8%). Peningkatan insiden pada
pasien yang lebih tua mungkin disebabkan oleh faktor usia perubahan
degeneratif pada jaringan saraf, yang membuat saraf lebih rentan terhadap
cedera pada trauma tertutup (Wang, 2018).
8

2. Dislokasi Bahu Posterior


Patofisiologi dislokasi bahu posterior dapat terjadi karena adanya
kejang tonik-klonik, sengatan listrik, atau trauma bahu yang mengarah ke
anterior (seperti memegang dashboard dalam tabrakan kendaraan bermotor
atau jatuh dengan tangan terentang). Cedera ini menciptakan rotasi internal
yang kuat, adduksi, dan fleksi bahu. Dislokasi posterior dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis anatomi berdasarkan posisi istirahat
terakhir dari kepala humerus: (1) subakromial, yang paling umum, (2)
subglenoid, dan (3) subspinous. Dislokasi posterior akan mengakibatkan
kaput humerus berada di posterior glenoid dan inferior dari acromion
(Kammel dkk., 2021).
3. Dislokasi Bahu Inferior
Dislokasi bahu inferior banyak terjadi pada individu yang jatuh dan
menggenggam benda di atas kepala sehingga menyebabkan individu
berada pada posisi hiperabduksi leher humerus terhadap akromion yang
memaksa kepala humerus keluar dari soket, merobek kapsul inferior. Ini
biasanya terkait dengan cedera serius pada kompleks bahu. Juga, trauma
tekanan tinggi pada bahu, seperti yang terlihat pada kecelakaan kendaraan
bermotor dan jatuh dari ketinggian, juga dapat mengakibatkan dislokasi,
patah tulang, dan jaringan lunak serius lainnya serta cedera traumatis
(Kammel dan Leber, 2021).

1.7 Manifestasi Klinis


Secara umum berikut merupakan tanda dan gelaja dari dislokasi bahu yaitu:
1. Nyeri akut
2. Deformitas
3. Keengganan untuk menggerakkan lengan
4. Terkadang diikuti dengan cedera saraf axillar
(Murtala, 2019)
Secara spesifik manifestasi klinis untuk dislokasi bahu anterior adalah
terpisahnya glenoid dan kepala humerus yang bergeser ke depan glenoid
(Armed dkk., 2021). Sedangkan manifestasi klinis khas dari dislokasi bahu
9

posterior yaitu penonjolan punggung kepala humerus dan coracoid menonjol,


rotasi eksternal pada bahu terbatas atau bahkan tidak bisa, atau rotasi internal
tetap dan abduksi terbatas di bawah 90 derajat (Guehring dkk., 2017).
1.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X (Rontgen)
Pemeriksaan sinar X adalah pemeriksaan non invasive untuk menegakkan
diagnosa, pada pasien dislokasi bahu akan terlihat pergeseran dari
mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih (Suriya dan
Zuriati, 2019).
2. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan sinar X yang lebih modern dengan
menggunakan komputer, sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dan
detail serta dapat dibuat dalam bentuk 3 dimensi. Pada pasien dengan
dislokasi ditemukan gambaran 3 dimensi dimana sendi tidak berada di
tempatnya (Suriya dan Zuriati, 2019).
3. MRI
MRI adalah pemeriksaan dengan menggunakan gelombang magnet dan
frekuensi radio sehingga hasil yang didapatkan yaitu gambaran tubuh
terutama jaringan lunak dan gambar lebih detail. Pada pemeriksaan MRI
hasil pada pasien dengan dislokasi yaitu tulang tidak berada atau bergeser
dari mangkuk sendi (Suriya dan Zuriati, 2019).
1.9 Penatalaksanaan
1.9.1 Reduksi
Menurut Auerbach dkk. (2019) menjelaskan bahwa penatalaksaan dislokasi
sendi bahu adalah sebagai berikut:
1. Lakukan pemeriksaan motorik, sensorik, dan vaskular menyeluruh pada
ekstremitas yang terlibat.
2. Mengkaji nervus aksilaris dan muskulokutaneus dengan teliti, hal ini
dikarenakan saraf aksilaris merupakan saraf yang paling sering mengalami
cedera pada dislokasi bahu
3. Jika sudah 30 sampai 60 menit dari perawatan medis definitif, kemudian
pindahkan pasien dengan penyangga untuk dislokasi sendi.
10

4. Jika ada orang yang terampil atau jika perawatan medis definitif jauh,
reduksi dislokasi dini dapat sangat memperbaiki ketidaknyamanan pasien
dan memungkinkan pasien untuk berfungsi lebih aktif selama evakuasi.
a. Elemen kuncinya adalah inisiasi cepat karena semakin lama bahu
terkilir, semakin sulit reduksi akhirnya.
b. Secara umum metode reduksi bahu adalah sebagai berikut: relaksasi
kejang otot, jaminan pasien, dan metode traksi untuk melewati kepala
humerus melewati tepi anterior glenoid.
c. Dalam beberapa pengaturan jarak jauh, mungkin lebih mudah untuk
menerapkan metode reduksi bahu yang dapat dilakukan dengan pasien
berdiri atau duduk. Ini membutuhkan akses ke area yang datar dan
nyaman untuk menempatkan pasien dalam posisi terlentang atau
tengkurap.
5. Setelah reduksi bahu, ingatlah untuk memantau sirkulasi dan fungsi
sensorik motorik pergelangan tangan.
6. Premedikasi narkotik atau benzodiazepin dapat membantu jika kejang otot
telah berkembang.
7. Jika bahu tidak dapat diturunkan setelah tiga kali usaha keras, atur
evakuasi. Untuk reduksi bahu yang sulit, pertimbangkan pemberian 15
sampai 20 mL anestesi lokal ke dalam sendi bahu. Suntikan ini hanya
boleh dicoba dengan cara yang steril oleh seseorang yang ahli dalam
injeksi bahu.
8. Setelah relokasi, untuk mencegah dislokasi berulang, balut lengan pasien
di dada dengan selempang atau sling atau dengan menjepit kedua lengan di
dada.
Adapun beberapa tekhnik reduksi menurut Auerbach dkk. (2019) yaitu:
1. Metode Berdiri
a. Minta pasien membungkuk ke depan setara dengan pinggang,
kemudian anda menopang dada pasien dengan satu tangan dan tangan
yang lain memegang pergelangan tangan pasien dan lakukan traksi ke
bawah yang stabil dan rotasi eksternal.
11

b. Sambil mempertahankan traksi, fleksikan bahu secara perlahan-lahan


dengan menggerakkannya ke arah kepala sampai terjadi reduksi.
c. Jika dua penolong tersedia, satu penolong menopang dada pasien, dan
penolong lainnya melakukan traksi dan fleksi pada lengan.

d. Untuk membantu reduksi. Terapkan manipulasi scapula dengan ibu


jari mendorong titik inferior scapula kea rah medial tubuh. Serta
asisten yang lain tetap melakukan gerakan traksi dan fleksi.
2. Metode terlentang dan tengkurap
a. Metode alternatif lainnya adalah membuat pasien terbaring tengkyrap
sehingga lengan yang terluka menjuntai ke bawah
b. Beri bantaan tebal di bawah bahu yang cedera
c. Beban 10 hingga 20 pon atau sekitar 4,5 sampai 9 kg dipasang di
pergelangan tangan atau lengan bawah dengan catatan pasien tidak
boleh menahan beban
d. Biarkan beban membuat lengan menjadi traksi dengan menggunakan
gaya gravitasi
e. Beban bisa dilakukan improvisasi menggunakan beban lainnya.
12

f. Metode reduksi umum lainnya adalah traksi linier sepanjang garis


aksial ekstermitas sambil menstabilkan batnag tubuh dengan selimut
atau tali.

g. Pasien terlentang di tanah atau tempat tidur


h. Sebuah seprei, atau sabuk empuk, atau tali pengikat dapat dikaitkan di
pinggang penolong dan lengan bawah pasien yang ditekuk sehingga
penolong dapat bersandar menerakan traksi, membiarkan tangannya
bebas untuk memandu kepala humerus kembali ke posisinya.

i. Padding diletakkan di bawah ketiak dan siku ditekuk untuk mencegah


cedera tekanan pada saraf sensitif di bawah kulit.
13

1.9.2 Immobilisasi
Imobilisasi selama kurang lebih satu minggu setelah terjadinya
dislokasi bahu tidak meningkatkan resiko kekambuhan. Imobilisasi
rotasi eksternal juga dapat menurunkan tingkat kekambuhan dislokasi
bahu, namun imobilisasi rotasi eksterna harus dipertimbangkan secara
matang, dan pasien harus benar benar patuh serta siap bahwa dengan
dilakukannya imobilisasi rotasi eksterna akan mengganggu kegiatan
pasien sehari-hari (Hasebroock dkk., 2019).
1.9.3 Penatalaksanaan Bedah
Bedah artroskopi memberikan mobilitas bahu yang lebih baik dan
lebih cepat untuk proses penyembuhan . Perbaikan bedah merupakan
pilihan yang menarik bagi pasien berisiko tinggi yang mengalami
dislokasi bahu anterior traumatis dengan usia 21–30 tahun, dan yang
berpartisipasi dalam olahraga berisiko tinggi. Untuk lesi Bankart,
perbaikan bedah telah menunjukkan keberhasilan yang tinggi dalam
mencegah dislokasi berulang dengan morbiditas bedah rendah dan
terbukti lebih unggul daripada imobilisasi konservatif (Hasebroock
dkk., 2019).
Prosedur Latarjet melibatkan transplantasi proses coracoid ke leher
skapula untuk mengobati berulang dislokasi dan telah menunjukkan
jangka panjang yang sangat baik hasil klinis dan kembali ke tingkat
olahraga. Ketidakstabilan berulang dalam prosedur ini dilaporkan
serendah 0 - 5,4% (Hasebroock dkk., 2019).
1.9.4. Penatalaksanaan Farmakologi
a Pemberian analsik untuk mengurangi nyeri otot, sendi, nyeri kepala,
nyeri pinggang. Dosis : sesudah makan dengan dosis 3 x 1 kapsul
untuk dewasa.
b Bimastan digunakan untuk mengurangi nyering ringan atau sedang.
Dosis : untuk dewasa 500 mg di awal kemudian 250 mg tiap 6 jam.
(Suriya dan Zuriati, 2019).
14

BAB 2. CLINICAL PATHWAY

Jatuh Cedera Olahraga Kecelakaan bermotor Adanya tekanan yang berlebihan pada bahu

Bertumpu pada tangan

Dislokasi sendi bahu

Cedera pada jaringan Terpisahnya atau bergesernya Terpisahnya atau bergesernya


sekitar glenoid dan kepala humerus glenoid dan kepala humerus Perubahan struktur sendi

Vasodilatasi pada Kerusakan jaringan Cedera Perubahan panjang


darah sekitar Neurovaskuler ekstermitas

Kekakuan Pelepasan mediator Ekstermitas pucat dan


kimia Deformitas
dingin

Gangguan Mobilitas Merangsang Nosiseptor


Fisik Perfusi perifer tidak
ke Medulla Spinalis Gangguan Citra Tubuh
efektis

Persepsi Nyeri

Nyeri akut
15

BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas
Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Agama,
Pekerjaan, Alamat, No. RM, status Perkawinan, Tanggal MRS
2. Riwayat kesehatan
a. Diagnosa Medik: Dislokasi Bahu
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien biasana nyeri hebat dan
ketidakmampuan menggerakkan lengan atas
c. Riwayat penyakit sekarang
Dislokasi bahu sering terjadi diakibatkan oleh adanya cedera, jatuh,
kecelakaan bermotor, maupun tekanan yang hebat pada bahu saat bahu
pada posisi hiperabduksi lengan kuat secara tiba-tiba, atau ketika jatuh
atau cedera bertumpu pada tangan dapat menyebabkan dislokasi sendi
bahu. Dislokasi sendi bahu ditandai dengan adanya penonjolan
punggung kepala humerus dan coracoid menonjol untuk dislokasi bahu
posterior, sedangkan untuk dislokasi bahu anterior ditandai dengan
adanya cekungan tepat dibawah acromion.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat dislokasi bahu sebelumnya juga dapat menyebabkan
dislokasi bahu berulang. Dislokasi bahu juga beresiko besar terjadi pada
atlit, dan orang yang sebelumnya telah mengalami dislokasi bahu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya anggota keluarga atau lingkungan yang mengalami
penyakit RA maupun OA

3. Pengkajian Keperawatan

a. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan


Pendapat pasien dan keluarga mengenai kesehatan. Pada kasus ini
dapat berupa bagaimana pasien dan keluarga dalam mencegah terjadinya
16

dislokasi bahu dengan mengonsumsi makanan sehat dan menjaga agar


tubuh dapat bergerak sesuai dengan mekanika tubuh
b. Pola nutrisi/metabolic
1) Gejala: Penurunan nafsu makan
2) Tanda: Mukosa mulut kering
c. Pola eliminasi
Mengkaji BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter)
d. Pola aktivitas dan latihan
Mengkaji Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi kardiovaskuler,
terapi oksigen.
Terjadi keterbatasan aktivitas disebabkan karena nyeri ektermitas dan
keterbatasan rentang gerak pada sendi bahu yang mengalami dislokasi
e. Pola tidur dan istirahat
Mengkaji durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur
Klien biasanya mengalami gangguan pola tidur dan rasa nyaman akibat
nyeri pada ekstermitas atas yang mengalami cidera
f. Pola kognitif & perceptual
Mengkaji fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan indera
g. Pola persepsi diri
Mengkaji gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri
Tanda : klien biasanya mengalami gangguan persepsi diri karena adanya
perubahan struktur dan fungsi tubuh pada bagian yang mengalami
dislokasi.
h. Pola seksualitas & reproduksi
Mengkaji Pola seksualitas dan reproduksi pada klien
i. Pola peran dan hubungan
Mengkaji pola peran dan hubungan klien dengan keluarga
j. Pola manajemen dan koping stres
Mengkaji pola manajemen dan koping stres pada klien terutama saat
kondisi sakit
17

k. Sistem nilai dan keyakinan


Mengkaji sistem nilai dan keyakinan klien, meliputi sholat lima waktu,
mengaji, dan berdoa
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, tanda-tanda vital (tekanan darah, pernafasan, nadi dan
suhu)
b. Pengkajian Fisik :
1) Kepala
a) Rambut
Mengaji warna, persebaran rambut, rambut, palpasi kepala,
inspeksi adanya lesi atau tidak
b) Wajah
Wajah nampak simetris atau tidak, ada tidaknya nyeri tekan atau
lesi
c) Mata
Apakah penglihatan kabur, apakah lensa mata keruh, mengkaji
kondisi konjungtiva
d) Telinga
Periksa kebersihan telinga, adanya benjolan, tanda tanda infeksi
dan lain-lain
e) Hidung
Kaji pernapasan cuping hidung, nyeri tekan, keluar sekret
2) Mulut
Kaji mukosa bibir, persebaran gigi, kaji adanya tanda-tanda
peradangan tonsil, infeksi faring, cairan eksudat
3) Leher
Pemeriksaan terkait adakah nyeri tekan, pembesaran kelenjar tiroid,
adakah pembesaran vena jugularis
4) Thorax
Inspeksi, amati bentuk dada pasien, bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale
18

5) Jantung
Bagaimana frekuensi iramanya jantung, Adakah bunyi tambahan,
Adakah bradicardi atau tachycardia, adanya ictus cordis
6) Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen,
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus, Adakah pembesaran lien
dan hepar, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat
badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
7) Kulit
Kaji warna kulit khususnya pada ekstermitas yang mengalami cidera,
kaji apakah ada tanda-tanda kulit berwarna pucat, atau adanya lesi atau
kerusakan jaringan kulit maupun adanya perdarahan pada lokasi
cidera.
8) Ekstremitas
Kaji adanya edema pada bagian ekstermitas, kaji kekuatan otot
pada klien dengan dislokasi bahu. Biasanya pada klien dengan dislokasi
bahu akan mengalami kelemahan otot dan keterbatasan rentang gerak
serta nyeri pada bagian ektermitas yang cedera. Saat dilakukan
perabaan adanya penonjolan punggung kepala humerus dan coracoid
menonjol untuk dislokasi bahu posterior, sedangkan untuk dislokasi
bahu anterior ditandai dengan adanya cekungan tepat dibawah
acromion.
9) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi, Poliuri, retensio
urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X (Rontgen)
Pemeriksaan sinar X adalah pemeriksaan non invasive untuk menegakkan
diagnosa, pada pasien dislokasi bahu akan terlihat pergeseran dari
mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih.
19

2. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan sinar X yang lebih modern dengan
menggunakan komputer, sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dan
detail serta dapat dibuat dalam bentuk 3 dimensi. Pada pasien dengan
dislokasi ditemukan gambaran 3 dimensi dimana sendi tidak berada di
tempatnya.
3. MRI
MRI adalah pemeriksaan dengan menggunakan gelombang magnet dan
frekuensi radio sehingga hasil yang didapatkan yaitu gambaran tubuh
terutama jaringan lunak dan gambar lebih detail. Pada pemeriksaan MRI
hasil pada pasien dengan dislokasi yaitu tulang tidak berada atau bergeser
dari mangkuk sendi.
3.2 Diagnosa
1. Nyeri Akut (D.0077) b.d Agen pencedera fisik d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, sulit tidur
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) b.d kerusakan integritas struktur
tulang d.d mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas, nyeri saat bergerak,
merasa cemas saat bergerak, enggak melakukan pergerakan, sendi kaku,
gerakan terbatas
3. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) b.d penurunan aliran arteri dan atau
vena d.d pengisian kapiler lebih dari 3 detik, nadi perifer menurun dan
tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat, nyeri ekstermitas,
edema
4. Gangguan Citra Tubuh (D.0083) b.d perubahan struktur/bentuk tubuh d.d
fungsi struktur tubuh berubah, mengungkapkan perasaan negative tentang
perubahan tubuh, mengungkapkan perubahan gaya hidup
20

3.3 Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Nyeri Akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
selama 3x24 jam diharapkan nyeri akut Observasi
pada klien berkurang dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
hasil : kualitas dan intensitas nyeri
Tingkat Nyeri (L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Sikap protektif menurun meringankan nyeri
3. Perasaan takut mengalami cedera Terapeutk
berulang menurun 4. Berikan tekhnik nonfarmakologi untuk
4. Gelisah menurun mengurangi nyeri (kompres hangat/ dingin, terapi
music, aromaterapi, terapi pijat, akupresur)
5. Fasilitasi istirahat dan tidur
6. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
7. Jelaskan strategi meredakan nyeri
8. Ajarkan tehnik nonfarmakologis untuk meredakan
nyeri
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Pengaturan Posisi (I. 01019)


Observasi
21

1. Monitor alat traksi agar selalu tepat posisi


Terapeutik
2. Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik
yang tepat
3. Tempatkan pada posisi terapeutik
4. Tempatkan objek yang sering digunakan dalam
jangkauan
5. Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera
dengan tepat
6. Hindari menematkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
7. Pertahankan posisi dan integritas traksi
8. Ubah posisi setiap 2 jam
Edukasi
10. Informasikan saat akan dilakukan perubahan
posisi
11. Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan
mekanika tubuh yang baik selama melakukan
perubahan posisi
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum
mengubah posisi
2 Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Mobilisasi (I.05173)
(D.0054) selama 3x24 jam diharapkan gangguan Obeservasi
mobilitas fisik pada klien berkurang 1. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
dengan kriteria hasil : 2. Monitor kondisi umum selama melakukan
Mobilitas fisik (L.05042) mobilisasi
1. Pergerakn ektermitas cukup meningkat Terapeutik
22

2. Rentang gerak cukup meningkat 3. Fasilitasi mobilisasi dengan alat bantu


3. Nyeri menurun 4. Fasilitasi melakukan pergerakan jika perlu
4. Kaku sendi cukup menurun 5. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
5. Gerakan terbatas menurun meningkatkan pergerakan
Edukasi
6. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
7. Anjurkan melakukan mobilisasi dini

Perawatan Traksi (I.05182)


Observasi
1. Monitor alat fiksasi eksternal
2. Monitor sirkulasi, pergerakan, dan sensasi pada
ekstermitas yang cedera
Terapeutik
3. Pertahankan posisi baring yang tempat di tempat
tidur
4. Pastikan beban traksi terpasang tepat
5. Pastikan tali dan katrol bebas menggantung
6. Pastikan tarikan tali dan beban tetap berada
disepanjang sumbu tulang fraktur
Edukasi
7. Anjurkan perawatan alat fiksasi eksternal, sesuai
kebutuhan.

3 Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Sirkulasi (I. 02079)
(D.0009) selama 3x24 jam diharapkan perfusi Observasi:
perifer tidak efektif pada klien berkurang 1. Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema,
dengan kriteria hasil : pengisian kapiler, warna)
23

Perfusi Perifer (L.02011) 2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi


1. Warna kulit pucat menurun Terapeotik
2. Nyeri ekstermitas menurun 3. Hindari pengukuran tekanan darah pada
3. Akral membaik ekstermitas dengan keterbatasan perfusi
4. Hindari pemasangan infus pada area yang cidera
Edukasi
5. Ajarkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi
6. Informasikan tanda dan gejala

Pengaturan Posisi (I. 01019)


Observasi
1. Monitor alat traksi agar selalu tepat posisi
Terapeutik
2. Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik
yang tepat
3. Tempatkan pada posisi terapeutik
4. Tempatkan objek yang sering digunakan dalam
jangkauan
5. Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera
dengan tepat
6. Hindari menematkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
7. Pertahankan posisi dan integritas traksi
8. Ubah posisi setiap 2 jam
Edukasi
9. Informasikan saat akan dilakukan perubahan
posisi
24

10. Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan


mekanika tubuh yang baik selama melakukan
perubahan posisi
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum
mengubah posisi
4 Gangguan Citra Tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan Promosi Citra Tubuh (I.09305)
(D.0083) selama 3x24 jam diharapkan gangguan Observasi
citra tubuh pada klien berkurang dengan 1. Identifikasi perubahan citra tubuh yang
kriteria hasil : mengakibatkan isolasi social
Citra Tubuh (L.09067) 2. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri
1. Melihat bagian tubuh membaik sendiri
2. Verbalisasi kecacatan bagian tubuh Terapeutik
membaik 3. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
3. Verbalisasi perasaan negative tentang 4. Diskusikan kondisi stress yang mempengaruhi
perubahan tubuh membaik. citra tubuh
5. Diskusikan cara mengembangkan harapan citra
tubuh yang realistic
Edukasi
6. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap
citra tubuh
7. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
8. Latih pengungkapan kemampuan diri kepada
orang lain maupun kelompok
25

3.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tindakan yang dilakukan dengan
membandingkan mengenai kesehatan klien setelah dilakukan asuhan
keperawatan dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi
klien. Evaluasi ini dilakukan secara berkesinambungan dengan menyertakan
klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan adalah
bagian terakhir dari proses asuhan keperawatan yang bertujuan untuk
menentukan apakah tujuan dari tindakan keperawatan telah tercapai atau
perlu ada tindakan lainnya.
Cara melakukan evaluasi yaitu:
1. menentukan standart pertanyaan untuk menilai hasil dari tindakan
keperawatan
2. Mengumpulkan data yang terbaru dari klien
3. Menganalisis data baru yang telah diperoleh
4. Membandingkan data baru dengan standart yang berlaku
5. membuat rangkuman hasil yang kemudian disimpulkan
6. Melakukan tindakan sesuai dengan hasil yang telah disimpulkan
(Dinarti dan Mulyanti, 2017).
3.5 Discharge Planning
Discharge planning merupakan tindakan yang dilakukan dimulai pada saat
pasien masuk dengan memberikan asuhan keperawatan dan pengkajian sesuai
dengan kebutuhan klien. Discharge planning juga meliputi perancanaan atau
tindakan klien ketika pulang juga harus direncanakan dan dilaksanakan
dikarenakan hal tersebut akan berpengaruh pada peningkatan angka kejadian
resiko kekambuhan dan masuknya kembali pasien untuk dirawat. Discharge
planning dilaksanakan ketika awal masuk pasien untuk dirawat. Discharge
planning yang baik adalah discharge planning yang dilakukan secara
berkelanjutan guna mendapat data terbaru klien dikarenakan kebutuhan klien
yang sering berubah ubah (Agustin, 2017).
26

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, R. dan H. Akbarnia. 2021. Shoulder Dislocations Overview.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459125/

Armed, N., F. Joint, M. Services, K. S. Midtgaard, L. D. Hospital, K. Lundgreen,


O. Sports, dan G. Moatshe. tanpa tahun. Anterior shoulder dislocation –
assessment and treatment

Auerbach, P. S., B. B. Constance, dan L. Freer. 2019. Field Guide To Wilderness


Medicine. Edisi 5. Elsevier.

Braun, C. dan C. J. McRobert. 2019. Conservative management following closed


reduction of traumatic anterior dislocation of the shoulder. Cocrane Library.
(5):1–72.

Dinarti dan Y. Mulyanti. 2017. Dokumentasi keperawatan. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia. 167.

Guehring, M., S. Lambert, U. Stoeckle, dan P. Ziegler. 2017. Posterior shoulder


dislocation with associated reverse hill-sachs lesion: treatment options and
functional outcome after a 5-year follow up. BMC Musculoskeletal
Disorders. 18(1):1–7.

Hamdi, K., T. Mohamed Amine, B. Sofien, M. Thabet, N. Nader, dan A.


Mohamed Laziz Ben. 2018. Inferior dislocation of the shoulder complicated
with brachial plexus palsy: a case report. Journal of Musculoskeletal
Disorders and Treatment. 4(3):8–11.

Hasebroock, A. W., J. Brinkman, L. Foster, dan J. P. Bowens. 2019. Management


of primary anterior shoulder dislocations: a narrative review. Sports
Medicine - Open. 5(1)

Kammel, K. R., Y. El Bitar, dan E. H. Leber. 2021. Posterior Shoulder


Dislocations. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441919/

Kammel, K. R. dan E. H. Leber. 2021. Inferior Shoulder Dislocations.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448196/
27

Keperawatan, P. 2017. Jurnal keperawatan muhammadiyah 2 (1) 2017. 2(1)


Paparoidamis, G., E. Iliopoulos, A. A. Narvani, O. Levy, E. Tsiridis, dan I.
Polyzois. 2021. Posterior shoulder fracture-dislocation: a systematic review
of the literature and current aspects of management. Chinese Journal of
Traumatology - English Edition. 24(1):18–24.

Salvo, S. G. 2022. Mosby’s Pathology For Massage Professionals. Edisi 5. India:


Elsevier.

Shah, A., A. Judge, A. Delmestri, K. Edwards, N. K. Arden, D. Prieto-Alhambra,


T. A. Holt, R. A. Pinedo-Villanueva, S. Hopewell, S. E. Lamb, A. Rangan,
A. J. Carr, G. S. Collins, dan J. L. Rees. 2017. Incidence of shoulder
dislocations in the uk, 1995-2015: a population-based cohort study. BMJ
Open. 7(11)

Shields, D. W., J. G. Jefferies, A. J. Brooksbank, N. Millar, dan P. J. Jenkins.


2018. Epidemiology of glenohumeral dislocation and subsequent instability
in an urban population. Journal of Shoulder and Elbow Surgery. 27(2):189–
195.

Suriya, M. dan Zuriati. 2019. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi NANDA NIC & NOC.
Padang: Pustaka Galeri Mandiri.

Vasiliadis, A. V., C. Kalitsis, T. Kantas, dan G. Biniaris. 2020. Inferior


dislocation of shoulder complicated with undisplaced greater tuberosity
fracture, rupture of the supraspinatus tendon, and brachial plexus injury in
the elderly: case report and literature review. Case Reports in Orthopedics.
2020:1–5.

Wang, S. Il. 2018. Management of the first-time traumatic anterior shoulder


dislocation. Clinics in Shoulder and Elbow. 21(3):169–175.

Yanto, R. B. Atmoko, L. L. Hidajat, M. Dua, M. D. N. Handayani, D. Kenji,


Heidy, C. Kuswidyati, Andre, R. Irawan, dan Vannie. 2019. Engineeering
Psychology: Prinsip Dasar Rekayasa Kerja Berbasis Integritas Fisik, Psikis,
Dan Tekhnik. Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Yusni. 2019. Cedera Olahrag. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

Anda mungkin juga menyukai