Anda di halaman 1dari 38

REFARAT

Xeroftalmia

KONSULEN PEMBIMBING: DR. MED. dr. Jannes Frits Tan, SpM

DisusunOleh : Lia Priscilia Mira Arlita Rahmawati Riduan Adoro Lumban Gaol Jeannette Diana Hutapea Rheny Giovanny Pasaribu (07-069) (07-077) (08-033) (08-035) (08-036)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA PERIODE 14 Mei 9 Juni 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........i KATA PENGANTAR....ii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata A. Adneksa Mata ..............................................................................2 B. Bola Mata .....................................................................................3 1.2 Lapisan (Film) Air Mata ...........7 1.3 Penyakit pada Konjungtiva ...7 1.4 Penyakit pada Kornea.......10 1.5 Penyakit pada Retina........11 1.6. Vitamin A..11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Xeroftalmia A. Definisi13 B. Etiologi....13 C. Klasifikasi....14 D. Epidemiologi...15 E. Patofisiologi.....16 F. Diagnosa.......17 G. Penatalaksanaan...21 H. Komplikasi...24 BAB III DISKUSI 3.1. Kesimpulan ......................................................................................25 3.2. Saran ................................................................................................27

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena rahmatnya kami dapat menyelesaikan refarat dengan judul Xeroftalmia yang kami susun dalam 2 minggu ini. Refarat yang telah kami susun ini diharapkan mampu membantu setiap pembacanya untuk lebih mengerti mengenai gangguan tuli-bisu pada anak dan bagaimana menanganinya melalu deteksi sedini mungkin pada anak. Refarat dengan judul Xeroftalmia kami awali dengan penjelasan tentang anatomi dan fisiologi mengenai mata sehubungan dengan gangguan-gangguan pada mata dan lapisan air mata yang terjadi pada pasien dengan xeroftalmia, kerja vitamin A pada mata, penyakitpenyakit yang umumnya pada kornea, konjungtiva maupun retina, dan mengenai xeroftalmia itu sendiri. Refarat ini kami susun berdasarkan sumber-sumber seperti buku-buku maupun artikelartikel dari internet. Sumber-sumber untuk menyusun refarat ini, meskipun terbatas jumlahnya dan memiliki banyak kekurangan dalam penyusunannya namun kami harapkan mampu menjabarkan dan menjelaskan dengan baik hal-hal penting yang patut untuk diketahui mengenai gangguan tuli-bisu. Demikian refarat ini telah kami susun, apabila ada kesalahan kami mohon maaf dan kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca sehingga refarat ini dapat menjadi lebih baik lagi, demikian kami sampaikan dan terima kasih.

Salam Sejahtera

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related Diseases yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang. KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua/ibu tentang gizi yang baik. Gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survei yang sama menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol < 20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari beberapa propinsi

antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan menunjukkan munculnya kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan menyebabkan kebutaan. Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmia masih banyak di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi kebutaan seumur hidup yang berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia.
1.1.

Anatomi dan Fisiologi Mata3,7


A. Adneksa Mata 1. Alis Mata 2. Kelopak Mata Palpebra ( kelopak mata ) superior dan inferior adalah modifikasi lipatan kulit yang dapat menutupi dan melindungi bola mata bagian anterior. Kelopak mata terdiri atas 5 bidang jaringan yang utama. Dari superficial ke dalam terdapat lapisan kulit, jaringan aerolar subkutan, lapisan otot striata, jaringan aerolar submuskular, jaringan fibrosa, lapisan fibrosa nonstriata. Pada palpebra terdapat tepian yang di bagi menjadi dua yaitu tepi palpebra anterior dan tepi palpebral posterior. Punctum lacrimale terdapat di ujung medial tepian posterior palpebra yang berfungsi menghantarkan air mata menuju saccus lacrimalis. Terdapat beberapa kelenjar yang terletak pada kelopak mata diantaranya: Kelenjar meibom: disebut juga kelenjar tarsal dan merupakan kelenjar sebasea yang termodifikasi. Kelenjar ini mensekresikan lapisan minyak yang terdapat pada lapisan air mata Kelenjar zeis: kelenjar ini juga merupakan kelenajr sebasea yang terletak pada folikel bulu mata Kelenjar moll:merupakan kelenjar keringat yang termodifikasi dan terletak dekat dengan folikel rambut didaerah mata Kelenjar wolfring: merupakan kelenjar lakrimal aksesorius
5

3. Apparatus Lakrimalis Aparatus lakrimalis terdiri atas kelenjar lakrimal utama, kelenjar lakrimal aksesorius, dan jalur lakrimal yang terdiri dari pungtum lakrimal, kanalikuli, sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimalis nantinya berfungsi untuk mengeluarkan air mata. Kelenjar lakrimal utama terdiri atas : a. Bagian orbita berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandula lakrimalis di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan dari bagian palpebra oleh kornu lateralis muskulus levator palpebra. b. Bagian palpebra yang lebih kecil terletak tepat diatas segmen temporal forniks konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal, yang bermuara pada sekitar 10 lubang kecil, menghubungkan bagian orbita dan palpebra kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior. Kelenjar lakrimal aksesorius a. Kelenjar Krause Terletak dibalik konjungtiva palbebra, antara fornix dengan ujung dari tarsal b. Kelenjar Wolfring Terletak dekat batas atas dari permukaan tarsal superior dan sepanjang batas bawah tarsal inferior.

B. Bola Mata

1. Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu: 1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus 2. Konjungtiva bulbi menutupi sclera
3. Konjungtiva forniks yang merupakan peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Secara histologi, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan , mulai dari luar kedalam terdiri dari lapisan epitel, lapisan adenoid dan laisan fibrosa. Terdapat dua jenis kelenjar yang terletak dikonjungtiva yaitu:
-

kelenjar penghasil musin. Diantaranya

kelenjar penghasil musin

tersebut adalah sel goblet (terletak di lapisan epitel dan paling tebal di bagian inferonasalis) dan kelenjar manz (terletak pada konjungtiva bulbar tepatnya konjungtiva daerah limbus) - kelenjar lakrimal aksesorius. Terdiri dari kelenjar krause dan wolfring dan telah dijelaskan dibagian atas.

2. Sklera Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus opticus di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis

jaringan elastik halus, episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah yang mendarahi sclera.

3. Kornea Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis: a. Epitel b. Membran bowman c. Stroma d. Membrane descement e. Endotel

4. Traktus Uvealis. Iris Corpus Siliare Koroid

5. Lensa Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir transparan sempurna. Lensa tergantung pada zonula di belakang iris; zonula menghubungkannya dengan corpus ciliare.

6. Sudut Bilik Mata Depan Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis schwalbe, anyaman trabekula (yang terletak di atas kanal schlemm), dan taji sclera (scleral spur).

7. Retina Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina terdiri dari 10 lapisan dimulai dari sisi dalam keluar sebagai berikut: 1. Membran limitans retina 2. Lapisan serat saraf 3. Lapisan sel ganglion 4. Lapisan pleksiform dalam 5. Lapisan nukleus dalam
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat

sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.


7. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang

8. Membran limitan eksterna


9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapisan yang terdiri dari sel batang dan sel

kerucut yang merupakan modifikasi sel saraf. Lapisan ini mengandung badan sel batang dan kerucut. Sel batang merupakan sel khusus yang ramping. Jumlah sel batang lebih banyak dibandingkan sel kerucut dan terdiri dari segmen luar yang berbentuk silindris dengan panjang 28 mikrometer mengandung fotopigmen rhodopsin dan suatu segmen dalam yang sedikit lebih panjang yaitu sekitar 32 mikrometer. Keduanya mempunyai ketebalan 1,5 mikrometer. Inti selnya terletak di dalam lapisan inti luar. Ujung segmen luar tertanam dalam epitel pigmen. Segmen luar dan dalam dihubungkan oleh suatu leher yang sempit. Dengan mikroskop electron segmen luar tampak mengandung banyak
9

lamel-lamel membran dengan diameter yang seragam dan tersusun seperti tumpukan kue dadar. Sel batang ini di sebelah dalam membentuk suatu simpul akhir yang mengecil pada bagian akhirnya pada lapisan pleksiform luar yang disebut sferul batang (rod spherule). Sel batang yang hanya teraktivasi dalam keadaan cahaya redup (dim light) sangat sensitive terhadap cahaya. Sel ini dapat menghasilkan suatu sinyal dari satu photon cahaya. Tetapi sel ini tidak dapat menghasilkan sinyal dalam cahaya terang (bright light) dan juga tidak peka terhadap warna.
10.

Epitelium pigmen retina, merupakan suatu lapisan sel poligonal yang

teratur, ke arah ora serrata bentuk selnya menjadi lebih gepeng. Inti sel berbentuk kuboid dengan sitoplasmanya kaya akan butir-butir melanin. Fungsi epitel pigmen adalah 1. Menyerap cahaya dan mencegah terjadinya pemantulan. 2. Berperan dalam nutrisi fotoreseptor 3. Penimbunan dan pelepasan vitamin A 4. Berperan dalam proses pembentukan rhodopsin Cahaya yang masuk ke dalam retina diserap oleh rhodopsin, suatu protein yang tersusun dari opsin (protein transmembran) yang terikat pada aldehida vitamin A. Penyerapan cahaya ini akan menyebabkan isomerisasi rhodopsin dan memisahkan opsin dari ikatannya dengan aldehida vitamin A menjadi opsin bentuk aktif. Opsin bentuk aktif kemudian memfasilitasi pengikatan guanosin triphosphate (GTP) dengan protein transducin. Kompleks GTP-transducin ini kemudian mengaktifkan enzim cyclic guanosin monophosphate phosphodiesterase suatu ensim yang berperan dalam pembentukan senyawaan cyclic guanosin monophosphate (cGMP). Siklik guanosin monophosphate (cGMP) ini berperan dalam pembukaan kanal natrium di dalam plasmalema sel batang dan menyebabkan masuknya natrium dari segmen luar sel batang menuju ke segmen dalam sel batang. Keadaan ini akan menyebabkan hiperpolarisasi di segmen dalam sel batang dan merangsang dilepaskannya neurotransmitter dari sel batang menuju ke sel bipolar. Oleh sel bipolar rangsang kimiawi ini dirubah menjadi impuls listrik yang akan diteruskan menuju ke sel ganglion untuk dikirim ke otak.

10

Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsang cahaya menjadi impuls saraf yang dihantarkan lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus hingga akhirnya kekorteks penglihatan. Pada retina perifer, makula pada retina berfungsi umtuk p englihatan sentral dan warna (fotopik) sedangkan bagian lainnya yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik). Penglihatan siang hari diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, pada waktu senja kombinasi sel kerucut dengan batang dan penglihatan malam hari diperantarai oleh fotoreseptor batang.

1.2.

Lapisan (Film) Air Mata7,13


Lapisan atau film air mata normal dari luar ke dalam terdiri dari lapisan lipid, lapisan aqueous, lapisan mukus.
a. Lapisan lipid. Lapisan ini merupakan lapisan terluar yang dihasilkan dari kelenjar

meibomian, zeis, dan moll. Lapisan ini mencegah air mata yang berlebihan, menghambat terjadinya evaporasi dan melubrikasi kelopak mata saat bergerak.
b. Lapisan aqueous. Lapisan ini merupakan penghasil terbesar film ar mata yang

mengandung air mata yang berasal dari kelenjar lakrimal utama dan kelenjar aksesorius dan berfungsi untuk menyediakan nutrisi bagi kornea yang avaskular, membantu dalam menyingkirkan kotoran ataupun debris dan melindungi permukaan bola mata dari bakteri ataupun antigen lainnya. Air mata mengandung air dan sejumlah kecil sodium klorida, gula, urea, protein, alkalin. Selain itu juga mengandung antibakterial seperti lisozim, betalysin, dan laktoferrin.
c. Lapisan mukus (musin). Lapisan ini dihasilkan oleh sel goblet yang terletak di

lapisan epitel konjungtiva bulbaris. Mukus juga dihasilkan kelenjar Manz yang terletak di lapisan epitel sekitar limbus. Lapisan ini berfungsi untuk membentuk lapisan pelindung hidrofilik tipis bagi permukaan kornea, membasahi permukaan bola mata, dan mencegah mata permukaan bola mata menjadi kering.

1.3. Penyakit pada Konjungtiva


1.3.1.

Konjungtivitis4,8,12,14

11

Konjuntivitis dapat dibedakan berdasarkan penyebab dan keadaan klinisnya. Berdasarkan penyebabnya antara lain: - Konjungtivitis infeksi a. Konjungtivitis bakteri b. Konjungtivitis klamidia c. Konjungtivitis viral d. Konjungtivitis jamur e. Konjungtivitis parasit - Konjungtivitis alergi
- Konjungtivitis akibat penyakit autoimun

a.

Keratokonjungtivitis sika sika merupakan suatu keadaan keringnya

Keratokonjungtivitis

permukaan kornea dan konjungtiva. b.


c.

Pemfigoid sikatrikal Sindrom Steven Johnson

- Konjungtivitis akibat defisiensi vitamin A Pada pasien yang kekurangan vitamin A, pasien akan mengeluh mata kering seperti kelilipan, sakit, buta senja dan penurunan penglihatan secara perlahan. Terdapat kelainan pada defisiensi vitamin A yaitu niktalopia dan atrofi serta keratinisasi jaringan epitel dan mukosa. Pada keratinisasi didapatkan xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea tukak kornea dan berakhir dengan keratomalasia. Pada keadaan ini terjadi ketidakmampuan air mata akibat kerusakan sel goblet sehingga hasil musin kurang. Terdapat beberapa klasifikasi defisiensi vitamin A di Indonesia, salah satunya klasifikasi Ten Doeschate, yaitu:
12

X0: Hemeralopia X1: hemeralopia dengan erosis konjungtiva dan bercak bitot X2: xerosis kornea X3: keratomlasia X4: stafiloma, ptisis bulbi Kelainan pada stadium X0 hingga X2 masih reversible, sedangkan X3 hingga X4 bersifat ireversibel - Konjungtivitis iritatif - Keratokonjungtivitis karena sebab yang tidak diketahui a. b. c. Folikulosis Konjungtivitis folikular kronik Psoriasis

Berdasarkan keadaan klinisnya antara lain:


- Konjungtivitis mukopurulen

- Konjungtivitis purulen akut - Konjungtivitis serosa - Konjungtivitis simpel kronis - Konjungtivitis angular - Konjungtivitis pseudomembran - Konjungtivitis papil - Konjungtivitis folikular - Oftalmia neonatorum - Konjungtivitis granulomatosa
13

- Konjungtivitis ulseratif - Konjungtivitis sikatriks

1.3.2.

Kondisi simptomatik pada konjungtiva8

a. Konjungtiva hiperemis b. Kemosis Konjungtiva c. Ekimosis Konjungtiva d. Xerosis Konjungtiva Merupakan suatu kondisi dimana konjungtiva menjadi kering dan kusam. Konjungtiva normal dipertahankan kelembabannya dari sekresi kelenjar aksesorius. Berdasarkan etiologi, xerosis dibagi menjadi 2 golongan yaitu: - Parenkimatosa xerosis Gangguan ini muncul mengikuti Pembentukan sikatriks yang dapat disebabkan antara lain oleh adanya destruksi pada konjungtivitis interstitial yang dapat dilihat pada penyakit trakoma, konjungtivitis membranosa diphteri, SJS, pempfigus atau konjungtivitis pemfigoid - Epitelial xerosis Timbul akibat adanya hipovitaminosis A. gejala xerosis dapat dilihat bersamaan dengan gejala buta senja. Pengobatan dapat diberikan preparat air mata buatan (0.7% metilseluosa atau 0.3% hipromelosa atau polvinil alkohol) e. Diskolorisasi konjungtiva

1.4. Penyakit pada kornea


A. Definisi

14

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis superficial dan profunda atau berdasasrkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keracunan obat, reaksi alergi pada pemberian obat topikal dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun.4

B.

Klasifikasi 4,7,15

Gangguan kornea dapat menyebabkan ulserasi kornea yang mengakibatkan pembentukan parut pada mata. Hal ini akan berakibat gangguan penglihatan pada mata. Gangguan ini dapat dihindari dengan melakukan diagnosis dini, meminimalkan faktor resiko dan pengobatan segera. Salah satu gangguan kornea umumnya ulkus kornea. Berdasarkan penyebabnya ulkus kornea dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: 1. Infeksi a. Bakteri b. Virus c. Jamur d. Klamidia e. Protozoa f. spirochaeta 2. Non infeksi a. Ulkus mooren b. Keratitis alergi (keratokonjungtivitis fliktenular) c. Keratititis marginal pada penyakit autoimun d. Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A Ulkus kornea yang khas pada avitaminosis A terletak di sentral dan bilateral berwarna kelabu, indolen, kehilangan kilau kornea disekitarnya, dan sering timbul perforasi. Sering disertai gangguan konjungtiva berupa keratinisasi epitel konjungtiva yang menybabkan timbulnya bercak bitot.

15

e. Keratitis neurotropik f. Keratitis pajanan

1.5. Penyakit pada Retina


1.5.1.

Penyakit pada Makula9

a. Degenerasi makula terkait dengan usia b. Degenerasi makula noneksudatif c. Degenerasi makula eksudatif d. Korioretinopati serosa sentralis e. Edema makula f. Gangguan peradangan yang mengenai makula
g. Angioid streaks/coreng angioid

h. Degenerasi makula miopik i. Membran makula epiretina j. Makulopati traumatik k. Distrofi macula

1.5.2. Penyakit retina perifer a. Ablasio retina b. Retinopati prematuritas c. Degenerasi retina. Kelainan degenerasi retina berupa distrofi makula ataupun distrofi sel kerucut dan batang.

16

1.6. Vitamin A
Vitamin A diperoleh dari asupan makanan yang mengandung vitamin A. Terdapat 3 bentuk vitamin A yang penting bagi tubuh yaitu retinol, beta karoten, dan karotenoid. Dalam tubuh retinol merupakan bentuk dominan dari vitamin A. Begitu diserap dalam saluran pencernaan, vitamin A dibawa ke hati untuk disimpan.10 Saat dibutuhkan, vitamin A akan dilepas dalam bentuk retinol yang akan berikatan dengan protein, bentuk dari ikatan tersebut disebut juga retinol binding protein (RBP). RBP nantinya akan berikatan dengan sel-sel reseptor yang dituju kemudian protein akan melepaskan retinol sehingga dapat masuk kedalam sel yang dituju.17 Pada proses penglihatan vitamin A berperan dalam kerja retina, pembentukan cairan yang melapisi permukaan bola mata, serta dalam pertumbuhan sel-sel epitel.10 Vitamin A berperan sebagai retinal (retinene) yang merupakan komponen dari zat penglihat rhodopsin. Rhodopsin ini mempunyai bagian protein yang disebut opsin yang menjadi rhodopsin setelah bergabung dengan retinene. Rhodopsin merupakan zat yang dapat menerima rangsang cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indera penglihatan. Rhodopsin terdapat pada bagian batang (rods) dari sel-sel retina. Dalam cones (kerucut) terdapat zat sejenis yang komponen proteinnya berbeda dengan opsin; zat penglihat yang terdapat di dalam cones disebut porphyropsin.1 Kekurangan vitamin A pada retina berpengaruh terhadap rhodopsin dalam retina yang berfungsi untuk adaptasi mata dari tempat yang terang menuju tempat yang gelap. Jika dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan gejala awal yaitu buta senja.

17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Xeroftalmia
A. Definisi Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin A termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang dapat berakibat kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa Yunani (xeros=kering; Opthalmos=mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat mata gagal memproduksi air mata atau yang dikenal dengan dry eye yang mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering.3

B. Etiologi Penyebab terjadinya xeroftalmia adalah karena kurangnya Vitamin A. Factor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia: 1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau Pro Vitamin A untuk jangka waktu yang lama

18

2. 3.

Bayi tidak diberikan ASI eksklusif Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A dan penyerapan Vitamin A dalam tubuh

4.

Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti pada penyekit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.

5.

Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis, menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan prealbumin yang penting dalam penyerapan Vitamin A.

C. Klasifikasi Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO (1982) yaitu:


- XN (Rabun Senja)1

Terjadi akibat gangguan pada retina sehubungan dengan adanya defisiensi vitamin A. Dari sudut fungsi terjadi hemeralopia atau nictalopia yang oleh awam disebut buta senja atau buta ayam (kotokan) yaitu ketidaksanggupan melihat pada cahaya remang-remang. Disebut buta senja karena terjadi bila sore hari (senja) anak masuk dari luar (cahaya terang) ke serambi rumah (cahaya remang-remang).
- X1A (Xerosis Konjungtiva)16,17,20,22

Umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis terjadi akibat proses keratinisasi lapisan superfisial epitel tanpa sel goblet yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A.

19

- X1B (Bercak Bitot / bitots spot)4,16,22

Merupakan suatu lapisan putih ireguler seperti sabun atau busa yang menutupi lesi xerosis konjungtiva terdiri dari deskuamasi epitel yang mengalami proliferasi dan keratinisasi disertai dengan pertumbuhan bakteri (seperti corynobacterium xerosis) tanpa disertai sel goblet.

http://motherchildnutrition.org/picture - X2 (Xerosis Kornea)4,16,17,22

Xerosis kornea yaitu adanya keratopati pungtata superfisisal yang terjadi akibat kekeringan pada daerah kornea. Pada pasien dengan xerosis kornea yang parah umumnya diikuti dengan defisiensi protein.
- X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,22

Mengenai kurang dari sepertiga dari permukaan kornea. Pada stadium ini mulai terjadi kerusakan lapisan stroma.
- X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,20,22

Mengenai lebih dari sepertiga dari permukaan kornea. Kerusakan lapisan sroma pada tahap ini umumnya dapat menyebabkan kebutaan.
- XS (Xeroftalmia Scar)4,16,20,22

Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral.

20

http://webeye.ophth.uiowa.edu.com/picture - XF (Xeroftalmia Fundus)4,16

Fundus xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu dimana pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. Pada bagian ini hanya dapat diamati dengan funduskopi

Gambar 5 D. Epidemiologi6,20

Xeroftalmia merupakan salah satu dampak dari kekurangan vitamin A yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang. KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk akibat kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) sehingga asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. 15-25% anak yang menderita KVA mengalami kebutaan total dan 58-60% mengalami buta sebagian. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup karena kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik ataupun gangguan penyerapan di saluran cerna. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Survei menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol < 20 ug/dl). Pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia mendapat penghargaan Helen Keller Award, karena mampu menurunkan prevalensi xeroftalmia sampai 0,3%. Keberhasilan
21

tersebut berkat program penanggulangan KVA dengan suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (merah) sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus yang ditujukan kepada anak balita (1-5 tahun) dan 1 kapsul pada ibu nifas (< 30 hari sehabis melahirkan). Setelah tahun 1997 kemudian sasaran diperluas kepada bayi umur 6 11 bulan dengan pemberian kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (biru). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari beberapa propinsi antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan menunjukkan munculnya kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat.

E. Patofisiologi1,2

Gejala kekeringan mata pada defisiensi vitamin A yang disebut xeroftalmia berturutturut terdiri atas buta senja, xerosis conjunctiva dan xerosis kornea yaitu kekeringan epitel biji mata dan kornea karena sekresi glandula lacrimalis menurun. Kornea kemudian mengoreng karena sel-selnya menjadi lunak disebut keratomalasia dan dapat mengakibatkan kebutaan. Pada penyembuhan luka kornea ini dapat terjadi luka parut yang terdiri atas jaringan yang tidak tembus cahaya. Luka parut ini kadangkadang membonjol keputihan (atau kemerahan) disebut leucoma (biji kapas). Terdapat kelainan pada sklera di sebelah lateral dari kornea yang disebut bercak Bitot. Kelainan ini tampak sebagai kumpulan gelembung-gelembung busa sabun yang dapat dihapus dengan kapas dan meninggalkan epitel kering dengan pigmen kecoklatan. Xeroftalmia dibagi dalam 4 stadium yaitu stadium I (hemeralopia), stadium II (xerosis konjungtiva dengan atau tanpa hemeralopia dengan atau tanpa bercak Bitot), stadium III (stadium II ditambah xerosis kornea dan sering disertai ulkus kornea), stadium IV (keratomalasi). Pada stadium III dapat timbul ulkus kornea dan pada stadium IV kornea menjadi lembek seperti bubur berwarna keputih-putihan dan mudah mengalami perforasi. Umumnya keratomalasia timbul pada anak dengan defisiensi vitamin A kronis yang menderita campak atau penyakit berat lainnya. Penderita xeroftalmia sering juga ditemukan pada penderita malnutrisi energi protein.

22

Ciri histopatologis dari xeroftalmia berupa timbulnya bintik-bintik kering pada epitel kornea dan konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan peningkatan keratinisasi.

F. Diagnosa
1. Gejala klinis8,14

Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO (1982), gejala klinisnya yaitu :


- XN (Xerosis Nyctalopia)1

Ketidaksanggupan melihat pada cahaya remang-remang.

- X1A (Xerosis Konjungtiva)16,17,20,22

Penderita tidak dapat melihat di sore hari (nocturnal amblyopia) Rasa tidak nyaman pada mata seperti terasa panas. Mata terlihat xerotic

- X1B (Bercak Bitot / bitots spot)4,16,22

Terdapat bercak putih kekuningan seperti busa atau sabun

- X2 (Xerosis Kornea)4,16,17,22

Pandangan mata menjadi kabur Penglihatan pasien menurun pada ruangan terang Penderita melihat halo pada sekitar objek.

- X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,22

Pada tahap ini, pasien mengalami penurunan penglihatan yang irreversible.

- X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,20,22

Pada tahap ini pasien tidak dapat melihat apapun (total blindness).
23

- XS4,16,20,22

Pada stadium ini gejala yang dirasakan pasien bervariasi tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya. Keparahan gangguan penglihatan tergantung dari letak sikatriks.

2.

Pemeriksaan Fisik Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang terdiri dari : - Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan - Penilaian Status gizi - Pemeriksaan mata untuk melihat tanda-tanda xeroftalmia. Kelainan pada mata bergantung dari stadium yang diderita oleh pasien (klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO), yaitu :

XN (Xerosis Nyctalopia)1 Tidak terlihat ada tanda klinis

X1A (Xerosis Konjungtiva)16,17,20,22


Daerah konjungtiva tampak xerotic dan terdapat pigmentasi. Bila mata digerakkan akan terlihat lipatan yang timbul pada

konjungtiva bulbi.

X1B (Bercak Bitot / bitots spot)4,16,22


Terdapat bercak bitot yaitu bercak putih kekuningan seperti busa

atatu sabun yang umumnya bilateral dengan letak temporal ke arah limbus.

X2 (Xerosis Kornea)4,16,17,22
24

Pada mata pasien yang tampak berupa kekeruhan pada kornea.

Kekeruhan akan lebih tampak jelas ketika mata di tahan untuk berkedip.

X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,22 Pada tahap ini mulai terjadi kerusakan lapisan stroma pada kornea yang umumnya dari daerah inferior ke daerah sentral.

X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,20,22


Mulai terlihat nekrosis pada kornea disertai dengan vaskularisasi

kedalamnya.
Ulserasi yang melebihi stadium sebelumnya Edema pada kornea disertai dengan penonjolan disekitarnya Luluhnya kornea dengan komplit yang berakhir dengan

stafiloma kornea atau ptisis.

XS (Xerosis Sikatrik)4,16,20,22
Kornea mata tampak menjadi putih

Bola mata tampak mengecil Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut.

XF (Fundus Xeroftalmia)4,16
Pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang

tersebar dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. - Kelainan pada kulit : kering, bersisik

3.

Pemeriksaan Penunjang

25

1.Tes adaptasi gelap5,18,20 Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di dalam ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes adaptasi gelap juga dapat menggunakan alat yang bernama adaptometri. Adaptometri adalah suatu alat yang dikembangkan untuk mengetahui kadar vitamin A tanpa mengambil sampel darah menggunakan suntikan. Derajat gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi seseorang yang berada di dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas putih. 2.Sitologi impresi konjungtiva8,18 Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet dan sel-sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi. 3.Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm30 mm dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas . Kertas lakmus merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Ratarata hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm27 mm) sedangkan lakmus merah 10 mm (0 mm27 mm). a. Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan lahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm25 mm 11, 10 mm 30 mm 12 b. Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan efek iritasi lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus dirangsang dengan memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat aromatik
26

amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek sekresi. Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi basal karena stimulasi dasar terhadap refleks sekresi telah dihilangkan. 4. Pemeriksaan osmolaritas air mata, air mata mempunyai osmolaritas 302 + 6,3 mOsm/l pada individu normal, pada KCS osmolaritas air mata meningkat antara 330 dan 340 mOsm/l karena penurunan aliran dan peningkatan evaporasi dari air mata. Osmolaritas air mata mempunyai sensitivitas 90 % dan spesifisitas 95%, sayang besarnya biaya dan terbatasnya mikroosmolmeter untuk mengukur osmolaritas air mata mempunyai kegunaan klinis yang terbatas. 5. Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time)8,18,19 Pada pasien xeroftalmia kekurangan musin berakibat tidak stabilnya lapisan air mata yang mengakibatkan lapisan tersebut mudah pecah. Hal ini mengakibatkan terbentuk Bintik-bintik kering dalam film air mata (meniskus) sehingga epitel kornea atau konjungtiva terpajan ke dunia luar. Pada tes ini akan positif didapatkan sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea sehingga meninggalkan daerah-daerah yang kecil yang dapat dipulas dan daerah tersebut akan tampak jika dibasahi flourescein Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan berkurang pada penggunaan anastetik lokal, manipulasi mata atau dengan menahan palbebra tetap terbuka. Pasien dengan TBUT kurang dari 3 detik dklasifikasikan dalam mata kering. Jika terdapat defisiensi air, maka film air mata akan tampak lebih tipis. 6. Pemeriksaan kornea a.Pemulasan Fluorescein Pada pasein xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif daerah-daerah erosi dan terluka epitel kornea. b.Pemulasan Bengal Rose Pulasan bengal rose 1% didapatkan sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang mati yang tidak dilapisi oleh musin secara adekuat dari daerah kornea.

27

c.Pemulasan Lissamine hijau Pemulasan lissamine hijau memiliki fungsi yang sama dengan bengal rose. Didapatkan hasil positif sel-sel epitel yang mati pada penderita xeroftalmia.

4. Pemeriksaan laboratorium20,21 -

Pemeriksaan serum retinol dengan kromatografi pada keadaan defisiensi protein maupun infeksi didapatkan kadar serum vitamin A umumnya akan menurun dengan nilai serum retinol < 20 ug/dl.

Total retinol binding protein (RBP). Pemeriksaan dilakukan dengan imunologik assay. RBP merupakan komponen yang lebih stabil dari retinol namun nilainya kurang akurat karena dipengaruhi oleh serum protein

Kadar albumin < 2.5 mcg/dl pada penderita xeroftalmia Pemeriksaan darah rutin untuk menilai kemungkinan anemia dan infeksi Skoring normal:21 Hematokrit: Laki-laki: 40% - 60%; Perempuan: 38% - 48% Hemoglobin (g/dl): Laki-laki: 13,5 18,0 ; Perempuan: 12 16 Trombosit (sel-sel x 106/dl): 150 350 Leukosit (sel-sel x 103/dl): 4,5 11,0

G. Penatalaksanaan 1. Pencegahan Xeroftalmia disebabkan oleh defisiensi vitamin A dan sering dialami pada anak. 15-25% defisiensi vitamin A menyebabkan kebutaan total pada anak dan 58-60% menyebabkan buta sebagian. Karenanya untuk meminimalkan resiko terjadinya xeroftalmia pencegahan yang dapat kita lakukan antara lain: a. Pendekatan jangka pendek

28

Pemberian vitamin A dosis tinggi secara berkala. - < 6 bulan dan tidak memperoleh ASI: pemberian vitamin A 50.000 IU sebelum bayi menginjak umur 6 bulan - 6-12 bulan: Pemberian vitamin A 100.000 IU tiap 3-6 bulan - 1-6 tahun: Pemberian vitamin A 200.000 IU dalam bentuk kapsul berbasis minyak diberikan setiap 4-6 bulan - Ibu menyusui: Pemberian vitamin A satu kali sebanyak 20.000 IU setelah melahirkan atau 2 bulan setelahnya b. Pendekatan jangka menengah

Fortifikasi makanan dengan vitamin A seperti penambahan pada susu dan mentega c. Pendekatan jangka panjang

Meningkatkan pemberian makanan yang banyak mengandung vitamin A. Terdapat 2 jenis makanan yang mengandung vitamin A yaitu: Vitamin A yang berasal dari derivat hewani yang disebut retinol merupakan suatu preformed vitamin A yang dapat langsung digunakan oleh tubuh kita. Contohnya antara lain hati sapi atau ayam, minyak ikan, susu, keju dan telur. Vitamin A yang berasal dari buah-buahan ataupun sayuran termasuk dalam bentuk provitamin A atau beta karoten yang nantinya akan dikonversi menjadi retinol setelah masuk saluran pencernaan.contohnya antara lain wortel, tomat, mangga, kentang manis, bayam dan sayuran hijau lainnya.

29

2. Pengobatan Secara garis besar pengobatan xeroftalmia tebagi menjadi 4 hal yaitu: a. Memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein) Umumnya penderita xeroftalmia merupakan penderita PEM karena itu diperlukan pendapat ahli gizi untuk memperbaiki gizi anak dan dalam membantu pengobatan penyakit infeksi yang diderita. b. Mengobati penyakit infeksi ataupun gangguan yang mendasarinya Umumya anak dengan defisiensi vitamin A diikuti dengan infeksi ataupun gangguan-gangguan lainnya diantaranya campak, penyakit paru, gangguan elektrolit, dehidrasi dan gastroentritis. Karenanya diperlukan juga pengobatan terhadap penyakit-penyakit infeksi yang diderita anak. c. Memberi vitamin A (dosis terapeutik) Pemberian vitamin A yang dilarutkan dalam minyak dapat diberikan oral sedangkan vitamin A yang dilarutkan dalam air dapat diberikan dalam bentuk injeksi. Vitamin A dapat diberikan dengan dosis total 50.000-75.000 IU/kgBB dengan dosis maksimal 400.000 IU. Pemberian vitamin A berdasarkan WHO dijadwalkan sebagai berikut: - Usia > 1 tahun: 200.000 IU secara oral atau 100.000 secara injeksi muskular perlu diberikan segera dan diulang esoknya atau 4 minggu kemudian. - Usia < 1 tahun atau berat badan < 8 kg: Diberikan dosis setengah dari pasien diatas 1 tahun - Wanita dalam usia reproduktif (baik hamil atau tidak): Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot hingga xerosis konjungtiva perlu diberikan vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral setiap harinya selama 2 minggu. Sedangkan pada penderita dengan gangguan
30

pada korneanya diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas 1 tahun d. Mengobati kelainan mata Pada pasien dengan xeroftalmia terjadi kekeringan pada mata baik kornea maupun konjungtiva disertai dengan gangguan retina karena itu perlu diberikan terapi diantaranya:
-

Air mata buatan. Terdapat dalam sediaan tetes mata ataupun salep. Pemberian air mata buatan tergantung pada tingkat keparahan. Untuk kasus ringan diberikan air mata buatan 4 kali dalam sehari sebanyak 1 sampai 2 tetes sedangkan pada pasien dengan tingkat sedang hingga berat diberikan mulai dari 4 kali dalam sehari hingga setiap jam. Terdapat beberapa jenis air mata buatan diantaranya: o Derivat selulosa untuk kasus ringan
o Alkohol povinil meningkatakan persistensi lapisan air mata dan berguna

untuk defisiensi mukus o Sodium hyaluronat untuk perbaikan epitel kornea dan konjungtiva
-

Ointment atau salep berguna sebagai pelumas jangka panjang dan dapat

diberikan sewaktu tidur. Telah terbukti aman dan efektif dalam membantu proses penyembuhan. Sayangnya penggunaan obat ini meninggalkan bekas. 3. Tindakan Operatif Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan sumbatan di punctum yang bersifat temporer ( kolagen ) atau untuk waktu yang lebih lama ( silicon ). Tindakan ini untuk menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengan terapi termal ( panas ), kauter listrik, atau dengan laser

H. Komplikasi

31

Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi pada kornea yang memperberat penurunan penglihatan. Untuk komplikasi infeksi bakteri sekunder diberikan antibiotik berupa topikal maupun sistemik. Antibiotik topikal yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin (0.3%) atau ofloxacin (0.3%). Sedangkan antibiotik sisitemik yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin 750 mg dua kali dalam sehari atau sefalosporin.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1. Kesimpulan Xeroftalmia merupakan suatu kelainan pada mata yang terjadi akibat defisiensi vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan yang disertai pada kelaina pada mata umumnya terjadi pada anak berusia 6 bulan samapai 4 tahun dan sering ditemukan pada anak dengan PEM (protein energi malnutrisi).4 Gejala klinik yang ditemukan pada pasien xerophtalmia berupa
32

gangguan retina berupa rabun senja hingga kekeringan yang terjadi pada konjungtiva dan kornea yang disebut juga xerosis. Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO (1982), yaitu: - X1A xerosis konjungtiva, umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis terjadi akibat adanya proses keratinisasi lapisan superfisial epitel tanpa sel goblet yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A. manifestasi klinis berupa daerah konjungtiva yang kering, dan tampak kusam. Xerosis umumnya berhubungan dengan penebalan, pengeriputan, dan pigmentasi pada konjungtiva. xerosis biasanya terjadi pada konjungtiva bulbi didaerah celah kelopak kantus eksternus. Bila mata digerakkan akan terlihat lipatan yang timbul pada konjungtiva bulbi. - X1B bercak bitot (bitots spots), merupakan suatu lapisan putih ireguler seperti sabun atau busa yang menutupi lesi xerosis konjungtiva, terdiri dari deskuamasi epitel yang mengalami proliferasi dan keratinisasi disertai dengan pertumbuhan bakteri (seperti corynobacterium xerosis) tanpa disertai sel goblet. - X2 xerosis kornea, yaitu adanya keratopati pungtata superfisisal yang terjadi akibat kekeringan pada daerah kornea. Manifestasi yang tampak berupa kekeruhan pada kornea akibat adanya lapisan keratin. Pada tahap ini, perkembangan dari gangguan akibat defisiensi vitamin A diantaranya pandangan mata menjadi kabur, penglihatan pasien menurun pada ruangan terang, dan pasien melihat halo pada sekitar objek. Pada pasien dengan xerosis kornea yang parah umumnya diikuti dengan defisiensi protein. - X3A ulserasi kornea / keratomalasia yang mengenai kurang dari sepertiga dari permukaan kornea. Pada tahap ini mulai terjadi kerusakan lapisan stroma pada kornea yang umumnya dari daerah inferior ke daerah sentral.

33

- X3B ulserasi kornea / keratomalasia yang mengenai lebih dari sepertiga dari permukaan kornea. Pada stadium ini mulai terlihat nekrosis pada kornea disertai dengan vaskularisasi kedalamnya. Kerusakan lapisan sroma pada tahap ini umumnya dapat menyebabkan kebutaan. - XS gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi tanpa mengganggu penglihatan ataupun di sentral yang dapat mengganggu. - XF Fundus xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu dimana pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. Terdapat 4 hal penting dalam penatalaksanaan xeroftalmia, yaitu: a. Memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein) b. Mengobati penyakit infeksi ataupun gangguan yang mendasarinya c. Memberi vitamin A (dosis terapeutik) Pemberian vitamin A berdasarkan WHO dijadwalkan sebagai berikut: - Usia > 1 tahun: 200.000 IU secara oral atau 100.000 secara injeksi muskular perlu diberikan segera dan diulang esoknya atau 4 minggu kemudian. - Usia < 1 tahun atau berat badan < 8 kg: Diberikan dosis setengah dari pasien diatas 1 tahun - Wanita dalam usia reproduktif (baik hamil atau tidak): Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot, hingga xerosis konjungtiva, perlu diberikan vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral
34

setiap harinya selama 2 minggu. Sedangkan pada penderita dengan gangguan pada korneanya, diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas 1 tahun d. Mengobati kelainan mata - Air mata buatan, diberikan tiap 3-4 jam jika terdapat kekeringan pada mata Retinoic acid 0.1%, satu hingga tiga kali dalam sehari untuk membantu

proses penyembuhan. Namun penggunaan obat ini meninggalkan bekas.

3.2. Saran Vitamin A mempunyai peran penting dalam fungsi penglihatan, metabolism umum, dan membantu dalam proses reproduksi. Karenanya sangat penting agar kadar vitamin A dalam tubuh terpenuhi dalam tubuh terutama bagi anak-anak diusia balita. Pada pasien yang sudah menderita xeroftalmia, pengobatan utama yang diperlukan adalah vitamin A dengan dosis sesuai dengan usia pasien dan apabila sudah terjadi kekeringan ataupun ulkus pada kornea maka diperlukan pengobatan tambahan sesuai dengan gangguan yang terjadi pada mata pasien.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Sedia Oetama, Achmad Djaeni. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi.

Jilid I. Jakarta. Dian Rakyat. 2008. Hal. 111-112


2. Abdoerrachman, MH, MB Affandi ,dkk. Oftalmologi dalam Buku Kuliah Ilmu

Kesehatan Anak. Jakarta. Info Medika. 1996. Hal. 909-910


3. Ilyas SH. Anatomi dan Fisiologi Mata dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. Balai Penerbit

FKUI. 2005. Hal. 1-12


4. Ilyas SH. Mata Merah dengan Penglihatan Normal dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta.

Balai Penerbit FKUI. 2005. Hal. 140-142


5. Ilyas SH. Pemeriksaan Anatomi dan Fisiologi Mata serta Kelainan pada Pemeriksaan

Mata dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2005. Hal. 38
6. Hamurwono Guntur, Marianas Marias, dkk. Kelainan Mata Pada Anak dalam Ilmu

Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta. Sagung Seto. 2002. Hal. 229-230
7. Riordan-Eva Paul, Anatomi dan Embriologi Mata dalam Vaughan & Asbury Oftalmologi

Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. 2007. Hal 8-19


36

8. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Konjungtiva dalam Vaughan & Asbury Oftalmologi

Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. 2007. Hal 97-123


9. Fletcher EC, Chong NHV, shetlar DJ. Retina dalam Vaughan & Asbury Oftalmologi

Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. 2007. Hal 186-209


10. Ansstas

George.

Vitamin

Deficiency.

2012.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article
11. Heiting Gary. Vitamin A and Beta Carotene: Eye Benefits. Diunduh dari:

http://www.allaboutvision.com/nutrition/vitamin_a.htm
12. Gumus Koray, Cavanagh DH. The Role of Inflammation and antiinflammation Therapies

in Keratokonjunctivitis Sicca. Clinical Ophthalmology. Dallas. Dove Medical Press Ltd. 2009. Hal 57-67
13. Gayton JL. Etiology, Prevalence, and Treatment of Dry Eye Disease. Clinical

Ophthalmology. Dallas. Dove Medical Press Ltd. 2009. Hal 405-412


14. Javadi MA, Feizi Sepehr. Dry Eye Syndrome. J Ophtalmic Vis Res. 2011. Hal 192-198 15. Khurana AK. Disease of Kornea: Comprehensive Ophthalmology. Ed. 4. New Delhi.

New Age International (P) Ltd. 2007. Hal 91-96


16. Khurana AK. Sistemic Ophthalmology: Comprehensive Ophthalmology. Ed. 4. New

Delhi. New Age International (P) Ltd. 2007. Hal 434-436


17. Sommer Alfred, West KP. Xerophtalmia and Keratomalacia: Vitamin A Deficiency

Health Survival and Vision. New York. Oxford University Press. 1996. Hal 99-133
18. Sommer Alfred. Xerophtalmia and Keratomalacia: Nutritional Blindness. 1982. New

York. Oxford University Press. 1996. Hal 404-411


19. Wijaya

Chandra,

Terabunan

Joses,

dkk.

Keratitis.

2012.

Diunduh

dari:

http://www.scribd.com/doc/84409823/keratitis
20. Kurniawan Anie, dkk. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia Pedoman Bagi

Tenaga Kesehatan diunduh dari: http://gizi.depkes.go.id/2003.

37

21. Anderson Sylvia, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses

Penyakit. Ed 6. Jakarta. EGC. 2007. Hal. 740.


22. Gunawan Wasidi. Oftalmologi Pediatri dalam Ilmu Kesehatan Mata. Ed 1. Yogyakarta.

Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUGM. Hal. 283-285.

38

Anda mungkin juga menyukai