Anda di halaman 1dari 32

JURNAL PREFORMULASI BAHAN ALAM

FORMULASI SEDIAAN JAMU GRANUL EFFERVESCENT EKSTRAK DAUN


TEMPUYUNG SEBAGAI IMUNODILATOR

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1A

Aldi Muhamad Triana (180106003)

Ananda Shafa Salsabilla (180106005)

Ayu Permata Dewi (180106015)

Erika Maulani (180106025)

Eris Sucimilawati (180106026)

Hanif Nurqolbi (180106033)

Dosen Pengampu : 1. apt. Fauzia Ningrum Syaputri, M. Farm

2. apt. Rizky Dwi Larasari, M. S. Farm

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Lingkungan di sekitar manusia banyak mengandung berbagai jenis patogen, misalnya
bakteri, virus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi
yang terjadi pada orang normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan
permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun
yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen (Kresno,
2007).
Berdasarkan studi yang telah ada, flavonoid dapat melawan berbagai macam DNA dan
RNA virus (Riou, 2020). Senyawa flavonoid bersifat imunomuldator yang berfungsi
meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkal serangan bakteri, virus serta jamur yang
memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Sukirman, 2017). Flavonoid adalah biomolekul
polifenol yang secara alami banyak ditemukan pada tanaman dan memiliki beragam fungsi
biologis (Samantha, 2011). Flavonoid juga dapat ditemukan pada tanaman Sonchus arvensis
L. (Tempuyung). Tempuyung memiliki senyawa kimia antara lain flavonoids (kampferol,
luteolin-7-glucoside, dan apigenin-7-O-glucoside), kumarin, dan taraxasterol (Sriningsih dkk.,
2012). Senyawa flavonoid bersifat imunomuldator yang berfungsi meningkatkan kekebalan
tubuh dan menangkal serangan bakteri, virus serta jamur yang memiliki aktivitas sebagai
antibakteri (Sukirman, 2017).
Dalam pengolahan bahan alam, dibutuhkan formulasi yang tepat untuk menjadi suatu
bentuk sediaan yang dapat mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk
meningkatkan minat masyarakat dan kepraktisan dalam mengkonsumsi obat herbal ialah
dengan cara memanfaatkan berbagai tumbuhan herbal tersebut yang selanjutnya
diformulasikan dalam bentuk sediaan granul effervescent (Ansel, 1989). Beberapa keuntungan
sediaan granul effervescent adalah penyiapanan larutan dalam waktu seketika mengandung
dosis yang tepat, penggunaannya lebih mudah dan dapat diberikan kepada orang yang
mengalami kesulitan menelan tablet atau kapsul (Dewi dkk., 2014).
1.2.Rumusan Masalah
1) Bagaimana formulasi sediaan granul effervescent ekstrak daun tempuyung?
2) Bagaimana uji evaluasi sediaan granul effervescent ekstrak daun tempuyung?

1.3.Tujuan
1) Menentukan formulasi sediaan granul effervescent ekstrak daun tempuyung?
2) Menentukan uji evaluasi sediaan granul effervescent ekstrak daun tempuyung?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teori Zat Aktif


2.1.1. Klasifikasi Daun Tempuyung

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Asterales
Suku : Compositae
Marga : Sonchus
Spesies : Sonchus arvensis Linn
Nama umum : Tempuyung
(Winarto, 2004)
Deskripsi Daunnya berbentuk lonjong dan tunggal,
panjangnya mencapai 6-48cm dan lebarnya 3-12
cm (Elshabrina, 2018)
Kandungan kimia Triterpenoid, flavonoid, manitol, tanin, kalsium
secara umum dan magnesium (Cahyo supartino &Rini Susiana,
2016).
Kandungan kimia Daun tempuyung (Sonchus arvensis Linn. )
(efektivitas) mengandung senyawa flavonoid yang diduga
mempunyai efek imunomodulator yang berfungsi
meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkal
serangan bakteri, virus serta jamur yang memiliki
aktivitas sebagai antibakteri (Sukirman, 2017).
Flavonoid sendiri adalah biomolekul polifenol
yang secara alami banyak ditemukan pada tanaman
dan memiliki beragam fungsi biologis (Samanta
et.,al, 2011).
Bentuk zat aktif yang Ekstrak
digunakan
Metode Metode ekstraksi dilakukan dengan ekstraksi cara
panas yaitu metode refluks (Sukmayadi dkk, 2014)
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Kegunaan Zat aktif

2.2.Preformulasi Zat Tambahan


A. PVP K30
Nama Resmi Povidone
Nama Lain PVP, poli [1- (2-okso-1-pirolidinil) etilen],
polividone, polivinilpirolidon, povidonum
(HOPE Edisi 6, Hal 581)
Struktur kimia

RM : (C6H9NO)n
BM : 2500–3 000 000
(HOPE Edisi 6, Hal 581)
Titik leleh 150oC (HOPE Edisi 6, Hal 582)
Titik beku -
pH 3,0-7,0 (HOPE Edisi 6, Hal 582)
pKa -
Pemerian Povidone berwarna putih ke putih krem, tidak
berbau atau hampir tidak berbau, bubuk
higroskopis (HOPE Edisi 6, Hal 582).
Kelarutan Larut bebas dalam asam, kloroform, etanol
(95%), keton, metanol, dan air; praktis tidak
larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak
mineral. Dalam air, konsentrasi larutan hanya
dibatasi oleh viskositas larutan yang
dihasilkan, yang merupakan fungsi dari nilai-
K (HOPE Edisi 6, Hal 582).
Stabilitas Povidone menjadi gelap sampai batas tertentu
pada pemanasan 150oC dengan penurunan
kelarutan air. Stabil untuk siklus panas yang
pendek paparan sekitar 110–130oC, sterilisasi
uap air solusi tidak mengubah propertinya.
Larutan encer rentan terhadap pertumbuhan
jamur dan akibatnya memerlukan
penambahan pengawet yang cocok (HOPE
Edisi 6, Hal 582-583).
Inkompatibilitas Povidone kompatibel dalam larutan dengan
berbagai anorganik garam, resin alami dan
sintetis, dan bahan kimia lainnya (HOPE Edisi
6, Hal 583).
Kegunaan Pengikat (HOPE Edisi 6, Hal 581).
Konsentrasi yang 2%
digunakan
Bentuk zat aktif yang Serbuk
digunakan
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Wadah dan Povidone dapat disimpan dalam kondisi biasa
penyimpanan tanpa mengalami dekomposisi atau degradasi.
Namun, bubuk yang bersifat higroskopis,
harus disimpan dalam wadah kedap udara
tempat yang sejuk dan kering (HOPE Edisi 6,
Hal 583).

B. Asam Sitrat
Nama Resmi Asam Sitrat Monohidrat
Nama Lain Acidum citricum monohydricum, 2-
hidroksipropana-1,2,3-asam trikarboksilat
monohidrat (HOPE Edisi 6, Hal 181).
Struktur kimia

RM : C6H8O7.H2O
BM : 210,14
(HOPE Edisi 6, Hal 181)
Titik leleh 75oC (HOPE Edisi 6, Hal 182)
Titik beku -
pH 2,2 (HOPE Edisi 6, Hal 181)
pKa - pKaa1 : 3.128 pada 25oC
- pKaa2 : 4.761 pada 25oC
- pKaa2 : 6.396 pada 25oC
(HOPE Edisi 6, Hal 181)
Pemerian Asam sitrat monohidrat berbentuk kristal tidak
berwarna atau tembus cahaya, atau sebagai
kristal putih, bubuk berkilau, tidak berbau dan
memiliki rasa asam yang kuat (HOPE Edisi 6,
Hal 181)
Kelarutan Larut 1 dalam 1,5 bagian etanol (95%) dan 1
dalam kurang dari 1 bagian air; larut dalam
eter (HOPE Edisi 6, Hal 182)
Stabilitas Asam sitrat monohidrat akan kehilangan air
kristalisasi di udara kering atau saat
dipanaskan sampai sekitar 40oC, sedikit berair
di udara lembab (HOPE Edisi 6, hal 182).
Inkompatibilitas Asam sitrat tidak sesuai dengan kalium tartrat,
alkali dan karbonat alkali tanah dan
bikarbonat, asetat, dan sulfida.
Inkompatibilitas juga termasuk zat
pengoksidasi, basa, pereduksi agen, dan nitrat.
Berpotensi meledak jika dikombinasikan
dengan nitrat logam (HOPE Edisi 6, Hal 182)
Kegunaan Agen pengasaman (HOPE Edisi 6, Hal 181).
Konsentrasi yang 13,3%
digunakan
Bentuk zat aktif yang Kristal
digunakan
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Wadah dan Dalam wadah kedap udara di tempat yang
penyimpanan sejuk dan kering (HOPE Edisi 6, Ha l 182)
C. Asam Tartarat
Nama Resmi Asam Tartarat
Nama Lain 2,3-dihydroxysuccinic acid, asam tartrat, asam
d-tartarat (HOPE Edisi 6, Hal 731).
Struktur kimia

RM : C6O6H6
BM : 150,09
(HOPE Edisi 6, Hal 731)
Titik leleh 168-170oC (HOPE Edisi 6, Hal 731)
Titik beku -
pH 2,2 (HOPE Edisi 6, hal 731)
pKa - pKaa1 : 2.93 pada 25oC
- pKaa2 : 4.23 pada 25oC
(HOPE Edisi 6, Hal 731)
Pemerian Kristal monoklinik tak berwarna, atau putih
atau bubuk kristal hampir putih, tidak berbau,
dengan sangat rasa asam (HOPE Edisi 6, Hal
731).
Kelarutan Pelarut pada 20oC kecuali dinyatakan lain
praktis tidak larut dalam kloroform, 1 dalam
2.5 etanol (95%), 1 dalam 250 eter, larut
dalam gliserin, 1 dalam 1.7 metanol, 1 dalam
10,5 propan-1-ol, 1 dalam 0,75 air dan 1 dalam
100oC (HOPE Edisi 6, Hal 732).
Stabilitas Bahan curah stabil (HOPE Edisi 6, Hal 732)
Inkompatibilitas Asam tartarat tidak cocok dengan perak dan
bereaksi dengan logam karbonat dan
bikarbonat (HOPE Edisi6, Hal 732).
Kegunaan Agen pengasaman (HOPE Edisi 6, Hal 731).
Konsentrasi yang 26,7%
digunakan
Bentuk zat aktif yang Kristal monoklinik
digunakan
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Wadah dan Disimpan di tempat tertutup dengan baik
penyimpanan wadah di tempat yang sejuk dan kering
(HOPE Edisi 6, Hal 732).

D. Natrium Bikarbonat
Nama Resmi Natrium Bikarbonat
Nama Lain Baking soda, monosodium karbonat, natrii
hidrogenokarbonas, natrium asam karbonat,
sodium hidrogen karbonat (HOPE Edisi 6, Hal
429).
Struktur kimia

RM : NaHCO3
BM : 84,01
(HOPE Edisi 6, Hal 629)
Titik leleh 270oC (HOPE Edisi 6, Hal 630)
Titik beku -
pH 8,3 (HOPE Edisi 6, Hal 630)
pKa
Pemerian Hablur kecil atau bentuk sisik tidak berwarna
atau serbuk putih, tidak berbau atau berbau
khas lemah, rasa manis, asin, tidak enak (FI
Edisi III, Hal 424).
Kelarutan Larut dalam 1 bagian air dan larut dalam 11
bagian etanol (95%) P.
Stabilitas Ketika dipanaskan sampai sekitar 50oC,
natrium bikarbonat mulai memanas
berdisosiasi menjadi karbon dioksida, natrium
karbonat, dan air. Memanas hingga 250–
300oC, untuk waktu yang singkat, natrium
bikarbonat sepenuhnya diubah menjadi
natrium karbonat anhidrat. Namun, prosesnya
bergantung pada waktu dan suhu, dengan
konversi 90% selesai dalam waktu 75 menit
pada 93oC (HOPE Edisi 6, Hal 630)
Inkompatibilitas Natrium bikarbonat bereaksi dengan asam,
garam asam, dan banyak lagi garam alkaloid,
dengan evolusi karbon dioksida (HOPE Edisi
6, Hal 631).
Kegunaan Agen alkali, agen terapeutik (HOPE Edisi 6,
Hal 629).
Konsentrasi yang 40%
digunakan
Bentuk zat aktif yang Hablur kecil
digunakan
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Wadah dan Dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari
penyimpanan cahaya (FI Edisi III, Hal 424).
E. Laktosa
Nama Resmi Laktosa
Nama Lain Saccharum lactis (FI Edisi III, Hal 338)
Struktur kimia

RM : C12H12O11.H2O
BM : 36,30
(FI Edisi III, Hal 338)
Titik leleh - 223.0oC untuk α-laktosa anhidrat
- 252.2oC untuk β-laktosa anhidrat
- 232.0oC (tipikal) untuk laktosa anhidrat
komersial.
(HOPE Edisi6, Hal 360)
Titik beku -
pH -
pKa -
Pemerian Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa agak
manis (FI Edisi III, Hal 338).
Kelarutan Larut dalam 6 bagian air, larut dalam 1 bagian
air mendidih, sukar larut dalam etanol (95%)
P, praktis tidak larut dalam kloroform P dan
dalam eter P (FI Edisi III, Hal 338).
Stabilitas Pertumbuhan jamur dapat terjadi dalam
kondisi lembab. Laktosa dapat
mengembangkan warna coklat pada
penyimpanan, reaksi dipercepat oleh kondisi
hangat dan lembab (HOPE Edisi 6, Hal 360).
Inkompatibilitas Laktosa anhidrat tidak kompatibel dengan
pengoksidasi kuat (HOPE Edisi 6, Hal 360).
Kegunaan Zat tambahan sebagai pengisi (FI Edisi III, Hal
338)
Konsentrasi yang Sampai 7 gram
digunakan
Bentuk zat aktif yang Serbuk hablur putih
digunakan
Bentuk sediaan Granul Effervescent
Wadah dan Dalam wadah tertutup baik (FI Edisi III, Hal
penyimpanan 339).
BAB III

METODOLOGI
3.1.Proses pemilihan dan pengolahan bahan baku
Bagian tanaman tempuyung yang diambil sebagai sampel ialah bagian daun. Sampel daun
tempuyung segar (sonchus arvensis L) dikumpulkan dan dibersihkan dengan air mengalir
hingga bersih. (Harahap, 2019)

3.2.Proses pembuatan simplisia


Daun segar yang telah dibersihkan dikeringkan di udara terbuka tanpa tekena sinar matahari
langsung, selanjutnya sampel diserbukkan. (Harahap, 2019)

3.3.Standarisasi simplisia
Karakterisasi simplisia yaitu meliputi, pemeriksaan makroskopik simplisia dan pemeriksaan
mikroskopik, penetapan kadar abu total, penetapan abu tidak larut asam dan penetapan abu
larut air, penetapan kadar sari larut air dan penetapan sari larut etanol, penetapan susut
pengeringan, serta penetapan kadar air.
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, ukuran, bau, dan
rasa dari simplisia daun tempuyung (Angelina, 2018)
b. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun tempuyung. Serbuk
simplisia ditaburkan diatas objek yang telah ditetesi larutan kloralhidrat dan ditutup
dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. (Angelina, 2018)
c. Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk simplisisa daun tempuyung yang telah digerus dan ditimbang
seksama dimasukkan ke dalam kurs porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Kurs porselen bersama isinya dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan, ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan
yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
d. Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL asam
klorida 3N selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring
melalui kertas saring bebas abu, lalu dicuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap.Kadar abu yang tidak larut dalam asam
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
e. Penetapan abu larut air
Penetapan kadar abu yang larut air untuk serbuk dan ekstrak dilakukan dengan cara
mendidihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu dengan 25 mL air aselama 5
menit, lalu dikumpulkan bagian yang tidak larut dan disaring menggunakan kertas saring
bebas abu, hasil saringan dicuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15 menit pada
suhu 400°C. Abu yang diperoleh lalu ditimbang dan dihitung kadar abu tidak larut asam
(Depkes RI, 1995).
f. Penetapan kadar sari larut air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia daun tempuyung dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL
air-kloroform (2,5 mL kloroform dalam aquadest sampai 1 liter) dengan menggunakan
botol bersumbat sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan
selama 18 jam dan disaring. Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan
berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu
105°C sampai diperoleh bobot tetap.Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap
bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
g. Penetapan sari larut etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia daun tempuyung dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL
etanol 96% dengan menggunakan botol bersumbat sambil sekali-kali dikocok selama 6
jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring.Sebanyak 20 mL filtrat
diuapkan hingga kering dalam cawan berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara.
Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari
larut etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan. (Angelina, 2018)
h. Penetapan susut pengeringan
Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit, lalu ditimbang.
Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh bobot botol timbang yang konstan atau
perbedaan hasil antara 2 penimbangan tidak melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji
ditimbang, dimasukkan ke dalam botol timbang. Bahan uji kemudian dikeringkan pada
suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang kembali. Proses pengeringan dilanjutkan dan
timbang kembali selama 1 jam hingga perbedaan antara penimbangan berturut-turut tidak
lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).
i. Penetapan kadar air
Sebanyak 5 g simplisia daun tempuyung yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke
dalam labu alas bulat berisi toluen tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit,
setelah toluen mendidih kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes per detik sampai
bagian air terdestilasi.Bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan
selama 5 menit kemudian tabung penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar.Setelah
air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca sesuai dengan kandungan air yang
terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (Depkes RI, 1995)

3.4.Prosedur Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan simplisia sebanyak 1 kg dimasukkan ke dalam labu alas bundar
50 mL lalu ditambahkan etanol yang telah didestilasi. Metode ekstraksi dilakukan dengan
ektraksi cara panas yaitu metode refluks dengan pengulangan dua kali. Ekstrak kemudian
dipekatkan dengan alat penguap berputar hingga terbentuk ekstrak kental. (Sukmayadi et al.,
2014)

3.5.Standarisasi Ekstrak
a. Penetapan kadar sari larut air
Ekstrak ditimbang sebanyak 5 g, sampel dilarutkan dengan air kloroform sampai batas
tara 100 mL, sampel dikocok selama 6 jam dimana di kocok setiap 30 menit sekali. Sampel
dipipet 25 mL ke dalam cawan porselen, dan sampel dapat ditentukan bobot tepatnya
dalam suhu 105OC, sampel ditimbang setelah 3 jam dan 1 jam untuk seterusnya sampai
bobot tetap (Depkes RI, 2000).
b. Penetapan kadar sari larutetanol
Ekstrak ditimbang sebanyak 5 g, sampel dilarutkan dengan etanol 96% sampai batas tara
100 mL, sampel di kocok selama 6 jam dimana di kocok setiap 30 menit sekali, sampel
dipipet 25 mL ke dalam cawan porselen, dan sampel dapat ditentukan bobot tepatnya
dalam suhu 78OC, sampel ditimbang setelah 3 jam dan 1 jam untuk seterusnya sampai
bobot tetap (Depkes RI, 2000).
c. Susut pengeringan
Ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol hingga lapisan 5
sampai 10 mm. Ekstrak ditimbang sebanyak 1-2 g dalam botol timbang tertutup yang
sebelumnya dipanaskan pada suhu 105OC selama 30 menit dan telah ditara, biarkan botol
dalam keadaan tertutup untuk dingin dalam eksikator hingga suhu kamar, kemudian
masukan ke dalam ruang pengering, buka tutup dan keringkan pada suhu 105OC hingga
bobot tetap. Susut pengeringan dihitung dalam nilai persen (Depkes RI, 2000).
d. Penentuan kadar air
Sebanyak 10 g ekstrak ditimbang seksama dalam wadah yang telah ditara. Ekstrak
dikeringkan dalam suhu 105OC selama 5 jam dan ditimbang. Dilanjutkan pengeringan
dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut
tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).
e. Penentuan kadar abu
Sebanyak 2 g ekstrak ditimbang seksama dan dimasukkan kedalam krus silikat dan
diratakan, dipijarkan perlahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika arang
tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas. Disaring dengan kertas saring bebas abu.
Sisa kertas dan kertas saring dipijarkan dalam krus yang sama, filtrate dimasukkan
kedalam krus dan diuapkan. Dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu ditimbang dan
dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes RI, 2000).
f. Penentuan cemaran logam berat
Sebanyak 0,5 g contoh ekstrak dimasukan kedalam labu destruksi, ditambahkan 5 mL
HNO3 dan 0,5 mL HClO4. Dibiarkan semalam dan keesokan harinya di destruksi diatas
block digest. Mula-mula pada suhu 150OC selama 150 menit sampai uap kuning habis.
Kemudian suhu dinaikan kembali menjadi 170OC selama 1 jam, dan ditingkatkan lagi
menjadi 200OC sampai uap putih. Didinginkan, diencerkan dengan air suling dalam labu
ukur 50 mL sampai tanda batas dan dikocok serta dibiarkan semalam (Depkes RI, 2000).
g. Pengujian Angka Kapang Khamir
Sebanyak 10 g ekstrak ditimbang ke dalam erlenmeyer steril, lalu ditambahkan 90 mL
Letheen Broth dikocok homogen hingga diperoleh pengenceran 10-1. Disiapkan 3 tabung
yang masing-masing telah diisi 9 mL ASA. Dari hasil homogenisasi dipipet 1 mL
pengenceran 10-1 kedalam tabung ASA pertama, dikocok homogen hingga diperoleh
pengenceran 10-2. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10-3. Dari masing-masing
pengenceran dipipet 0,5 mL, pada permukaan PDA, segera digoyang sambil diputar
hingga suspensi tersebar merata, dan dibuat duplo. Dilakukan uji blangko pada satu
lempeng PDA untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer (Depkes RI, 2000).

3.6.Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan terhadap ekstrak meliputi pemeriksaan metabolit sekunder
terdiri dari golongan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, kuinon, tanin, dan
steroid/triterpenoid. (Sukmayadi et al., 2014)
a. Alkaloid
Ditimbang 500 mg serbuk simplisia, Ditambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL
aquadest, panaskan di atas tangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring, pindahkan 3
tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes larutan Bouchardat (Jika terdapat endapan
berwarna cokelat sampai hitam, maka serbuk mengandung alkaloid), tambahkan 2 tetes
larutan Mayer (Jika terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning yang larut
dalam metanol P, maka sebuk mengandung alkaloid) (Harahap, 2019).
b. Flavonoid
Uapkan hingga kering 1 mL larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1 mL sampai 2 mL
etanol (95%) P, tambahkan 0,5 g serbuk seng P dan 2 mL asam klorida 2 N, diamkan
selama 1 menit. Tambahkan 10 tetes asam klorida pekat P, jika dalam waktu 2 menit
sampai 5 menit terjadi warna merah intensif, menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-
3-flavonol) (Harahap, 2019).
c. Saponin
Masukkan 0,5 g serbuk kedalam tabung reaksi, tambahkan 10 mL air panas, dinginkan
dan kocok kuat-kuat selama 10 detik jika zat yang diperiksa berupa sediaan cair, encerkan
1 mL sediaan, tambahkan 10 mL air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit, terbentuk buih
yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada
penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang (Harahap, 2019).
d. Kuinon
Sebanyak 1 ml larutan uji ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH. Apabila terbentuk
warna merah menunjukkan adanya kuinon (Harborne, 1987).
e. Tanin
Sejumlah 200 mg ekstrak kental dilarutkan dalam 5 mL air suling panas dan diaduk.
Setelah dingin disentrifugasi dan bagian cairan didekantisir dan diberi larutan NaCl 10%
kemudian disaring. Filtrat sebanyak masing-masing 1 mL dikerjakan sebagai berikut:
- Tambahkan 3 ml larutan gelatin 10% dan diperhatikan endapannya.
- Tambahkan 2 tetes larutan FeCl3, dan diperhatikan terjadinya perubahan warna
menjadi hijau violet.
- Tambahkan 3 mL larutan NaCl-gelatin (gelatin 1% dalam larutan NaCl 10%) dan
diperhatikan adanya endapan (Harahap, 2019).
f. Steroid / Triterpenoid
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserai dengan 20 ml ester selama 2 jam, disaring dan
filtrate di tamping dan diuapkan dalam cawan penguap, pada sisanya di tambahkan 20
tetes asam asetat pekat (pereaksi Lieberman-Buchard. Apabila terbentuk warna ungu atau
merah yang berubah menjadi biru hijau menunnjukkan adanya steroida/triterpenoida
(Harborne, 1987).

3.7.Susunan Formulasi
3.7.1. Formulasi
Nama Konsentrasi Fungsi
Ekstrak Daun Tempuyung 1,12 gram Zat Aktif
PVP K30 2% Pengikat
Asam Sitrat 13,3% Sumber Asam
Asam Tartrat 26,7% Sumber Asam
Natrium Bikarbonat 40% Sumber Basa
Laktosa Ad 7 gram Pengisi

3.7.2. Perhitungan Formulasi


Nama Perhitungan
Ekstrak Daun 1,12 gram
Tempuyung
PVP K30 2
𝑥 7 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,14 gram
100
Asam Sitrat 13,3
𝑥 7 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,931 gram
100
Asam Tartrat 26.7
𝑥 7 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 1,869gram
100
Natrium Bikarbonat 40
𝑥 7 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 2,8 gram
100
Laktosa Ad 7 gram

3.8.Metode Pembuatan
Granul effervescent dibuat secara terpisah antara granul asam dan granul basa untuk
menghindari reaksi effervescent dini. Ekstrak ditimbang dan dilarutkan dengan etanol 96%
dalam gelas kimia, kemudian dibuat granul asam dengan mencampur asam sitrat, asam tartrat,
dan laktosa. Sedangkan granul basa terdiri dari natrium bikarbonat. Kemudian PVP K30
dibasahi dengan larutan etanol ekstrak sampai terbentuk mucilago. Lalu dicampurkan granul
asam dan granul basa ke dalam mucilago dan dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu
40 - 60°C sampai terbentuk massa yang akan digranulasi. Massa yang akan digranulasi
kemudian diayak dengan ayakan 20 mesh. Granul kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 40 - 60°C. Setelah kering granul diayak dengan ayakan 20 mesh supaya mendapat granul
dengan ukuran yang homogen (Zuraidah, 2018).

3.9.Metode Evaluasi
a. Organoleptis
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan panca indera meliputi warna secara kasat
mata, rasa, bau atau aroma (Lestari & Susilawati, 2015).
b. Laju Alir
Laju alir dilakukan dengan menggunakan alat flow meter. 10 gram granul dimasukkan ke
dalam alat dan dicatat waktu yang diperlukan granul untuk jatuh (Zuraidah, 2018). Syarat
granul yang ditentukan oleh Fudholi (2001) yaitu tidak kurang dari 10 g/detik.
c. Sudut Diam
Sudut diam dilaukan dengan dimasukkan granul kedalam corong pada flow meter yang
dipasang dengan jarak 10 cm dari ujung bawah corong hingga permukaan datar, lalu
dihitung waktu yang diperlukan granul untuk mengalir dan dihitung diamter serta tinggi
kerucut yang terbentuk (Zuraidah, 2018). Uji sudut diam dikatakan memenuhi syarat
apabila 25˚ > α > 40˚ (Voight, 1994).
d. Kompresibilitas
Menimbang berat gelas ukur 25 mL kosong lalu dimasukkan granul kedalam gelas ukur
hingga mencapai volume 25 mL lalu dicatat dan dihitung nilai bulk densitynya dan
dilakukan pengetapan pada gelas ukur sebanyak 500 kali, kemudian diukur volume dan
ditimbang massa granul lalu dihitung nilai tapped densitiynya (Zuraidah, 2018). Syarat
mutu BJ mampat tidak melebihi 20% (Nugrahani et al., 2005).
e. Kelembaban
Nilai kelembaban diperoleh dengan menggunakan alat moisture analyzer. Sebanyak 0,5
gram granul dimasukkan ke dalam alat moisture analyzer, ditunggu sampai alat
menunjukkan hasil dalam satuan persen. Suhu diatur 120°C dan ditunggu nilai
kelembaban muncul pada alat (Zuraidah, 2018). Persyaratan kadar air adalah kurang dari
2 – 4 % (Depkes, 1979).
f. pH Larutan
Nilai pH diperoleh dengan menggunakan alat pH meter yang dilakukan dengan cara
melarutkan 5 gram granul effervescent ke dalam 100 mL aquadest. Setelah larut sempurna
pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter (Zuraidah, 2018). Anova (2016)
menyatakan bahwa pH larutan effervescent dikatakan baik jika mendekati netral yaitu 6-
7.
g. Waktu Larut
Data waktu larut atau dispersi diperoleh dengan memasukkan 100 mL aquadest dengan
suhu 15-25°C ke dalam gelas kimia. Setelah itu dimasukkan 15 gram granul ke dalam air
tersebut dan dicatat waktu yang diperlukan granul untuk menyelesaikan reaksinya
didalam aquadest (Zuraidah, 2018). Menurut Mohrle (1989) waktu larut serbuk
effervescent yang baik berkisar antara 1-2 menit.
BAB IV

PEMBAHASAN

Tempuyung yang merupakan keluarga dari asteracea dikenal memiliki banyak manfaat.
Kandungan metabolit sekunder pada daun tempuyung (Sonchus arvensis Linn.) berupa senyawa
kimia salah satunya adalah flavonoid (kaempferol, luteolin-7-O-glikosida, dan apigenin-7-O-
glikosida). Senyawa Flavonoid bersifat imunomodulator yang berfunsi meningkatkan kekebalan
tubuh dan menangkal serangan bakteri, virus serta jamur yang memiliki aktivitas sebagai
antibakteri (Jannah dkk, 2020). Mekanisme flavonoid sebagai imunomodulator yaitu dengan
meningkatkan aktivitas IL-12 dan proliferasi limfosit. Sel CD4+ akan mempengaruhi proliferasi
limfosit kemudian menyebabkan sel Th-1 teraktivasi. Sel Th-1 yang teraktivasi akan
mempengaruhi IFN- Ɣ yang dapat mengaktifkan makrofag yang ditandai dengan meningkatnya
aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih efisien dalam membunuh antigen (Putra, Rizqi dan Eka,
2020). Kaempferol yang terdapat dalam daun tempuyung (Sonchus arvensis Linn.) bekerja
terhadap limfokin (Interferon γ) yang dihasilkan oleh sel T sehingga akan merangsang sel-sel
fagosit melakukan respon fagositosis serta dapat memacu proliferasi limfosit, meningkatkan
jumlah sel T, dan meningkatkan sekresi terhadap IL-2. Kaempferol meningkatkan produksi IL-2,
yaitu salah satu sitokin yang berperan dalam proliferasi sel limfosit. Kaempferol dapat
meningkatkan fagosit dan dapat meningkatkan IL-2 secara signifikan. IL-2 adalah salah satu
sitokin yang berperan dalam mengatur respon imun, berfungsi sebagai mitogen bagi sel T, secara
potensial meningkatkan proliferasi dan fungsi sel T, sel B, dan sel NK, memperbaiki
pembentukkan antigen, dan meningkatkan produksi dan pelepasan dari sitokin lainnya (Jannah
dkk, 2020). Flavonoid sebagai imunomodulator bekerja pada sel-sel tubuh yang menjadi bagian
dari sistem imun. Caranya dengan mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel, sehingga sel
bekerja lebih optimal (Linsentia, 2011).
Dalam pengolahan bahan alam dibutuhkan formulasi yang tepat untuk menjadi suatu
bentuk sediaan yang mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan minat
masyarakat dan kepraktisan dalam mengonsumsi obat herbal ialah dengan cara memanfaatkan
tumbuhan herbal tersebut yang selanjutnya diformulasikan dalam bentuk sediaan serbuk
effervescent (Ansel, 1989). Sediaan serbuk effervescent adalah hasil dari gabungan senyawa asam
dan basa yang bila ditambahkan dengan air (H2O) akan bereaksi melepaskan karbon dioksida
(CO2), sehingga efek ini yang akan menghasilkan buih pada sediaan. Pemilihan menjadi bentuk
serbuk effervescent karena serbuk effervescent disukai karena mempunyai warna, bau dan rasa
yang menarik. Selain itu jika dibanding dengan minuman serbuk biasa, serbuk effervescent
memiliki keunggulan pada kemampuan untuk menghasilkan gas karbon dioksida yang
memberikan rasa segar seperti pada air soda. Kemudian, jika dibandingkan dengan bentuk sediaan
lain, kelebihan dari sediaan serbuk effervescent diantaranya adalah dikonsumsi lebih mudah, dalam
hal penyiapan larutan dalam waktu seketika mengandung dosis obat yang tepat, dan dapat
diberikan kepada orang yang mengalami kesulitan menelan tablet atau kapsul. Serbuk effervescent
memiliki kemampuan untuk menghasilkan gas karbon dioksida dimana adanya gas tersebut akan
menutupi rasa pahit serta mempermudah proses pelarutannya tanpa melibatkan pengadukan secara
manual (Syamsul dan Supomo, 2014). Oleh karena itu, daun tempuyung yang secara fisik memiliki
rasa pahit cocok jika dikembangkan menjadi produk jamu serbuk effervescent.
Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah diwariskan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan. Daun tempuyung (Sonchus arvensis
Linn.) merupakan tanaman obat potensial di Indonesia yang secara turun temurun diketahui
digunakan juga untuk meningkatkan daya tahan tubuh karena diketahui mengandung senyawa
flavonoid. Senyawa – senyawa yang mempunyai prospek cukup baik yang dapat meningkatkan
aktivitas sitem imun biasanya dari golongan flavonoid, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E
dan katekin (Priyani, 2020). Oleh karena adanya penggunaan secara turun temurun dan juga
adanya kandungan flavonoid yang diketahui dapat meningkatkan aktivitas sistem imun dari daun
tempuyung maka dikembangkanlah ke dalam bentuk jamu. Selain itu sebagian besar masyarakat
mengkonsumsi jamu karena dipercaya memberikan andil yang cukup besar terhadap kesehatan
baik untuk pencegahan dan pengobatan terhadap suatu penyakit maupun dalam hal menjaga
kebugaran, kecantikan dan meningkatkan stamina tubuh (Shinoda, 2013).
Dalam formulasi serbuk effervescent selain zat aktif ada juga beberapa bahan tambahan
yang digunakan, bahan tambahan yang digunakan diantaranya sumber asam yang terdiri dari asam
sitrat dan asam tartrat, sumber basa yaitu natrium bikarbonat, pengisi yaitu laktosa dan pengikat
yaitu PVP K30. Asam sitrat digunakan sebagai sumber asam dalam pembuatan serbuk effervescent
karena memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, tidak berbau dan mudah diperoleh dalam bentuk
granul (Ansel, 2005). Asam sitrat memiliki keunggulan yaitu mudah didapat, melimpah, relatif
tidak mahal, sangat mudah larut, memiliki kekuatan asam yang tinggi. Selain asam sitrat,
digunakan pula asam tartrat sebagaj sumber asam. Penggunaan asam tartrat dalam sediaan
effervescent karena kelarutannya yang tinggi dalam air, yaitu satu bagian asam dalam satu bagian
air (Adityasari, 2009). Digunakannya dua sumber asam yaitu asam sitrat dan asam tartrat karena
penggunaan bahan asam tunggal akan menimbulkan kesukaran. Penggunaan asam sitrat sebagai
asam tunggal membuat campuran lengket dan sulit menjadi granul, sedangkan penggunaan asam
tartrat tunggal membuat granul mudah menggumpal. Asam sitrat dan asam tartrat memiliki sifat
masing-masing yang apabila dicampur akan berpengaruh terhadap sifat fisik dari garnul yang
dihasilkan (Zuraidah, Welinda dan Mirhansyah, 2018). Selanjutnya natrium bikarbonat, natrium
bikarbonat digunakan sebagai sumber utama basa dalam serbuk effervescent. Penggunaan natrium
bikarbonat karena natrium bikarbonat merupakan sumber karbon yang paling utama yang dapat
larut sempurna, nonhigroskopik, murah, banyak, dan tersedia secara komersial mulai dari bentuk
serbuk dan bentuk granul. Sehingga natrium bikarbonat lebih banyak dipakai. Penggunaan natrium
bikarbonat memiliki keunggulan diantaranya tidak higroskopis, larut sempurna dalam air, tidak
mahal, banyak tersedia dipasaran dan dapat dimakan (Siregar, 2007). Selanjutnya PVP K30,
penggunaan PVP pada serbuk effervescent digunakan sebagai bahan pengikat. PVP K30 dipilih
sebagai pengikat karena sering digunakan dalam formula effervescent dan memiliki kelarutan yang
baik dalam air (Parikh, 2005). Bahan tambahan selanjutnya yaitu laktosa. Penggunaan laktosa
sebagai bahan pengisi karena bersifat inert (tidak bereaksi) hampir pada semua bahan obat.
Laktosa stabil secara kimia, fisika, dan mikrobiologis. Umumnya formula dengan laktosa sebagai
bahan pengisi menunjukkan laju pelepasan obat yang baik. Selain itu, harga laktosa lebih murah
daripada banyak bahan pengisi lainnya (Setiana dan Arif, 2018).
Pada proses pembuatan sediaan diawali dengan proses pemilihan dan pengolahan bahan
baku, lalu proses pembuatan simplisia. Setelah itu dilakukan standarisasi simplisia, mengekstraksi
simplisia dengan metode refluks menggunakan pelarut etanol. Pemilihan metode refluks karena
sampel yang digunakan relatif tahan panas, karena metode refluks digunakan untuk mengekstraksi
sampel yang relatif tahan terhadap panas. Selain itu dengan menggunakan metode refluks waktu
yang digunakan lebih singkat dan pelarut yang digunakan lebih sedikit sehingga efektif dan efisien
(Kiswandono, 2011). Setelah dilakukan ekstraksi simplisia dilakukan standarisasi ekstrak,
penetapan standarisasi simplisia dan ekstrak penting dilakukan guna menjamin bahwa bahan suatu
produk obat tradisional dapat terjamin mutunya. Selanjutnya ekstrak daun tempuyung dilakukan
skrining fitokimia yang meliputi pemeriksaan golongan senyawa flavonoid, alkaloid, saponin,
kuinon, tannin dan steroid/triterpenoid. Skrining fitokimia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
kandungan senyawa metabolit sekunder suatu bahan alam. Setelah dilakukan skrining fitokimia
maka dilakukan dengan menentukan formula dan membuat sediaan serbuk effervescent. Pada
proses pembuatannya, granul effervescent dibuat secara terpisah antara granul asam dan basa untuk
mencegah terjadinya reaksi dini. Granul asam terdiri dari campuran asam sitrat, asam tartrat dan
laktosa sedangkan granul basa terdiri dari natrium bikarbonat. Kemudian mucilago dibuat dengan
mencampurkan PVP K30 dengan etanol, setelah itu granul basa dan asam dicampurkan ke dalam
mucilago dan dilakukan pengeringan pada suhu 40o – 60oC yang bertujuan untuk membentuk
massa yang akan digranulasi. Setalah terbentuk, massa diayak dengan ayakan 20 mesh untuk
memudahkan pengeringan, memperkecil ukuran partikel. Setalah itu granul dikeringkan lalu
diayak lagi untuk mendapatkan granul dengan ukuran yang homogen.
Sediaan serbuk effervescent biasanya dikemas dalam kemasan primer berupa sachet
sehingga konsumen tinggal menyobeknya dan menuangkan isinya ke dalam segelas air. Bahan
kemasan sachet ini terbuat dari aluminium foil yang cukup efektif untuk menjaga keawetan
produk. Terutama mencegah produk bubuk agar tidak cepat menggumpal. Penggunaan aluminium
foil karena bisa memberikan penghalang terhadap cahaya, mencegah oksigen masuk, dan juga
kelembaban pada serbuk effervescent. Untuk alasan ini, alumimnium foil digunakan secara luas
dalam bidang farmasi terutama untuk serbuk effervescent (Haryadi, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. V., (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R. C., Sheskey,
P. J., Queen, M. E., (Editor), London, Pharmaceutical Press and American Pharmacists
Assosiation, 697-699.

Angelina, B. (2018). PEMBUATAN TABLET KOMBINASI SERBUK SIMPLISIA DAUN


TEMPUYUNG(Sonchus arvensis L.), KUMIS KUCING(Orthosiphon stamineus) DAN KEJI
BELING (Strobilanthes crispus ) DENGAN VARIASI BAHAN PENGISI MENGGUNAKAN
METODE CETAK LANGSUNG. Skripsi. FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA : MEDAN.

Anova, I.T., Wilsa, H. dan Kamsina. (2016). Formulasi Perbandingan Asam Basa Serbuk
Effervescent Dari Coklat Bubuk. Jurnal Litbang Industri. 6(2): 99-106.

Ansel, H. C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan farmasi. Jakarta : UI.

Ansel, H.C., (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700, Jakarta, UI Press.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Dewi, R., Iskandarsyah, & Dewi Oktarina. (2014). Tablet Effervescent Ekstrak Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) dengan variasi Kadar Pemanis Aspartam Abstrak, 1 no. 2, 116–133.

Elsabrina., (2018). 33 Daun Dahsyat. Jakarta: C-Klik Media.

Fariha Y. (2010). Pengaruh konsentrasi ekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) terhadap
daya hambat pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae dan Escherichia coli secara in vitro
(karya ilmiah). Universitas Negeri Malang.

Fudholi A. (2001). Teknologi dan formulasi sediaan obat bahan alam dan permasalahannya.
Jurnal Pharmacon, Vol.2, No.1, Halaman: 25- 29.
Harahap, N. I. (2019). Skrining Dan Karakterisasi Simplisia DAUN TEMPUYUNG (Sonchus
arvensis.L). JIFI (JURNAL ILMIAH FARMASI IMELDA), 3(2), 45–51.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia : Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan.
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: ITB.

Haryadi. (2020). Kemasan Sachet Aluminium Foil. Tersedia :


https://dikemas.com/kemasan/kemasan-sachet-aluminium-foil. Diakses pada tanggal 29
Mei 2021.

Jannah, dkk. (2020). Potensi Tanaman Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Sebagai Penghambat
Glikoprotein 2019-nCOV Kode 6VSB. Prosiding Seminar Nasional Kimia di UNS : 349 -
357.

Kiswandono, A. A. (2011). Skrining Senyawa Kimia dan Pengaruh Metode Maserasi dan Refluks
Pada Biji Kelor Terhadap Rendemen Ekstrak yang Dihasilkan. Jurnal Sains Natural
Universitas Nusa Bangsa. 1 (2) : 126 – 134.

Kresno S B. (2007). Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lestari, S. R. I., & Susilawati, P. N. U. R. (2015). Uji Organoleptik Mi Basah Berbahan Dasar
Tepung Talas Beneng (Xantoshoma undipes) Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Bahan
Pangan Lokal Banten, PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli
2015; Halaman: 941- 946.

Linsentia, N. A. (2011). Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Kemangi (Ocimum


basilicum L.) Terhadap Mencit Jantan Galur Balb/Dengan Metode Carbon Clearance dan
Neutrophil adhesion. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Mohrle, R. (1989). Effervescent Tablet. Dalam Pharmaceutical Dosage Form : Tablet. New York
: Marcel Dekker, Inc.

Nugrahani, I., Hasan Rahmat, J. D. 2005. Karakteristik Granul Dan Tablet Propanolol
Hidroklorida Dengan Metode Granulasi Peleburan. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II
No.2.
Parikh, D. M. (2005). Handbook of Pharmaceutical Granulation Technology. Second Ed. USA :
LLC.

Priyani, R. (2020). Manfaat Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Terhadap Sistem
Imun Tubuh. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 7 (3) : 484 – 490.

Putra, B., Rizqi, N. A. dan Eka, M. N. (2020). Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Herba Krokot
(Portulaca oleracea L.) terhadap Tikus Putih(Rattus norvegicus) Jantan Dengan Parameter
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Jurnal Farmasi Galenika. 6 (1) : 20-25.

Riou J. (2020). Pattern of early human-to-human transmission of Wuhan 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV), December 2019 to January 2020,‖ Eurosurveillance, vol. 25, no. 4.

Samanta, G. Das and S. Das. (2011). Roles of flavonoids in plants,‖ Carbon, vol. 100, no. 6, pp.
12- 35.

Saparinto, C., dan Rini S., (2016). Grow Your Own Medical Plant. Yogyakarta: Andi Publisher.

Setiana, I. H dan Arif, S. W. (2018). Formulasi Granul Effervescent Dari Berbagai Tumbuhan.
Farmaka. 16 (3) : 100 – 105.

Shinoda, E. (2013). Pengembangan Jamu Sebagai warisan Budaya. Bogor : IPB.

Sholihah, M. (2016). Ultrasonic-Assisted Extraction Antioksidan Dari Kulit Manggis. Tesis:


Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Siregar, C. (2007). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar – Dasar Praktis. Bandung : EGC.

Sukirman,M. (2017). Pengaruh penggunaan berbagai dosis tepung meniran dalam ransum
terhadap persentase karkas dan kadar lemak abdomen ayam broile,‖ J. Ilmiah Respati
Pertanian, vol. 2, pp. 74-81.

Sukmayadi, A. E., Sumiwi, S. A., Barliana, M. I., & Aryanti, A. D. (2014). The Immunomodulatory
Activity of Ethanol Extract of Tempuyung Leaves (Sonchus arvensis Linn.). Indonesian
Journal of Pharmaceutical Science and Technology, 1(2), 65–72.

Sriningsih, W. Sumaryono, W. A.E, F. Caidir, S. Kusumaningrum and P. Kartakusuma. (2012).


Analisa Senyawa Golongan Flavonoid Herbal Tempuyung (Sonchus Arvensis L.),‖ Pusat P2
Teknologi Farmasi dan Medika Deputi Bidang TAB BPPT, Jakarta.
Voight, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V. Universitas Gadjah Mada Press :
Yogyakarta.

Winarto W. P., (2004). Tempuyung Tanaman Penghancur Batu Ginjal. Agro Media Pustaka.
Jakarta.

Zuraidah, N., Welinda D. A., Mirhansyah A. 2018. Pengaruh Variasi Konsentrasi Asam Sitrat dan
Asam Tartrat Terhadap Sifat Fisik Granul Effervescent Dari Ekstrak Daun Nangka
(Artocarpus heterophyllus L.). Proceeding of the 8th Mulawarman Pharmaceuticals
Conferences ISSN: 2614-4778.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai