Anda di halaman 1dari 8

ANAK GEMUK, SEHATKAH?

by : Thesa Aryanti FK UNAND, 2008 Anak-anak kecil yang gemuk dan montok pasti menyita perhatian banyak orang. Bagaimana tidak, tingkahnya yang lucu dan menggemaskan membuat kita senang melihat dan menggendongnya. Para orang tua pun merasa bangga ketika anaknya paling gemuk diantara yang lain karena mereka beranggapan anak mereka lah yang paling sehat. Ternyata tidak hanya orang dewasa yang terkena obesitas, anak kecil dan balita pun bisa terkena obesitas. Menjadi tanda tanya bagi kita, apakah benar anak-anak yang gemuk itu sehat. Sebelum kita bercerita lebih jauh tentang ini, sebaiknya kita tahu dulu apa sebenarnya definisi obesitas pada anak. Obesitas adalah penimbunan lemak yang berlebihan secara umum pada jaringan subkutan dan jaringan lainnya di seluruh tubuh. Obesitas merupakan kelebihan lemak dalam tubuh bukan kelebihan berat badan. Pada umur 6 bulan berat badan bayi biasanya dua kali berat badan lahirnya dan ketika menginjak usia 12 bulan mencapai tiga kali berat badan lahir. Apabila dibawah umur 1 tahun berat badan bayi mencapai tiga kali berat badan lahir, ini merupakan risiko terjadinya obesitas di kemudian hari. Energi yang dibutuhkan oleh anak berasal dari makanan dan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh, aktivitas, dan untuk pertumbuhan. Jika energi yang masuk sama dengan energi yang dikeluarkan oleh tubuh maka berat badan anak akan stabil. Akan tetapi, jika energi yang masuk melebihi energi yang dikeluarkan maka ada terjadi deposit lemak sehingga menyebabkan terjadinya obesitas pada anak. Untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami obesitas atau tidak bisa dilihat dari KMS (Kartu Menuju Sehat) atau tabel hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan umur. Menurut NHANES (National Health Examination Survey) II tahun 1984 dan NHANES III tahun 1993, IMT yang lebih besar dari persentil 95 tergolong obesitas atau ada juga yang mengelompokkannya sebagai overweight. IMT antara persentil 85 dan persentil 95 digolongkan kepada
1

anak berisiko obesitas. Pengukuran yang menggunakan IMT ini tidak berlaku pada anak berumur 2 tahun. Selain menghitung IMT, ada dua cara lain untuk mengukur obesitas pada anak yaitu dengan mengukur persentase lemak tubuh dan dan mengukur lingkar pinggang. Persentase lemak tubuh merupakan indikator yang paling tepat untuk obesitas. Anak laki-laki yang memiliki persentase lemak tubuh diatas 25% dan anak perempuan diatas 32% tergolong obesitas. Pengukuran persentase lemak ini dilakukan melalui pengukuran tebal lipatan kulit yang tergolong sulit karena harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman. Dalam hal ukuran lingkar pinggang, mereka yang berisiko adalah yang berada diatas persentil 90 dari semua usia dan jenis kelamin. Secara kasat mata kita juga dapat mengenal anak-anak obesitas dengan melihat beberapa ciri diantaranya wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung karena payudara yang membesar oleh jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menimbulkan lecet, dan khusus pada anak laki-laki penisnya terlihat kecil karena tersembunyi di dalam jaringan lemak (burried penis). Obesitas pada anak lebih banyak terjadi di daerah kota (urban) daripada di daerah pedesaan (rural). Di Amerika Serikat obesitas anak-anak mulai memasuki ambang kecemasan. Sebuah jajak pendapat terbaru menyebutkan bahwa obesitas merupakan ancaman terbesar bagi anak-anak dan remaja, tertinggi di atas penyalahgunaan obat, merokok, keamanan internet, dan stres. Obesitas pada anak di Amerika serikat meroket dalam 30 tahun terakhir. Berdasarkan studi dari Centers for Disease Control di Atlanta tahun 2008 menunjukkan hampir satu dari lima anak usia 6-11 tahun dan 18,1% anak usia 12-19 tahun menderita obesitas. Di beberapa negara maju lainnya prevalensi obesitas juga menunjukkan angka yang berarti. Di Eropa, Inggris menempati urutan pertama dalam kasus obesitas pada anak dengan prevalensi sebesar 36% disusul oleh Spanyol dengan prevalensi 27% berdasarkan laporan Tim Obesitas Internasional. Obesitas pada anak sudah merambah ke berbagai negara berkembang di dunia, misalnya di Thailand prevalensi obesitas pada anak umur 5-12 tahun telah meningkat dari 12,2%

menjadi 15,6% hanya dalam waktu dua tahun (WHO, 2003). Di beberapa negara Asia seperti China, prevalensi obesitas pada anak mencapai 7,1%. Seakan tak mau kalah, potensi anak Indonesia untuk menjadi obesitas sama besarnya dengan potensi anak-anak di seluruh dunia. Begitu pula dengan konsekuensi medis dari obesitas ini dengan kecenderungan untuk menetap sampai ke masa kehidupan anak selanjutnya. Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 prevalensi berat badan berlebih pada anak usia 6-14 tahun, pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Berdasarkan penelitian DR.dr.Damayanti Rusli Sjarif,Sp.A(K) dari FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002 di 10 kota besar di Indonesia yaitu Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Manado dengan subjek siswa sekolah dasar menunjukkan angka yang cukup besar. Prevalensi obesitas pada anak di Medan sebesar 17,75%, Padang 7,1%, Palembang 13,2%, Jakarta 25%, Semarang 24,3%, Solo 2,3%, Yogyakarta 4%, Surabaya 11,4%, Denpasar 11,7%, dan Manado 5,3%. Paradoks sekali negeri ini. Disaat pemerintah sedang berjibaku menangani masalah kekurangan gizi pada anak di negeri tropis bercitrakan agraris ini, di sisi lain ternyata juga banyak anakanak Indonesia yang justru sangat berlebihan gizinya. Berdasarkan hukum termodinamika, obesitas terjadi karena keseimbangan energi positif pada anak. Asupan energi yang masuk lebih besar dari pada energi yang dipakai sehingga kelebihan energi ini disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar ketidakseimbangan energi ini disebabkan karena faktor eksogen/nutrisional sedangkan faktor endogen seperti kelainan hormonal, sindrom, atau defek genetik hanya menyumbang sebesar 10%. Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga sebagian besar disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan lingkungan seperti aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan nutrisional. Pertama, faktor genetik. Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan sangat besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya berpotensi menjadi obesitas. Jika salah satu orang tua obesitas, 40% anaknya berpotensi menjadi obesitas dan jika kedua orang tua tidak obesitas, kemungkinan terjadinya

obesitas pada anak hanya 14%. Seseorang yang mempunyai bakat untuk menjadi obesitas jika berhadapan dengan kondisi lingkungan yang mendukung maka anak tersebut dapat menderita obesitas. Kedua, faktor lingkungan yang terdiri dari aktivitas fisik, faktor nutrisional, faktor sosial ekonomi. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energi yang dikeluarkan yaitu sekitar 20-50%. Kurang beraktivitas dapat menyebabkan terjadinya obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian terhadap anak di Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi selama 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menonton 2 jam tiap harinya. Faktor lingkungan lain yang berperan adalah faktor nutrisional. Faktor nutrisi berperan sejak mulai dari kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak pada anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok dengan asupan rendah lemak. Penelitian lain menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Makanan berlemak mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Jika cadangan lemak dalam tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi dengan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak. Faktor sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap prevalensi terjadinya obesitas pada anak. Perubahan pengetahuan, sikap, gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan

yang dikonsumsi. Beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer/games, menonton TV atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Kebiasaan makan anak-anak zaman sekarang yang tidak sehat dapat meningkatkan prevalensi obesitas di kalangan mereka. Anak-anak zaman sekarang lebih memilih makan makanan instan, makanan cepat saji, minuman yang mengandung tinggi gula serta makanan cemilan yang sudah diproses yang tinggi kalori dan lemak namun rendah vitamin dibandingkan makanan sehat dan segar seperti sayuran dan buah. Ketersediaan dan harga dari junk food yang terjangkau menambah tingginya risiko obesitas ini. Segala hal yang berlebih-lebihan sudah tentu tidak baik begitu juga dengan kelebihan berat badan. Apalagi kalau kelebihan berat badan ini terjadi pada anakanak yang merupakan tunas-tunas bangsa harapan negara. Bayi dan anak yang obesitas mempunyai risiko cukup tinggi untuk tetap obesitas hingga dewasa. Pada anak yang obesitas terdapat disfungsi endotel vaskular apalagi anak tersebut juga mengidap hipertensi. Melalui pemeriksaan USG Doppler pada arteri karotis, Sorof menunjukkan bahwa anak yang obesitas akan mengalami penebalan tunika intima media. Tidak diketahui kenapa daerah ini menebal, namun diduga berkaitan dengan resistensi insulin, obesitas, sindrom metabolik, aterosklerosis, dan tentunya mengakibatkan hipertensi. Penelitian dari Rocchini tahun 1992 menyatakan bahwa anak obesitas yang mengalami penurunan berat badan ternyata juga akan mengalami penurunan resistensi vaskular bersamaan dengan penurunan resistensi insulin. Dengan demikian resistensi insulin dan resistensi vaskular berkaitan erat. Obesitas juga berhubungan dengan terjadinya asma. Sebuah studi yang dilakukan pada 406 anak-anak Amerika dengan rata-rata usia 11 tahun, diketahui bahwa anak-anak yang overweight akan cenderung lebih mudah terserang asma dengan frekuensi lebih dari satu kali serangan dibandingkan dengan anak-anak

yang normal. Penelitian lainnya juga membuktikan bahwa anak-anak yang overweight memang cenderung mengalami serangan asma karena aktivitas mereka yang terbatas. Di Amerika Serikat, Susan Woolforddari University of Michigan mengevaluasi peran obesitas dengan peningkatan jumlah pasien asma dan pneumonia anak usia 1-18 tahun di rumah sakit. Penelitian ini menganalisis data nasional Amerika Serikat sejak tahun 2000. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak pengidap asma yang obesitas memiliki waktu tinggal di Rumah Sakit rata-rata 3,26 hari sedangkan anak-anak pengidap asma yang tidak obesitas selama 2,32 hari. Anak-anak pengidap pneumonia yang obesitas akan memiliki waktu rawat yang sehari lebih lama (4,4 hari) daripada anak-anak yang tidak obesitas. Ada beberapa komplikasi obesitas masa anak lainnya yang dilaporkan yaitu gangguan pada sistem kardiovaskuler seperti tekanan darah yang naik, kholesterol total naik, trigliserida serum naik, LDL (Low Density Lipoprotein) naik, dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) naik. Selain itu obesitas pada anak juga menyebabkan hiperinsulinemia, kolelitiasis, penyakit Blount dan epifisis kaput femoris terlepas, pseudotumor serebri, serta gangguan pada paru seperti sindrom Pickwickian dan kelainan uji fungsi paru. Mengingat penyebab obesitas bersifat multifaktorial, maka

penatalaksanaan obesitas harus dilaksanakan secara multidisiplin. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan memodifikasi pola hidup. Tentunya hal ini tak lepas dari peran orang tua sebagai lini pertama. Berdasarkan uraian diatas, masihkah kita beranggapan bahwa anak yang gemuk itu sehat? Belum tentu. Kita harus melihat grafik di persentil manakah posisinya sekarang. Bagi yang mempunyai bakat untuk menjadi obesitas justru lebih berhati-hati menjaga pola makannya. Bagaimanapun mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk mencegah seorang anak agar tidak terkena

obesitas. Peran orang tua sangat besar pengaruhnya disini. Pola makan anak harus dijaga, kebiassan ngemil makanan yang tidak sehat harus dikurangi, dan yang paling penting mengontrol uang jajan si anak. Kebiasaan di rumah seperti sarapan pagi bersama keluarga yang pastinya dengan makanan yang sehat dan bergizi perlu digalakkan. Kebiasaan menonton TV di rumah juga perlu dikontrol oleh orang tua karena efek dari iklan makanan instan dan fast food begitu menggoda. Anak-anak tertipu dengan bentuk serta kelezatan dari makanan ini padahal nilai gizinya sangat minim dan kaya akan lemak. Tak hanya orang tua, pemerintah pun turut andil dalam mencegah obesitas pada anak ini. Salah satunya adalah dengan mempromosikan jajanan sehat dan pola hidup yang sehat di TV dan media massa. Di sekolah pun, anak-anak seharusnya juga mendapat pengarahan dari gurunya terkait dengan hal ini. Ternyata memang diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah ini demi masa depan anak Indonesia yang lebih baik lebih bersinar.

DAFTAR PUSTAKA 1. Colin D. Rudolph, Abraham D. Rudolph, Margaret K. Hostetter. Rudolphs Pediatrics. USA : McGraw-Hill;2003 2. Escott-Stump, Sylvia. Nutrition and Diagnosis-Related Care. USA : Lippincot Williams & Wilkins;2008. h. 183-184 3. Richard E. Behrman, Robert Kliegman, Ann M. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC;2000. h. 214-218 4. Siti Nurul Hidayati, Rudi Irawan, Boerhan Hidayat. Obesitas pada Anak. Surabaya : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR;2008

Anda mungkin juga menyukai