Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kelompok Hari : Senin

MK. Penilaian Mutu Pangan Tanggal : 10 Oktober 2022

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA BERBAHAYA, SIFAT


MIKROBIOLOGIS, PENILAIAN SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF
Disusun oleh:
Kelompok 5
Adila Lestari (P032013411002)
Anggi Rolanda (P032013411005)
Anisa Zulfitri (P032013411006)
Vani Puspitasari (P032013411037)
Widya Gustia Sari (P032013411041)

DIII Gizi TK. 3 A

Dosen Pengampu:
Sri Mulyani, S.TP, M.Si
Dewi Rahayu, SP, M. Si

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN RIAU
JURUSAN GIZI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan Makalah Identifikasi Bahan Kimia Berbahaya, Sifat
Mikrobiologis, Penilaian Subyektif dan Obyektif ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa
kendala. Maksud dan penyusunan ini adalah untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah
Penilaian Mutu Pangan.
Adapun penyusunan Makalah Identifikasi Bahan Kimia Berbahaya, Sifat
Mikrobiologis, Penilaian Subyektif dan Obyektif ini dilakukan secara berkelompok.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, untuk itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikian kata
pengantar ini penyusun buat, semoga bermanfaat, khususnya bagi diri pribadi penyusun dan
pembaca umumnya.

Pekanbaru, 10 Oktober 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Identifikasi Zat Warna Sintesis Secara Semi Kualitatif Makanan...................................3
2.2 Identifikasi Formalin dan Asam Benzoat Secara Semi Kuantitatif dalam Makanan.......8
2.2.1 Identifikasi Formalin dan Asam Benzoat..................................................................8
2.2.2 Identifikasi Boraks...................................................................................................10
2.3 Identifikasi Siklamat, Dulsin, dan Sakarin Secara Kualitatif dalam Makanan..............12
2.3.1 Identifikasi Siklamat Secara Kualitatif dalam Makanan.........................................12
2.3.2 Identifikasi Sakarin Secara Kualitatif dalam Makanan...........................................14
BAB III PENUTUP..................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................16
3.2 Saran...............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Identifikasi keamanan pangan kejadian atau kasus keracunan makanan (foodborne
diseases) karena mengkonsumsi makanan yang tidak aman sering terjadi di masyarakat.
Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan pangan di masyarakat masih menjadi
masalah utama yang harus dihadapi.  Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan
kesadaran akan kesehatan terhadap pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang
aman merupakan hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen. Berdasarkan UU
RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Dengan
demikian dapat didefinisikan bahwa pangan yang aman adalah pangan yang tidak
mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. 
Bahan tambahan makanan yang diizinkan untuk digunakan terdiri dari golongan
antioksidan (antioxidant), anti kempal (anti caking agent), pengatur keasaman (acidity
regulator), pemanis buatan (artificial sweetener), pemutih dan pematang tepung (flour
treatment agent), pengemulsi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, and tickener),
pengawet (preservative), pengeras (firming agent), pewarna (colour), penyedap rasa dan
aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer) dan sekuestran (sequestrant). Selain itu,
beberapa bahan tambahan yang biasa digunakan dalam makanan adalah enzim, penambahan
gizi, dan humektan (Syah 2005).
Formalin merupakan salah satu bahan kimia bersifat racun yang sering digunakan
sebagai bahan pengawet untuk contoh-contoh biologi. Akan tetapi pada prakteknya formalin
banyak disalah gunakan sebagai pengawet bahan makanan seperti ikan asin, ikan basah, tahu,
bakso dsb. Apabila makanan tersebut terkonsumsi dapat mengakibatkan gangguan pada
organ dan sistem metabolisme tubuh manusia.
Penggunaan pemanis buatan yang semula hanya ditujukan bagi penderita diabetes, saat
ini penggunaannya semakin meluas pada berbagai produk pangan secara umum. Beberapa
pemanis buatan bahkan dapat langsung digunakan konsumen hanya dengan menambahkan ke
dalam makanan atau minuman sebagai pengganti gula. Propaganda penggunaan pemanis
buatan umumnya dikaitkan dengan isu-isu kesehatan seperti pengaturan berat badan,

1
pencegahan kerusakan gigi, dan mencegah peningkatan kadar glukosa darah. Namun
demikian, penggunaan pemanis buatan tidak selamanya aman bagi kesehatan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan identifikasi zat warna sintesis secara semi kualitatif
makanan?
2. Apa yang dimaksud dengan identifikasi formalin dan asam benzoat secara semi
kuantitatif dalam makanan dan program keamanan pangan dalam industri
pengolahan pangan?
3. Apa yang dimaksud dengan identifikasi siklamat, dulsin dan sakarin secara kualitatif
dalam makanan
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui identifikasi zat warna sintesis secara semi kualitatif makanan.
2. Untuk mengetahui identifikasi formalin dan asam benzoat secara semi kuantitatif
dalam makanan dan program keamanan pangan dalam industri pengolahan pangan.
3. Untuk mengetahui identifikasi siklamat, dulsin dan sakarin secara kualitatif dalam
makanan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi Zat Warna Sintesis Secara Semi Kualitatif Makanan
Makanan adalah salah satu kebutuhan manusia.dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak terlepas dari makanan. Sebagai kebutuhan dasar , makanan tersebut harus mengandung
zat gizi untuk dapat memenuhi fungsinya dan aman dikonsumsi karena makanan yang tidak
aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan (Moehji, 1992). Aneka
produk makanan dan minuman yang berwarna-warni tampil semakin menarik. Warna-warni
pewarna membuat aneka produk makanan mampu mengundang selera. bahan pewarna
tampaknya sudah tidak bisa dipisahkan dari berbagai jenis makanan dan minuman olahan.
Produsen pun berlomba-lomba untuk menarik perhatian para konsumen dengan
menambahkan pewarna pada makanan dan minuman.
Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu ciri yang
penting. Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan,
antara lain warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan,
seperti pencoklatan (deMan JM. 1997). Selain itu, beberapa warna spesifik dari buah juga
dikaitkan dengan kematangan. Warna juga mempengaruhi persepsi akan rasa. Oleh karena
itu, menimbulkan banyak pengaruh terhadap konsumen dalam memilih suatu produk
makanan dan minuman (Fennema OR. 1996; Smith J. 1991).
Tujuan dari penggunaan zat warna tersebut adalah untuk membuat penampilan makanan
dan minuman menjadi menarik, sehingga memenuhi keinginan konsumen. Awalnya,
makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau
mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal. Selain itu, zat
warna alami umumnya tidak stabil terhadap pengaruh cahaya dan panas sehingga sering tidak
cocok untuk digunakan dalam industri makanan. Maka, penggunaan zat warna sintetik pun
semakin meluas. Keunggulan-keunggulan zat warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih
tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki
rentang warna yang lebih luas. Selain itu, zat warna sintetik lebih murah dan lebih mudah
untuk digunakan (deMan JM. 1997; Smith J. 1991; Nollet LML. 1996).
Sejak pertama kali dibuat pada tahun 1856 hingga saat ini, telah banyak zat warna
sintetik yang diciptakan. Akan tetapi, ternyata banyak pula zat warna sintetik itu memiliki
sifat toksik (Marmion DM. 1984). Dalam suatu penelitian, diperoleh zat warna azo
(Amaranth, Allura Red, dan New Coccine) terbukti bersifat genotoksik terhadap mencit
(Tsuda S. et al. 2006). Selain itu, zat warna Red No. 3juga terbukti dapat merangsang

3
terjadinya kanker payudara secara in vitro (Dees C. et al. 2006). Maka, penggunaannya harus
diatur secara tegas.
Penggunaan pewarna jenis itu dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan
penyakit-penyakit lainnya. Pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food
grade) pun harus dibatasi penggunaannya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan efek. Namun masih saja ada sejumlah oknum
produsen makanan yang menambahkan pewarna sintetis pada makanan, yang dilatar
belakangi oleh inginnya mendapat keuntungan besar namun pengeluaran modal yang sedikit
atau minim, tanpa memikirkan keamanan bagi tubuh konsumen yang mengkonsumsi
makanan tersebut. Biasanya produsen makanan tersebut menjajahkannya di sekitar sekolah
sekolah karena anak anak tertarik akan warna yang mencolok sehingga anak-anak sering
menjadi sasarannya. Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna sintetis akan sangat
mencolok dan sangat terang sekali warna yang di timbulkan pada makanannya, tiak mudah
pudar, dan menempel pada tangan dan masih banyak ciri cirinya.
Di Indonesia, zat warna makanan termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan yang diatur
melalui UU RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan pada bab II, bagian kedua, pasal 10. Dalam
UU tersebut, dinyatakan bahwa dalam makanan yang dibuat untuk diedarkan, dilarang untuk
ditambah dengan bahan apapun yang dinyatakan dilarang atau melampaui batas ambang
maksimal yang ditetapkan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.239/Menkes/Per/V/85 dan Kep. Dir. Jend. POM Depkes RI Nomor: 00386/C/SK/II/90
tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85,
terdapat 34 jenis zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang
penggunaannya pada makanan (Utami ND. 2005; Dirjen POM 1997).
Makanan yang beredar di masyarakat memiliki warna yang bermacam-macam dan
kebanyakan menggunakan zat warna sintetik. Dengan adanya peraturan yang telah
ditetapkan, diharapkan keselamatan konsumen dapat terjamin. Akan tetapi, kenyataannya
tidaklah demikian. Hal tersebut dapat dilihat pada penjual makanan di pinggiran jalan,
biasanya menggunakan bahan tambahan makanan, termasuk zat warna, yang tidak diijinkan.
Hal itu disebabkan karena bahan-bahan itu mudah diperoleh dalam kemasan kecil di toko dan
pasar dengan harga murah (Maskar DH. 2004; Sihombing N. 1985).
Oleh karena itu, adanya zat warna sintetik yang tidak diijinkan dalam makanan, dapat
terjadi karena kesengajaan produsen makanan menggunakan zat warna sintetik itu, misalnya
zat warna tekstil, untuk menghasilkan warna yang lebih menarik. Atau, hal itu bisa terjadi

4
karena ketidaktahuan produsen makanan membeli zat warna sintetik yang dikiranya aman,
tetapi ternyata mengandung zat warna sintetik yang tidak diijinkan.
Bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terdiri dari pewarna
sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis terbuat dari bahan-bahan
kimia, seperti tartrazin untuk warna kuning atau allura red untuk warna merah.
Adapun jenis zat pewarna menurut Winarno (1995), yang dimaksud dengan zat pewarna
adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau
menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang
tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Menurut PERMENKES RI
No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat
memperbaiki atau member warna pada makanan. Berdasarkan sumbernya zat pewarna dibagi
dalam dua golongan utama yaitu pewarna alami dan pewarna buatan.
1. Pewarna alami
Pada pewarna alami zat warna yang diperoleh berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan
seperti : caramel, coklat, daun suji, daun pandan, dan kunyit. Jenis-jenis pewarna alami
tersebut antara lain:
a. Klorofil, yaitu zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun, sehingga
sering disebut zat warna hijau daun.
b. Mioglobulin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah pada daging.
c. Karotenoid, yaitu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, merah orange,
yang terlarut dalam lipid, berasal dari hewan maupun tanaman antara lain, tomat,
cabe merah, wortel.
d. Anthosiamin dan anthoxanthim. Warna pigmen anthosianin merah, biru violet
biasanya terdapat pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran.
2. Pewarna Buatan
Di Negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui perlakuan pemberian asam
sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain
yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk
akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang-kadang berbahaya dan seringkali
tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya
(Cahyadi, 2006).
Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan
pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan
tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan

5
seperti Amaran, Auramin, Methanyl Yellow, dan Rhodamin B. Jenis-jenis makanan
jajanan yang ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya ini antara lain sirup, saus,
bakpau, kue basah, pisang goring, tahu, kerupuk, es cendol, mie dan manisan
(Yuliarti,2007). Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena
ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan
karena harga zat pewarna untuk industri lebih murah dibanding dengan harga zat
pewarna untuk pangan (Seto,2001).
Zat pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya dalam makanan salah satunya adalah

Rhodamin B, biasa digunakan sebagai pewarna tekstil, tetapi banyak pedagang yang

menyalahgunakannya untuk mewarnai makanan. Rhodamin B sangat larut dalam air dan

alkohol, sedikit larut dalam asam hidroklorida dan natrium hidroksida. Larangan penggunaan

Rhodamin B pada tekstil disebabkan karena pewarna tersebut bersifat karsinogenik (Wirasto,
2008).
Methanyl yellow adalah zat pewarna sintetis berwarna kuning yang digunakan pada

industri cat dan tekstil. Bentuknya bisa berupa serbuk, bisa pula berupa padatan. Dapat larut

dalam air dan alkohol, cukup larut dalam : benzen; eter, dan sedikit larut dalam aseton. Zat

pewarna sintetis ini sangat berbahaya bila terhirup, terkena kulit dan mata, atau pun tertelan.

Dampak kesehatan yang terjadi dapat berupa iritasi pada saluran pernapasan, iritasi kulit,

iritasi mata, dan kanker. Apabila tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut,

diare, panas, dan tekanan darah rendah. Akibat lebih lanjut dapat menimbulkan kanker
kandung kemih (Hendayana, S.,2006).
Pada penelitian Uji Kualitatif Zat Pewarna Sintesis pada Jajanan Makanan Daerah
Ketapang Kota Banda Aceh yang dilakukan oleh Subhan, Febriana Arfi dan Aminul Ummah,
menggunakan bahan penelitian yaitu jajanan kue kukus, makaroni (merah dan kuning),
manisan jambu, selai roti, dan keripik, alkohol, dan akuades (H 2 O). Test kit Rhodamin ET
easy test dan test kit Methanyl yellow ET easy test. Dan didapati hasil bahwa pemeriksaan zat
pewarna sintetis dilakukan pada 6 sampel makanan. Sampel makanan diambil dari penjual
makanan jajanan yang ada di sekitar Daerah Ketapang Kota Banda Aceh. Sampel tersebut
dibawa ke Laboratorium LPPOM Kota Banda Aceh untuk penentuan jenis zat pewarna

6
sintetis. Pengujian terhadap adanya Rhodamin B ini akan positif jika warna cairan uji berubah
menjadi ungu.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tabel 1, semua sampel yang diuji tidak
menunjukkan hasil berwarna ungu sehingga sampel tersebut negatif mengandung Rhodamin
B. Namun larutan baku pembanding menunjukkan hasil yang positif terhadap adanya
Rhodamin B yang artinya test kit yang digunakan dapat berfungsi dengan baik.
Pengujian Methanyl yellow dan Rhodamin B telah dilakukan di Laboratorium LPPOM
MPU Aceh untuk mengetahui ada atau tidaknya zat pewarna tekstil tersebut pada beberapa
sampel seperti Kue Kukus, Macaroni (Merah dan Kuning), Keripik, Selai Roti, Manisan
Jambu (Kuning) yang dipasarkan di kawasan Aceh. Pengujian ini dilakukan secara kualitatif
yaitu suatu proses mengidentifikasi keberadaan senyawa kimia dalam suatu sampel dengan
menggunakan metode spot test dengan menggunakan reagen kit.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Budavari, terbentuknya warna ungu pada
pengujian Rhodamin B terjadi akibat adanya pembentukan senyawa kompleks berwarna ungu
lembayung dari Rhodamin B dengan garam antimon yang larut dalam pelarut organik. Suatu
bahan dikatakan mengandung Methanyl yellow apabila larutan sampel berubah warna dari
warna sebelumnya menjadi berwarna merah muda.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tabel 2, sampel yang diuji berupa makaroni,
Manisan Jambu, Selai Roti, menunjukkan hasil yang negatif terhadap adanya pewarna sintetis
Methanyl yellow. Sedangkan pada baku pembanding Methanyl yellow berwarna merah muda
setelah ditetesi kedua jenis reagen kit. Hal ini menunjukkan hasil positif adanya Methanyl
yellow dan menunjukkan bahwa reagen kit yang dipakai dapat bekerja dengan baik.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azizahwati (2007),

pembentukan warna merah muda ini terjadi akibat adanya reaksi antara Methanyl yellow

dengan pereaksi test kit. Persiapan sampel yang berbentuk padat pada pengujian Methanyl

7
yellow dilakukan dengan mengencerkan sampel terlebih dahulu yang bertujuan untuk

memperbesar luas permukaan sehingga tumbukan yang terjadi makin banyak dan

menyebabkan proses reaksi dapat terjadi lebih cepat. Sedangkan penambahan air panas

bertujuan untuk mempercepat proses kelarutan (Subhan et al., 2020).

2.2 Identifikasi Formalin dan Asam Benzoat Secara Semi Kuantitatif dalam Makanan
2.2.1 Identifikasi Formalin dan Asam Benzoat
Menurut Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus BrotoKardono, formalin
pada mulanya berbentuk padat dengan sebutan formaldehida atau istilah asingnya ditulis
formaldehyde. Zat yang sebetulnya banyak memiliki nama lain berdasarkan senyawa
campurannya ini memiliki senyawa CH2O yang reaktif dan mudah mengikat air. Bila zat ini
sudah bercampur dengan air dia disebut formalin yang memiliki rumus kimia CH2O
(Singgih, H., 2013).
Formaldehid yang lebih dikenal dengan nama formalin ini adalah salah satu zat
tambahan makanan yang dilarang. Meskipun sebagian banyak orang sudah mengetahui
terutama produsen bahwa zat ini berbahaya jika digunakan sebagai pengawet, namun
penggunaannya bukannya menurun namun malah semakin meningkat dengan alasan
harganya yang relatif murah dibanding pengawet yang tidak dilarang (Hastuti, 2010).
Menurut Effendi, 2004 dalam Cahyadi, 2006 formalin adalah larutan formaldehid (30-40%)
dalam air dan merupakan anggota paling sederhana dari kelompok aldehid. Formalin
merupakan antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, dalam konsentrasi rendah 2%-
8% digunakan untuk mengawetkan mayat dan spesimen biologi lainnya. Formalin
sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan, bahkan merupakan zat yang tidak
boleh ditambahkan pada makanan. Memang orang yang mengkonsumsi bahan pangan
(makanan) seperti tahu, mie, bakso, ayam, ikan dan bahkan permen, yang berformalin dalam
beberapa kali saja belum merasakan akibatnya (Hastuti, 2011).
Formalin mempunyai fungsi sebagai antibacterial agent dapat memperlambat aktivitas
bakteri dalam makanan yang mengandung banyak protein, maka formalin bereaksi dengan
protein dalam makanan dan membuat makanan menjadi awet. Tapi ketika masuk kedalam
tubuh manusia, maka bersifat mutagenic dan karsiogenik yang dapat memicu tumbuhnya sel
kanker dan cacatnya gen pada tubuh (Singgih, 2013). Formalin merupakan bahan beracun
dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungan dalam tubuh tinggi, akan bereaksi
secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan

8
menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan
formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan fungsi sel dan
jaringan), serta orang yang mengonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing
bercampur darah, dan kematian yang disebababkan adanya kegagalan peredaran darah
(Hastuti, 2010).
Adapun, efek dari bahan pangan (makanan) berformalin baru bisa terasa beberapa tahun
kemudian. Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan
saluran pernafasan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di
hati dan sel darah merah. Pemakaian pada makanan dapat mengakibatkan keracunan pada
tubuh manusia, yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi
susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah (Hastuti, 2010)
Natrium benzoat (C6H5COONa) merupakan garam atau ester dari asam benzoat secara
komersial yang dibuat dengan sintesis kimia. Natrium benzoate termasuk zat pengawet
organik yang berwarna putih, tanpa bau, bubuk Kristal atau serpihan. Sifat fisiknya adalah
lebih larut dalam air dan juga dapat larut dalam alkohol (Nurhayati dkk, 2012).. Struktur
kimia Natrium benzoate Sifat-sifat asam benzoat dan garamnya adalah sebagai berikut: berat
molekul 122,12, pH larutan 2,8, kelarutan dalam air 1,7 g/L sedangkan garamnya sangat
mudah larut LD 50 pada tikus per oral adalah 7,36 g/kg, pada kucing dan anjing 2g/kg. Pada
manusia dengan berat badan 67 kg sebanyak 50 g tidak menimbulkan efek. Pemberian dosis
besar akan menimbulkan nyeri lambung, mual dan muntah (Ratnani, 2009).
Menurut Peraturan kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2013 batas penggunaan asam benzoat dan garamnya (natrium benzoat,
kalium benzoat, dan kalsium benzoat) dalam bahan makanan adalah 0-5 mg/kg berat badan.
Asam benzoat, natrium benzoat, asam parahidro benzoat dan turunannya merupakan kristal
putih yang dapat ditambahkan secara langsung ke dalam makanan atau dilarutkan terlebih
dahulu di dalam air, oleh karena itu lebih sering digunakan dalam bentuk garamnya yaitu
natrium benzoat (Patong, 2013). Benzoat yang digunakan dalam makanan akan lebih efektif
bila makanan itu asam, sehingga sebagai pengawet banyak digunakan dalam sari buah-
buahan, jeli, sirup dan makanan lainnya yang mempunyai pH rendah (2,5-4,0) (Patong,
2013). Asam benzoat dan natrium benzoat juga biasanya dimanfaatkan untuk mengawetkan
jus buah, sirup apel, makanan yang mudah rusak, minuman berkarbonasi, produk tepung
yang dimasak, salad saus, salad margarin, saus tomat, buah, selai, dan jeli (Delavar dkk,
2012)

9
Analisa Kuantitatif Analisis kuantitafif dilakukan terhadap sampel saus sambal untuk
mengetahui kadar pengawet natrium benzoat yang terdapat pada beberapa sampel tersebut,
karena tidak tersedianya informasi tentang kadar senyawa tersebut. Dengan metode
Spektrofotometri Uv-Vis yang pertama sekali dilakukan Panjang gelombang maksimum
dapat diperoleh dengan pengukuran absorbansi yang dilakukan pada rentang panjang
gelombang 265 nm-280 nm Dan penentuan panjang gelombang maksimum diperoleh dari
larutan standar dengan nilai absorbansi tertinggi 0,564 pada panjang gelombang 271,057 nm .
Sesuai dengan peneliti sebelumnya pada panjang gelombang 270, 272 dan 274 nm (Heriati
Akib, 2014; Ramadhani, 2019; Purwaningsih 2016). Artinya panjang gelombang maksimum
asam benzoat dinyatakan pada rentang 270-274.
2.2.2 Identifikasi Boraks
Salah satu bahan tambahan pangan adalah boraks yang merupakan bahan pengawet.
Fungsi boraks sebagai bahan pengawet yaitu untuk mencegah atau menghambat fermentasi,
mencegah pengasaman, penguraian dan perusak lainnya terhadap pangan yang disebabkan
oleh mikroorganisme.
Salah satu makanan yang mudah dirusak oleh mikroorganisme adalah roti. Roti
merupakan salah satu jenis makanan yang banyak diminati oleh masyarakat karena
bentuknya yang praktis, memiliki berbagai jenis rasa, harganya terjangkau dan mudah untuk
mendapatkannya. Secara umum saat ini roti dikelompokkan menjadi 4 jenis yaitu roti tawar,
roti bantal, roti manis dan roti isi. Masa kedaluwarsa roti yang relatif singkat sering dalam
pengolahannya dicampurkan zat pengawet agar roti dapat bertahan lama dan tidak mudah
rusak atau berjamur salah satunya zat pengawet boraks (Abas, et al., 2014).

10
Roti merupakan makanan yang mudah rusak disebabkan oleh mikroorganisme, karena
dimana tepung terigu yang menjadi bahan dasar pembuatan roti mengandung pati dalam
jumlah yang relatif tinggi. Pati dapat dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana oleh
mikroorganisme khusunya jamur, karena gula-gula sederhana merupakan sumber nutrisi
utama bagi mikroorganisme. Untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan dari jamur
pada roti maka ditambahkan zat pengawet yang salah satunya adalah boraks.
Boraks adalah pengawet dalam makanan yang dilarang penggunaanya sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 33 tahun 2012 (Sari, et al., 2018).
Boraks merupakan serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, larut dalam air, tetapi tidak
larut dalam alkohol (Eka, 2013). Boraks merupakan garam natrium yang banyak digunakan
di berbagai industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu dan
keramik.
Menurut penelitian BPOM (2014) di Mojokerto diketahui bahwa terdapat roti yang
mengandung boraks baik yang tidak bermerek maupun yang bermerek yang dijual di Pasar
Tanjung Anyar Kota Mojokerto. Sari pada tahun 2018 juga melakukan penelitian bahwa,
pada roti menunjukkan dari 13 sampel roti yang di jual, maka seluruh sampel roti negatif
mengandung boraks. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Abas tahun 2014,
menunjukkan bahwa dari 15 sampel roti ditemukan hanya satu sampel saja positif (+)
mengandung boraks, dan penelitian yang dilakukan oleh Pane (2012), pada roti tawar
menunjukkan bahwa dari 8 sampel roti maka tidak satupun mengandung boraks (negatif).
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya boraks pada roti bantal yang tidak bermerek dan bermerak
yang di jual di Kecamatan Blang Pidie. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah kualitatif yaitu dengan menggunakan uji nyala juga uji warna. Langkah-langkah yang
dilakukan pada penelitian diantaranya yaitu peparasi sampel, pengolahan sampel, pembuatan
reagensia, kertas tumerik, serta uji nyala dan uji warna.
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada roti bantal yang komersil dan tradisional
yang di jual di Kecamatan Blang Pidie, yang dilakukan dengan menggunakan metode uji
nyala dan reaksi warna, semua sampel baik roti komersil dan tradisional bahwa tidak ada
satupun hasil yang positif (+) artinya tidak mengandung boraks yaitu negatif (-). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pane pada tahun 2012 di kelurahan Padang Bulan kota Medan
bahwa roti yang bermerek dan tidak bermerek ke 8 sampel semua negatif (-) boraks, juga
hasil penelitian Farizal pada tahun 2017 di kota Bengkulu bahwa semua roti sebanyak 20
sampel semua negatif (-) tidak mengandung boraks. Kemudian pada tahun 2018 hasil

11
penelitian dari Sari bahwa di wilayah kelurahan Sungai MIAI Banjarmasin Utara bahwa
semua roti sebanyak 13 sampel semua negatif (-) boraks.
Pada saat penambahan H2SO4 dan methanol pada roti ini tidak menghasilkan nyala
hijau tetapi terdapat nyala kuning kemerahan yaitu menunjukkan bahwa tidak mengandung
boraks, karena senyawa kimia yang dipanaskan tidak terurai menghasilkan unsur-unsur
penyusun dalam gas atau uap, kemudian atom-atom dari unsur logam tersebut tidak mampu
menyerap sejumlah energi tertinggi (keadaan tereksitasi) pada keadaan energi tertinggi, atom
logam tersebut sifatnya tidak stabil sedangkan hasil pada roti yang sengaja ditambahkan
boraks nyala api berwarna hijau florens (Ade, 2015).
Pada metode reaksi uji warna, tahap pertama roti dibasahi dengan larutan Na2CO3
bertujuan untuk menguraikan sampel agar boraks yang terserap dapat dipisahkan, kemudian
proses pengabuan dalam tanur listrik pada suhu 650o C selama 3-5 jam. Proses pengabuan ini
bertujuan untuk menghilangkan zat-zat organik dalam sampel , kemudian hasil pengabuan
ditambahkan HCL 5N yang berfungsi untuk mengendapkan asam boraks dan menghasilkan
warna hitam keruh, Kemudian dilakukan penyaringan dan menghasilkan warna coklat jernih,
untuk menyempurnakan kelarutan ditambah asam oksalat jenuh sebanyak 5 tetes, dan
ditambahkan beberapa tetes etanol di atas kertas tumerik, fungsi penambahan etanol untuk
mengangkat kunyit yang terdapat pada kertas tumerik, kemudian diuapkan di atas penangas
air sampai kering dan menghasilkan warna merah cerry dan sisa pengendapan ditambahkan
NH4OH untuk melihat hasil yang sempurna dan akurat.
2.3 Identifikasi Siklamat, Dulsin, dan Sakarin Secara Kualitatif dalam Makanan
2.3.1 Identifikasi Siklamat Secara Kualitatif dalam Makanan
Siklamat atau asam siklamat atau cyclohexylsulfamic acid (C6H13NO3S) sebagai
pemanis buatan digunakan dalam bentuk garam kalsium, kalium, dan natrium siklamat.
Secara umum, garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak berwarna, dan
mudah larut dalam air dan etanol, serta memiliki rasa manis. Siklamat memiliki tingkat
kemanisan relatif sebesar 30 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan tanpa nilai kalori (SNI
01-6993-2004). Menurut FAO, batas maksimum yang diperbolehkan dalam penggunaan
natrium siklamat adalah 500–3000 ppm. Siklamat adalah pemanis buatan yang seharusnya
hanya dikonsumsi oleh penderita diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan
berkalori rendah (Permenkes Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan).
Penelitian tentang pangan jajanan di SD Kompleks Lariangbangi, Makassar masih
terdapat pemanis buatan jenis siklamat. Dari enam sampel yang dianalisis dua diantaranya

12
positif mengandung pemanis sintetis siklamat yaitu masing-masing sebesar 181,04 mg/kg dan
543,123 mg/kg (Thamrin, et al 2014). Uji laboratorium yang dilakukan untuk uji siklamat
secara kualitatif yang bertujuan untuk menentukan ada dan tidaknya kandungan siklamat
yaitu dengan metode-metode pengendapan (SNI 01-2893-1992 tentang Cara Uji Pemanis
Buatan) dan secara kuantitatif yang bertujuan untuk menentukan kadar siklamat yaitu dengan
metode spektrofotometri (Cahyadi, 2008).
Di sekitar halaman KB Az-Zahra terdapat empat orang pedagang yang menjual jajanan.
Seorang pedagang menjual jajanan kemasan dan gorengan, sedangkan tiga orang pedagang
yang lain menjual jajanan yakni pentol, es potong, dan pukis. Dari hasil wawancara pada wali
murid, seluruh murid mengonsumsi PJAS yang dijual oleh para pedagang di sekitar halaman
KB Az-Zahra. Jenis jajanan yang dicurigai mengandung siklamat yaitu es potong dan pukis.
Diantara jajanan es potong dan pukis tersebut, jajanan pukis paling banyak dikonsumsi oleh
murid KB Az-Zahra (50%).
Penggunaan siklamat pada makanan atau minuman dengan kadar yang rendah tidak
langsung menimbulkan efek terhadap kesehatan. Namun jika konsumsi siklamat dilakukan
secara rutin terhadap orang yang sehat, kemungkinan akan terjadi efek negatif bagi
kesehatan. Penggunaan yang melewati batas akan menimbulkan gangguan kesehatan seperti
asma, sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia dan kanker otak (Cahyadi,
2008).
Uji organoleptik atau evaluasi sensori adalah suatu cara penilaian dengan
memanfaatkan panca indera manusia untuk mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma, rasa
suatu produk makanan, minuman ataupun obat (Ayustaningwarno, 2014). Hasil uji
organoleptik es potong menunjukkan bahwa warna es potong berwarna coklat, aroma coklat
pada umumnya, tekstur cukup lembut seperti es puter, dan rasa yang manis serta tidak
memiliki rasa pahit ikutan, namun dijual dengan harga yang murah yaitu Rp.1.000,00 per
potong. Hasil uji organoleptik jajanan pukis menunjukkan bahwa warna pukis kuning
kecoklatan, memiliki aroma kue pada umumnya, tekstur lembut dan kenyal, dan ada sedikit
rasa manis serta tidak terdapat rasa pahit ikutan. Harga jual jajanan pukis juga murah yaitu
Rp.500,00 per buah. Dari hasil uji organoleptik tersebut, kemungkinan jajanan yang
mengandung siklamat adalah es potong karena rasanya yang manis dan tidak ada rasa pahit
ikutan namun dijual dengan harga murah. Sedangkan untuk jajanan pukis kemungkinan tidak
mengandung siklamat karena hanya memiliki sedikit rasa manis meskipun juga tidak terdapat
rasa pahit ikutan dan dijual dengan harga murah yaitu 500 rupiah per buah.

13
Hasil uji laboratorium yang dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Surabaya yang berlokasi di Jalan Karangmenjangan Surabaya menunjukkan bahwa dari
kedua jajanan yang diuji siklamat secara kualitatif dan kuantitatif tersebut, hanya sampel
jajanan es potong yang terbukti mengandung bahan tambahan pangan siklamat dengan kadar
218,75 ppm. Dalam uji organoleptik juga menunjukkan indikasi adanya siklamat dalam es
potong. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Barata Jaya
Surabaya, terdapat satu merk teh yang mengandung siklamat dengan kadar 219,40 ppm
(Yanuartanti, 2011). Penelitian sebelumnya di SDN Pucang I dan IV Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo meneliti tentang kandungan siklamat pada jajanan sekolah
menggambarkan bahwa ada jajanan yaitu sirup es oyen mengandung siklamat 102,0 ppm
(Novita, 2013).
2.3.2 Identifikasi Sakarin Secara Kualitatif dalam Makanan
Jenis pemanis dikelompokkan menjadi dua, yaitu pemanis alami dan sintetis. Beberapa
jenis pemanis alami yang digunakan antara lain sukrosa, laktosa, maltosa, galaktosa, sorbitol,
manitol, gliserol, dan glisina. Sementara pemanis sintetis antara lain sakarin, siklamat,
aspartam, serta dulsin. Tetapi bahan pemanis yang sering digunakan adalah sakarin dan
siklamat (Suyanti, 2010). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/MenKes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, batas maksimum penggunaan
sakarin dan siklamat pada minuman ringan masing-masing yaitu 300mg/Kg dan 3g/Kg.
Departemen Kesehatan RI melakukan penelitian khususnya pada minuman jajanan
yang dijual di kawasan pendidikan Kecamatan Mojoroto Kota Kediri, mengingat jumlah
Sekolah Dasar yang ada di Kecamatan Mojoroto sangat banyak, yaitu 57 sekolah, penelitian
ini berjudul “Identifikasi Sakarin pada Minuman Jajanan di Kawasan Pendidikan Sekolah
Dasar Kecamatan Mojoroto Kota Kediri”. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif menggunakan metode uji warna (SNI 01-2893-1992), dalam waktu satu bulan yaitu
pada bulan Desember 2017 di laboratorium zoologi UN PGRI Kediri.
Langkah-langkah pengujian kualitatif sakarin dengan metode ekstraksi uji warna (SNI
01-2893-1992) adalah sebagai berikut.
1. 50 ml sampel diasamkan dengan 5 ml HCl 25 %, kemudian diekstraksi dengan 25 ml
eter.
2. Setelah larutan terpisah, eter diuapkan, kemudian ditambahkan 15 tetes H2SO4 pekat
dan 40 mg (setara dengan 0,04 gram) resorsinol.
3. Dipanaskan perlahan-lahan api kecil sampai berubah menjadi warna cokelat.

14
4. Kemudian larutan didinginkan dan ditambahkan 5 ml aquadest dan larutan NaOH 10%
berlebih. Bila terbentuk warna hijau fluoresens berarti sampel positif mengandung
sakarin
Berdasarkan analisis uji sakarin dapat diketahui bahwa minuman jajanan yang positif
mengandung sakarin yang dijual di kawasan pendidikan SDN 3 Sukorame dan SD Kreatif
The Naf. sampel yang positif mengandung sakarin adalah 67% sedangkan sampel yang
negatif mengandung sakarin adalah 33%. Berdasarkan gambar 4.1 diatas, dapat diketahui
bahwa jenis minuman jajanan yang dijual di kawasan pendidikan SDN Sukorame 3 dan SD
Kreatif The Naff masih mengandung sakarin. di kawasan Sekolah Dasar Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri. Penelitian ini mengambil lokasi di SDN Sukorame 3 dan SD Kreatif
The Naff, masing-masing lokasi mengambil 3 sampel minuman yang diduga mengandung
sakarin. Sampel kemudian diuji menggunakan metode uji warna (SNI 01- 2893-1992).
Sampel terindikasi positif mengandung sakarin apabila setelah diuji mengalami perubahan
warna menjadi hijau fluoresens.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Identifikasi keamanan pangan kejadian atau kasus keracunan makanan (foodborne
diseases) karena mengkonsumsi makanan yang tidak aman sering terjadi di masyarakat.
Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan pangan di masyarakat masih menjadi
masalah utama yang harus dihadapi. Berdasarkan sumbernya zat pewarna dibagi dalam dua
golongan utama yaitu pewarna alami dan pewarna buatan.
Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu ciri yang
penting. Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan,
antara lain warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan,
seperti pencoklatan. Formalin adalah salah satu zat tambahanmakanan yang dilarang.
Meskipun sebagian banyak orang sudah mengetahui terutama produsen bahwa zat ini
berbahaya jika digunakan sebagai pengawet.
Salah satu bahan tambahan pangan adalah boraks yang merupakan bahan pengawet.
Fungsi boraks sebagai bahan pengawet yaitu untuk mencegah atau menghambat fermentasi,
mencegah pengasaman, penguraian dan perusak lainnya terhadap pangan yang disebabkan
oleh mikroorganisme. Siklamat atau asam siklamat atau cyclohexylsulfamic acid
(C6H13NO3S) sebagai pemanis buatan digunakan dalam bentuk garam kalsium, kalium, dan
natrium siklamat. Beberapa jenis pemanis alami yang digunakan antara lain sukrosa, laktosa,
maltosa, galaktosa, sorbitol, manitol, gliserol, dan glisina.
3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Azmalina, and Muhammad Aidil. 2021. “Identifikasi Kualitatif Dan Kuantitatif
Natrium Siklamat Pada Nagasari Bireuen Secara Gravimetri.” Aidil Jurnal Sains &
Kesehatan Darussalam 1(1):24–28.
Anonim. 2010. Formalin Pada Makanan. http://smallcrab.com/kesehatan/650- penggunaan-
formalin-dalam-produk-pangan. Diakses pada tanggal 18 Maret 2014.
Apriyantono, Anton, dkk, 1989. Analisis Pangan. Bogor : Pusbangtepa IPB.
Arini, D. (2018) ‘Identifikasi Sakarin pada Jajanan di Kawasan Pendidikan SD di Wilayah
Kecamatan Mojokerto Kota Kediri’, Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri, 02(11),
pp. 1–16.
Hadiana, A. B. (2018) ‘Identification of Cyclamate in School Snacks and Health
Complaints’, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 10(2), p. 191. doi:
10.20473/jkl.v10i2.2018.191-200.
Handayani, T., & Agustina, A. (2015). Penetapan kadar pemanis buatan (Na-siklamat) pada
minuman serbuk instan dengan metode alkalimetri. Jurnal Farmasi Sains dan
Praktis, 1(1), 1-6.
Hastuti, S., 2010, Analisis Kualitatif Dan Kuantitatif Formaldehid Pada Ikan Asin
di Madura, Jurnal Agrointek, 4 (2): 133-137
Ode S, La. (—). Identifikasi Pewarna Sintetis Pada Produk Pangan Yang Beredar Di
Jakarta Dan Ciputat. Jakarta: Program Studi Kimia Fst Uin Syarif Hidayatullah. 
Ramadhani N, Pratiwi RS. 2019. Analisis Kadar Natrium Benzoat Dalam Saus Sambal Di
Pasar Panorama Bengkulu Dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet. J Ilm Pharm.
6(1):67– 76.
Singgih, H. (2017). Uji kandungan formalin pada ikan asin menggunakan sensor warna
dengan bantuan FMR (Formalin Main Reagent). Jurnal Eltek, 11(1), 55-70.
Subhan, Arfi, F., & Ummah, A. (2020). Uji Kualitatif Zat Pewarna Sintetis Pada Jajanan
Makanan Daerah Ketapang Kota Banda Aceh. Amina, 1(2), 67–71.
https://doi.org/10.22373/amina.v1i2.35

17

Anda mungkin juga menyukai