Dosen Pengampu:
Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH
dr. Enny Probosari, M.Si.Med
Disusun oleh:
Daniel Adi Charisma
22030113130136
Daniel Korre
22030113120046
Farah Fauziyah
22030113120028
Gita Ramayani
22030113140118
Monikasari
22030113140100
Nur Rochmah
22030113120068
Nur Shibrina
22030113130084
Rahma Hardianti
22030113120010
Universitas Diponegoro
Semarang
2016
penurunan luaran jantung dan urine. Oleh karena itu, terapi yang diberikan ditujukan untuk
menghentikan perdarahan, menjaga keseimbangan cairan, dan mempertahankan status
oksigen di jaringan1.
Apabila pasien dapat melewati fase ebb, maka fase flow pun dimulai. Pada fase ini terjadi
peningkatan konsumsi oksigen, hipertemia, peningkatan ekskresi nitrogen, dan peningkatan
aktivitas katabolisme. Respon imun dan hormonal tubuh juga akan berubah sehingga
hipermetabolisme dan reaksi katabolik terjadi. Pelepasan glukagon, kortisol, epinefrin,
neoepinefrin, dan respon imun akan memicu proses glikogenolisis, glukoneogenesis,
mobilisasi asam lemak, dan penurunan sintesis protein. Dalam usaha untuk menaikkan kadar
gula darah, proses glukoneogenesis yang terjadi membutuhkan alanin dan glutamin sebagai
substrat. Penggunaan alanin dan glutamin sebagai bahan baku dapat bermasalah. Alanin
diperoleh dari katabolisme sel otot rangka dan glutamin dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan enterosit dan limfosit T. Tidak hanya itu, sintesis asam amino cenderung
menurun akibat dari pelepasan hormon tersebut. Selain perubahan metabolik, protein fase
akut pada plasma juga meningkat. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi sitokin, IL-1, IL6, leukotrien, TNF, dan interferon akibat adanya cedera. Peningkatan produksi sitokin akan
menurunkan nafsu makan, demam, radang, dan kelainan metabolisme yang ada hubungannya
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya1. Oleh karena itu, terapi yang diberikan pada fase
ini lebih ditujukan untuk mengatasi infeksi atau trauma yang terjadi sehingga kondisi
hipermetabolik dapat teratasi. Terapi gizi yang diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan.
Aksis hipotalamushifofisisadrenal (HPA) ikut berperan dalam mekanisme timbulnya
respons metabolik. Mekanisme yang memulai, mengatur, dan mempertahankan respon ini
belum sepenuhnya dipahami. Pasien yang mengalami trauma akan ditemukan hormon kontra
insulin seperti kortisol, glukagon dan katekolamin yang meningkat. Kadar insulin juga
meningkat tapi tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang terjadi, selain hormon kontra
insulin yang ada hormon pertumbuhan, aldosteron dan vasopresin juga meningkat.
Mekanisme peningkatan hormon ini diduga sebagian melalui impuls saraf. Impuls dari saraf
aferen akan merangsang sekresi corticotropin releasing factor (CRF) dan vasoactive intestinal
peptide (VIP) yang akan merangsang hipofisis mengeluarkan prolaktin, vasopressin, hormon
pertumbuhan dan propoiomelanocortin yang akan diubah menjadi adrenocorticotropic
hormone (ACTH).
Kadar vasopresin akan meningkat pada berbagai kondisi stres seperti tindakan pembedahan,
pneumonia, infark miokard dengan atau tanpa gagal jantung dan terapi elektrokonversi.
Setelah tindakan pembedahan vasopresin akan meningkat dan menetap sampai beberapa hari
kemudian, lama dan kadar dalam darah sesuai dengan beratnya tindakan pembedahan.
Corticotropin releasing factor bekerja sinergistik dengan vasopresin merangsang sekresi
pelvis
yang
meningkat
hanya
epinefrin.
Kadar plasma
epinefrin
dosis
fisiologis
epinefrin
menyebabkan
glikogenolisis,
meningkatnya
Pada keadaan stres sekresi kortisol meningkat, pada pasien dengan pemberian
etomidate yang menghambat sekresi adrenal menunjukkan angka kematian yang
tinggi demikian pula pada hewan coba yang dibuang kelenjar adrenalnya atau pada
pasien dengan penyakit Addison menunjukkan angka mortalitas yang tinggi. Hal ini
menunjukkan kortisol merupakan hormon vital karena mampu mensuplai penggunaan
glukosa dari otot ke otak, memudahkan aktivitas katekolamin dan mencegah reaksi
imun yang berlebihan saat terjadi trauma. Konsentrasi kortisol berbanding lurus
dengan lama dan beratnya operasi. Hormon androgen juga terpengaruh saat terjadinya
trauma. Penelitian menunjukkan hormon ini menurun saat pembedahan dan serangan
jantung. Pada penelitian menunjukkan hormon androgen dan estradiol menurun pada
pasien sakit kritis.
3. Glukagon dan Insulin
Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pankreas dan insulin dihasilkan oleh sel beta
pankreas kemudian masuk ke vena portal sehingga sel hati sangat terpapar oleh kedua
hormon ini dengan konsentrasi tinggi. Glukagon meningkatkan siklik AMP sel hati
dan meningkatkan glukoneogenesis, pada keadaan kelaparan dan ketoasidosis
diabetik glukagon juga meningkatkan glikogenolisis, lipolisis dan pembentukan benda
keton. Pelepasan glukagon dirangsang oleh hipoglikemia, asupan protein, pemberian
infus asam amino, endorfin, olahraga, GH, epinefrin dan glukokortikoid. Sedangkan
penghambatan sekresi glukagon melalui intake dan infus glukosa, somatostatin dan
insulin.
Insulin mempunyai efek sebaliknya dari glukagon yaitu menurunkan siklik AMP dan
mencegah glukoneogenesis. Insulin mempunyai efek anabolik, meningkatkan transpor
glukosa melalui membran ke sel otot dan sel lemak, merangsang pembentukan
glikogen, menghambat liposisis di jaringan lemak, menghambat ketogenesis di hati,
meningkatkan laju transport asam amino dan sintesis protein di otot, hati dan jaringan
lemak. Rasio glukagon dengan insulin inilah yang menentukan laju glukoneogenis.
Pada keadaan kelaparan rasio ini meningkat (glukagon>insulin) dan glukoneogenesis
meningkat dan sebaliknya pada keadaan maka rasio ini terbalik.
Pada kebanyakan tindakan pembedahan, glukagon pasien meningkat 1848 jam
setelah pembedahan walaupun kadar puncaknya lebih lambat dibanding kortisol, rasio
glukagon : insulin juga meningkat. Kadar insulin menurun karena meningkatnya
katekolamin dan hilangnya lewat urin, keadaan dengan meningkatnya hormon kontra
insulin dan rendahnya kadar insulin merangsang glukoneogenesis. Pada keadaan
sepsis kondisi ini tidak terjadi sehingga timbul hipoglikemia. Pascaoperasi biasanya
Monosit juga akan mengaktivasi faktor transkripsi seperti PRRs intraselulerm, NOD1
dan NOD2 yang akan mengaktivasi sistem imunitas tubuh melalui NF- KB ketika
-
Imunitas adaptif berfungsi menghasilkan respon yang spesifik terhadap patogen dan
menghasilkan imunitas protektif terhadap re-infeksi oleh organisme yang sama.
Makrofag memfagosit patogen asing seperti bakteri dan virus akan memunculkan
protein permukaan dari mikroorganisme tersebut pada tempat pengikatan Major
Histocompatibilty Complex (MHC) akan menampilkan protein untuk menarik sel T
spesifik yang berperan dalam aktivasi sitokin serta antibodi yang sesuai. Limfosit B
(sel B) menghasilkan berbagai macam antibodi dan pengenalan antigen oleh reseptor
atau menginduksi daya tahan dari sel T yang terlibat sehingga dapat menimbulkan
memori imunologik. Sel T-helper (Th) yang terbagi menjadi 2 tipe (Th1 dan Th 2)
berfungsi untuk melawan infeksi, produksi antibodi (terutama pada respin IgE), dan
patogenesis reaksi hipersensitivitas.
Pada kondisi syok septik, ditemukan adanya peningkatan sel T regulator yang
berfungsi memodulasi pematangan sel imun untuk membatasi respon adaptif serta
apopotosis limfosit dan sel dendritik. Hilangnya sel limfosit dan dendritik akan
menyebabkan kerusakan pada imunitas adaptif. Pada fase awal respon imunitas tubuh,
Th-1 mendominasi karena berkaitan dengan infeksi patogen, selanjutnya terjadi
pergeseran menuju Th-2 ketika makrofag dan sel dendritik memfagosit produk
apoptosis sel imun dan kemudian menghasilkan berbagai sitokin. Pergeseran Th-1
menjadi Th-2 berdampak pada terjadinya imunoparesis.
aktivasi neutrofil menyebabkan kerusakan oleh kaskade kejadian yang mengarah pada
pembentukan radikal bebas oksigen O2 dan OH dalam sel endotel. Sehingga dari
interaksi endotel-leukosit menghasilkan cidera jaringan yang terjadi pada tingkat sel
endotel maupun jaringan bawahnya.
Pada sepsis, respon inflamasi mengalami istirahat dari anti-inflamasi sehingga dapat
5
Multiorgan Distress Syndrome (MODS) yang sering disebut juga sebagai kegagalan organ
multisistem. Istilah lain yang sering digunakan adalah kondisi dari komplikasi sepsis dan
SIRS. MODS/MOSF termasuk disfungsi jantung, pernapasan dan sistem ginjal.
Kondisi patologis sepsis berat atau syok sepsis dapat mempengaruhi setiap komponen sel
mikro sirkulasi, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit dan jaringan. Mikro
sirkulasi menentukan ketersediaan oksigen untuk setiap sel dan jarigan, yang menjamin organ
dapat berfungsi dengan baik, jika tidak ditangani dengn baik dapat menyebabkan distress
respirasi pada jaringan dan sel, yang lebih lanjut akan menyebabkan disfungsi sirkulasi
makro dan akan menyebabkan kegagalan organ dan kegagalan multi organ.
Selain mengganggu konsumsi oksigen pada tingkat sel atau mitokondria, sepsis juga dikaitka
dengan gangguan beberapa organ, seperti :
A Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler sepsis dikaitkan dengan gangguan bruto fungsi
kardiovaskuler, seperti :
- Penurunan kontrol vasomotor
Pada sepsis terjadi vasodilatasi dan kehilangan reaktifitas katekolamin yang
berkaitan dengan gangguan dalam regulasi NO. NO memainkan peran penting
dalam regulasi vasomotor endotelium dan hemodinamik, maka dalam kondisi
fisiologis normal terjadi sintesis basal dan pelepasan NO oleh sel endotel.
Selanjutnya NO akan berdifusi ke sel-sel otot halus dan mengaktifkan enzim
guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan guanosin 3, 5-monofosfat
siklik (c GMP). Selama keadaan sepsis produksi NO yang berlebihan
menyebabkan vasodilatasi sistemik yang luas, yang dapat mengurangi suplai
-
oksigen ke jaringan.
Disfungsi jantung
Terjadi disfungsi miokard yaitu penurunan tingkat kontraksi jantung dan relaksasi
sebagai respon terhadap sepsis. Hal ini berhubungan dengan absorbsi dan release
Ca2+ dari retikulum sarkoplasma melalui saluran Ca2+ di sarcolemma atau reseptor
ryanodine. Penurunan jumlah reseptor dalam fase hipodinamik dari sepsis
menyebabkan berkurangnya release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, sehingga
terjadi pembatasan interaksi dengan protein kontaktil miokard selama fase sistol,
sedangkan penurunan tingkat reuptake Ca2+ ke retikulum sarkoplasma akan
menyebabkan penundaan timbulnya fase relaksasi diastole. Mekanisme yang
mendasari pengurangan jumlah aliran Ca2+ berhubungan dengan mediator TNF-
dan NO.
B Hematologis
C Hati
Disfungsi hati ditandai dengan hepatomegali dan hiperbilirubinemia serta kenaikan
enzim hati ringan hal tersebut merupakan tanda umum pada sepsis. Kerusakan hati
terjadi jika aliran darah ke hati tidak mencukupi untuk kebutuhan oksigen yang
meningkat pada jaringan regional atau disfungsi hati tidak flow-dependent.
D Paru-paru
Cidera paru akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang terjadi
dalam 60-70% pasien sepsis. Disfungsi endotel disebabkan oleh infiltrasi neutrofil
pada paru-paru merupakan proses utama yang mengarah ke peningkatan protein dan
ekstravasasi cairan ke dalam interstitium paru-paru dan ruang alveolar. Gejala sisa
termasuk rusaknya alveolar, shunting paru, hipoksemia, penurunan kapasitas residu
fungsional dan peningkatan kerja pernafasan. Peningkatan IL-8 diproduksi oleh
makrofag alveolar berhubungan dengan cidera paru-paru pada pasien sepsis.
E Renal
Ginjal hiperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi sistemil dan
hipovolemik relatif. Faktor neurohumeral lain termasuk endotelin, A2 tromboksan dan
masuknya bahan seluler (misalnya neutrofil dan faktor koagulasi) juga penting dan
mengakibatkan berbagai tingkat gangguan ginjal. Peningkatan kreatinin >0,3 mg/dl
dari nilai sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri <0,5 cc/kgbb/jam lebih
dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.
F Sistem saraf pusat, ensenfelopati sepsis
Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik
yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat
menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta
hipertensi serebral keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas,
confussion, delirium, dan koma.
G Traktus Gastrointestinal
Dapat terjadi iskemia splanchnis dan asidosis intramukosa selama sepsis. Tanda klinis
mencakup perubahan fungsi otot alus dan terjadinya diare. Pendarahan GIT
dikarenakan adanya stress ulcer yang juga merupakan manifestasi dari sepsis.
Monitoring pH intramukosa lambung yang digunakan untuk mengenali dan
merupakan petunjuk dari resusitasi. Peningkatan paCO2 intramural merupakan tanda
adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.
Tingkat mortalitas kasus sepsis adalah 16%, dan meningkat menjadi 20% pada sepsis berat dan
46% pada kasus septik syok. Tingkat kematian pada anak-anak kurang dari 10%, namun
meningkat hampir empat kali (38,4%) pada kelompok usia 85tahun, dan laki-laki sedikit lebih
tinggi (29,3%) dibandingkan dengan perempuan (27,9%).
Lebih dari 750.00 kasus sepsis teridentifikasi pada tahun 2008. Di negara Durthaler bahwa
sepsos menyumbang lebih banyak kematian dibandingkan dengan kanker payudara, AIDS,
dan gagal jantung kongestif.
Dari seluruh kasus yang terjadi bakteri memegang presentasi terbanyak penyebab sepsis,
dengan bakteri jenis gram-positif sebanyak 30-50%, bakteri gram-negatif sebanyak 25-30%,
polimikroba sebanyak 11-19%, serta 1-4 % adalah jamur, virus dan parasit.
Tanda-tanda utama awal sepsis meliputi peningkatan jumlah sel darah putih (>12.000 mm3),
peningkatan denyut jantung (>90 denyut jantung per menit) dan respirasi (>20 napas/menit),
dan demam (>380c) atau hipotermia (<360c). C-reactive protein, fibrinogen, melengkapi
protein, dan protein fase akut lainnya yang berhubungan. Nilai laboratorium lain yang juga
merupakan maniestasi klinis adalah adanya peningkatan serum laktat dan serum glukosa.
Pengobatan sepsis akan berpusat pada pengobatan sumber infeksi atau trauma dan
mendukung pasien dengan ventilasi paru-paru, dengan konsumsi antibiotik, dengan
Superfisial
Penyebab
Sinar
ultraviolet,
Karakteristik
Penampakan
Sensasi
Waktu
Bekas Luka
Nyeri
Sembuh
3-6 hari
Tidak ada
Nyeri
7-20 hari
Terkadang;
paparan api
atau
memutih
jika
Superficial
ditekan
Melepuh,
partial-
karena
berpotensi
thickness
paparan api
atau
udara dan
menimbulkan
suhu
perubahan
lunak,
memutih
jika
ditekan
Deep
Air
partialthickness
panas
(tum-
Melepuh,
mudah
terkelupas;
basah
minyak, pelumas
Hanya
pigmen
Beresiko tinggi
>21 hari
peka
(hipertropik)
terhadap
akan
bervariasi
tekanan
contracture
(belang,
Air
thickness
dam),
burn
minyak,
(teren-
Hanya
Permanen
uap,
peka
(jika
area
pelumas,
terhadap
luka
bakar
panas
api,
inelastis;
tidak
bervoltase tinggi
tekanan
>2%
total
yang kuat
area tubuh)
Selain komplikasi klinis, luka bakar juga dapat menyebabkan gangguan psikologis dan emosi
akibat dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, bekas luka, dan kecacatan yang
terjadi1.
Etiologi luka bakar yang paling sering adalah paparan langsung dari sumber panas seperti
terbakar api dan terkena air panas1. Selain itu, luka bakar dapat terjadi karena paparan bahan
kimia dan sengatan listrik. Pada sengatan listrik, kerusakan pada jaringan tubuh terjadi ketika
aliran listrik menjalar melalui jaringan dan tulang. Tingkat keparahan dari luka bakar
bergantung pada jumlah volt listrik, lokasi kontak di tubuh, dan lama waktu sengatan listrik
berlangsung. Sedangkan luka bakar akibat paparan zat kimia terjadi ketika tubuh terpapar
langsung oleh cairan asam atau alkali2.
Usia dari seseorang juga terkadang menentukan penyebab dari luka bakar yang dialami. Pada
usia anak-anak, 70% luka bakar terjadi akibat sikap hiperaktif dan kontak dengan air panas.
Pada usia remaja dan dewasa muda, penyebab utama luka bakar ialah kecerobohan saat
menangani api dan cairan yang mudah terbakar. Sedangkan pada usia dewasa, luka bakar
akibat api menempati urutan pertama dengan 1/3 kejadian tersebut terjadi di tempat kerja.
Ada metode untuk menentukan besarnya area tubuh yang terkena luka bakar. Metode ini
disebut Rules of "Nines". Pada metode ini, tubuh dibagi dalam proporsi 9 atau turunan dari 9.
Perkiraan luas area yang terbakar membantu assesment dari tingkat keparahan luka, dan
membantu memperkirakan cairan yang dibutuhkan dan obat-obatan yang diperlukan.
Perubahan lokal pada area luka bakar dibagi manjadi 3 zona oleh Jackson. Zona koagulasi
pada bagian sentral luka atau jaringan yang paling lemah/rusak. Bagian paling luar atau
paling perifer disebut zona hiperemia. Zona hiperemia memiliki karakteristik yaitu adanya
vasodilatasi, serta terjadi tanda-tanda inflamasi namun tidak terjadi perubahan struktur.
Diantara zona koagulasi dan zona
hyperemia terdapat zona stasis. Zona
stasis merupakan zona yang mengalami
luka dermal sedang hingga luka dermal
dalam. Pada zona ini terjadi vaskular
stasis dan iskemia. Jaringan pada zona
ini memiliki potensi untuk sembuh,
namun dapat berubah menjadi lesi yang
lebih tebal. Progresi luka bakar diduga
mediator yang paling berperan untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular pada fase
awal luka bakar terjadi. Histamin menyebabkan pembesaran celah endotelial sementara.
Perubahan patofisiologi setelah luka bakar mempengaruhi berbagai organ dan sistem tubuh
yang dapat menyebabkan syok, gangguan pencernaan, pernafasan, gagal ginjal, dan
imunosupresi. Sebagian besar luka bakar terkait dengan hipermetabolisme ekstrim dan
katabolisme yang terjadi ketika sadar dari fase syok luka bakar.
Sistem pencernaan akan terganggu oleh influks neutrofil dan pembengkakan pada lamina
propia (hari pertama setelah luka bakar), peningkatan myeloperoksidase usus (hari ketiga
setelah luka bakar), penurunan proliferasi sel epitel, migrasi dan ekspresi Ecadherin (hari
ketiga setelah luka bakar), peningkatan translokasi bakteri Efaecalis (hari ketiga setelah luka
bakar), apoptosis masif, dan nekrosis moderat/sedang. Kondisi-kondisi ini disebabkan oleh
dua hal utama, yaitu peningkatan stres oksidatif akibat hipoperfusi maupun perfusi yang
terlambat dan peningkatan produksi TNF-alpha yang diinduksi oleh makrofag yang diinduksi
oleh gamma delta sel T setelah terjadinya luka bakar. Iskemia yang terjadi memicu stres
oksidatif kepada produksi mediator molekular yang menyebabkan nekrosis dan apoptosis
jaringan. Mediator molekular yang diproduksi mencakup mukosal atau turunan makrofag
berupa monosit radikal oksigen sintase (ROS) dan NO sintase (NOS) yang mendorong
produksi H2O2 dan NO yang bersifat racun bagi enterosit.
Luka bakar juga mempengaruhi sistem imun seseorang. Pasien luka bakar parah mengalami
deplesi sel T dan sebagian menyebabkan terganggunya respon imun normal terhadap antigen
tertentu (anergy). Leptin menunjukan efek protektif terhadap apoptosis. NO, selain bertindak
sebagai imunoregulator dan proinflamator, juga memiliki efek cytostatic, apoptotic dan
nektrotik pada sel T aktif. Supresi imun awal (hari ketiga setelah luka bakar) menstimulasi
hiperrespons dari CD8(+) sel T. Heat shock proteins (HPs) melindungi sel dari berbagai stres
yang terjadi. Sebagian besar luka bakar menyebabkan peningkatan ekspresi HSPs di neutrofil
bersamaan dengan peningkatan aktivitas oksidatif dan penurunan apoptosis.
Pada pasien luka bakar, otot rangka akan melemah. Pasien dengan luka bakar yang parah
(TBSA >30%) memiliki tonus otot yang lemah hingga beberapa tahun setelah trauma.
Perubahan morfologis pada otot akibat luka bakar yang terjadi mencakup kerusakan
mitokondrial dan akumulasi lipid intraselular.
Sistem endokrin tubuh juga mengalami gangguan. Peningkatan hormon stres yang bersifat
proinflamasi seperti kortisol, glukokortikoid dan katekolamin lain yang diproduksi oleh
medula dan korteks adrenal. Hormon-hormon tersebut memiliki efek katabolik, namun
intensitasnya bergantung pada luas TBSA yang dialami2.
Pada pasien dengan luka bakar yang parah, hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik. Kontributor utama bagi hepatomegali yang terjadi adalah timbunan droplet besar lemak
intrahepatositik dalam hepatosit dan adanya kolestasis. Setelah kejadian luka bakar, terjadi
depresi kardiak output. Terjadi hipovolemia, berkurangnya volume plasme, dan berkurangnya
darah yang kembali melalui vena kemudian berpengaruh terhadap kardiak output. Meskipun
volume plasma telah meningkat dan terkanan arterial serta output urin telah normal,
penurunan jumlah kardiak output tetap ada. Ketika luka bakar, cardiomyocytes memproduksi
TNF-alpha, IL-1beta dan IL-6, yang kemudian sitokin-sitokin tersebut berpengaruh terhadap
disfungsi kardiak. Sebagian besar luka bakar juga mengganggu fluks ion kalsium diantara
retikulum sarkoplasma dan sitoplasma. Endotoksin dan lipopolisakarida menginduksi
terjadinya apoptosis yang dapat menyebabkan disfungsi kardiak 2.
Dalam 24 jam setelah luka bakar yang parah, hampir seluruh pasien mengalami oedema.
Terjadi oedema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas dan mengurangi keleluasaan
bernafas. Disamping vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, oedema pada paru-paru juga terjadi
akibat hipoproteinemia. Selain menyebabkan penurunan tekanan onkotik, hipoproteinemia
juga mengganggu matriks intestinal sehingga terjadi perpindahan cairan ke kapiler
endotelium dan menyebabkan intestinal oedema2.
E. Operasi
Operasi merupakan suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mendiagnosis dan
memperbaiki organ atau jaringan, sehingga operasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keseriusannya, kebutuhan, ataupun tujuannya.
Berdasarkan tingkat keseriusannya, operasi dibedakan menjadi operasi mayor dan minor.
Operasi mayor bersifat selektif dan untuk kebutuhan mendesak dan darurat. Operasi ini
dilakukan pada area kepala, leher, dada dan perut (abdomen). Biasanya, operasi mayor
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan pasien dapat rawat inap untuk perawatan
intensif. Selain waktu yang lama, operasi mayor memiliki risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi setelah dilakukan tindakan. Pada anak-anak, yang termasuk operasi major yaitu
operasi tumor otak, mengkoreksi malformasi tulang tengkorak dan wajah, transplantasi
organ, memperbaiki cacat usus, operasi kelainan tulang belakang dan pengobatan cedera
serius. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif. Waktu pemulihan
hasil operasi cenderung pendek dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa dengan cepat.
Operasi ini paling sering dilakukan pada pasien rawat jalan dan dapat pulang pada hari yang
sama. Komplikasi dari jenis operasi ini jarang terjadi. Contohnya operasi minor antara lain
pencabutan gigi, pengangkatan kutil, dan mengkoreksi patah tulang1.
Berdasarkan kebutuhan, operasi dibedakan menjadi operasi elektif (pilihan) dan darurat.
Operasi elektif tidak berarti operasi opsional, melainkan suatu prosedur yang direncanakan
terlebih dahulu. Contoh operasi elektif seperti penghapusan tanda lahir dan melakukan fusi
tulang belakang untuk memperbaiki kelengkungan parah tulang belakang. Operasi mendesak
atau darurat dilakukan pada kebutuhan medis yang mendesak, seperti mengkoreksi cacat
jantung bawaan yang mengancam jiwa atau perbaikan organ internal cedera setelah
kecelakaan mobil1.
Umumnya, tindakan operasi tidak menimbulkan permasalahan gizi yang signifikan dengan
orang berstatus gizi normal. Pada orang dengan malnutrisi, tindakan operasi akan
menimbulkan proses metabolisme yang berbeda dan dapat memperparah status gizi pasien.
Selain status gizi sebelum operasi, usia juga dapat berdampak pada status gizi pasca operasi.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko komplikasi umum pasca operasi, termasuk wound
dehisence (pembukaan luka setelah penutupan dengan jahitan) dan infeksi. Jika pasien
berstatus gizi buruk sebelum operasi, maka akan berisiko lebih besar untuk menderita
pneumonia atau infeksi luka lainnya yang disertai demam sebagai akibat dari sintesis protein
yang
menurun. Hal
ini
dikarenakan
kebutuhan
energi
tubuh
akan
dipenuhi
dari sumber endogen jika sumber eksogen tidak tersedia atau tidak memadai. Salah satu
sumber endogen yang dipakai adalah protein dari otot. Apabila protein otot terus dipakai,
maka protein otot interkostal, contohnya, dapat habis dan mengakibatkan pneumonia. Tidak
hanya itu, asam amino yang ada tidak memadai untuk mensintesis antibodi yang mengarah
pada gangguan respon imun pada infeksi akibat dari penggunaan asam amino yang tinggi
untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining dan uji prognostik untuk
mengidentifikasi pasien yang paling mungkin mengalami risiko gizi. Perubahan pra operasi
seperti berat badan, albumin, dan C-reactive protein dapat diukur untuk memprediksi hasil
operasi. National VA Surgical Risk Study, mengevaluasi hubungan banyak karakteristik
komplikasi dan angka kematian pada lebih dari 50.000 pasien. Hasil evaluasi menunjukan
bahwa albumin pra-operasi merupakan prediktor lebih baik untuk memperkirakan komplikasi
dan kematian daripada karakteristik lain seperti usia, merokok, dan nilai-nilai laboratorium
lainnya1.
Pasien diminta untuk puasa makan atau minum setidaknya selama dua belas jam sebelum
operasi. Pasien akan menerima anastesi umum, epidural, atau lokal. Pasca operasi, pasien
dapat menggunakan tabung nasogastrik untuk menghilangkan sekresi lambung dan kateter
urin untuk membuang urin sampai kontrol dalam buang air kecil kembali normal. Hal lain
yang menjadi perhatian pada pasien meliputi pemeliharaan fungsi dan sirkulasi pernapasan,
pencegahan infeksi, penyembuhan luka, dan kontrol nyeri1.
komplikasi
dan
memperpanjang
waktu
tinggal
di
rumah
sakit.
Merekomendasikan pasien untuk makan segera setelah operasi bila memungkinkan dan aman
untuk dilakukan1.
F. Asuhan Gizi
I.
DATA
IDENTIFIKASI MASALAH
FOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1
FH-1.2.1.1
Asupan Cairan
Terjadi
penurunan
total
asupan energi, cairan dan
elektrolis (hypovolemia).
Kreatinin
BD-1.11.3
Transferin
BD-1.12.5
Volume urin
Kenampakan keseluruhan
PD-1.1.3
Kardiovaskuler,
system pulmo
PD-1.1.9
Tanda Vital
B. Diagnosis Gizi
Excessive fluid intake (NI-3.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai
dengan penurunan berat badan, penurunan volume urin, demam, dan hipotensi.
C. Intervensi Gizi
1. Tujuan
Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit untuk membantu tubuh dalam bertahap
hidup.
2. Preskripsi
a.
DATA
IDENTIFIKASI MASALAH
FOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1
FH-1.2.1.1
Asupan Cairan
FH-1.5.2.1
Terjadi
penurunan
total
asupan energi dan cairan
karena terjadi penurunan
nafsu makan.
Terjadi proteolisis
BD-1.5.1
Glukosa
Darah >110 mg/dL
Puasa (GDP)
BD-1.6.1
C-reactive protein
BD-1.10.1
Hemoglobin
Hiperglikemia
BD-1.10.2
BD-1.11.1
Hematokrit
(tinggi,
range normal
Albumin
40-54%)
(rendah,
3,5-5 g/dL)
BD-1.11.2
Prealbumin
(rendah,
16-35 mg/dL)
BD-1.11.3
Transferin
BD-1.11.7
Antibody level
PD-1.1.3
Kardiovaskuler,
system pulmo
Meningkat karena
Leukosit (>12.000
3
inflamasi
mm )
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
Denyut Nadi
Frekuensi Pernafasan
adanya
PD-1.1.8
Kulit
PD-1.1.9
Tanda Vital
Terdapat selulitis
-
Tekanan Darah
Suhu tubuh
B. Diagnosis Gizi
1. Peningkatan energi ekspenditur (NI-1.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik
ditandai dengan dengan penurunan berat badan 5% dalam tiga bulan atau 10% dalam
6 bulan.
2. Perubahan fungsi GI (NC 1.4) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai
dengan penurunan napsu makan, mual, muntah, dan diare.
3. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi (NC-2.2) berkaitan dengan keadaan
stress metabolik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (> 12.000 mm 3),
meningkatnya denyut jantung (>90 kali/menit) dan meningkatnya respirasi (>20
kali/menit), demam (>38oC) atau hipotermia (<36oC).
C. Intervensi Gizi
Sasaran intervensi gizi adalah etiologi (akar masalah). Namun pada kondisi stress metabolik
etiologi tidak dapat dirubah oleh praktisi gizi/dietisien, maka intervensi gizi ditujukan untuk
mengurangi tanda & gejala.
1. Tujuan
a. Memenuhi kebutuhan metabolik yang tinggi akibat kondisi stress metabolik.
b. Memenuhi total kebutuhan protein untuk mencegah terjadinya Kurang Energi
Protein (KEP) akibat proteolysis dan peningkatan katabolisme protein.
c. Memenuhi kebutuhan defisiensi zat gizi tertentu seperti vitamin dan mineral.
d. Mencegah terjadinya retensi natrium dan cairan.
4. Preskripsi
a.
diketahui
dapat
menurunkan
proses
yang diberikan yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena
pasien mengalami hiperglikemia.
c. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifik
Diberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari
untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan
katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,
karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam
amino yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino
yang menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang
dipilih oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang
direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun
pada sebuah penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada
pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
d. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa
peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari
total energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber
lemak yang dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang,
alpukat, minyak zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah
minyak ikan, ikan tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.
e. Modifikasi bahan makanan tinggi antiinflamasi dan antioksidan.
Pemberian suplementasi vitamin dan mineral yang tinggi antioksidan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh karena terjadi inflamasi. Asupan vitamin dan
mineral yang diberikan seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium. Vitamin C 100
mg setiap 8 jam, 400 g IV selenium setiap hari, 1500 IU vitamin E setiap 12 jam
selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU. Vitamin C dan selenium
diberikan secara intravena selama dua hari pertama kemudian diberikan secara
enteral untuk hari berikutnya.
f. Modifikasi jumlah cairan
Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi
natrium dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang
hilang dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water
lose. Pada dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 2 liter per
hari sehingga apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan
cairan yang bisa dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.
g. Rekomendasi pemberian makan enteral atau parenteral
Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan
mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena
pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi
atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.
5. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pasien
yang
mengalami
stress
metabolik
akan
menimbulkan
respons
d. Koordinasi Gizi
Kegiatan konsultasi atau koordinasi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain
dalam memberikan asuhan gizi yang dapat membantu atau mengelola masalah
metabolik stress.
III.
MSOF/MODS
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN
DATA
IDENTIFIKASI MASALAH
FOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1
FH-1.2.1.1
Asupan Cairan
FH-1.2.2.5
Variasi Makanan
Panjang/tinggi badan
AD-1.1.2
Berat badan
AD-1.1.4
BD-1.4.6
BD-1.5.1
BD-1.10.1
BD-1.11.3
PaCO2
(rendah,
Transferin
normal 14-17)
(rendah,
range
normal
215-365
mg/dL)
BD-1.12.5
Volume urin
<0.3cc/kgBB/jam
Kenampakan keseluruhan
PD-1.1.3
Kardiovaskuler,
system pulmo
PD-1.1.9
Frekuensi
Pernafasan
< 20 x / menit
- Tekanan Darah - Suhu tubuh
-
Tanda Vital
B. Diagnosis Gizi
a. Kurangnya asupan energi berkaitan dengan MSOF ditandai dengan asupan energi
<80% dari kebutuhan.
b. Penurunan berat badan yang tidak dikehendaki berkaitan kurangnya asupan energi
ditandai dengan penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
c. Ketidaksiapan untuk merubah diet berkaitan dengan ketidakinginan untuk berubah
ditandai
dengan
ketidak
percayaan
pasien
terhadap
perubahan
yang
direkomendasikan.
C. Intervensi Gizi
Intervensi gizi yang diberikan untuk mencegah perkembangan dari penyakit akibat dari
masalah gizi yang ada.
Tujuan
1. Memenuhi kebutuhan zat gizi
2. Mempertahankan atau memperbaiki status gizi
Preskripsi
1 Modifikasi asupan energi
Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi hanya
mencapai
70%
dari
total
kebutuhan
kalori.
Hal
ini
dikarenakan
dapat
dapat
menurunkan
proses
tanpa melebihi 5
mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7
g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat
yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon dioksida,
peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat yang diberikan
yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena pasien mengalami
3
hiperglikemia.
Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifik
Diberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari
untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan
katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,
karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam amino
yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino yang
menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang dipilih
oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan
adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun pada sebuah
penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak
4
tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.
Modifikasi vitamin C
Vitamin C 100 mg setiap 8 jam, Vitamin C diberikan secara intravena selama dua hari
pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.
6
7
8
Modifikasi vitamin A
Sebanyak 600 mcg vitamin A diberikan setiap hari.
Modifikasi vitamin C
1500 IU vitamin E selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU
Selenium
400 g selenium setiap hari, selenium diberikan secara intravena selama dua hari
pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.
Sodium
Asupan sodium dibatasi tidak lebih dari 2g/hari.
10 Merekomendasikan jumlah cairan
Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi natrium
dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang hilang
dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water lose. Pada
dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 2 liter per hari sehingga
apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan cairan yang bisa
dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.
11 Enteral dan Parenteral jika diperlukan
Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan
mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena
pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi
atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.
Implementasi
a Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pasien yang mengalami MSOF akan menimbulkan respons hipermetabolik yang
panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari penyakit, yang mana respons
hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi
(mediator multiple).
Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien. Bila
usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral kalau
tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah perenteral (pipa
lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) maupun
pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat memberikan manfaat
secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons katabolik, mengurangi
komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan integritas usus,
mempertahankan integritas/respons imunologis dan memberikan sumber energi yang
tepat bagi usus pada waktu sakit.
Pemberian antibiotik juga dibutuhkan untuk mengeliminasi benda asing atau yang
b
menyebabkan infeksi.
Pemberian Edukasi Gizi
Melatih keterampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/keluarga
dalam mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku sehingga dapat membantu
prosess penyembuhan. Edukasi ini meliputi edukasi gizi awal/singkat dan edukasi gizi
secara menyeluruh. Materi edukasi yang dapat diberikan meliputi gizi seimbang untuk
IV.
Pengkajian gizi
Domain
Sub Domain
Anthropometric
measurements (AD)
AD-1.1 Body
composition/growth/
weight history
BD-1.1 Acid base
balance
BD-1.2 Electrolyte
and renal profile
Biocemical data,
medical test (BD)
Nutrition-focused
physical finding (PD)-
BD-1.6 Inflamatory
profile
BD-1.8 Metabolic
rate
BD-1.8 Nutritional
anemia profile
BD-1.11
Protein
profile
PD-1.1 Nutritionfocused physical
finding
Comparative Standards
(CS)
b
Diagnosis gizi
CH-2.1
Partient/client OR
family nutrition
oriented
medical/health
history
CS-1.1 Estimated
energy needs
Pengkajian Gizi
AD-1.1.1 Height/length
AD-1.1.2 Weight
AD-1.1.4 Weight change
AD-1.1.5 BMI
BD-1.1.3 PaCO2
BD-1.2.5 Sodium
BD-1.2.6 Chloride
BD-1.2.7 Potassium
BD-1.2.8 Magnesium
BD-1.2.9 Calcium, Serum
BD-1.2.10 Calcium, iodized
BD-1.2.11 Phosphorus
BD-1.2.12 Serum osmolality
BD-1.6.1 C-reactive protein
BD-1.8.1 Resting metabolic rate,
measured
BD-1.10.1 Hemoglobin
BD-1.10.2 Hematokrit
BD-1.11.7 Antibody level specific
PD-1.1.1 Overall appearance
PD-1.1.4 Extremities, muscles, bones
- Edema
PD-1.1.8 Skin
- Terdapat luka bakar
PD-1.1.9 Vital sign:
- Tekanan darah
- Respiratory rate
- Heart rate
- Suhu tubuh
CH-1.1.1 Usia
CH-1.1.2 Jenis kelamin
CH-2.1.2 Cardiovascular
CH-2.1.3 Endocrine/metabolism
CH-2.1.3 Excretory
CH-2.1.13 Respiratory
CS-1.1.1 Total estimated energy needs
Domain
Intake (NI)
Sub Domain
NI-3 Fluid intake
Clinical (NC)
NC-2 Biochemical
Diagnosis Gizi
NI-3.1 Inadequate fluid
intake
NC-2.2 Altered nutritionrelated laboratory values
Kalimat P-E-S
1. Peningkatan kebutuhan cairan (NI-2.1) berkaitan dengan adanya luka bakar ditandai
dengan dehidrasi berat yang terjadi.
2. Perubahan nilai laboratorium terkait dengan gizi, Elektrolit dan Profile Ginjal;
Sodium, Potassium, Magnesium, Calcium, dan Phosporus, (NC- 2.2) berkaitan
dengan adanya luka bakar ditandai dengan terganggunya keseimbangan elektrolit.
V.
Anthropometric
measurements (AD)
Biocemical data,
medical test (BD)
Nutrition-focused
physical finding (PD)
Pengkajian Gizi
FH- 2.1.2.5 Food Allergies
FH- 2.1.2.6 Food Intolerance
FH- 5.2.1 Avoidance
FH- 5.4.8 Willingness to try new food
AD-1.1.1 Height/length
AD-1.1.2 Weight
AD-1.1.4 Weight change
AD-1.1.5 BMI
BD-1.2.2 Creatinine
BD-1.2.3 BUN: Creatinine ratio
BD-1.5.1 Glucose, fasting
CS-1.1 Estimated
energy needs
CS-2.2 Estimated
Comparative Standards
protein needs
(CS)
CS-2.3 Estimated
carbohydrate needs
B. Diagnosis Gizi
Domain
Sub Domain
Intake (NI)
NI-1 Energy balance
NI-2 Oral or Nutrition
support intake
NI-5 Nutrient
Clinical (NC)
NC-2 Biochemical
Kalimat P-E-S
1 Peningkatan kebutuhan protein (NI 5.3) berkaitan dengan peningkatan kebutuhan gizi
untuk penyembuhan luka bakar ditandai dengan adanya luka bakar grade II dan kadar
2
C. Intervensi gizi
a) Fase Ebb
Setelah terjadi luka bakar, tubuh mengalami dua fase metabolik. Fase pertama yang
dialami tubuh disebut fase ebb, yaitu fase dimana terjadinya penurunan laju
metabolik.. Fase ebb atau fase awal, langsung terjadi tepat setelah terjadinya luka
bakar, dan berlangsung selama 24-48 jam pertama. Fase ini diantaranya ditandai
dengan penurunan konsumsi oksigen, hipotermia, hipovolemia, syok, hipoksia pada
1
2
Untuk luka yang lebih kecil, hitung persen luka bakar menggunakan telapak
tangan pasien (termasuk jari). Satu telapak tangan mewakili 1% TBSA.1
24 jam pertama:
Perhitungan cairan menggunakan Modified Parkland Formula:
3-4 mL x Berat badan x TBSA
Pada delapan jam pertama, pasien luka bakar harus menerima separuh dari total
jumlah cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama. Separuhnya akan diberikan
pada 16 jam selanjutnya. Setelah itu, penggantian cairan harus tetap dilakukan
untuk mencegah dehidrasi dan menggantikan cairan yang hilang dari luka.
Digunakan larutan Lactated Ringer's untuk penggantian cairan. Anak yang
memiliki berat badan di bawah 30 kg membutuhkan tambahan 5% dekstrosa atau
N/2 saline untuk mempertahankan keseimbangan cairan.13
24 jam selanjutnya:
Dilakukan infusi koloid yang mengandung 5% albumin 0.3-1 mL/kg BB/
%TBSA/16 per jam2
3. Implementasi
a
Koordinasi Gizi
Koordinasi dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang
terkait dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan yang
terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar fase ebb adalah dokter dan
perawat.
b) Fase Flow
Fase flow yang dibagi menjadi 2 fase, respons akut dan respons adaptif. Fase flow
yang ditandai dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme, katabolisme dan
perubahan respons imun serta hormonal, peningkatan cardiac output, konsumsi
oksigen, suhu tubuh, energy expenditure, dan jumlah katabolisme protein tubuh yang
diiikuti resusitasi cairan dan pemulihan transportasi oksigen. Peningkatan fisiologis
terjadi pada produksi glukosa, pelepasan asam lemak bebas, tingkat sirkulasi insulin,
katekolamin, glukagon, dan kortisol. Besarnya respon hormonal tampaknya terkait
dengan keparahan cedera.6
1
Tujuan
a Untuk penyembuhan luka yang optimal dan pemulihan yang cepat dari
b
luka bakar
Untuk meminimalkan risiko komplikasi, termasuk infeksi selama masa
pengobatan
Untuk mencapai dan mempertahankan status gizi normal
d Untuk meminimalkan gangguan metabolik selama proses pengobatan
e Menjaga massa tubuh, massa tubuh terutama lemak
Preskripsi
a
Modifikasi jumlah kalori
Modifikasi jumlah kalori pada pasien burn karena adanya peningkatan
c
ketahanan meningkat dengan diet tinggi protein. Protein sekitar 20% -25%
dari total kalori. Umumnya, orang dewasa akan membutuhkan 1,5-2 g protein
/ kg / hari, dan anak-anak akan membutuhkan 2,5-3,0 g protein / kg / hari.7
c. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Asupan lemak pasien luka bakar harus kurang dari 20% dari total energi.
Terlalu banyak lemak bisa menyebabkan gangguan fungsi sistem kekebalan
tubuh dan meningkatkan risiko resultan infeksi. Namun, omega-3 asam lemak
mungkin mengurangi risiko ini untuk fungsi kekebalan tubuh. Bahkan, asam
lemak omega-3 positif memodulasi respon inflamasi dan imunologi. Hal ini
wajar untuk memberikan 12% -15% dari lemak. Medium-chain triglycerides
(MCT) dioksidasi lebih baik dari trigliserida.
Penggunaan MCT
vitamin
tertentu
juga
meningkat,
misalnya:
2. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Implementasi pemberian makanan pada pasien sesuai dengan preskripsi diet.
kebutuhan gizi setelah luka bakar dapat dipenuhi jika mengikuti manajemen
diet. Namun, jika pasien tersebut kurang gizi, minuman tambahan mungkin
diperlukan serta suplemen mikronutrien tambahan untuk memperbaiki
kekurangan yang sudah ada sebelumnya. Selama pelaksanaan rencana
perawatan gizi, faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan: 1) volume
makanan yang disediakan; 2) kawasan yang terbakar - mengunyah dapat
menyebabkan nyeri pada luka bakar; 3) keadaan psikologis, rasa sakit dan
kecemasan dapat mempengaruhi nafsu makan dan harus dikontrol secara rutin;
4) pengaruh agama dan budaya perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan
asupan gizi.
b. Koordinasi Gizi
Pelaksanaan dan pemantauan asupan sangat bergantung pada komitmen tim
perawatan luka bakar untuk memastikan pengiriman yang optimal dari asupan
makanan dan menilai efek faktor psikologis pada asupan makanan. Koordinasi
dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang terkait
dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan yang
terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar adalah dokter dan
perawat.
VI.
Operasi
A. Pengkajian gizi
Domain
Food history (FH)
Sub Domain
Diet history (FH-2.1)
Pengkajian Gizi
FH-2.1.2.5 Food allergies
FH-2.1.2.6
Food
intolerance
Beliefs and attitudes (FH-4.2) FH-4.2.12
Food
preference)
Mealtime behaviour (FH-5.3) FH-5.3.1 Meal duration
Anthropometric
Body
compotition AD-1.1.1 Tinggi badan
measurement (AD)
/growth/weight history (AD- AD-1.1.2 Berat badan
1.1)
AD-1.1.4 Weight change
AD-1.1.5 IMT
Biochemical
data, Inflamatory profile (BD-1.6)
BD-1.6.1
C-reactive
medical
test
and
protein
procedures (BD)
Protein profile (BD-1.11)
BD-1.11.1 Albumin
Nutrition
focused Nutrition focused physical PD-1.1.1
Overal
physical finding (PD)
finding (PD-1.1)
appearance
PD-1.1.5 Digestive system
PD-1.1.9 Vital sign
Client history (CH)
Personal data (CH-1.1)
CH-1.1.1 Usia
CH-1.1.2 Jenis kelamin
Social history (CH-3.1)
CH-3.1.1 Sosioeconomic
factors
Tratments or therapy (CH-2.2) CH-2.2.2
Surgical
treatment
B. Diagnosis Gizi
Domain
Intake (NI)
Clinical (NC)
C. Intervensi Gizi
Sub Domain
Energy intake (NI-1.1)
Diagnosis Gizi
NI-1.1.1 Increased energy
expenditure
NI-1.1.2 Inadequate energy
intake
Oral or nutrition support NI-1.2.1 Inadequate oral
intake (NI-1.2)
intake
Nutrien (NI-5)
NI-5.1 Increased nutrient
needs
Functional (NC-1)
NC-1.1
Swallowing
dificulty
NC-1,4
Altered
GI
function
Biochemical (NC-2)
NC-2.1 Impaired nutrient
utilization
NC-2.2 Altered nutritionrelated laboratory values
Tujuan
1
2
b
Preskripsi
1
Implementasi
1
D. Daftar Pustaka
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
S.
T.
U.
V.
W.
X.
Y.
Nelms MN. Metabolic Stress and the Critically Ill. In: Cossio Y, editor. Nutrition
Therapy & Pathophysiology. 2nd ed. Cengage Learning; 2010. p. 682.
Evers LH, Bhavsar D, Mailnder P. The biology of burn injury. Exp Dermatol.
2010;19(9):77783.
Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al. ESPEN Guidelines on ENteral NutritionL
Surgery including Organ Transpalntation. 2006;25(2):224-244.
ASPEN Nutrition Support Practice Manual. 2nd ed.
Amino Acid Supplements Help Surgery Recovery. http://aminoacidstudies.org/aminoacid-supplements-help-surgery-recovery/.
Dreyer HC, Strycker LA, Senesac HA, et al. Essential Amino Acid Supplementation in
Patients Following Total Knee Arthroplasty. J Clin Invest. 2013.
http://www.jci.org/articles/view/70160.
Bacquer L, Nasih H, Blottiere H, Meynal-Denis D, Laboisse C, Darmaun D. Effects of
Glutamine Deprivation on Protein Synthesis in A Model of Human Enterocytes in
Culture. Am J Physiol. 2001;281:G1340-G1347.
Novak F, Heyland D, Avenell A, Drover J, Su X. Glutamine Supplementation in
Serious Illnes: A Systematic Review of Evidence. Crit Care Med. 2002;30:2022-2029.
Stroud M, Duncan H, Nightingale j. Guidelines for enteral feeding in adult hospital
patients. Gut 2003;52(Suppl VII):vii1vii12.
Forte. Pre-Op & Post Op:Science-based, Targeted Nutritional Support for the Surgical
Patient. Utah; Forte Element.
Connolly S. Clinical Practice Guidelines: Burn Patient Management ACI Statewide Burn
Injury Service Produced by: 2011;(August):33.
Haberal M, Abali AES, Hamdi Karakayali. Fluid management in major burn injuries. Indian J
Plast Surg [Internet]. 2010;43(Suppl):S2936. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3038406/
R. Warden GD. Burn shock resuscitation. World J Surg.
1992;16(1):1623.
Grodner. Nutrition & Medication and Metabolic Stress. p. 126. Available from:
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOsNqM_arL
AhWLcY4KHQF4C9QQFgglMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.coursewareobjects.com
%2Fobjects%2Fevolve%2FE2%2Fbook_pages%2Fnutrition%2Fpdfs
%2FgrodnerCh15.pdf&usg=AFQjCNFh3bVe8MulXjyYbwQScCrXzigT0A&sig2=lUWUNh
6yFqg37W6PZ4neHg
Wanek S, Wolf SE. Metabolic response to injury and the role of anabolic hormones.
Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2007;10(3):2727.
Deitch EA. Nutritional support of the burn patient. Critical Care Clinics
1995;11(3):73550.
Waymack JP, Herndon DN. Nutritional support of burned patients. World J Surg
1992;16:806.
Rousseau A-F, et al. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional Therapy in
Major Burns, Clinical Nutrition (2013)
Z.
AA.