Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi Zat Warna Sintesis Secara Semi Kualitatif Makanan
Makanan adalah salah satu kebutuhan manusia.dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak terlepas dari makanan. Sebagai kebutuhan dasar , makanan tersebut harus mengandung
zat gizi untuk dapat memenuhi fungsinya dan aman dikonsumsi karena makanan yang tidak
aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan (Moehji, 1992). Aneka
produk makanan dan minuman yang berwarna-warni tampil semakin menarik. Warna-warni
pewarna membuat aneka produk makanan mampu mengundang selera. bahan pewarna
tampaknya sudah tidak bisa dipisahkan dari berbagai jenis makanan dan minuman olahan.
Produsen pun berlomba-lomba untuk menarik perhatian para konsumen dengan
menambahkan pewarna pada makanan dan minuman.
Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu ciri yang
penting. Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan,
antara lain warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan,
seperti pencoklatan (deMan JM. 1997). Selain itu, beberapa warna spesifik dari buah juga
dikaitkan dengan kematangan. Warna juga mempengaruhi persepsi akan rasa. Oleh karena
itu, menimbulkan banyak pengaruh terhadap konsumen dalam memilih suatu produk
makanan dan minuman (Fennema OR. 1996; Smith J. 1991).
Tujuan dari penggunaan zat warna tersebut adalah untuk membuat penampilan makanan
dan minuman menjadi menarik, sehingga memenuhi keinginan konsumen. Awalnya,
makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau
mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal. Selain itu, zat
warna alami umumnya tidak stabil terhadap pengaruh cahaya dan panas sehingga sering tidak
cocok untuk digunakan dalam industri makanan. Maka, penggunaan zat warna sintetik pun
semakin meluas. Keunggulan-keunggulan zat warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih
tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki
rentang warna yang lebih luas. Selain itu, zat warna sintetik lebih murah dan lebih mudah
untuk digunakan (deMan JM. 1997; Smith J. 1991; Nollet LML. 1996).
Sejak pertama kali dibuat pada tahun 1856 hingga saat ini, telah banyak zat warna
sintetik yang diciptakan. Akan tetapi, ternyata banyak pula zat warna sintetik itu memiliki
sifat toksik (Marmion DM. 1984). Dalam suatu penelitian, diperoleh zat warna azo
(Amaranth, Allura Red, dan New Coccine) terbukti bersifat genotoksik terhadap mencit
(Tsuda S. et al. 2006). Selain itu, zat warna Red No. 3juga terbukti dapat merangsang
terjadinya kanker payudara secara in vitro (Dees C. et al. 2006). Maka, penggunaannya harus
diatur secara tegas.
Penggunaan pewarna jenis itu dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan
penyakit-penyakit lainnya. Pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food
grade) pun harus dibatasi penggunaannya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan efek. Namun masih saja ada sejumlah oknum
produsen makanan yang menambahkan pewarna sintetis pada makanan, yang dilatar
belakangi oleh inginnya mendapat keuntungan besar namun pengeluaran modal yang sedikit
atau minim, tanpa memikirkan keamanan bagi tubuh konsumen yang mengkonsumsi
makanan tersebut. Biasanya produsen makanan tersebut menjajahkannya di sekitar sekolah
sekolah karena anak anak tertarik akan warna yang mencolok sehingga anak-anak sering
menjadi sasarannya. Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna sintetis akan sangat
mencolok dan sangat terang sekali warna yang di timbulkan pada makanannya, tiak mudah
pudar, dan menempel pada tangan dan masih banyak ciri cirinya.
Di Indonesia, zat warna makanan termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan yang diatur
melalui UU RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan pada bab II, bagian kedua, pasal 10. Dalam
UU tersebut, dinyatakan bahwa dalam makanan yang dibuat untuk diedarkan, dilarang untuk
ditambah dengan bahan apapun yang dinyatakan dilarang atau melampaui batas ambang
maksimal yang ditetapkan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.239/Menkes/Per/V/85 dan Kep. Dir. Jend. POM Depkes RI Nomor: 00386/C/SK/II/90
tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85,
terdapat 34 jenis zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang
penggunaannya pada makanan (Utami ND. 2005; Dirjen POM 1997).
Makanan yang beredar di masyarakat memiliki warna yang bermacam-macam dan
kebanyakan menggunakan zat warna sintetik. Dengan adanya peraturan yang telah
ditetapkan, diharapkan keselamatan konsumen dapat terjamin. Akan tetapi, kenyataannya
tidaklah demikian. Hal tersebut dapat dilihat pada penjual makanan di pinggiran jalan,
biasanya menggunakan bahan tambahan makanan, termasuk zat warna, yang tidak diijinkan.
Hal itu disebabkan karena bahan-bahan itu mudah diperoleh dalam kemasan kecil di toko dan
pasar dengan harga murah (Maskar DH. 2004; Sihombing N. 1985).
Oleh karena itu, adanya zat warna sintetik yang tidak diijinkan dalam makanan, dapat
terjadi karena kesengajaan produsen makanan menggunakan zat warna sintetik itu, misalnya
zat warna tekstil, untuk menghasilkan warna yang lebih menarik. Atau, hal itu bisa terjadi
karena ketidaktahuan produsen makanan membeli zat warna sintetik yang dikiranya aman,
tetapi ternyata mengandung zat warna sintetik yang tidak diijinkan.
Bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terdiri dari pewarna
sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis terbuat dari bahan-bahan
kimia, seperti tartrazin untuk warna kuning atau allura red untuk warna merah.
Adapun jenis zat pewarna menurut Winarno (1995), yang dimaksud dengan zat pewarna
adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau
menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang
tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Menurut PERMENKES RI
No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat
memperbaiki atau member warna pada makanan. Berdasarkan sumbernya zat pewarna dibagi
dalam dua golongan utama yaitu pewarna alami dan pewarna buatan.
1. Pewarna alami
Pada pewarna alami zat warna yang diperoleh berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan
seperti : caramel, coklat, daun suji, daun pandan, dan kunyit. Jenis-jenis pewarna alami
tersebut antara lain:
a. Klorofil, yaitu zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun, sehingga
sering disebut zat warna hijau daun.
b. Mioglobulin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah pada daging.
c. Karotenoid, yaitu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, merah orange,
yang terlarut dalam lipid, berasal dari hewan maupun tanaman antara lain, tomat,
cabe merah, wortel.
d. Anthosiamin dan anthoxanthim. Warna pigmen anthosianin merah, biru violet
biasanya terdapat pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran.
2. Pewarna Buatan
Di Negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui perlakuan pemberian asam
sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain
yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk
akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang-kadang berbahaya dan seringkali
tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya
(Cahyadi, 2006).
Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan
pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan
tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan
seperti Amaran, Auramin, Methanyl Yellow, dan Rhodamin B. Jenis-jenis makanan
jajanan yang ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya ini antara lain sirup, saus,
bakpau, kue basah, pisang goring, tahu, kerupuk, es cendol, mie dan manisan
(Yuliarti,2007). Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena
ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan
karena harga zat pewarna untuk industri lebih murah dibanding dengan harga zat
pewarna untuk pangan (Seto,2001).
Zat pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya dalam makanan salah satunya adalah

Rhodamin B, biasa digunakan sebagai pewarna tekstil, tetapi banyak pedagang yang

menyalahgunakannya untuk mewarnai makanan. Rhodamin B sangat larut dalam air dan

alkohol, sedikit larut dalam asam hidroklorida dan natrium hidroksida. Larangan penggunaan

Rhodamin B pada tekstil disebabkan karena pewarna tersebut bersifat karsinogenik (Wirasto,
2008).
Methanyl yellow adalah zat pewarna sintetis berwarna kuning yang digunakan pada

industri cat dan tekstil. Bentuknya bisa berupa serbuk, bisa pula berupa padatan. Dapat larut

dalam air dan alkohol, cukup larut dalam : benzen; eter, dan sedikit larut dalam aseton. Zat

pewarna sintetis ini sangat berbahaya bila terhirup, terkena kulit dan mata, atau pun tertelan.

Dampak kesehatan yang terjadi dapat berupa iritasi pada saluran pernapasan, iritasi kulit,

iritasi mata, dan kanker. Apabila tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut,

diare, panas, dan tekanan darah rendah. Akibat lebih lanjut dapat menimbulkan kanker
kandung kemih (Hendayana, S.,2006).
Pengujian pewarna sintesis dapat dilakukan secara kualitatif yaitu suatu proses

mengidentifikasi keberadaan senyawa kimia dalam suatu sampel dengan menggunakan

metode spot test dengan menggunakan reagen kit. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh

Budavari, terbentuknya warna ungu pada pengujian Rhodamin B terjadi akibat adanya

pembentukan senyawa kompleks berwarna ungu lembayung dari Rhodamin B dengan garam

antimon yang larut dalam pelarut organik. Pengujian terhadap adanya Rhodamin B ini akan

positif jika warna cairan uji berubah menjadi ungu. Sedangkan suatu bahan dikatakan
mengandung Methanyl yellow apabila larutan sampel berubah warna dari warna sebelumnya

menjadi berwarna merah muda.


Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azizahwati (2007),

pembentukan warna merah muda ini terjadi akibat adanya reaksi antara Methanyl yellow

dengan pereaksi test kit. Persiapan sampel yang berbentuk padat pada pengujian Methanyl

yellow dilakukan dengan mengencerkan sampel terlebih dahulu yang bertujuan untuk

memperbesar luas permukaan sehingga tumbukan yang terjadi makin banyak dan

menyebabkan proses reaksi dapat terjadi lebih cepat. Sedangkan penambahan air panas

bertujuan untuk mempercepat proses kelarutan (Subhan et al., 2020).


DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton, dkk, 1989. Analisis Pangan. Bogor : Pusbangtepa IPB.
Ode S, La. (—). Identifikasi Pewarna Sintetis Pada Produk Pangan Yang Beredar Di
Jakarta Dan Ciputat. Jakarta: Program Studi Kimia Fst Uin Syarif Hidayatullah. 

Subhan, Arfi, F., & Ummah, A. (2020). Uji Kualitatif Zat Pewarna Sintetis Pada Jajanan
Makanan Daerah Ketapang Kota Banda Aceh. Amina, 1(2), 67–71.
https://doi.org/10.22373/amina.v1i2.35

Anda mungkin juga menyukai