Anda di halaman 1dari 10

RESPON METABOLIK TERHADAP STRES

MAKALAH
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah
Biokimia lanjut

Oleh:
Aini Sa’adah (0402518045)

PENDIDIKAN IPA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Respon metabolik terhadap stres adalah hasil dari kombinasi yang kompleks dari
mekanisme yang menyebabkan beberapa perubahan fungsional pada setiap jenis jaringan.
Sebuah pemahaman yang lebih baik dari fisiologi respons ini diperlukan jika melanjutkan
perawatan intensif akan memungkinkan kelangsungan hidup pasien yang mekanisme metabolik
adaptif sedang berkembang Respon metabolik terhadap stres melibatkan neuroendokrin dan
inflamasi/komponen kekebalan tubuh. data terbaru menunjukkan bahwa hormon dilepaskan dari
jaringan adiposa dan dari saluran pencernaan juga memainkan peran penting pemahaman dan
pengetahuan tentang respon metabolik terhadap penyakit kritis telah berubah secara drastis
selama dekade terakhir, setelah beberapa penemuan penting sejalan dengan temuan ilmuwan
perintis abad ke-19 dan ke-20 (Preiser dkk 2014).
Pada pasien sakit kritis yang ditandai dengan fungsi organ yang labil atau organ
mudah mengalami perubahan yang akan mempengaruhi fungsi organ lain sehingga timbul
sindrom gangguan organ multipel yang bisa menjadi gagal organ multipel dengan
mortalitas yang sangat tinggi. Pada keadaan normal bila tubuh menghadapi stres berat,
trauma atau sepsis akan timbul mekanisme pertahanan melalui tiga mekanisme yaitu
respons kardiovaskular, respons imunologi, dan respons metabolik. Ketiga mekanisme ini
bekerja secara simultan untuk menjaga homeostasis tubuh sehingga bila stres ini dapat dilewati
maka pasien akan dapat bertahan hidup (Samsirun Halim 2012)
Stres oksidatif, yang didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi dan in
aktivasi spesies oksigen reaktif, memiliki peran patofisiologi utama dalam Semua komponen
penyakit ini. (Golbidi dkk 2012) Usia adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
individu untuk terkena diabetes mellitus. Semakin bertambahnya usia akan sejalan dengan
bertambahnya insiden diabetes mellitus tipe II. Hal ini disebabkan karena jumlah sel β yang
diproduksi berkurang seiring pertambahan usia. Risiko diabetes mellitus tipe 2 meningkat jika
usia diatas 45 tahun (Arisman, 2011).

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Respon metabolik terhadap stres

Stres merupakan suatu respon adaptif individu pada berbagai tekanan atau tuntutan
eksternal dan menghasilkan berbagai gangguan meliputi gangguan fisik, emosional, dan
perilaku. Pada keadaan normal bila tubuh menghadapi stres berat, trauma atau sepsis akan timbul
mekanisme pertahanan melalui tiga mekanisme yaitu respons kardiovaskular, respons imunologi,
dan respons metabolik. Respons metabolik terhadap stres merupakan bagian dari respon adaptif
untuk bertahan hidup dari penyakit kritis. Penyakit kritis ditandai dengan fungsi organ yang labil
atau organ mudah mengalami perubahan yang akan mempengaruhi fungsi organ lain sehingga
timbul sindrom gangguan organ multiple yang bisa menjadi gagal organ multiple dengan
mortalitas yang sangat tinggi.

Ada beberapa fase respon tubuh terhadap stres yaitu fase ebb dan fase flow (awal dan
akhir). Fase ebb terjadi segera setelah terjadi stres baik itu trauma, infeksi atau sepsis yang
berlangsung (2–48) jam yang ditandai dengan periode syok berupa hipovolemia dan penurunan
oksigen jaringan, penurunan volume darah yang menyebabkan penurunan curah jantung dan
produksi urin. Fase flow awal ditandai dengan respons metabolik dapat berupa
hipermetabolisme, katabolisme dan perubahan respons imun serta hormonal. Fase flow akhir
berupa fase anabolik yang ditandai dengan pemulihan respons terhadap stres dan timbul proses
anabolik serta laju metabolisme kembali normal (Halim, 2012)

gambar 1. Fase ebb dan fase flow

2. Patofisiologi respon metabolik terhadap stres


3
Respon metabolik terhadap stres melibatkan neuroendokrin dan kekebalan tubuh. Data
terakhir menunjukkan bahwa hormon yang dilepaskan dari jaringan adiposa dan dari saluran
pencernaan dapat memainkan peran penting juga. Komponen neuroendokrin dipicu di wilayah
yang terletak di dekat hipotalamus, nukleus paraventrikular, dan coeruleus lokus. Ketika stressor
terdeteksi dan memberi tanda ke sistem saraf pusat (Gambar. 2 ) respon prototipikal akan dipicu,
mengakibatkan aktivasi sistem saraf simpatik (SNS), sumbu hipotalamus-hipofisis, dan
kemudian oleh peradangan, kekebalan tubuh, dan perubahan perilaku. Perubahan. Banyak stres
yang berbeda dapat merasakan dan ditransmisikan; Misalnya, cedera jaringan perifer yang
disebabkan trauma akan mengaktifkan saraf afferen, hipokemia atau hipercapnia akan
kemoreceptors pemicu, hipovolaemia akan mengaktifkan baroreseptor, dan mediator inflamasi
akan memicu microglial sel di otak.

Gambar 2. Waktu Respon terhadap Stres


Sistem saraf simpatik (SNS) terlibat dalam kontrol dari kebanyakan organ internal tubuh
melalui aktivasi reseptor adrenergic. Setelah stres terjadi, seketika itu juga otak melepaskan
norepinefrin dari saraf post ganglionic. Respon tersebut dipicu oleh pelepasan asetilkolin dari
neuron preganglionic. Adrenal medulla merupakan ganglion simpatik fungsional dimana sel
kromafin melepaskan norepinefrin dan epinefrin ke dalam aliran darah, stimulasi tersebut dipicu
oleh neuron ganglionic.
Dalam beberapa jam, aktivasi hipotalamus-pituitary axis memicu pelepasan hormon
ACTH, TSH, GH, FSH dan LH , apabila terjadi perubahan hormonal yang mandalam dan
4
berurutan akan mempengaruhi energy, protein dan metabolism lemak. Dalam komponen
inflamasi sebagian diatur pada tingkat sistem saraf pusat, melalui sitokin dan mediator
inflamasi . Respon imun terdiri bawaan dan respon imun spesifik. respon terakhir dibagi lagi
menjadi sel yang dimediasi dan komponen humoral termasuk pelepasan antibodi dan sitokin.
Sitokin ini dapat mengganggu beberapa fungsi fisiologis tubuh. Misalnya, faktor nekrosis tumor,
interleukin (IL) -1, dan IL-6 bermain peran penting dalam perubahan metabolik yang
berhubungan dengan sepsis. Selain tanda-tanda khas klinis sepsis (demam, lesu), sitokin ini juga
menyebabkan penurunan berat badan, proteolisis, dan lipolisis.

3. Metabolisme Karbohidrat

Pada keadaan normal sumber energi utama adalah glukosa yang masuk ke dalam
sirkulasi, bisa dari dalam (glikogenolisis dan glukoneogenesis) atau dari luar (saluran cerna atau
intravena). Glukosa akan dimetabolisme menjadi CO 2, air dan energi (ATP) atau dikonversi dan
disimpan dalam bentuk glikogen atau menjadi lemak. Insulin memudahkan serapan glukosa pada
sel, merangsang sintesis glikogen dan menekan glukoneogenesis sebaliknya katekolamin,
glukagon dan kortisol merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis hepatik sehingga
ketiganya disebut hormon kontra insulin.
Hiperglikemia merupakan respons metabolik yang paling menonjol setelah terjadi stres
atau trauma. Awalnya hiperglikemia terjadi karena mobilisasi cadangan glikogen hati.
Hiperglikemia ini menetap karena terjadi peningkatan produksi glukosa tanpa diimbangi
pembersihan glukosa. Produksi meningkat selain dari pemecahan glikogen juga terjadi
pembentukan glukosa dari asam amino, laktat, gliserol dan piruvat. Asam amino berasal dari
pemecahan protein otot, laktat dan piruvat berasal dari glikogenolisis dan glikolisis di otot
sedangkan gliserol berasal dari metabolisme trigliserida. Produksi glukosa hepatik meningkat
pada orang normal sekitar 200 g/hari menjadi 320 g/hari pada pasien luka bakar tanpa infeksi
dan menjadi 400 g/hari pada luka bakar dengan infeksi.
Insulin sebenarnya juga meningkat akan tetapi terjadi resistensi di perifer sehingga kadar glukosa
tetap tinggi, selain itu diduga terjadi sekresi hormon kontra insulin yang lebih tinggi daripada
sekresi insulin. Jadi sebenarnya mekanisme hiperglikemia yang terjadi pada saat stres adalah
produksi yang meningkat disertai timbulnya resistensi insulin.

4. Metabolisme Lemak
5
Lemak dapat dipakai sebagai sumber energi atau disimpan. Trigliserida rantai panjang (long
chain trygliserde/LCT) yang dimakan akan dicerna menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Asam lemak bebas bisa dipakai sebagai energi atau diesterifikasi menjadi trigliserida kembali.
Pada kondisi makan (insulin tinggi) esterifikasi lebih dominan daripada lipolisis sebaliknya pada
kondisi kelaparan (rasio insulin : glukagon rendah) lemak dipecah menjadi asam lemak bebas
(lipolisis) dan dioksidasi menjadi energi yang diikuti dengan pembentukan benda keton oleh
mitokondria hati yang selanjutnya dipakai sebagai sumber energi oleh organ. Oksidasi lemak dari
makanan menghambat lipolisis lemak endogen. Mobilisasi lemak yang meningkatkan asam
lemak bebas akan menghambat ambilan dan oksidasi glukosa oleh sel otot.
Glukagon dan epinefrin akan meningkatkan kecepatan dan beratnya lipolisis yang diperkuat
dengan adanya kortisol karena aktivasi hormon sensitif lipase yang mengendalikan lipolisis
adipose. Enzim ini dipacu oleh β1 agonis adrenergik dan dihambat oleh α2. Penelitian
menunjukan lipolisis pada sepsis/trauma karena meningkatnya aktivitas β1 dan menurunnya α2.
Setelah trauma liplolisis meningkat dan lemak dipakai sebagai sumber energi. Lipoprotein lipase
yang melekat di endotel kapiler akan merubah trigliserda menjadi gliserol dan asam lemak bebas.
Heparin akan melepaskan enzim lipoprotein lipase ini ke dalam sirkulasi sehingga terjadi
hidrolisis intravaskular. Pada trauma aktivitas lipoprotein lipase otot meningkat tapi di jaringan
adiposa menurun sebaliknya pada sepsis aktivitas lipase ini pada otot menurun.

5. Metabolisme Protein
Pada stres baik karena pembedahan, trauma atau luka bakar dan sepsis akan terjadi
peningkatan pemecahan protein otot yang ditandai dengan peningkatan kehilangan nitrogen
lewat urin, pelepasan asam amino dan hambatan serapan asam amino oleh otot. Asam amino
berasal dari otot yang sehat atau yang cedera akan dibawa ke hati untuk pembentukan glukosa
dan sintesis protein. Keseimbangan protein negatif mencerminkan ada kesetidak seimbangan
antara pembentukan dan pemecahan otot dimana pemecahan lebih dominan. Asam amino yang
ditransfer ke hati akan digunakan untuk sintesis glukosa dan protein fase akut seperti fibrinogen,
komplemen, C reaktif protein, haptoglobin feritin dan lain–lain. Banyaknya sintesis protein fase
akut seimbang dengan beratnya kerusakan jaringan. Sintesis protein lain seperti albumin,
transferin, retinol dan prealbumin akan menurun. Sintesis fase akut protein dipacu oleh IL-1, IL-
6, dan TNF. Glukokortikoid dan lipopolisakarid bakteri.(Gambar 3)

6
Gambar 3. Metabolisme protein selama trauma

6. Perubahan Metabolisme Selama Stres

Gambar 4. Perubahan Metabolik terhadap Stres

7
Perubahan metabolisme selama stres. Hati menghasilkan sejumlah besar glukosa, dari
glikogenesis dan neoglukogenesis. Glukosa akan terutama digunakan oleh organ yang tidak
tergantung insulin, sedangkan lipolisis akan terjadi pada jaringan lemak dan proteolisis pada otot.
FFA yang dilepaskan oleh lipolisis sangat rentan terhadap peroksidasi oleh ROS yang dilepaskan
secara masif setelah disfungsi mitokondria yang disebabkan oleh stres. Gliserol yang dilepaskan
dari lipolisis akan diregenerasi oleh hati menjadi glukosa. Proteolisis otot akan melepaskan asam
amino yang akan didaur ulang menjadi glukosa (terutama alanin dan glutamin) atau terdegradasi
menjadi urea atau amonium. Laktat yang dihasilkan di daerah hipoksia akan digunakan oleh hati
untuk menghasilkan glukosa oleh siklus Cori.

8
BAB III

KESIMPULAN

Seseorang yang mengalami trauma, sepsis atau pembedahan akan berkompensasi untuk
mengatasi keadaan tersebut melalui 3 mekanisme yaitu kardiovaskular, imunologik dan
metabolik guna mempertahankan homeostasis. Respons metabolik yang timbul merupakan reaksi
simultan terhadap respons imunologik dan neuroendokrin. Manifestasi dari respons metabolik
adalah hiperglikemia, katabolisme protein dengan pemecahan otot tubuh sehingga terjadi
kesimbangan protein menjadi negatif dan pemecahan lemak yang meningkatkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

- Halim Samsurin. 2012. Respons metabolik terhadap stres. Jambi: Majalah kedokteran
terapi intensif. Volume 2 Nomor 4
- Preiser, J., Ichai, C., Orban, J., & Groeneveld, A. B. J. (2014). Metabolic response to the
stress of critical illness. 113(June), 945–954. https://doi.org/10.1093/bja/aeu187
- Samsirun Halim. (2012). Respons Metabolik Terhadap Stres. 191–197.
- Golbidi, S. & Laher, I. 2012. Exercise and the Cardiovascular System. Cardiology
Research and Practice. Vol. 1-15

10

Anda mungkin juga menyukai