Anda di halaman 1dari 5

RESPON METABOLIK TERHADAP TRAUMA

Patofisiologi Metabolisme Pada Trauma dan Luka Bakar


Hipermetabolisme

Respon hipermetabolik setelah trauma mayor dikarakteristikkan dengan respon sirkulasi


hiperdinamik berupa peningkatan temperatur tubuh, peningkatan konsumsi oksigen dan glukosa,
peningkatan produksi karbon dioksida, peningkatan glikogenolisis, proteolisis, dan lipolisis yang
menyebabkan pengurangan massa tubuh, kelemahan otot, imunodepresi, dan penyembuhan luka
yang buruk; termasuk peningkatan ekstrem pada Pemakaian Energi Istirahat (Resting Energy
Expenditure/REE) lebih dari 150 persen dari kondisi normal.

Hipermetabolisme menyebabkan penyimpanan protein dan lemak berkurang, sehingga terjadi


degradasi protein tubuh yang secara klinis terlihat dari kehilangan massa tubuh dan pengecilan
otot (muscle wasting). Kondisi hiperkatabolik menyebabkan terjadinya supresi imun sehingga
akan rentan terhadap infeksi dan penyembuhan luka akan buruk. Mekanisme dari fenomena ini
masih belum jelas, namun peningkatan kehilangan panas dari luka bakar, peningkatan aktivitas β-
adrenergik, dan respon inflamasi sistemik menjadi faktor yang berkontribusi pada keadaan ini.

Kebutuhan Energi

Pada kasus luka bakar anak, luas permukaan tubuh, berat badan, dan predicted basal energy
expenditure (PBEE) diperoleh dari dari rumus Harris-Benedict dikombinasikan dengan REE.
Secara umum, rumus yang digunakan adalah REE = 1.29 x PBEE.

Perubahan Metabolisme Substrat

Metabolisme Karbohidrat

Produksi glukosa meningkat pada pasien dengan penyakit yang berat, termasuk luka bakar berat.
Proses glukoneogenesis meningkat terutama dari alanin (asam amino mayor yang berasal dari
otot); glikogenolisis juga selanjutnya terjadi dan meningkat. Peningkatan glukoneogenesis dari
asam amino menyebabkan hilangnya ketersediaan asam amino untuk mempertahankan sintesis
dan homeostasis dari protein tubuh. Kehilangan sejumlah nitrogen tubuh yang utamanya oleh
ekskresi dalam bentuk urea juga berkontribusi menyebabkan berkurangnya penyimpanan protein
tubuh.

Kadar insulin plasma biasanya akan normal atau sedikit meningkat pada pasien luka bakar. Respon
stress trauma menyebabkan kemampuan normal insulin untuk meregulasi penyerapan glukosa
terganggu. Kadar insulin plasma yang tetap normal atau meningkat meskipun terjadi
gluconeogenesis didefinisikan sebagai suatu resistensi insulin hepatik. Berdasarkan penelitian
diketahui bahwa peningkatan kadar katekolamin tidak berpengaruh kepada peningkatan proses
gluconeogenesis; sebaliknya peningkatan kadar glucagon memicu peningkatan proses
gluconeogenesis. Peran kortikosteroid dalam memicu produksi glukosa pada kasus luka bakar
belum dapat dijelaskan, namun penelitian eksperimental menunjukkan bahwa kortisol mempunyai
peran penting dalam meningkatkan efektivitas dari glucagon.

Respon stress pada trauma memicu terjadinya lipolisis yang dimediasi oleh peningkatan aktivitas
adrenergik sehingga free fatty acid (FFA) akan banyak terbentuk. FFA yang meningkat ini hanya
digunakan sebagian kecil sebagai sumber energi; sekitar 70 persen mengalami reesterifikasi
menjadi trigliserida. Peningkatan FFA ini menyebabkan peningkatan sintesis trigliserida terutama
di hati. Respon stress pada trauma juga mengakibatkan very-low-density lipoprotein (VLDL) tidak
dapat diangkut ke jaringan perifer sehingga terdeposisi di hati.

Kebutuhan Protein

Trauma mayor, luka bakar, dan sepsis menyebabkan katabolisme protein tubuh dengan cepat. Di
saat protein otot dipecahkan, protein baru mulai diproduksi di hati. Asam amino dibutuhkan untuk
sintesis protein selama proses penyembuhan luka dan untuk meningkatkan aktivitas imunologis.
Untuk meminimalkan katabolisme protein, dibutuhkan pemberian protein dan atau asam amino
yang lebih banyak dari biasanya. Pada dewasa, pemberian berkisar antara 1.2 hingga 1,5
gram/kgBB/hari dan untuk anak-anak berkisar 2 gram/kgBB/hari.

Respon Hormonal Terhadap Trauma


Sistem saraf berperan penting dalam mengaktifkan respon stress terhadap trauma. Sistem limbik
diaktivasi oleh rasa takut dan emosi melalui jalur talamus dari stimulus nosiseptif perifer.
Hipoksemia, hiperkapnia, dan hipotensi mengubah refleks kardiovaskular dan refleks respirasi
yang diregulasi oleh batang otak (brainstem). Endotoksin dari bakteri dan mediator inflamasi
seperti interleukin-1 (IL-1), dan tumor necrosis factor-α (TNF- α) menstimulasi hipotalamus
secara langsung untuk mengubah nilai set point (acuan tubuh) termoregulasi dan mengubah fungsi
sistem endokrin.

Katekolamin (norepinefrin dan epinefrin) merupakan mediator utama dalam respon stress terhadap
trauma atau luka bakar. Epinefrin mempercepat terjadinya gluconeogenesis, glikogenolisis,
lipolisis adiposit, dan proteolisis otot untuk meningkatkan kemampuan gluconeogenesis dan untuk
mempertahankan kada glukosa darah. Peningkatan katekolamin bersamaan dengan peningkatan
aktivitas saraf simpatis akan memicu terbentuknya glukagon.

Kadar kortisol dalam darah juga meningkat tajam pada pasien luka bakar derajat berat karena
terjadi gangguan pada ritme sirkardian dari kadar plasma kortisol. Kortisol menstimulasi
gluconeogenesis, meningkatnya proteolisis dan sintesis alanin, memfasilitasi lipolisis, dan
mempunyai efek antiinflamasi serta menyebabkan resistensi insulin. Kortisol, glukagon, dan
katekolamin bersama-sama mengalihkan penggunaan glukosa dari otot skeletal ke organ sentral
seperti otak dan juga menyebabkan resistensi insulin.

Pengaruh Perubahan Lingkungan Sekitar


Laju metabolik meningkat hingga 50 persen pada pasien luka bakar dengan luas permukaan tubuh
lebih dari 20 sampai 30 persen dan bahkan bisa lebih pada pasien dengan luka bakar yang lebih
luas atau pada pasien luka bakar dengan sepsis. Meningkatkan temperatur di sekitar luka hingga
33oC akan mengurangi kondisi hipermetabolisme secara signifikan. Temperature yang rendah
akan meningkatkan laju metabolic dan produksi katekolamin sehingga meningkatkan resiko
kematian. Insidensi sepsis berkaitan dengan peningkatan katabolisme protein sehingga eksisi luka
bakar yang segera dalam 24 jam awal dapat mengurangi efek katabolisme protein.

Modulasi Nutrisi
Pada pasien luka bakar derajat sedang-berat dapat ditemukan penurunan berat badan hingga lebih
30 persen meskipun telah mendapatkan nutrisi maksimal. Pemberian nutrisi enteral yang cepat dan
segera dapat membatasi hipermetabolisme, dan melindungi mukosa intestinal, sehingga
membatasi translokasi bakteri. Pemberian nutrisi enteral dengan komposisi 20 persen protein, 50
persen karbohidrat, dan sisanya lemak linoleat rendah dapat mencegah penurunan berat badan.

Modulasi Hormonal
Setelah terjadi trauma, metabolisme tubuh diambilalih oleh aksis simpatetis adrenal. Kadar
hormon tiroid yang pada kondisi normal meregulasi metabolisme akan menurun; sebaliknya terjadi
peningkatan pada kadar norepinefrin dan epinefrin.

Faktor-Faktor Pertumbuhan (Growth Factors) dan Sitokin

Gangguan pada endotel pembuluh darah menyebabkan terjadinya pembekuan darah, inflamasi dan
proses perbaikan (repair). Degranulasi platelet, kerusakan endotel, dan leukosit berperan
mengaktifkan growth factor dan sitokin di tempat luka yang kemudian akan meregulasi terjadinya
degradasi enzimatik, fagositosis, kemotaksis, angiogenesis dan reepitelialisasi. Growth factor dan
sitokin yang diproduksi secara local dari tempat luka akan menyebar ke aliran darah dan dibawa
menuju organ distal atau ke jaringan dan menstimulasi produksi mediator lain, growth factor dan
sitokin. Dengan menyebarnya ke sirkulasi, maka lebih banyak jaringan yg terlibat dalam
mekanisme kaskade (cascading mechanism) (Gambar di bawah). Terjadi pergeseran sintesis
protein di hati yang diakibatkan oleh aktivitas IL-6 mengaktivasi terbentuknya type II acute-phase
proteins. Sehingga terjadi penurunan produksi protein utama seperti albumin, prealbumin,
transferrin, retinol-binding protein dan mengganggu fungsi transport protein. Kadar growth factor
dan insulin-like growth factor-1 akan berkurang seiring dengan terjadinya luka bakar

Agen Reseptor Beta Adrenergik

Respon sirkulasi hiperdinamik terhadap luka bakar menyebabkan kenaikan kadar katekolamin
hingga 10 kali lipat, dan berperan dalam peningkatan energi pengeluaran (energy expenditure).
Takikardia berisar antara 120 hingga 150 bpm terus terjadi berminggu-minggu pada pasien dengan
luka bakar berat. Disfungsi jantung (miokarditis, kardiomiopati, iskemia miokardium) biasanya
mengakibatkan kematian.

Pembatasan aktivitas β-adrenergik terbukti baik pada pasien luka bakar derajat berat. Pemberian
propranolol intravena 2 mg/kg/hari selama 5 hari terbukti menurunkan detak jantung, left
ventricular work index, dan rate pressure product, namun kadar katekolamin tidak terpengaruh.
Pemberian ini meningkatkan indeks jantung, indeks pengantaran oksigen, dan konsumsi oksigen.
Steroid Anabolik

Agen anabolik lainnya yaitu hormone steroid (oksandrolon, testosterone, dan


dihidroepiandrosteron sulfat) terbukti dapat meningkatkan sintesis protein otot. Oksandrolon
berdasarkan penelitian dapat meningkatkan berat badan dan digunakan pada anak dengan
gangguan pertumbuhan.

Hormon Antagonis

Agen antagonis terhadap mediator hipermetabolisme dan katabolisme protein seperti


glukokortikoid (glucocorticoid synthesis inhibitors misalnya ketokonazol atau glucocorticoid
receptor blockers misalnya mifepriston) dan cytokine-blocking agents dapat digunakan sebagai
terapi efektif untuk memberikan efek antikatabolik dan juga meningkatkan fungsi imun.

Kesimpulan
Respon hipermetabolik terhadap trauma dan luka bakar dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan,
kontrol infeksi, dan penggunaan agen topikal atau sistemik yang mempengaruhi inflamasi local
maupun sistemik. Kondisi katabolisme dapat dibatasi dengan pemberian nutrisi enteral yang
adekuat dan segera. Intervensi hormonal atau intervensi farmakologis dengan agen β-
adrenoreseptor dan agen anabolik lainnya dapat meningkatkan penutupan luka dan mencegah
katabolisme protein yang berhubungan dengan hipermetabolisme. Dengan menggabungkan
modalitas tersebut -disertai dengan terapi operatif pada luka bakar- akan menurunkan mortalitas
dan morbiditas secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai