Oleh
Wiwit Puji Lestari 121810301052
Lubabah Putri D. 121810301061
Winda Intan N. 121810301062
Octavianti Nuryani 121810301067
Yulia agustin 121810301073
2.1 Jajanan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terpenting dan juga
merupakan faktor yang sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Tetapi
betapapun menariknya penampilan, lezat rasanya dan tinggi nilai gizinya, apabila tidak aman
dikonsumsi, maka makanan tersebut tidak ada nilainya sama sekali (Winarno dan Rahayu, 1994).
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima menurut FAO didefinisikan
sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan
dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan dan dikonsumsi tanpa
persiapan atau pengolahan lebih lanjut (Judarwanto, 2007). Makanan jajanan (street food) sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik dari perkotaan maupun
pedesaan. Keunggulan dari makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya
yang cocok dengan selera kebanyakan masyarakat. Meskipun makanan jajanan memiliki
keunggulan-keunggulan tersebut, ternyata makanan jajanan juga beresiko terhadap kesehatan
karena penanganannya sering tidak higienis, yang memungkinkan makanan jajanan
terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang
tidak diizinkan.
Ada dua macam yang tergolong certified color yaitu dye dan lake. Keduanya adalah zat
pewarna buatan. Zat pewarna yang termasuk golongan dye telah melalui prosedur sertifikasi dan
spesifikasi yang telah ditetapkan oleh FDA. Sedangkan zat pewarna lake yang hanya terdiri dari
satu warna dasar, tidak merupakan warna campuran juga harus mendapat sertifikat (Winarno,
2002).
1) Dye
Dye adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air dan larutannya dapat
mewarnai. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propilenglikol, gliserin, atau alkohol.
Dye dapat juga diberikan dalam bentuk kering apabila proses pengolahan produk tersebut
ternyata menggunakan air. Dye terdapat dalam bentuk bubuk, butiran, pasta, maupun cairan yang
penggunaannya tergantung dari kondisi bahan, kondisi proses, dan zat pewarnanya sendiri
(Winarno, 2002).
2) Lake
Zat pewarna ini merupakan gabungan dari zat warna (dye) dengan radikal basa (Al atau
Ca) yang dilapisi dengan hidrat alumina atau Al(OH)3. Lapisan alumina atau Al(OH)3 ini tidak
larut dalam air, sehingga lake ini tidak larut pada hampir semua pelarut. Sesuai dengan sifatnya
yang tidak larut dalam air, zat pewarna ini digunakan untuk produk-produk yang tidak boleh
terkena air. Lake sering kali lebih baik digunakan untuk produk-produk yang mengandung lemak
dan minyak daripada dye, karena FD & C Dye tidak larut dalam lemak. (Winarno, 2002).
2.3 Rhodamin B
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang digunakan pada industri tekstil dan kertas.
Rhodamin B berbentuk serbuk kristal merah keunguan dan dalam larutan akan berwarna merah
terang berpendar. Zat ini sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, mengenai mata dan
tertelan. Dampak yang terjadi dapat berupa iritasi pada saluran pernafasan, iritasi pada kulit,
iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan dan bahaya kanker hati. Apabila tertelan dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan dan air seni akan berwarna merah atau merah
muda. Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus
dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik ketika
diinjeksi subkutan yaitu timbul sarcoma lokal, sedangkan secara UV-VIS didapatkan LD5089,5
mg/Kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa serta diikuti
perubahan anatomi berupa pembesaran organ pada tikus tersebut. (Index, 2006).
2.5 Spektrometri
Analisis spektrometri adalah salah satu metode analisis dalam ilmu kimia yang
didasarkan pada identifikasi dan kuantifikasi spesies analit berdasarkan sifat optisnya. Dalam
metode ini spektrum radiasi elektromagnetik dimanfaatkan sebagai entitas perantara untuk
analisis kualitatif dan kuantitatif ketika berinteraksi dengan spesies analit yang dapat melalui
proses absorpsi, emisi, fluoresensi atau proses lainnya (Siswoyo, 2007). Dalam metode
spektrometri, larutan sampel menyerap radiasi elektromagnetik dari sumber yang tepat, dan
jumlah yang diserap terkait dengan konsentrasi analit dalam larutan. Transisi elektronik yang
terjadi di daerah tampak dan ultraviolet dari spektrum adalah karena penyerapan radiasi oleh
jenis tertentu dari kelompok, obligasi, dan kelompok fungsional dalam molekul. Panjang
gelombang penyerapan dan intensitas tergantung pada jenis. Panjang gelombang serapan adalah
ukuran dari energi yang dibutuhkan untuk transisi. Intensitasnya tergantung pada probabilitas
transisi yang terjadi ketika sistem elektronik dan radiasi berinteraksi dan pada polaritas keadaan
tereksitasi ( Christian, 1994).
2.6 Spektrfotometri UV-Vis
Spektrofotometri sinar tampak adalah salah satu teknik analisis spektroskopik yang
memakai sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak dengan menggunakan instrument
spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometer UV-Vis adalah sejenis
peralatan yang digunakan untuk mengukur serapan molekul organik atau anorganik yang
diberikan sumber cahaya dengan rentang panjang gelombang di daerah UV-Vis (180-770 nm)
(Siswoyo, 2007).
Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka
mengandung electron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkst
energi yang lebih tinggi (Underwood, 1999). Adsorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan
bentuk interaksi antara gelombang cahaya (foton) dan atom/molekul. Energi cahaya diserap oleh
ataom/molekul dan digunakan oleh elektron di dalam atom/molekul tersebut untuk bertransisi ke
tingkat energi elektronik yang lebih tinggi. Proses absorbsi cahaya UV-Vis berkaitan dengan
promosi elektron dari suatu orbital molekul dengan tingkat energi elektronik tertentu ke orbital
molekul lain dengan tingkat nergi elektronik yang lebih tinggi (Siswoyo, 2007).
3.1.2 Bahan
- Benang wol
- NaOH 10%; 0,5%;
- Asam Asetat 10%
- HCl 0,1N
- Etanol
- Akuades
- Amonia 2% dalam etanol 70%
- Amonia 10% dalam etanol 70%
- Amonia
- Dietil eter
- Kertas saring (kertas whatman no.42)
- n-butanol
- etil asetat
- Rhodamin B 1000 ppm
10 g sampel
dilarutakan residu dari penguapan dalam 10 mL air mengandung asam (larutan asam
dibuat dengan mencampurkan 10 mL air dan 5 mL asam asetat 10%).
5 g sampel
dimasukkan benang wol dengan panjang 15 cm. Dimasukkan dalam larutan asam dan
dididihkan hingga 10 menit (pewarna akan menempel pada benaang wol). Diangkat
dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL.
benang.
ditambahkan 100 mL larutan ammonia 2% dalam etanol 70% dan didiamkan
dicuci benang dengan air.
semalam.
dimasukkan benang dalam larutan basa yaitu 10 mL ammonia 10% yang dilarutkan
disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42 dalam erlenmeyer.
dalam etanol 70% dan didihkan (benang wol akan melepas warna, warna masuk
dalam larutanfiltrat
dipindahkan basa).dalam gelas kimia.
Hasil
ditotolkan larutanHot
diuapkan diatas basa pada
plate silica 4gel
selama jam(sebagai
pada Tsuplikan sampel
65oC (sampel pada analisis
menjadi pekat selama
kromatogarfi lapis tipis.
proses penguapan).
Prosedur 2
dibuang lapisan air dengan menggunakan corong pisah sampai mendapat ekstrak eter.
dicuci ekstrak eter dengan NaOH 0,5% sebanyak 5 mL dengan cara di kocok dan
didiamkan (larutan membentuk 2 lapisan yaitu eter jernih (diatas) dan air berwarna
coklat (bawah)).
Hasil
dibuang lapisan air hingga sisa ekstrak eter.
diekstrak 3 kali dengan 10 mL HCl 0,1 N hingga lapisan eter tak berwarna lagi.
dibuang lapisan eter. Ditampung ekstrak HCl dalam labu takar 50 mL dan
ditambahkan HCl 0,1 N sampai tanda tera.
Sampel
ditotolkan pada KLT dengan pipa kapiler pada jarak 1,5 cm dari bagian bawah plat,
3.3.2 Pembuatan
jarak antaraLarutan Standart
noda adalah 2 cm.
Larutan rhodamin
dibiarkan B 1000saat
beberapa mg/L
hingga mongering.
dibuat larutan baku dengan kadar 20; 40; 80; 120 μg/mL dari larutan baku.
dimasukkan KLT dalam chamber yang lebih dahulu dijenuhkan dengan fase gerak
dibuat 2n-butanol:etil
berupa seri larutan baku kerja
asetat: yaitu larutan
ammonia baku 0,4; 0,8; 1,6; 2,4 μg/mL dan kedua
(10:4:5).
dengan 0,008;
3.3.3 Identifikasi 0,016;dengan
Sampel 0,032; KLT
0,048 μg/mL mrnggunakan pelarut HCl 0,1 N.
Hasil dibiarkan sampai terelusi sempurna.
diamati secara visual dan dibawah sinar UV (secara visual noda merah jambu dan
Hasildibawah UV 254 nm dan 366 nm berfluoresensi kuning/orange, hal ini menunjukkan
3.3.4 Penetapan Kadar Rhodamin B dengan Spektrofotometri Visible
Sampel
b. Pengukuran Sampel
Panjang Gelombang Konsentrasi
Ekstrak Sampel Absorbansi
(nm)
Fase HCl 0.008 -
555
Fase Diklorometana 0.021 0.039 ppm
4.2 Pembahasan Hasil
Praktikum yang dilakukan kali ini bertujuan untuk menganalisis Rhodamin B yang diduga
terkandung dalam sampel saos yang banyak beredar dipasaran. Analisis yang dilakukan dalam
percobaan kali ini yaitu analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis dan analisis
kuantitatif dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Visible. Sampel saos yang
digunakan adalah saos tomat bungkusan yang banyak beredar di pasaran dengan harga yang
relatif murah. Analisis Rhodamin B dalam saos tomat ini dilakukan karena rhodamin B dalam
makanan terutama saos perlu diawasi keberadaanya sebab rhodamin B merupakan pewarna
sintesis yang biasa digunakan pada industry tekstil bukan industry makanan sehingga
penggunaan rhodamin B dalam suatu sediaan dilarang karena dapat menimbulkan dampak yang
tidak diharapkan bagi kesehatan seperti gangguan ginjal, hati dan kanker.
Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri
tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan.
Hal tersebut telah dicantumkan oleh Menteri Kesehatan (Permenkes) pada aturan
No.239/Menkes/Per/V/85, namun walaupun sudah dilarang, penggunaan Rhodamine B dalam
makanan masih banyak terdapat di lapangan bahkan dijual bebas dipasaran. Hal tersebut telah
membuktikan bahwa masih banyak permintaan dan penggunaan Rhodamin B di masyarakat
terutama sebagai bahan pewarna makanan. Rhodamin B yang dikonsumsi dalam jumlah cukup
besar dan berulang-ulang akan menyebabkan iritasi pada saluran penapasan, iritasi pada kulit,
iritasi pada mata, iritasi pada pencernaan, keracunan, gangguan fungsi hati dan kanker hati. Oleh
karena itu, untuk mengetahui apakah Rhodamin B ini masih banyak beredar dipasaran terutama
pada saos yang syarat dengan adanya Rhodamin B, peneliti menguji saos yang beredar dipasaran
dengan menggunakan dua metode analisis.
Analisis pertama yang dilakukan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif yang dilakukan
ini berfungsi untuk mengidentifikasi keberadaan rhodamin B dalam sampel saos. Metode yang
digunakan dalam analisis secara kualitatif adalah metode Kromatografi Lapis Tipis yang
merupakan salah satu teknik pemisahan senyawa dengan prinsip adsorpsi dan koefisien partisi.
KLT dilakukan karena pengujian menggunakan metode ini mudah dilakukan dan murah. Prinsip
kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan kepolaran ‘like dissolve like” dimana pelarut yang
bersifat polar akan berikatan dengan senyawa yang bersifat polar juga dan sebaliknya, semakin
dekat kepolaran antara senyawa dengan eluent maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase
gerak tersebut.
Tahap pertama yang dilakukan adalah preparasi larutan sampel. Preparasi sampel dilakukan
untuk memperoleh larutan rhodamin B dalam sampel sehingga bisa dianalisis dengan KLT
dimana sampel yang diuji harus berbentuk larutan. Preparasi sampel dilakukan dengan cara
menambahkan sampel saos yang akan diuji dengan larutan 2% amonia dalam 70% etanol dengan
perbandingan 1:2 selama 1 malam. Hal ini bertujuan agar rhodamin B dalam sampel dapat larut
semua. Larutan 2% amonia dalam 70% etanol dipilih dalam percobaan kali ini sebab ammonia
merupakan pengikat sekaligus pelarut rhodamin B sehingga rhodamin B akan terambil sempurna
dalam sampel yang akan dianalisis. Larutan yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan cara
pemanasan. Larutan hasil pemanasan tersebut kemudian ditambah dengan larutan asam (10 mL
akuades dan 5 mL asam asetat 5%) dengan tujuan untuk menstabilkan rhodamin B agar tidak
berubah dari bentuk terionisasi menjadi bentuk netral.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan benang wol berukuran 15 cm dalam larutan
kemudian didihkan selama 10 menit. Penggunaan benang wol dalam percobaan kali ini berfungsi
untuk mengekstraksi rhodamin B dalam sampel yang telah menerima perlakuan, dengan bantuan
asam asetat yang sebelumnya telah ditambahkan terlebih dahulu, sehingga dihasilkan warna
benang wol yang berubah dari putih menjadi merah terang. Selain itu fungsi digunakannya
benang wol adalah sebagai absorben warna saus sedangkan asam asetat glasial berfungsi sebagai
pemberi suasana asam dimana pada suasana ini rhodamin B akan tertarik oleh asam dan
selanjutnya akan terabsorbsi oleh benang wol.Hal ini menandakan bahwa rhodamin B dalam
larutan telah terikat pada benang wol. Namun, karena sampel uji KLT harus berupa larutan maka
rhodamin dalam sampel perlu dilarutkan dengan menggunakan pelarutnya yaitu larutan 10%
amonia dalam 70% etanol.
Hasil yang didapat berupa larutan berwarna orange yang mengidentifikasi bahwa dalam
sampel saos terdapat rhodamin B. Selanjutnya dilakukan penyiapan fasa diam dan fasa gerak dari
sistem kromatografi lapis tipis ini. Fasa diam yang digunakan adalah plat alumunium. Plat tipis
aluminium berfungsi sebagai fasa diam yang merupakan tempat berjalannya adsorbens sehingga
proses migrasi analit oleh solventnya dapat berjalan, sedangkan fase gerak yang digunakan
dalam percobaan kali ini adalah campuran 2-butanol: etil asetat: amonia (10: 4: 5) dengan total
volume eluent yaitu 19 mL. Eluen yang digunakan pada percobaan kali ini bersifat polar,
dikarenakan etil asetat dan ammonia yang bersifat polar dan 2-butanol yang bersifat semipolar.
Pada etil asetat, adanya gugus karboksil menyebabkan sifatnya semakin polar namun dengan
semakin panjangnya rantai karbon menyebabkan sifat polarnya semakin lemah sehingga
menyebabkan etil asetat bersifat polar. Lalu pada 2-butanol, adanya gugus hidroksil membuat zat
ini bersifat semi polar sedangkan pada ammonia, adanya gugus amino akan membuat ammonia
bersifat polar. Penggunaan eluen yang bersifat polar ini berkaitan dengan sifat kebanyakan zat
warna yang bersifat polar termasuk Rhodamin B, juga kemudahannya untuk dapat larut dalam
alcohol dan amonia. Oleh karenanya digunakan eluen yang bersifat polar ini agar dapat
mengelusi Rhodamin B dengan baik sebab Rhodamin B juga bersifat polar. Apabila digunakan
eluen yang bersifat non polar seperti kloroform, maka Rhodamin B tidak akan terelusi. Selain
itu, Eluent tersebut dipilih karena sifatnya lebih polar dari fase diamnya sehingga sampel yang
polar tidak terikat kuat pada fase diamnya.
Eluent dipilih dengan kombinasi demikian karena dapat menghasilkan spot yang bagus,
pemisahannya baik, dengan waktu pemisahannya juga yang tidak terlalu lama. Hal ini
dikarenakan eluennya bersifat polar dan mudah menguap. Penggunaan eluent ini disesuaikan
dengan sifar polar Rhodamin B karena memiliki gugus karboksil dengan pasangan elektron
bebas dan gugus amina pada struktur molekulnya. Gugus karboksil dan amina ini akan
membentuk ikatan hidrogen intermolekular dengan pelarut polar sehingga mudah larut dalam
pelarut polar. Oleh karena itu, digunakan campuran eluen polar agar dapat mengeluasi Rhodamin
B dengan baik.
Absorben yang digunakan dalam metode KLT yaitu berupa silica gel (SiO2) yang tidak
mengikat air sehingga noda yang tercipta lebih dapat focus dan tajam. Fase diam ini bersifat
polar. Kepolaran ditentukan saat aktivasi plat (yaitu menggunakan pelarut yang bersifat
semipolar yakni etil asetat). Sebelum mempartisi sampel, awalnya eluen terlebih dahulu
dijenuhkan dengan tujuan untuk memastikan partikel fasa gerak terdistribusi merata pada seluruh
bagian chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fasa diam oleh fasa gerak berlangsung
optimal, dengan kata lain penjenuhan digunakan untuk mengotimalkan naiknya eluent dan untuk
menghindari hasil tailing pada pelat KLT selain itu penjenuhan yang dilakukan berfungsi untuk
memudahkan saat eluasi sampel. Selama proses penjenuhan, dilakukan persiapan fase diam
yakni plat aluminium yang digunakan berukuran 9,5 x 2,5 cm. Plat tersebut diberi batas atas dan
bawah masing-masing 0,5 dan 1 cm. Fungsinya sebagai penanda jarak tempuh eluent. Batas
bawah plat dibuat 1 cm agar tidak terendam oleh eluent. Jarak penotolan disesuaikan dengan
lebar plat yang tersedia. Jarak penotolan tidak boleh terlalu berdekatan untuk menghindari
bergabungnya spot masing-masing larutan dan tidak boleh terlalu pekat untuk menghindari
adanya tailing saat spot naik bersama fasa gerak. Penotolan dilakukan pada 3 titik, dimana 2 titik
untuk ekstrak sampel dan 1 titik untuk larutan standar rhodamin 100 ppm. Larutan standar disini
digunakan sebagai pembanding dan untuk mengetahui apakah terdapat ekstrak Rhodamin B
dalam sampel yang dianalisi melalui spot yang terdistribusi. Penotolan larutan baku dan sampel
menggunakan pipa kapiler dengan tujuannya yaitu supaya penotolan kecil karena dalam KLT,
penotolan yang baik diusahakan sekecil mungkin untuk menghindari pelebaran spot dan tidak
menurunkan resolusi. Pelebaran spot dapat mengganggu nilai Rf karena memungkinkan
terjadinya himpitan puncak. Penotolan menggunakan bantuan hair dryer untuk mempercepat
proses pengeringan.
Langkah selanjutnya, plat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam chamber tertutup yang
berisi fasa gerak (eluent) dengan posisi fasa gerak berada di bawah garis pada plat. Metode KLT
yang digunakan dalam percobaan kali ini yaitu menggunakan metode ascending (naik). Fase
gerak dibiarkan naik sampai hampir mendekati batas atas plat. Eluent dapat naik walaupun
melawan gravitasi karena adanya afinitas. Pada proses naiknya fase gerak, komponen-komponen
yang berbeda dalam campuran akan berjalan melewati fasa diam yang telah dijenuhkan sesuai
dengan kepolarannya. Setelah mencapai batas atas, plat KLT diangkat dan dibiarkan kering
diudara. Hal ini dilakukan berfungsi untuk menguapkan sisa pelarut yang masih terdapat pada
plat untuk menjamin penguapan telah sempurna dan agar spot jelas terlihat.
Hasil KLT tidak perlu diamati di bawah sinar UV karena spot telah terlihat dengan jelas.
Hasil yang didapat dari percobaan yang dilakukan kalini ini yaitu berupa 2 spot berfluoresensi
yang masing – masingnya berwarna merah muda dan orange dengan jarak tempuh spot yang
berdekatan. Namun, spot yang dianalisis adalah spot yang mirip dengan spot larutan standar
Rhodamin b yakni merah muda terang. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh jarak spot
dengan batas bawah yaitu 1.15 cm sedangkan jarak tempuh pelarut yaitu 7 cm. Rf yang didapat
dari hasil pengamatan yaitu 0.164 sedangkan untuk Rf standar didapatkan sebesar 0.87. Nilai Rf
yang diperoleh ini menyatakan ukuran daya pisah suatu zat dengan kromatografi planar (KLT),
dimana jika nilai Rf-nya besar berarti daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluenya)
maksimum sedangkan jika nilai Rf-nya kecil berarti daya pisah zat yang dilakukan solvent
(eluenya) minimum. Rf yang optimum yaitu berada pada rentang 0.5 – 0.8. Hasil yang
didapatkan tersebut menunjukkan bahwa Rhodamin B dalam ssampel tidak dapat terpisah secara
sempurna. Pemisahan KLT, dapat dipengaruhi beberapa faktor-faktor seperti struktur kimia dari
senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan zat
penyerap, kemurnian pelarut, derajat kejenuhan, teknik percobaan, jumlah cuplikan, temperatur,
dan kesetimbangan.
Analisis kedua yang dilakukan dalam percobaan kali ini yaitu analisis kuantitatif rhodamin
B dengan tujuan untuk mengetahui kadar rhodamin b dalam sampel saos karena berdasakan uji
kualitatif, sampel mengandung rhodamin B. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis. Metode spektrofotometri ini mempunyai prinsip yaitu hukum
Lambert-Beer dimana hukum Lambert-Beer ini menyatakan bahwa konsentrasi suatu zat
berbanding lurus dengan jumlah cahaya yang diabsorbsi, atau berbanding terbalik dengan
logaritma cahaya yang ditransmisikan. Berdasarkan pengukuran spektrofotometri dapat dihitung
konsentrasi sampel yang dianalisis. Alasan menggunakan metode analisis spektrofotometri UV-
Vis adalah karena senyawa rhodamin B memiliki gugus kromofor yaitu gugus dalam senyawa
organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak seperti gugus karboksil,
senyawa aromatik dan juga memiliki gugus auksokrom yaitu gugus yang memiliki pasangan
elektron bebas seperti NR2. Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan baku. Larutan
baku, dibuat pada konsentrasi 1000 ppm dengan pelarut air dan menghasilkan larutan baku 1000
ppm yang berwarna pink pekat. Larutan baku tersebut kemudian diencerkan pada konsentrasi
0.01; 0.01; 0.1; dan 0.2 ppm agar dapat diukur dengan spektrofotometer Uv-Vis sebab sampel
yang terlalu pekat kemungkinan tidak akan terbaca sehingga perlu pengenceran. Variasi
pengenceran (konsentrasi) digunakan untuk membuat kurva standar.
Selanjutnya di buat larutan sampel dengan cara mengekstrak rhdamin B pada sampel saos.
Rhodamin B pada saos 5 g diekstrak dengan cara melarutkan sampel dengan larutan 2% amonia
dalam 70 % sebanyak 100 mL. Waktu pelarutan sama dengan analisa kualitatif yaitu 1 malam.
Rhodamin B yang telah terekstrak kemudian dipanaskan dengan tujuan pemekatan dan
menguapkan pelarut. Selajutnya ditambahkan 10% NaOH. Hal ini bertujuan untuk mengubah
kepolaran dari rhodamin B dengan melepas gugus Cl- pada senyawa sehingga struktur garam
rhodamin dapat dipertahankan saat proses ekstraksi berlangsung. Kemudian ditambahkan air
sebagai fase polarnya.
Ekstraksi dilakukan dengan larutan diklorometana. Prinsip ekstrasi ini ialah “like disolve
like”. Diklorometana disini berifat non polar sehingga dapat mengikat garam rhodamin B yang
bersifat non polar. Air ditambahkan sebagai fase polarnya dan menghasilkan 2 fase karena
perbedaan kepolaran, dimana fase atas berupa air dengan warna merah terang, dan fase bawah
merupakan fase organik yang mengandung rhodamin B. Fase organik berada di fase bawah
karena memiliki massa jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan air. Fase yang diambil
adalah fase bawah. Larutan yang didapat diekstrak dengan HCl 0,1 N. HCl disini akan
mengembalikan rhodamin B pada fase polarnya sehingga terlepas dari fase diklorometana. HCl
dapat mengembalikan kepolaran rhodamin B karena adanya gugus Cl-, sehingga rhodamin B
kembali pada struktur aslinya yang bersifat polar. Rhodamin B akan terikut pada fase asamnya.
Fase asam berada pada fase atas karena memiliki massa jenis yang lebih rendah dibandingkan
dengan diklorometana yakni 1,19 g/mL banding 1,32 g/mL. Seharusnya fase asam berwarna
merah, yang menunjukkan positif adanya rhodamin B. Namun, larutan yang diperoleh tidak
berwarna. Seharusnya rhodamin B merupakan larutan berwarna karena menurut literatur yang
ada panjang gelombang serapannya rhodamin B berada pada daerah visibel bukan daerah
ultraviolet. Hal ini juga terlihat dari hasil scanning larutan standar yang menunjukkan panjang
gelombang maksimum pada 555 nm (daerah visible). Panjang gelombang maksimum yang
diperoleh pada scznning sudah sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa panjang
gelombang maksimum rhodamin B berada pada daerah 547 nm. Larutan yang tidak berwarna
sebenarnya dapat dijadikan indikator bahwa larutan tersebut tidak mengandung rhodamin B.
Namun, pengukuran absorbansi tetap dilakukan pada ekstrak sampel karena pada uji kualitatif
sampel positif mengandung rhodamin B. Kurva standar rhodamin B dibuat pada panjang
gelombang 555 nm. Kurva standar yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Ekstrak sampel tidak berwarna yang diperoleh absorbansinya tetap diukur pada panjang
gelombang maksimum rhodamin B pada daerah visibel yaitu 555 nm. Nilai absorbansi yang
diperoleh sebesar 0.021. Berdasarkan nilai absorbansi yang diperoleh dapat diketahui bahwa
konsentrasi sampel sebesar 0.039 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat rhodamin B dalam
sampel yang kuantitasnya sangat kecil.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Saos tomat yang banyak beredar dipasaran positif mengandung zat pewarna Rhodamin B
yang seharusnya digunakan dalam industry tekstil
2. Kadar rhodamin B dalam saos tomat yang beredar dipasaran berkisar antara 0.039 mg/L
5.2 Saran
Saran yang diberikan pada percobaan kali ini yaitu agar lebih mempehitungkan kembali
perbandingan eluen yang digunakan serta lebih memperhatikan keselamatan kerja ketika bekerja
dengan zat kimia berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta : Penerbit
Andi.
Christian, Gary D. 1994. Analytical Chemistry, edisi kelima. New York : John Wiley and Sons
Inc.
Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Bandung : Penerbit ITB.
Djalil, A.D., Hartanti, D., Rahayu, W.S., Prihatin, R., Hidayah, N. 2005. Identfikasi Zat Warna
Kuning Metanil (Metanil Yellow) dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada
Berbagai Komposisi Larutan Pengembang, Jurnal Farmasi. Purwokerto : Fakultas
Farmasi UMP.
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM.
Gritter, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi, Edisi 2,
terjemahan Kasasih Padmawinata. Bandung : ITB.
Index, Merck. 2006. Chemistry Constant Companion, Now with a New Additon. USA : Merck
& CO.
Judarwanto, W. 2007. Perilaku Makan Anak Sekolah [Serial Online] http://www.ludruk.com
(diakses pada April 2015).
Marmion, Daniel. 1984. Colorts For Food Drug and Cosmetika. United States of Amerik : Jhon
Willy and Sons Inc.
Mulja, M. dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University Press.
Nollet, 2004. Analisa Rhodamin B dan Metanil Yellow dalam Minuman Jajanan Anak SD di
Kecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta Metode Kromatografi Lapis Tipis, Skripsi.
Surakarta : Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Sastrohamidjojo, H. 1991. Spektrosfotokopi, edisi kedua. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Siswoyo, Dwi. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung : ITB.
Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Yogyakarta : Kanisius.
Underwood, A.L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi 6. Jakarta : Erlangga.
Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran Perhitungan
1. Perhitungan Pembuatan Larutan
a. Etanol 70% dalam air e. 10% NH3 dalam 70% Etanol
b. NaOH 10%
g. HCl 0.1 N
Massa HCl = 37 mL x 1.19 g/mL
M = m/(Mr x V)
M = 44.03 gram /(36.45g/mol x
0.1L)
c. NaOH 0.5% M = 12.08 mol/L
a. Pengukuran Sampel
Panjang Gelombang Konsentrasi % dalam
Ekstrak Sampel Absorbansi
(nm) Sampel
Fase HCl 555 0.008 - -
Fase Diklorometana 0.021 0.039 ppm
3. Perhitungan Rf
Diketahui: - Jarak tempuh = 7 cm
- Jarak standar = 6,1 cm
- Jarak sampel = 1,2 cm dan 1,1 cm
- Rata2 jarak sampel = 1,15 cm
a. Rf standar
Rf = 6,1 cm / 7 cm = 0,87
b. Rf sampel
Rf = 1.15 cm / 7 cm = 0,164