Anda di halaman 1dari 17

Makalah Keperawatan Medikal Bedah III

“Vitiligo”

Disusun Oleh :

Kelompok 4

1. Ayu Enjellya Priscilya (21119052)


2. Dina Sri Rahayu (21119055)
3. Fitria Faradila (21119059)
4. Husni Dhahhab Pratama (21119060)
5. Nanda Williansyah (21119071)
6. Nurisa Fadillah (21119073)
7. Tri Agung Saputra (21119087)

Kelas PSIK V B

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan


Fakultas Ilmu Kesehatan
Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi vitiligo saat ini masih menjadi tantangan dalam bidang
Dermatologi. Vitiligo menyebabkan kelainan kulit akibat adanya gangguan
pigmentasi sehingga pada kulit akan tampak makula depigmentasi yang
berwarna putih seperti susu. Patogenesis penyakit yang belum diketahui secara
pasti dan hasil pengobatan yang belum memuaskan menjadi permasalahan baik
bagi penderita maupun tenaga kesehatan yang merawatnya. Penderita vitiligo
juga mengalami stigma dan beban psikologis akibat warna kulit yang tidak
merata.
Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo
yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini
dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena
masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia
lanjut dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 10–30 tahun.
Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu
penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Namun beberapa
faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain faktor mekanis, faktor sinar
matahari atau penyinaran ultra violet A, Faktor emosi/psikis dan factor
hormonal.
Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas
penyakit ini. Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi
yang lokal sampai universal. Untuk menegakkan diagnosis vitiligo, diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan woodlamp dan pemeriksaan
laboratorium histopatologi.
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir
surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan
mudah serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan
terapi lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk
vitiligo.

B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami tentang
vitiligo mulai dari definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis
dan penatalaksanaan. Selain itu, untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat
yang berlaku di lingkungan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai.

C. MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai
vitiligo.
BAB  II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Vitiligo
Asal mula istilah vitiligo tidak diketahui. Pada pertengahan abad ke-16,
Hieronymous Mercurialis menduga istilah vitiligo berasal dari bahasa latin yaitu
kata Vitium atau Vitellum yang artinya cacat.
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat, yang ditandai dengan
adanya makula putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh
yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata.

B. Etiologi
Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit
herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Penelitian terdahulu
melaporkan 38% penderita vitiligo mempunyai keluarga yang menderita vitiligo,
dan pada penelitian yang lain menyebutkan angka 35%. Beberapa faktor
pencetus terjadinya vitiligo antara lain :
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari
atau UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
C. Patogenesis
1. Aspek Genetik Vitiligo
Vitiligo memiliki pola genetik yang beragam. Pewarisan vitiligo mungkin
melibatkan gen yang berhubungan dengan biosintesis melanin, respon
terhadap stres oksidatif, dan regulasi autoimun. Adanya hubungan antara
vitiligo dengan penyakit autoimun yang sering ditemukan, mendorong
dilakukannya penelitian adanya HLA yang mungkin berhubungan dengan
terjadinya vitiligo. Tipe-tipe HLA yang berhubungan dengan vitiligo pada
beberapa penelitian yang telah dilakukan meliputi A2, DR4, DR7, dan Cw6.

2. Hipotesis Autoimun dan Respon Imun Humoral


Hubungan antara vitiligo dengan kondisi autoimun telah banyak diketahui.
Kelainan tiroid, terutama tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves, sering
berhubungan dengan vitiligo, yang disertai dengan kondisi endokrinopati
seperti Addison disease dan Diabetes Melitus.3 Pada penelitian yang ada,
ditunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara vitiligo dengan
kenaikan kadar autoantibodi tiroid, meskipun mekanisme hubungan ini
belum diketahui secara pasti.

3. Mekanisme Imunitas Seluler


Sebagai tambahan atas keterlibatan mekanisme imunitas humoral pada
patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat yang mengindikasikan adanya
proses imunitas seluler. Kerusakan melanosit bisa jadi dimediatori secara
langsung oleh autoreaktif sitologik sel T. Meningkatnya jumlah sirkulasi
limfosit sitotoksik CD8+ sebagai reaksi terhadap MelanA/Mart-1 (antigen
melanoma yang dikenalkan oleh sel T), glikoprotein 100, dan tirosinase
telah dilaporkan pada pasien dengan vvitiligo. Sel T CD8+ yang teraktivasi
telah didemonstrasikan pada perilesi kulit vitiligo. Yang menarik adalah, sel
T reseptor spesifik terhadap melanosit yang ditemukan pada pasien
melanoma dan vitiligo memiliki struktur yang hampir sama. Penelitian yang
mengemukakan hal ini mendorong dilakukannya strategi imunisasi, seperti
misalnya induksi sel T tumor-specific sebagai pencegahan dan eradikasi
kanker.

4. Gangguan pada Sistem Oksidan-Antioksidan pada Vitiligo


Stres oksidatif mungkin juga memiliki peran patogenesis yang penting
terhadap terjadinya vitiligo. Beberapa penelitian memastikan beberapa teori
stres oksidatif yang mungkin, yang mana hal ini menunjukkan bahwa
akumulasi toksin radikal bebas terhadap melanosit akan berdampak pada
kerusakan sel melanosit itu sendiri. Meningkatnya level nitrit oksida telah
ditunjukkan pada melanosit yang dikultur dan di dalam serum pasien
dengan vitiligo, yang dapat diasumsikan bahwa nitrit oksida dapat
mendorong pada autodestruksi melanosit.

5. Teori Neural
Vitiligo segmental sering terjadi pada pola dermatom, yang mengarahkan
pada hipotesis neural yang mengajukan adanya pelepasan mediator kimiawi
tertentu yang berasal dari akhiran saraf akan menyebabkan menurunnya
produksi melanin.

6. Virus
Bersama-sama dengan teori lain, data yang ada menunjukkan bahwa vitiligo
merupakan kelainan dengan multifaktor, dan bisa jadi merupakan hasil akhir
dari beberapa jalur patologis yang berbeda. Para ahli sepakat bahwa vitiligo
lebih cenderung pada sindrom, daripada penyakit tunggal.

D. Gambaran Klinis Dan Klasifikasi


Pasien dengan vitiligo memiliki satu atau beberapa makula amelanosit
yang berwarna seperti kapur atau seperti susu putih. Lesi biasanya berbatas
tegas, namun dapat juga tepinya mengelupas. Lesi membesar secraa sentrifugal
dengan kecepatan yang tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi pada lokasi
tubuh manapun, termasuk membran mukosa. Akan tetapi, lesi inisial terjadi
paling sering pada tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah. Jika vitiligo terjadi
pada wajah, seringkali distribusinya pada perioral dan periokular.
1. Klasifikasi Vitiligo
Vitiligo diklasifikasikan atas Vitiligo segmental, akrofasial, generalisata,
dan universal. Atau dapat pula diklasifikasikan sesuai pola keterlibatan
bagian kulit yaitu tipe fokal, campuran, dan mukosal.
a. Vitiligo Fokal
Biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar pada
satu area, paling banyak pada area distribusi nervus Trigeminus,
meskipun leher dan batang tubuh juga sering terkena.
b. Vitiligo Segmental
Makula unilateral pada satu dermatom atau distribusi quasi-dermatom.
Jenis ini cenderung memiliki onset pada usia muda, dan tak seperti jenis
lain, jenis ini tidak berhubungan dengan penyakit tiroid atau penyakit
autoimun lainnya. Jenis ini lebih sering terjadi pada anak-anak.
Perubahan pada neural peptida turut dipengaruhi pada patogenesis jenis
ini. Lebih dari separuh pasien dengan vitiligo segmental memiliki patch
pada rambut yang memutih yang dikenal sebagai poliosis.
c. Vitiligo Akrofasial
Depigmentasi pada jari-jari bagian distal dan area periorificium
d. Vitiligo Generalisata
Juga disebut vitiligo vulgaris, merupakan tipe yang paling sering
dijumpai. Patch depigmentasi meluas dan biasanya memiliki distribusi
yang simetris.
e. Vitiligo Universal
Makula dan patch depigmentasi meliputi hampir seluruh tubuh, sering
berhubungan dengan sindroma endokrinopati multipel.
f. Vitiligo Mukosal
Hanya melibatkan lokasi pada membran mukosa.
E. Faktor Pencetus
Ada beberapa faktor pencetus terjadinya vitiligo yaitu :
1. Trauma
Vitiligo sering muncul pada tempat yang sering mengalami trauma disebut
Koebner Phenomen (Isomorphic Respon).
2. Sinar matahari
Pada kulit yang terbakar/terpapar sinar matahari dapat menyebabkan
vitiligo.
3. Emosi dan Stress
Sekitar 40% penderita vitiligo, mengalamai emosi dan stress lebih kurang 6
bulan sebelum timbul atau berkembangnya lesi vitiligo.

F. Diagnosa
Menegakkan diagnose vitiligo pada umumnya berdasarkan gambaran
klinis yang khas yaitu adanya lesi depigmentasi berupa macula atau bercak
berwarna putih. Pemeriksaan histopatologi juga diperlukan untuk menetapkan
diagnosis dan membedakan vitiligo dengan kelainan depigmentasi kulit lainnya.
1. Evaluasi Klinis
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis.
Dinyatakan pada penderita:
a. Awitan penyakit
b. Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini
c. Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan
anemia pernisiosa
d. Kemungkinan faktor pencetus, misalnya stress, emosi, terbakar surya,
dan pajanan bahan kimiawi
e. Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih

2. Pemeriksaan fisik
a. Lesi kulit
1) Makula dengan diameter 5mm – 5 cm atau lebih, berwarna putih
pucat “chalk” dan berbatas tegas.
2) Makula yang baru muncul mungkin berwarna putih kabur,
memperlihatkan fasetransisional.
3) Varian Vitiligo Trichrom (tiga warna: putih,cokelat terang, cokelat
gelap),memperlihatkan stadium yang berbeda pada evolusi vitiligo.
4) Pigmentasi di sekeliling folikel rambut pada makula putih
memperlihatkan residual pigmentasi atau returnof pigmentasi.
b. Distribusi
Depigmentasi muncul dalam tiga bentuk umum.
1) Tipe fokal dikarakteristikkan dengan satu atau beberapa makula pada
lokasi tunggal,mungkin merupakan stadium evolusi dari vitiligo tipe
lain.
2) Tipe segmental dikarakteristikkan dengan satu atau beberapa makula
pada satu tempat atau satu bagian tubuh.
3) Tipe general (paling umum), dikarakteristikkan dengan distribusi
makula depigmentasiyang luas, seringkali simetris.
c. Segmental vitiligo
Biasanya memiliki distribusi sepihak yang mungkin sepenuhnya atau
sebagian menurut dermatom, kadang distribusi ipsilateral atau
kontralateral dapat terlibat juga.
d. Nonsegmental vitiligo.
Ditandai dengan white patches yang sering simetris dan yang
biasanya bertambah besar dari waktu ke waktu, sesuai dengan substansial
hilangnya fungsi melanositepidermal dan kadang-kadang melanosit dari
folikel rambut.
Normalnya, diagnosis vitiligo dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
klinis pada pasien dengan makula yang progresif, didapat, putih kapus, bilateral
(biasanya simetris), berbatas tegas padatempat khas (periorbital, perioral, leher,
penis, perineum, aksila, dan tempat yang mendapattekanan seperti siku, malleoli,
lutut, dan area lumbosakral) Koebner’s Phenomenon. Pada fenomena Koebner,
bercak vitiligo timbul pada respon isomofik terhadap pergesekan atau penekanan
yang dihasilkan dari beberapa aktivitas misalnya menyisir rambut,
mengeringkan kulit dengan handuk, dan mengenakan sabuk atau jam.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) tampaknya normal kecuali
tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi
macula. Reaksi DOPA untuk melanosit negative pada daerah apigmentasi,
tetapi meningkat pada tepi yang hiperpigmentasi.

4. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa
menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit
normal.

G. Diagnosa Banding
Sebagai diagnosa banding adalah piebaldisme, sindrom wardenburg, dan
sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan dengan nevus
depigmentosus, tuberosklerosis dan hipomelanositosis. Lesi tunggal atau sedikit
harus dibedakan dengan tinea versikolor, pitiriasis alba, hipomelanosis gutata,
dan hipopigmentasi pasca inflamasi.
1. Piebaldism
Merupakan bercak kulit yang tidak mengandung pigmen yang ditemukan
sejak lahir dan menetap seumur hidup. Penyakit ini diturunkan secara
dominan autosomal, akibat diferensiasi dan mungkin migrasi melanoblas.
Gejala klinis berupa bercak kulit yang tidak mengandung pigmen terdapat di
dahi, median atau paramedian, disertai pula rambut yang putih. Bercak putih
tersebut kadang-kadang ditemukan pula di dada bagian atas, perut, dan
tungkai. Pulau dengan warna kulit normal atau hipermelanosis terdapat di
daerah yang hipermelanosis.

2. Sindrom wardenburg
Merupakan disorder autosomal dominan dengan karakteristik white
forelock, dan lesi kulit piebaldism, dystopia canthorum, akar hidung yang
luas, hipertrikosis, penyatuan alis mata medial dan hilangnya pendengaran
sensorineural.
3. Nevus depigmentosus
Merupakan penyakit congenital, nonprogresif dengan makula atau bercak
yang hipopigmentasi dengan ukuran dan bentuk yang stabil selama masa
hidup. Walaupun timbuul saat lahir, area hipopigmentasi bisa tidak disadari
selama bulan pertama dari kehidupan dan secara klinis akan timbul nantinya
pada anak-anak dengan warna kulit yang terang.

4. Tubero sklerosis kompleks


Tuberosklerosis kompleks, atau disebut juga Bourneville’s disease,
merupakan kondisi inheritansi autosomal dominan dengan mutasi tinggi
mencapai 65%. Heterogenitas genetic dapat menjelaskan keanekaragaman
manifestasi klinis dari tubero sklerosis kompleks. Keterlibatan semua organ,
kecuali otot dan system saraf perifer, telah dilapaorkan pada tuberosklerosis
kompleks. Lesi pada kulit biasanya adanya hamartoma kutan, plak pada
dahi, angiofibroma pada muka dan periungual fibroma.

5. Tinea versikolor
Merupakan infeksi kronik oleh Malassezia furfur, yang tampak sebagai
hiperpigmentasi atau yang lebih umum yaitu makula hipopigmentasi dan
bersisik. Biasanya menyerang usia muda antara 15- 35 tahun, dengan lesi
terlokalisasi pada dada, leher, lengan atas dan punggung. Pada neonates dan
anak-anak, beberapa kasus menyerang pada bagian muka dengan transmisi
dari orangtua yang terinfeksi. Pemeriksaannya yaitu menggunaka wood’s
lamp atau pemeriksaan KOH dengan hasilnya tampak hifa dan spora.

6. Pitiriasis alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Diduga adanya
infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Sering dijumpai pada
anak berumur 3-16 tahun. Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk
bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus.

7. Hipomelanosis Gutata
Merupakan disorder pada masa dewasa. Lesi dapat terlihat jelas dengan
bentuk bulat atau lonjong, polygonal, daerah hipopigmentasi atau
depigmentasi dengan ukuran yang kecil (2-5mm – 1cm). biasanya
terlokalisir pada ekstremitas dan yang terkena paparan sinar matahari. Onset
usia, gejala klinis, progresif yang lambat, dan tidak adanya rambut yang
depigmentasi membedakan penyakit ini dengan vitiligo.

H. Penatalaksanaan
Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas :
1. Pengobatan secara umum yaitu :
a. Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan
dan menjelaskan perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita
maupun orang tua.
b. Penggunaan tabir surya (SPF15-30) pada daerah yang terpapar sinar
matahari. Melanosit merupakan pelindung alami terhadap sinar
matahari yang tidak dijumpai pada penderita vitiligo. Penggunaan tabir
surya mempunyai beberapa alasan yaitu :
1) Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar
matahari (sunburn) dan dapat mengakibatkan timbulnya kanker
kulit.
2) Trauma yang diakibatkan sinar matahari (sunburn) selanjutnya
dapat memperluas daerah depigmentasi (Koebner phenomen).
3) Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit yang
normal menjadi lebih gelap. Dianjurkan menghindari aktivitas
diluar rumah pada tengah hari dan menggunakan tabir surya yang
dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB.
c. Kosmetik Penutup
Tujuan penggunaan kosmetik yaitu menyamarkankan bercak putih
sehingga tidak terlalu kelihatan. Yang biasa digunakan adalah
Covermark dan Dermablend. Biasanya warna disesuaikan dengan
warna kulit dan tidak mudah hilang.
2. Repigmentasi vitiligo, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melihat
usia dari penderita yaitu :
a. Usia dibawah 12 tahun.
1) Topikal steroid
Penggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses
immunologis. Topikal steroid merupakan bentuk pengobatan yang
paling mudah. Steroid yang aman digunakan pada anak adalah
yang potensinya rendah. Respon pengobatan dilihat minimal 3
bulan. Penggunaan topikal steroid yang berpotensi kuat dalam
jangka waktu lama, dapat menimbulkan efek samping yaitu
terjadinya atrofi pada kulit, telangectasi.
2) Topikal Tacrolimus
Berdasarkan penelitian, topikal Tacrolimus 0,1% dapat digunakan
sebagai alternatif pengobatan vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah
makrolid lakton yang diisolasi dari hasil fermentasi Streptomyces
tsukubaensis. Merupakan suatu immunosupressor yang poten dan
selektif. Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi kalsineurin yang
menyebabkan supresi dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan
sitokin. Berdasarkan penelitian, penggunaan topikal tacrolimus
0,1% memberikan hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki
efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan topikal
steroid poten yaitu adanya rasa panas atau terbakar dan rasa gatal,
namun biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan.
3) Topikal PUVA
Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan
vitiligo tipe lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20%
permukaan tubuh. Digunakan cream atau solution Methoxsalen (8-
Methoxypsoralen, Oxsoralen) dengan konsentrasi 0,1- 0,3 %.
Dioleskan 15 - 30 menit sebelum pemaparan pada lesi yang
depigmentasi. Pemaparan menggunakan UV-A dengan dosis awal
0,12 joule dan pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan
sebanyak 0,12 joule sampai terjadi eritema yang ringan. Pemaparan
dapat juga menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada
awal pengobatan selama 5 menit pada pengobatan berikutnya dapat
ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit.
Pengobatan diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak
dalam 2 hari berturut- turut. Setelah selesai pemaparan, daerah
tersebut dicuci dengan sabun dan dioleskan tabir surya. Efek
samping yang dapat timbul adalah photoaging, reaksi phototoxic
dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya resiko
kanker kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan.
b. Usia lebih dari12 tahun (remaja)
1) Sistemik PUVA
Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A
yaitu pada vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu
Methoxsalen (8-MOP, Oxsoralen), bekerja dengan cara
menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara kovalen pada
dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. Dosis
yang diberikan 0,2-0,4 mg/kg BB/ oral, diminum 2 jam sebelum
pemaparan. Pemaparan menggunakan UV-A yang berspektrum 320
- 400 nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap
pengobatan dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi
yang depigmentasi akan berubah menjadi merah jambu muda.
Dosis tersebut akan dipertahankan pada level yang konstan pada
kunjungan yang berikutnya, sehingga terjadi repigmentasi pada
kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari.
Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada
pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga
dicapai eritema ringan dan maksimum selama 30 menit. Terapi ini
biasanya diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak
dilakukan 2 hari berturut-turut.
Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala,
kulit terbakar dan meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit.
Penderita yang mendapat pengobatan dengan psoralen secara
sistemik, sebaiknya sewaktu dilakukan pemaparan menggunakan
kacamata pelindung terhadap sinar matahari hingga sore hari, untuk
menghindari terjadinya toksisitas pada mata. Terapi dilanjutkan
minimum 3 bulan untuk menilai respon pengobatan.
3. Minigrafting
Minigrafting dapat digunakan pada vitiligo segmental yang stabil dan tidak
dapat diobati dengan teknik yang lain.
4. Depigmentation
Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau
pada vitiligo yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan
tubuh atau mendekati vitiligo tipe universalis. Pengobatan ini menggunakan
bahan pemutih seperti monobenzyl ether of hydroquinone 20% cream,
dioleskan 2 kali sehari. Biasanya dibutuhkan waktu 9-12 bulan agar terjadi
depigmentasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi
kelainan ini dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan
perbandingan laki-laki sama dengan perempuan.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Walaupun
penyebab pasti viligo sepenuhnya belum diketahui. Namun, beberapa faktor
diduga dapat menjadi penyebab timbulnya vitiligo pada seseorang, misalnya,
faktor emosi/stress, faktor mekanis seperti trauma, faktor sinar matahari atau
penyinaran sinar UVA, dan faktor hormonal.
Gejala klinis pada pasien adanya makula hipopigmentasi, lentikular hingga
geografis, konfluens, dan sirkumskrip dan beberapa makula hipopigmentasi
dengan repigmentasi folikular pada bawah hidung, bibir atas, kedua tangan,
kedua siku, dan kedua kaki. Hal ini sesuai dengan teori, gambaran ruam vitiligo
dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal sampai universal dengan daerah
tangan, pergelangan tangan, lutut, leher, dan daerah sekitar lubang sebagai
daerah predileksi dari vitiligo.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi topikal tabir surya SPF
30, klobetasol propionat 0,05% salep, dan betametason valerat 0,1% . Terapi
vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan
kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta
dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Karena
penyebab dan patogenesisnya belum diketahui secara pasti, maka dapat
dilakukan beberapa cara dan usaha yaitu: psoralen, kortikosteroid, fluorourasil,
zat warna, dan lain-lain misalnya dengan tindakan pembedahan.
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2007:296

Hidayat J. Vitiligo, Tinjauan kepustakaan. Dalam: Cermin dunia kedokteran No 117.


1997.

Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical
Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.

Halder RM dan Taliaferro SJ. Vitiligo. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting: Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine, 7th ed, New York: Mc Graw Hill. 2008: 616-622.

Halilovic EK, Prohic A, Begovic B, dan Kurtovic MO. Association between vitiligo and
thyroid autoimmunity. Dalam Journal of Thyroid Research: 2011

English, John SC.2007. General Dermatology.An Atlas of Diagnosis and Management.


Department of Dermatology Queen's Medical Centre Nottingham. University
Hospitals NHS Trust Nottingham, UK. USA

Taieb, Alain; Mauro, Picardo. 2009. Vitiligo. The New England Journal of Medicine.
Available from: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp0804388.
[Accesssed 20 Januari 2013]

Moretti ,Silvia. 2003. Vitiligo. University of Florence: Italy. Available from:


https://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf. [Accesssed 20 Januari 2013]

Isabel, Herane. Vitiligo and Lukoderma in Children. Departement of Dermatology,


university of chile, Santiago, chile. Avalaible from:
www.captura.uchile.cl/jspui/bitstream/2250/2383/1/Herane_MI.pdf. [Accesssed 20
Januari 2013]

Dumasari Lubis, Ramona. 2008. Vitiligo. Repository USU, Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Partoggi, Donna. 2008. Pityriasis Versikolor dan Diagnosis Bandingnya. Repository


USU, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai