TUGAS INDIVIDU
1
“Salah satu dari fungsi tubuh yang terkena dampak dari status nutrisi yang buruk
adalah sistem imun”
Sistem imun
Salah satu fungsi tubuh yang terkena dampak dari status nutrisi yang buruk adalah
sistem imun. Ketika stres metabolik terjadi, perubahan metabolik dan hormonal
melemahkan kemampuan sistem imun untuk melindungi tubuh. Aktivitas ini semakin
melemah jika status nutrisi buruk bersamaan dengan stres metabolik. Siklus mematikan
sering berkembang : imunitas buruk menyebabkan peningkatan risiko dari penyakit,
penyakit menyebabkan status nutrisi buruk dan status nutrisi buruk selanjutnya akan
memperburuk imunitas. Agar sembuh, siklus ini harus dihentikan.
Peran nutrisi
Agar sistem imun berfungsi optimal, nutrisi yang mencukupi harus terpenuhi.
Tubuh dengan nutrisi baik tidak akan dirusak oleh infeksi seperti yang terjadi pada
tubuh dengan nutrisi buruk. (lihat kotak Pertimbangan berdasar Budaya, Proses
Keseimbangan, untuk pandangan multibudaya pada keseimbangan asupan untuk
kesehatan). Untuk membuktikan poin ini, pikirkan penyebab utama kematian di negara-
]negara industri seperti Amerika Serikat. Mayoritas merupakan penyakit kronis yang
berhubungan dengan gaya hidup. Akan tetapi, di negara berkembang, infeksi
menyebabkan tingkat kesakitan dan kematian tinggi, terutama pada anak-anak, sebagian
2
besar karena tingkat malnutrisi energi protein (MEP) yang tinggi. Mayoritas masyarakat
Amerika Serikat yang memiliki masalah serius dengan malnutrisi dan infeksi adalah (1)
Mereka dengan masalah medis berat, (2) mereka yang menderita stres metabolik mayor,
(3) mereka yang menderita dari keadaan penyakit yang disebabkan stres metabolik
dan/atau penurunan asupan nutrisi dan/atau malabsorpsi nutrisi, dan (4) mereka yang
memiliki asupan nutrisi buruk sebagai hasil dari kondisi sosial ekonomi (seperti
kemiskinan, tuna wisma).
Status nutrisi buruk menciptakan sistem imun yang lemah sehingga sulit
menyusun respon stres dan respon imun ketika berhadapan dengan stres metabolik.
Beberapa nutrien diketahui mempengaruhi fungsi sistem imun. Hal ini sulit untuk
menentukan faktor nutrien spesifik yang mana yang tampak pada gejala ketika pasien
kurang gizi, karena tumpang tindih defisiensi nutrien dikombinasikan dengan penyakit
dan dengan tubuh yang lemah, anoreksia dan infeksi.
Komponen sistem imun yang dipengaruhi oleh malnutrisi adalah membran
mukosa, kulit, traktus gastrointestinal, limfosit-T, makrofag, granulosit dan antibodi.
Efek pada membran mukosa adalah mikrovili menjadi datar, sehingga mengurangi
absorpsi nutrien dan menurunkan sekresi antibodi. Integritas kulit juga menurun karena
berkurangnya densitas dan melambatnya penyembuhan luka. Luka pada traktus
gastrointestinal karena malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi yang disebabkan
bakteri yang menyebar dari dalam traktus menuju keluar dari sistem pencernaan.
Limfosit-T juga terkena dampak tersebut akibat menurunnya distribusi sel T. Efek pada
makrofag dan granulosit yaitu waktu yang dibutuhkan untuk fagositosis dan aktivasi
limfosit menjadi lebih lama. Antibodi lebih sedikit tersedia karena kerusakan respon
antibodi. Tabel 15-1 menjelaskan bagaimana defisiensi nutrien spesifik mempengaruhi
fungsi sistem imun; bahwa vitamin larut air dan lemak, asam lemak, mineral-mineral
dan protein penting untuk berfungsinya sebagian besar komponen sistem imun.
Respon stres
Respon tubuh terhadap stres metabolik tergantung pada tingkat dan durasi stres.
Stres menyebabkan rantai reaksi yang melibatkan hormon dan sistem saraf pusat yang
mempengaruhi seluruh tubuh. Baik stres tersebut tanpa komplikasi (berkurangnya
3
asupan makanan atau tingkat aktivitas) maupun bermacam-macam (trauma atau
penyakit), perubahan metabolik terjadi pada tubuh.
Menurut Gould, respon konstan tubuh terhadap perubahan minor yang
diakibatkan kebutuhan atau lingkungan pertama kali dicatat pada tahun 1946 oleh Hans
Selye ketika ia mendeskripsikan respon “fight or flight”, atau sindrom adaptasi umum
(SAU). Tubuh secara konstan merespon terhadap perubahan minor untuk menjaga
homeostasis. Penelitian berikutnya mengidentifikasikan bahwa respon stres melibatkan
rangkaian aksi terintegrasi yang termasuk hipotalamus dan hipofisis, sistem saraf pusat,
medulla adrenal dan korteks adrenal. Efek signifikan dari respon terhadap stres
dijelaskan pada tabel 15-2. Respon terhadap stres ini menghasilkan banyak perubahan
pada proses metabolik melalui tubuh. Efek dari berbagai tingkatan stres pada laju
metabolik digambarkan pada gambat 15-1.
Kelaparan
Jika seseorang karena terpaksa tidak makan, maka hal tersebut dikatakan sebagai
kelaparan. Jika kita menahan tidak makan, seperti ketika kita mencoba untuk
menurunkan berat badan, tindakan tersebut dikatakan sebagai diet atau puasa. Apapun
penyebab asupan makanan kurang, hasilnya tetap sama. Setelah jangka waktu tertentu
tanpa makanan (puasa) atau interval asupan nutrien di bawah kebutuhan metabolik,
tubuh mampu mengekstraksi simpanan karbohidrat, lemak dan protein (dari otot dan
organ-organ) untuk memenuhi permintaan energi.
Glikogen hati digunakan untuk menjaga tingkat glukosa darah normal untuk
menyediakan energi untuk sel-sel. Meskipun tersedia, sumber energi ini terbatas dan
simpanan glikogen biasanya habis setelah 8 sampai 12 jam puasa. Tidak seperti
simpanan glikogen, simpanan lipid (trigliserid) substansial dan tubuh juga mulai
menggunakan sumber energi ini. Karena jumlah glikogen hati menurun, penggunaan
asam lemak bebas dari jaringan adiposa meningkat untuk memenuhi kebutuhan energi
pada sistem saraf. Setelah 24 jam tanpa asupan energi (terutama karbohidrat), sumber
utama glukosa berasal dari glukoneogenesis.
Beberapa sel tubuh, yaitu sel otak, menggunakan sebagian besar glukosa untuk
energi. Selama fase awal kelaparan (sekitar 2 hingga 3 hari kelaparan), otak
4
menggunakan glukosa yang diproduksi dari protein otot. Karena protein otot diproses
untuk energi, level branched-chain amino acids (BCAA) di sirkulasi meningkat
meskipun utamanya dimetabolisme secara langsung di dalam otot. Tubuh tidak
menyimpan banyak asam amino, tidak seperti glukosa dan trigliserid; oleh karena itu,
satu-satunya sumber asam amino adalah massa tubuh (jaringan otot), organ vital
termasuk otot jantung, atau konstituen tubuh berbahan protein lainnya seperti enzim,
hormon, komponen sistem imun atau protein darah. Pada hari kedua atau ketiga
kelaparan, 75 gram protein otot dapat dikatabolisme tiap hari, tidak cukup untuk
memenuhi seluruh kebutuhan energi otak. Pada titik ini, sumber energi lain menjadi
lebih tersedia. Asam lemak dihidrolisasi dari gliserol tulang belakang dan asam lemak
bebas dan gliserol dilepaskan ke dalam aliran darah. Asam lemak bebas digunakan
seperti yang telah dijelaskan di depan dan gliserol dapat digunakan oleh hati untuk
membangkitkan glukosa lewat proses glukoneogenesis.
Apabila kelaparan berlanjut, tubuh mempertahankan protein dengan memakai
lebih banyak lemak untuk energi (gambar 15-2). Produksi badan keton dari asam lemak
dipercepat dan kebutuhan tubuh untuk glukosa diturunkan. Meskipun sejumlah glukosa
masih penting untuk sel otak dan sel darah merah, bagian tubuh tersebut dan jaringan
tubuh lainnya memperoleh sebagian besar energi mereka dari badan keton. Protein otot
masih dikatabolisme tetapi pada laju yang lebih rendah yang memperpanjang lama
bertahan hidup. Selama periode kelaparan ini, sekitar 60% dari energi tubuh disediakan
oleh metabolisme lemak menjadi karbondioksida, 10% dari metabolisme asam lemak
bebas menjadi badan keton dan 25% dari metabolisme badan keton.
Mekanisme pertahanan tambahan dari tubuh untuk mempertahankan energi adalah
dengan memperlambat laju metabolismenya, sehingga dapat menurunkan kebutuhan
energi. Sebagai hasil dari penurunan laju metabolisme, suhu tubuh menurun, tingkat
aktivitas menurun dan periode tidur meningkat – semuanya itu agar tubuh dapat
menghemat sumber energi. Jika kelaparan berlanjut, otot intercostal yang diperlukan
untuk pernafasan menghilang, sehingga menyebabkan pneumonia dan kegagalan
pernafasan. Kelaparan akan berlanjut hingga simpanan adiposa habis.
Stres berat
5
Stres karena kecelakaan (misal, karena patah tulang atau luka bakar) atau karena
suatu kepentingan (misal, karena operasi), tubuh bereaksi terhadap stres seperti yang
terjadi pada stres karena kelaparan – dengan perbedaan besar. Selama kelaparan, laju
metabolik tubuh melambat, menjadi hipometabolik. Selama stres berat, laju metabolik
tubuh meningkat sehingga menjadi hipermetabolik.
Respon tubuh terhadap stres dapat diringkas menjadi dua fase : fase ebb dan fase
flow (gambar 15-3). Fase ebb, atau fase awal (tabel 15-3), dimulai segera setelah luka
dan diidentifikasi dengan penurunan konsumsi oksigen, hipotermia (menurunnya suhu
tubuh), dan letargi. Perhatian medis terutama selama masa ini adalah menjaga
keefektifan kardiovaskuler dan perfusi jaringan.
Fase Flow
Respon Fase Ebb Respon Akut Respon Adaptasi
6
Shock Hipovolemik
Katabolisme dominann Anabolisme Dominan
Perfusi jaringan
↓ Laju metabolisme ↑ Glukokortikoid Respon Hormonal Turun
↓ Konsumsi O2 ↑ Glukagon Perlahan
↓ Tekanan Darah ↑ Katekolamin
↓ Laju Hipermetabolik Turun
↓ Suhu Badan Lepas Sitokin
Berhubungan Dengan
Produksi Protein Fase Akut
Penyembuhan Restorasi Protein
↑ Ekskresi Nitrogen Penyembuhan Luka Tergantung
↑ Laju Metabolisme Nutrisi
↑ Konsumsi O2
Gangguan penggunaan
energi
7
Jika pasien berada pada status nutrisional buruk sebelum stres operasi, pasien
tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terkena pneumonia atau infeksi luka yang
dibarengi demam sebagai hasil penurunan sintesis protein. Seperti pada kelaparan,
kebutuhan energi akan dipenuhi dari sumber endogen jika sumber eksogen tidak
tersedia atau tidak adekuat. Oleh karena itu otot intercostal dapat berkurang,
menyebabkan pneumonia atau asam amino yang tersedia tidak adekuat untuk
mensistensis antibodi, menyebabkan respon imun buruk terhadap infeksi. Komplikasi
tersebut memiliki efek negatif terhadap kebutuhan metabolik.
Nutrien yang terkena dampak oleh stres hipermetabolik termasuk protein, vitamin
dan mineral, seperti keperluan nutrisi untuk energi total dan asupan cairan. Selama stres
metabolik sedang, kebutuhan protein telah dilaporkan meningkat dari 0,8 g/kg berat
badan (jumlah yang direkomendasikan untuk rata-rata orang dewasa sehat) hingga 1
sampai 1,5 g/kg berat badan dan untuk stres berat (misal, luka panas melebihi 20% total
area permukaan tubuh) dapat meningkat hingga 1,5 sampai 2 g/kg berat badan. Tingkat
ini berdasarkan konsumsi energi yang mencukupi untuk sintesis protein. Kebutuhan
vitamin dan mineral semuanya meningkat selama stres. Perbaikan jaringan terutama
tergantung pada asupan adekuat dari vitamin C, zinc, kalsium, magnesium, mangan dan
tembaga. Setidaknya level asupan diet yang disarankan (DRI) dari nutrien yang harus
dikonsumsi, terutama dari makanan daripada dari suplemen vitamin atau mineral.
Memenuhi kebutuhan dari asupan makanan juga mendukung persediaan kcal yang
mencukupi untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi selama sakit kritis.
Beberapa formula telah digunakan untuk menentukan kebutuhan energi oleh
pasien yang mengalami stres hipermetabolik. Satu formula (Harris-Benedict)
menghitung basal energy expenditure (BEE), tingkat aktivitas dan keparahan luka.
Tingkat aktivitas dianggap memerlukan energi jika pasien hanya berada di tempat tidur
atau dapat berjalan. Keparahan luka merupakan faktor berdasarkan apakah luka
disebabkan operasi mayor atau minor, infeksi ringan atau berat, trauma tulang atau
tumpul atau luka bakar (berdasarkan presentase area permukaan tubuh yang terkena)
(kotak 15-1).
Ahli diet yang teregistrasi berkolaborasi dengan tim medis, menggunakan formula
ini untuk menentukan kebutuhan energi. Apabila faktor yang diukur terjadi perubahan,
8
perawat dapat memperingatkan baik ahli diet yang teregistrasi atau anggota tim medis
lainnya untuk memastikan persediaan energi adekuat.
Kebutuhan cairan yang dibutuhkan selama stres hipermetabolik berdasarkan usia,
menunjukkan modifikasi komposisi tubuh berkaitan dengan usia. Untuk dewasa usia
lebih muda dari 55 tahun, kebutuhan cairan dihitung sekitar 35-40 mL/kgBB. Dewasa
usia 55-75 tahun membutuhkan jumlah yang lebih rendah, 30 mL/kgBB; dan untuk
dewasa usia lebih dari 75 tahun, 25 mL/kgBB merupakan jumlah yang disarankan.
Metabolisme karbohidrat
Produksi glukosa hepatik meningkat dan menyebar ke jaringan perifer meskipun
protein dan lemak digunakan untuk energi. Level insulin dan penggunaan glukosa
faktanya meningkat, tetapi timbul hiperglikemia yang tidak terselesaikan dengan
penggunaan insulin eksogen. Hal ini terjadi karena peningkatan rasio glukagon dan
insulin.
Metabolisme lemak
Untuk mendukung hipermetabolisme dan meningkatkan glukoneogenesis, lemak
diambil dari simpanan adiposa untuk menyediakan energi (lipolisis) sebagai hasil dari
9
peningkatan level katekolamin sejalan dengan penurunan produksi insulin. Jika pasien
hipermetabolik tidak diberi makan selama periode ini, penyimpanan lemak dan protein
secara cepat berkurang. Keadaan malnutrisi ini meningkatkan risiko infeksi dan
berkontribusi untuk terjadinya sindrom disfungsi multipel organ (MODS), sepsis dan
kematian.
10
Daftar makanan dari tiap kategori bervariasi di antara subkelompok di tiap kebudayaan.
Sering, generasi lebih muda mengikuti konsep ini tetapi tanpa mengetahui bahwa hal
tersebut berdasarkan teori keseimbangan panas-dingin.
Aplikasi ke perawatan : tiap kebudayaan, berdasar konsep yin-yang dan teori
panas-dingin, memiliki populasi yang cukup besar di Amerika Serikat. Ketika merawat
Orang Amerika keturunan Cina, Indian, Latin, Timur Tengah dan Filipina, konsep
seleksi makanan ini untuk mecapai kesehatan dan harmoni mungkin dapat
mempengaruhi pilihan makanan pasien. Meskipun pemilihannya kadang telah
dipilihkan, efek yang jelas bisa terlihat. Sebagai contoh, dengan teori panas-dingin,
kehamilan dianggap “panas” seperti vitamin. Sehingga vitamin tidak dimakan selama
kehamilan karena apabila makan vitamin maka tidak dapat mencapai keseimbangan.
Jika pasien tampak tidak mau mengikuti rekomendasi diet dan suplemen, dapat
dilakukan diskusi mengenai klasifikasi makanan tersebut.
Hidrasi/Status Cairan
Bertambahnya cairan yang hilang dapat disebabkan oleh demam (peningkatan
prespirasi), peningkatan output urin, diare, luka basah, atau terapi diuretik.
11
MALNUTRISI ENERGI PROTEIN
Asupan energi tidak adekuat, terutama dari protein, dapat menyebabkan defisiensi
protein akut atau kronik, atau protein-energy malnutrition (PEM). PEM dapat primer
atau sekunder. PEM primer merupakan akibat dari asupan nutrisi tidak adekuat. PEM
sekunder diakibatkan dari tidak adekuatnya asupan nutrisi disebabkan oleh penyakit
tertentu yang mengganggu konsumsi makanan, absorpsi nutrisi atau bertambahnya
nutrisi yang dibutuhkan.
Kwashiorkor
Sindroma klinis kwashiorkor didiagnosis kebanyakan berdasarkan hasil tes
laboratorium pada pasien dalam fase akut asupan protein buruk dan stres. Walaupun
mekanisme etiologi tidak diketahui, terlihat bahwa respon adaptif normal penghematan
protein seperti saat puasa telah gagal. Kwashiorkor timbul sekurang-kurangnya dalam 2
minggu.
Pasien dengan kwashiorkor terlihat cukup asupan, cenderung mempunyai jumlah
cadangan lemak dan massa otot normal (atau kadang diatas normal). Meskipun begitu,
temuan seperti rambut mudah tercabut, edema, kerusakan kulit, dan terlambatnya
penyembuhan luka merupakan tanda kwashiorkor. Karakteristik perubahan
laboratorium termasuk depresi berat protein viseral; albumin serum (<2,8 g/dL),
transferrin (<150 mg/dL), atau berkurangnya kapasitas pengikatan besi (<200 ug/dL)
dan depresi fungsi imun (<1500 limfosit/mm3).
Marasmus
Bentuk lain dari PEM-marasmus-bermanifestasi dengan kehilangan berat jaringan
lemak dan otot sebagai akibat dari defisiensi energi kronik. Tidak seperti kwashiorkor,
individu degan marasmus akan terlihat kurus dan lemah serta lesu. Simpanan protein
viseral dihemat pada pengeluaran protein somatik: otot skeletal sangat berkurang, tetapi
nilai laboratorium relatif tidak berubah (albumin serum berada di rentang normal).
Imunokompetensi dan penyembuhan luka cenderung tetap pada pasien dengan
marasmus. Marasmus merupakan kondisi kronik daripada akut. Terapi ditujukan kepada
12
pengembalian gradual tren penurunan. Dan walaupun terapi nutrisi medis atau bantuan
dibutuhkan, pemberian nutrisi dengan sangat agresif dapat berujung kondisi
mengancam jiwa yang disebut sindroma refeeding.
Marasmus-Kwashiorkor Mix
Bentuk kombinasi dari PEM terjadi ketika stres akut (bedah atau trauma) terjadi pada
seseorang yang mengalami kurang gizi kronis. Kondisi menjadi mengancam jiwa
karena adanya risiko tinggi terjadi infeksi dan komplikasi lain. Penting untuk
menentukan apakah marasmus atau kwashiorkor yang lebih dominan sehingga terapi
nutrisi lebih tepat dapat diberikan. Orang dengan kurang gizi, pasien tanpa stres
(hipermetabolik) berada pada risiko komplikasi seperti yang terlihat pada sindroma
refeeding, dan pasien stres cenderung mempunyai risiko kwashiorkor karena kurangnya
asupan makanan.
Perawat dapat menjadi pemain kunci pada pengenalan dan pencegahan berbagai jenis
PEM. Dengan mewaspadai tanda klinis dan nilai laboratorium pada kwashiorkor dan
marasmus, perburukan lebih lanjut pada status nutrisi pasien dapat dicegah.
Sindroma Refeeding
Memberikan asupan makanan pada pasien dengan malnutrisi energi-protein dapat
berujung kepada banyak komplikasi bila tidak dimulai dengan tepat. Faktanya,
pemberian asupan makanan dapat fatal bila dilakukan terlalu cepat. Pengenalan protein
dan kcal berlebihan dapat memperberat berbagai fungsi enzimatik dan fisiologis yang
mungkin sudah beradaptasi selama malnutrisi. Bersamaan dengan dimulainya
pemberian asupan makanan, perubahan cepat terjadi di fungsi tiroid dan endokrin,
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, cardiac output, sekresi insulin, dan
kebutuhan energi. Sindroma refeeding dihubungkan lebih kepada nutrisi parenteral
(pemberian asupan lewat sistem sirkulasi) daripada nutrisi enteral (pemberian asupan
lewat traktus gastrointestinal), tetapi kebijaksanaan dan akal sehat merupakan faktor
kunci dalam pemberian asupan makanan pasien semi kelaparan dan sakit kronis.
Patogenesis sindroma refeeding dideskripsikan pada bagian dibawah
Fosfor
13
Selama kelaparan, fosfor total berkurang secara besar-besaran. Selama pemberian
asupan makanan terdapat peningkatan influks seluler fosfor, menyebabkan
hipofosfatemia ekstraseluler berat. Hal ini akan terjadi pada pemberian asupan enteral
dan parenteral tetapi dapat dicegah dengan infus nutrisi lebih lambat. Hipofosfatemia
dapat juga menyebabkan dekompensasi kordis (perubahan sodium dianggap memainkan
peran tambahan pada pembebanan jantung). Sebagai tambahan, hipofosfatemia dapat
menyebabkan hipoksia jaringan dan perubahan fungsi jaringan.
Potasium
Karena potasium berkurang banyak dari jaringan, dan dibawah kondisi anabolik, tingkat
cairan ekstraseluler berkurang (hipomagnesemia), yang kemudian menyebabkan depresi
jantung, aritmia, kelemahan neuromuskular, iritabilitas, dan hiporefleksia.
Magnesium
Magnesium juga berkurang banyak dari jaringan, dan dibawah kondisi anabolik, tingkat
cairan ekstraseluler berkurang (hipomagnesemia), yang kemudian menyebabkan depresi
jantung, aritmia, kelemahan neuromuskular, iritabilitas, dan hiporefleksia.
Metabolisme Glukosa
Ketika glukosa diperkenalkan kembali melalui asupan tinggi glukosa atau volume besar
enteral atau parenteral, pasien kelaparan kehilangan stimulus untuk glukoneogenesis
(mekanisme adaptif penting selama kekurangan nutrisi). Supresi produksi glukosa
glukoneogenesis memicu penurunan penggunaan asam amino dan keseimbangan
negatif nitrogen. Sebagai tambahan, hiperglikemia dapat memicu diuresis osmotik,
dehidrasi, hipotensi, koma hiperosmolar nonketotik, ketoasidosis, dan asidosis
metabolik.
Intoleransi Cairan
Pemberian asupan makanan dengan karbohidrat menyebabkan ekskresi sodium dan air.
Dengan asupan sodium bersamaan, dapat menyebabkan ekspansi cepat dari volume
cairan ekstraseluler, yang akan menyebabkan retensi cairan dan bertambahnya berat
badan. Retensi cairan yang terlihat pada pemberian asupan karbohidrat dapat kemudian
mengalami eksarsebasi karena kehilangan massa jaringan dari kelaparan.
Mencegah Sindroma Refeeding
14
Nutrisi harus diperkenalkan kembali pelan-pelan kepada pasien kurang gizi selama
status kesehatan dan metaboliknya dimonitor dengan ketat. Perkiraan seksama tentang
kebutuhan energi harus dibuat melalui penilaian nutrisi yang komplit. Retensi cairan
harus diminimalisir (peningkatan berat badan >1 kg/minggu dapat diasumsikan sebagai
retensi cairan dan harus dihindari) dan memberikan pemberian fosfor, potasium, dan
magnesium yang adekuat setiap hari. Berat badan keseimbangan cairan harus dimonitor
setiap hari untuk menghitung laju pengembalian berat badan. Formula asupan (baik
enteral atau parenteral) harus juga mengandung jumlah nutrisi esensial lain yang
adekuat seperti vitamin dan mineral. Jumlah lebih banyak dari kebutuhan sehari-hari
tidak dibutuhkan, tetapi tidak adanya zat tersebut dapat berakibat fatal. Setelah 1
minggu, asupan kcal, cairan, dan sodium dapat dibebaskan tanpa takut adanya
konsekuensi karena berbagai keseimbangan metabolik sudah terjadi.
Pembedahan
15
Dalam dunia yang sempurna, semua pasien menjalani pembedahan akan berada dalam
status nutrisi optimal untuk menolong mereka mentoleransi stres fisiologis dari
pembedahan dan kelaparan sementara yang mengikuti. Tetapi lebih sering pasien
pembedahan berada dalam kondisi malnutrisi sekunder karena kondisi medis yang
menyebabkan mereka membutuhkan pembedahan. Sebagai tambahan, mereka dapat
mengalami anoreksia, mual, atau muntah, yang mana mengurangi kemampuan mereka
untuk makan. Demam dapat meningkatkan laju metabolik. Atau kebutuhan nutrisi dapat
tidak terpenuhi karena malabsorpsi. Untuk keberhasilan pembedahan, pasien malnutrisi
atau dalam bahaya malnutrisi harus diidentifikasi sehingga tindakan koreksi dapat
dilakukan. Sebelum pembedahan, pasien dibatasi sampai NPO untuk mencegah aspirasi.
Asupan oral umumnya dilanjutkan ketika suara usus sudah kembali, biasanya 24 sampai
48 jam setelah pembedahan. Diet postoperatif biasanya berkelanjutan dari cairan bening
sampai makanan padat sesuai toleransi.
16
superfisial partial thickness mempunyai karakteristik adanya kemerahan dan bula pada
epidermis dan dermis. Luka bakar deep partial thickness mempunyai karakteristik
adanya destruksi epidermis dan dermis (menyebabkan tampilan licin, putih, berbintik),
meninggalkan hanya sisa-sisa kulit seperti folikel rambut dan kelenjar keringat. Luka
bakar derajat dua membutuhkan waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan
untuk sembuh. Luka bakar derajat tiga (full thickness injury) mempunyai karakteristik
dengan destruksi seluruh epidermis, dermis, dan seringkali jaringan subkutan
dibawahnya. Kadang kala, jaringan otot dan tulang dapat mengalami destruksi. Luka
bakar derajat tiga tidak dapat sembuh dan memerlukan graft kulit.
Sebagai tambahan terhadap manajemen nyeri, perawatan luka, dan kontrol infeksi,
dukungan nutrisi dianggap sebagai salah satu hal yang signifikan dalam perawatan
pasien. 24 sampai 48 jam pertama terapi terhadap pasien luka bakar dimaksudkan untuk
mengganti cairan dan elektrolit. Kebutuhan cairan didasarkan kepada umur, berat
badan, dan luas luka pasien. Total body surface area (TBSA), digunakan untuk
memperkirakan luas luka bakar, dapat dikira-kira menggunakan “rule of nine”. Luka
cedera suhu akan sembuh hanya jika pasien berada dalam status anabolik. Meskipun
begitu, pemberian asupan harus dilaksanakan sedini mungkin bersamaan dengan
resusitasi pasien. Pemberian asupan enteral sangat awal (antara 4 sampai 12 jam rawat
inap) telah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi respon hiperkatabolik,
mengurangi pelepasan katekolamin dan glukagon, mengurangi kehilangan berat badan,
dan memperpendek lama perawatan di rumah sakit.
Beberapa metode dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan energi dan protein
pada pasien luka bakar. Kebutuhan energi bervariasi tergantung ukuran luka bakar.
Salah satu yang paling sederhana dan mudah untuk digunakan adalah formula Curreri
(dewasa), yaitu
Kebutuhan kcal per hari x [25 kcal x kg berat badan rata-rata(kg)] + [40 kcal x % TBSA
luka bakar]
Perkiraan menggunakan formula Curreri dapat melampaui kebutuhan energi aktual,
tetapi hal ini tidak jarang dijumpai pada pasien membutuhkan 4000 sampai 5000 kcal.
Metode lain adalah menghitung BEE (Harris-Benedict) dan mengalikan dengan faktor
1,5 sampai 2.
17
Kehilangan protein melalui urin dan luka, menambah penggunaan protein untuk
glukoneogenesis, dan penyembuhan luka menambah kebutuhan protein pada pasien
luka bakar. Meskipun begitu penting bahwa kcal dari protein tidak dihitung kedalam
total kebutuhan energi. Karbohidrat dan lemak baik untuk menghemat protein (sumber
energi nonprotein). Apakah pasien menerima jumlah energi atau protein yang adekuat
paling baik dievaluasi dengan penyembuhan luka, penerimaan graft, dan parameter
pengukuran nutrisi dasar.
Dalam hubungan dengan peningkatan kebutuhan energi, kebutuhan vitamin dan mineral
secara umum meningkat pada pasien luka bakar, tetapi kebutuhan tepatnya tidak
diketahui. Kebanyakan pasien akan menerima vitamin melebihi asupan yang
direkomendasikan karena asupan tinggi kcal mereka, tetapi pemikiran khusus harus
diberikan kepada vitamin C (sintesis kolagen, fungsi imun) dan vitamin A (fungsi imun
dan epitelisasi), suplemen umumnya direkomendasikan.
Kesimpulan
Respon tubuh terhadap stres juga mempengaruhi status nutrisi. Apakah respon stres
disebabkan oleh determinan fisiologis atau psikologis, seluruh tubuh terkena
pengaruhnya. Perubahan metabolik terjadi sebagai reaksi terhadap stres. Hal ini
termasuk perubahan disebabkan oleh stres sederhana yang mana timbul ketika pasien
berada pada risiko kurang gizi dan stres berat disebabkan oleh trauma atau penyakit.
Fungsi sistem imun juga dipengaruhi oleh perubahan hormonal dan metabolisme yang
timbul ketika stres metabolik berkembang. Kemampuan sistem imun untuk melindungi
tubuh mengalami depresi lebih lanjut bila status nutrisi jelek mengikuti stres metabolik.
18
Daftar Pustaka
https://www.scribd.com>mobile>doc>stres metabolik
https://fkunand2010.files.wordpress.com
www.coursewareobjects.com>pdfsressmetabolic
19