Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................i
BAB 1. PENDAHULUAN ..............................................................................1
1. Latar Belakang......................................................................................4
2. Tujuan...................................................................................................4
3. Manfaat.................................................................................................4
BAB 2. GAGASAN .........................................................................................4
1. Pemicu Gagasan....................................................................................5
2. Solusi Terkait Permasalahan.................................................................6
3. Pihak Pihak yang Dipertimbangkan Dapat Membantu........................6
4. Langkah Langkah Strategis dan Timeline............................................6
BAB 3. KESIMPULAN ..................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................9
Lampiran 1. Biodata Ketua, Anggota dan Biodata Dosen Pendamping...........12
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Penyusun dan Pembagian Tugas..........18
Lampiran 3. Surat Pernyataan Ketua Tim.........................................................19

i
1

BAB 1. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat
kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Stunting mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak.
Anak stunting juga memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di
masa dewasanya. Bahkan, stunting dan malnutrisi diperkirakan
berkontribusi pada berkurangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB)
setiap tahunnya (Candra, 2022).
Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki
panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan dengan
umur. Pengukuran dilakukan menggunakan standar petumbuhan anak dari
WHO, yaitu dengan interpretasi stunting jika lebih dari minus dua standar
deviasi median. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti
kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi. Umumnya berbagai penyebab ini
berlangsung dalam jangka waktu lama (kronik) (Kemenkes, 2018).
Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari data-
data survei dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang
menyatakan bahwa prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia
adalah 19,3%, lebih tinggi dibanding tehun 2013 (19,2%) dan tahun 2007
(18%). Bila dilihat prevalensi stunting secara keseluruhan baik yang mild
maupun severe (pendek dan sangat pendek), maka prevalensinya sebesar
30,8% (Riskesdas, 2018).
Sedangkan menurut WHO pada tahun 2018 prevalensi stunting pada
balita di dunia sebesar 22% (WHO, 2019). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dibanding
prevalesni stunting di dunia. Merujuk data prevalensi balita stunting yang
dilaporkan oleh WHO dari tahun 2005 sampai dengan 2017, rata-rata
prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 36,4%. Hal ini menjadikan
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional asia Tenggara (Kemenkes, 2018).
Angka prevalensi stunting provinsi NTB tahun 2021 berdasarkan data
SSGI menunjukkan angka yang cukup tinggi dengan persentase 31,4%.
Berdasarkan data surveilans gizi melalui e-ppgbm pengukuran bulan
Agustus 2022 untuk Provinsi NTB, didapatkan angka prevalensi sebesar
16,99%. Dua data tersebut masih di atas stundar nasional yaitu sebesar 14%.
Kabupaten/kota yang angka prevalensi diatas 16,99% berdasarkan data e-
ppgbm tahun 2022 diantaranya, Kabupaten Lombok Utara dengan 22,94%,
Kabupaten Lombok Tengah dengan 20,81%, Kabupaten Lombok Barat
dengan 18,69%, Kabupaten Lombok Timur dengan 17,63%, dan Kota
2

Mataram dengan 17,08%. Sedangkan Kabupaten/Kota yang telah mencapai


dibawah 14% diantaranya, Kabupaten Sumabwa dengan 8,11%, Kabupaten
Sumabwa Barat dengan 8,78%, Kabupaten Dompu dengan 13%, dan
Kabupaten Bima dengan 13,88%. Dengan Kabupaten Lombok Utara
menjadi Kabupaten tertinggi angka prevalensi stunting sebesar 22,94%.
Sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 8,11%.
(Dinkes Prov NTB, 2022). Pencapaian angka prevalensi stunting di Pulau
Sumbawa telah mencapai angka dibawah prevalensi stunting Provinsi.
Sedangkan untuk Kabupaten/Kota di Pulau Lombok masih berada di atas
angka prevalensi stunting Provinsi.
Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi
kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan
perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera ditangani dengan baik.
Dampak stunting dalam jangka pendek dapat berupa penurunan kemampuan
belajar karena kurangnya perkembangan kognitif. Sementara itu dalam
jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa karena
menurunnya kesempatan mendapat pendidikan, peluang kerja, dan
pendapatan yang lebih baik. Selain itu, terdapat pula risiko cenderung
menjadi obesitas di kemudian hari, sehingga meningkatkan risiko berbagai
penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, kanker, dan lain-lain
(Nirmalasari, 2020).
Jika dilihat dari akar masalahnya, faktor ekonomi, politik, sosial
budaya, kemiskinan, ketahanan pangan, pendidikan dan pelayanan
kesehatan memili peran dalam terjadinya stunting. Sedangkan pola
konsumsi pangan, pemberian ASI Ekslusif, pemebrian MPASI, dan
kesehatan lingkungan memili peran langsung terhadap kejadian stunting.
Sehingga jika faktor diatas dibiarkan begitu saja akan berdampak pada
stunting itu sendiri (Unicef, 1990).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2020), menunjukkan
bahwa pada kelompok stunting lebih banyak pendapatannya adalah dibawah
UMR, yang mana meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang
untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik,
sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli
pangan yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Tingginya penghasilan
yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan
seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari,
sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada
pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.
Faktor social budaya juga memiliki peranan dalam kejadian stunting.
Faktor sosial dan budaya antara lain meliputi pengetahuan masyarakat
tentang stunting, pola asuh, perilaku/praktek dan kebiasaan pemberian
makanan pada balita. Disamping itu, faktor lainnya adalah kurangnya
3

pengetahuan ibu, adanya kesalahan dalam pola asuh, sanitasi yang kurang
memadai dan belum memadainya pelayanan kesehatan serta masyarakat
belum menyadari jika anak pendek merupakan masalah (Mitra, 2015). Hal
ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Media (2021),
menerangkan bahwa masih terbatasnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya untuk menjaga kesehatan ibu dan janin
yang di kandung, terutama pada periode 1000 hari pertama kehidupan.
Sebagian masyarakat belum memahami pentingnya untuk memenuhi
kebutuhan gizi anak yang berada dalam kandungan, sehingga kepedulian
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan makanan yang sehat dan bergizi
selama kehamilan juga relatif kurang. Disamping itu, sebagian ibu hamil
masih beranggapan kebutuhan asupan makanan pada periode kehamilan
tidak jauh berbeda dengan sebelum hamil, dan ketika ada ibu hamil yang
mengalami susah makan selama kehamilan dianggap hal yang biasa dan
tidak perlu dikuatirkan.
Melihat kondisi saat ini, dibutuhkan peran serta bersama dalam
menyikapi masalah stunting. Peran dan aksi nyata semua pihak sangat
berarti untuk menurunkan angka kejadian stunting di daerah. Terutama
peran lintas sektor baik pemerintah, swasta, masyarakat, dunia usaha,
maupun lembaga non government dengan pendekatan kearifan lokal yang
mudah diterima oleh masyarakat. Kearifan lokal sering dikonsepsikan
sebagai kebijakan setempat, pengetahuan setempat, atau kecerdasan
setempat. Diketahui bahwa budaya atau keatifan lokal memiliki peran
penting pada kejadian stunting pada anak (Rizki, 2016). Pemanfaatan buaya
lokal memberikan manfaat penting dalam percepatan stunting dengan
pemenuhan gizi anak. Intervensi penggunaan buaya pangan lokal sebagai
makanan pengganti ASI memberikan hasil positif dalam pencegahan
stunting pada anak (Tonga, 2022).
Beberapa sektor yang masih belum optimal diberdayakan, semisal
peran Pondok Pesantren dan para Tuan Guru maupun tokoh agama lain
yang memiliki jamaah dan karismatik dalam memberikan arahan maupun
contoh kepada masyarakat. Faktor kharisma kyai merupakan salah satu
sumber kekuatan dalam menciptakan pengaruh di dalam masyarakat yang
masih berpusat dalam budaya paternalistik. Kemampuan kyai untuk
menjawab semua persoalan masyarakat baik yang bersifat individual
maupun komunal menyebabkan masyarakat sangat yakin terhadap
penyelesaian yang dilakukan oleh seoarang kiyai (Khanif, 2011).
Pengaruh dan peran aktif tokoh agama seperti kiyai dan tuan guru
sangat diperlukan dalam percepatan penurunan angka stunting. Hal ini
dikarenakan kyai memiliki peran dalam masyarakat tradisonal yakni sebagai
agent of change, maka cepat ataupun lambatnya perkembangan masyarakat
tradisional sangat dipengaruhi juga oleh kyai. Dengan melihat kesakralan
4

sosok dari kiyai, maka apapun yang dikehendaki atau diperintahkan oleh
kiyai seolah-olah menjadi sebuah sabda yang harus diikuti oleh masyarakat
tradisional karena mereka menganggap pasti sesuai dengan syariat islam
(Darwis N, 2017).
Keberadaan Kiyai/Tuan Guru dan Pondok Pesantren di tengah
masyarakat menjadi sebuah tokoh sentral/panutan patut untuk
dipertimbangkan sebagai upaya pencegahan stunting dari hulu. Faktor
kharisma dari seorang kyai/tuan guru merupakan salah satu sumber
kekuatan dalam menciptakan pengaruh di dalam masyarakat. Maka cepat
ataupun lambatnya perkembangan masyarakat sangat dipengaruhi juga oleh
Kyai/Tuan Guru. Kondisi sosial di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
mayoritas muslim, ditambah dengan keberadaan pondok pesantren setiap
desa/kelurahan, yang menjadikan pondok pesantren dapat menyentuh/
menjangkau semua kalangan dan level masyarakat.
Jika peran lintas sektor disenergikan, hal ini merupakan menjadi
sebuah peluang dalam upaya percepatan penurunan angka stunting.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dibuatkan strategi yang akan
berfokus pada upaya pencegahan stunting dari hulu dengan pendekatan
kearifan lokal setempat. Hal ini dapat dilakukan dengan HIT Plus (Holistik,
Integratif, Tematik Plus), yaitu mengintegrasikan intervensi spesifik dengan
sensitif pada kegiatan aplikatif satgas stunting seperti Audit Kasus Stutning,
Mini Lokakarya Kecamatan, Rembuk Stunting, ELSIMIL, TPK, serta Plus
Orang Tua Asuh dan Dapur Sehat Atasi Stunting (Dahsat) ditengah
masyarakat dengan tujuan akhir mencegah terjadinya stunting di Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
2. Tujuan
Mewujudkan sebuah strategi HIT Plus (Holistik, Integratif, Tematik
Plus) untuk menciptakan peluang dalam upaya percepatan penurunan
stunting
3. Manfaat
Menjadi peluang dalam upaya percepatan penurunan angka stunting

BAB 2. GAGASAN
1. Pemicu Gagasan
Dewasa ini kita ketahui bahwa Stunting disebabkan oleh faktor multi
dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami
oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita (TNP2K, 2017).
Arah dan kebijakan pelaksanaan penyelenggaraan percepatan
penurunan stunting mengacu pada tujuan Strategi Nasional Percepatan
Penurunan Stunting sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun
5

2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, yaitu : a). menurunkan


prevalensi stunting; b). meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan
berkeluarga; c). menjamin pemenuhan asupan gizi; d). Memperbaiki pola
asuh; e). meningkatkan akses dan mutu pelayanan Kesehatan; f).
meningkatkan akses air minum dan sanitasi. Dengan arah dan kebijakan
pelaksanaan penyelenggaraan percepatan penurunan stunting setidaknya
dilaksanakan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan intervensi gizi,
pendekatan multisectoral dan multipihak, dan pendekatan berbasis keluarga
berisiko stunting (BKKBN, 2022).
Merujuk dari Stategi Nasioanal Percepatan Pencegahan Stunting,
bahwa sasaran prioritas yakni Ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun atau rumah
tangga 1.000 HPK, dengan intervensi gizi spesifik dan sensitive sebagai
intervensi prioritasnya. Intervensi prioritas yang dapat dilakukan pada
kelompok Ibu hamil seperti, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil
dari kelompok miskin, dan pemberian sumplementasi tablet tambah darah,
suplemen kalsium serta pemeriksaan kehamilan rutin. Untuk kelompok Ibu
menyusui dan anak 0-23 bulan upaya intervensi yang dapat dilakukan
berupa promosi dan konseling menyusui, promosi dan konseling pemberian
makan bayi dan anak, tata laksana gizi buruk akut, pemberian makanan
tamahan pemulihan bagi anak gizi kurang akut, dan pemantauan
pertumbuhan (TNP2K, 2017).
Menyikapi kondisi stunting saat ini di Nusa Tenggara Barat,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor
68 Tahun 2020 tentang Aksi Pencegahan dan Percepatan Penurunan
Stunting Terintegrasi. Menerangkan, dalam mendukung aksi pencegahan
dan percepatan penurunan stunting di daerah, dilaksanakan program
unggula dan program inovatif yang memiliki intervensi gizi spesifik dan
gizi sensitive terhadap stunting. Program unggulan dan program inovatif
yang memiliki intervensi gizi spesifik terhadap stunting meliputi: a).
revitlisasi posyandu; b). generasi emas NTB; c). Aksi bergizi; d).
Pengolahan gizi buruk terintegrasi, dan; e). Pemberian makan bayi dan
anak. Sedangkan untuk intervensi gizi sensitive terhadap stunting
diantaranya: a). Jamban keluarga; b). Air bersih untuk semua; c). Rumah
layak huni; d). Pekarangan pangan lestari; e). Program keluarga harapan,
dan; f). Pendewasaan usia perkawinan.
Kita ketahui bahwa upaya dalam penurunan stunting tidak dapat
dilakukan oleh salah satu pihak saja, namun dibutuhkan komitmen dan aksi
nyata dari semua pihak. Baik dari segi aturan pemerintah maupun regulasi
yang mengatur teknis pelaksanaanya. Peran dari swasta, donor, masyarakat
madani, individu dan kelompok masyarakat juga sangat penting, sehingga
tercipta upaya bersama dalam pencegahan stunting. Berbicara terkait
stunting di Nusa Tenggara Barat tidak terlepas dari kondisi social budaya
6

setempat, yang mana terdapat tiga suku besar di dalamnya dengan


kebudyaan dan kearifan lokal tersendiri, sehingga turut serta mempengaruhi
kondisi stunting di Nusa Tenggara Barat.

2. Solusi Terkait Permasalahan


Upaya yang dilakukan untuk percepatan penurunan stunting di
Provinsi NTB dapat dilakukan dengan pendekatan HIT Plus (Holistik,
Integratif, dan Tematik Plus),
3. Pihak Pihak yang dipertimbangkan dapat membantu
Yaitu mengintegrasikan intervensi spesifik dengan sensitif pada
kegiatan aplikatif satgas stunting seperti Audit Kasus Stutning, Mini
Lokakarya Kecamatan, Rembuk Stunting, ELSIMIL, TPK, serta Plus Orang
Tua Asuh dan Dapur Sehat Atasi Stunting (Dahsat), dapat juga bekerjasama
dengan tokoh tokoh masyarakat dan Ulama’serta Pondok pesantren.
4. Langkah Langkah Strategis dan Timeline
1. Pendekatan Holistik
Holistik secara istilah dapat bermakna menekankan pentingnya
keseluruhan dan saling keterkaitan dari bagian-bagiannya. Sehingga upaya
pendekatan holistik dalam pencegahan stunting berkaitan dengan upaya
yang berfokus dilakukan dalam pencegahan kejadian stunting, baik yang
berkaitan dengan intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Dalam upaya
pendekatan holistik, dapat diawali dengan melakukan pemetaan spasial.
Pemetaan spasial dapat berkaitan dengan ruang atau letak geografis yang
dikenal sebagai geospasial yang merupakan data atau informasi yang
mengindentifikasi lokasi geografis yang telah dipetakan.
Setelah dilakukan pemetaan provinsi maka dapat dilakukan pemetaan
kabupaten hingga ke tingkat desa/kelurahan, dengan memperhatikan daerah
prioritas yang menjadi sasaran intervensi. Dengan melakukan pemetaan ini
didapatkan informasi lebih, baik berkaitan dengan daerah risiko tinggi
maupaun sumberdaya lainnya seperti ketersediaan program, pemangku
kepentingan, dan lintas sektor, dengan ilustrasi sebagai berikut:

Kab/Kota Risiko Tinggi


Ketersediaan Program
Pemangku Kepentingan
Lintas Sektor
Kecamatan Risiko Tinggi
Ketersediaan Program
Pemangku Kepentingan
Lintas Sektor
Desa/Kelurahan Risiko Tinggi
Provinsi
Ketersediaan Program

Kabupaten/Kota
Pemangku Kepentingan
Lintas Sektor

Kecamatan
 Dusun resiko tinggi
Kelurahan/ Desa
 Ketersediaan Program
 Pemangku Kepentingan
 Lintas Sektor
7

Gambar 1. Kerangka Pemetaan Pendekatan Holistik


Dengan pemetaan di atas dapat dilakukan penyusunan program dan
intervensi percepatan penurunan stunting secara holistik dengan
mempertimbangkan keseluruhan aspek yang ada di daerah atau wilayah
prioritas. Hal ini akan mempermudah melakukan koordiansi dan komunikasi
program antar pemangku kepentingan dengan lintas sektor.
Merujuk data surveilans status gizi (eppgbm) tahun 2022
menunjukkan bahwa, angka prevalensi stunting Provinsi Nusa Tenggara
Barat sebesar 16,99%, dengan prevalensi stunting Kabupaten/Kota di Pulau
Lombok masih berada di atas angka prevalensi stunting Provinsi.
Sedangkan Pencapaian angka prevalensi stunting di Pulau Sumbawa telah
mencapai angka dibawah prevalensi stunting Provinsi. Jika dilihat dari
angka di atas maka prioritas wilayah yang akan menjadi lokasi intervensi
program ada di Pulau Lombok. Dengan dilakukan analisis di atas dapat
dilakukan upaya intervensi secara holistik pada daerah atau wilayah
prioritas.
2. Pendekatan Integratif
Integratif secara bahasa bermakna penyatuan atau penggabungan,
pembaharuan hingga menjadi kesatuan yang utuh. Integrasi multisektor
sangat diperlukan karenan menyangkut stunting disebabkan oleh mutifaktor.
Mengintegrasikan program diperlukan dalam penyelarasan program agar
tidak terjadi tumpang tindih serta intervensi dapat dilakukan merata dan
tepat sesuai dengan kondisi sasaran. Seringkali program intervensi tidak
terintegrasikan sehingga terkesan menumpuk/fokus pada salah satu wilayah.
Pelibatan lintas sektor seperti perusahaan maupun lembaga
pendidikan, dirasa sangat mampu memberikan dampak pada daerah sekitar
tempat perusahaan atau lembaga pendidikan tersebut berada. Seperti
perusahaan dengan adanya CRS perusahaan dapat membantu memberikan
intervensi langsung kepada kelompok sasaran. Lembaga pendidikan seperti
Pondok Pesantren dengan keberadaan Kiyai/Tuan Guru dan Pondok
Pesantren di tengah masyarakat menjadi sebuah tokoh sentral/panutan patut
untuk dipertimbangkan sebagai upaya pencegahan stunting dari hulu.
Upaya yang dapat dilakukan oleh Tim Percepatan Penurunan
Stunting, diantaranya mengkoordinasikan dan menyinergikan kegiatan baik
ditingkat provinsi maupun kabupaten. Melihat sebaran Pondok Pesantren
yang notabenenya setiap desa terdapat minimal satu Pondok Pesantren,
dengan jumlah jamaah dan santri usia remaja (siap nikah), dirasa akan
sangat mudah untuk dapat memberikan edukasi awal terkait dengan
stunting.
Dengan melakukan integrasi program, Pondok Pesantren dapat
memberikan edukasi, diantaranya: a). Memasukkan kajian terkait gizi
Kesehatan dari sudut pandang keislaman; b). Memberikan pembekalan
8

untuk santri sebelum meluluskan sekolah terkait dengan Kesehatan


reproduksi dan perencanaan pernikahan yang baik secara Islam; c).
Menyelipkan kompanye Cegah Stunting pada setiap kajian maupun tablik
keagamaan pada masyarakat luas. Hal ini dirasa dapat langsung menyentuh
sasaran atau calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan, apalagi
dengan bimbingan Sekolah Pra Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat untuk persyaratan pernikahan. Upaya ini dirasa dapat membuat
masyarakat melek terkait dengan pencegahan stunting sejak dini.
3. Pendekatan Tematik Plus
Kegiatan Tematik Plus (Audit Kasus Stunting, Mini Lokakarya
Kecamatan, Rembuk Stunting, Elektronik Siap Nikah dan Hamil/ELSIMIL,
Tim Pendamping Keluarga/TPK, serta Plus Orang Tua Asuh dan Dapur
Sehat Atasi Stunting (Dahsat), merupakan upaya integratif program
intervensi sensitif dan spesifik dalam percepatan penurunan stunting.
Dengan adanya kegiatan tematik plus menjadikan pekerjaan terfokus,
terukur, terarah dan mudah untuk dilakukan evaluasi.
Kegiatan Audit Kasus Stunting, bertujuan untuk mengidentifikasi
terjadinya stunting pada kelompok sasaran, yakni calon pengantin/ calon
pasangan usia subur, ibu hamil, ibu nifas, baduta dan balita. Dengan
mengetahui penyebab faktor risiko terjadinya stunting pada kelompok
sasaran, merupakan upaya pencegahan dan perbaikan tata laksana kasus
yang serupa. Serta dapat memberikan rekomendasi penanganan kasus dan
perbaikan tata laksana kasus serta upaya pencegahan yang harus dilakukan
kedepannya. Kegiatan Mini Lokakarya merupakan pertemuan rutin tingkat
kecamatan dilakuakn setiap bulannya. Kegiatan ini diharapkan menjadi
wdah koordinasi dan kerjsama dari lintas sektor untuk menentukan strategi
dan langkah untuk membuat rencana kegiatan berdasarkan hasil pemantauan
dan monitoring Tim Pendamping Keluarga dengan memastikan
terlaksananya 3 (tiga) standar dan 4 (empat) pasti.
Kegiatan Rembuk Stunting merupakan salah satu langkah penting
yang harus dilakukan pemerintah Kabupaten/Kota untuk memastikan
pelaksanaan rencana kegiatan intervensi pencegahan dan penurunan stunting
dilakukan secara bersama-sama antara OPD penanggungjawab layanan
dengan lintas sektor. Dalam rembuk stunting didapatkan komitmen
pemerintah daerah dan rencana kegiatan intervensi gizi terintegrasi yang
telah disepakati. Pemanfaatan aplikasi ELSIMIL oleh TPK meruapakan
upaya pemantauan dan surveilans kelompok sasaran berisiko stunting.
Kegiatan Plus Orang Tua Asuh merupakan upaya yang dilakukan
untuk melibatkan multisektor dalam memberikan intervensi pada kelompok
sasaran berisiko stunting. Orang tua asuh dapat memilih beban atau
pembiayaan yang akan dikeluarkan dalam periode waktu intervensinya.
Selain orang tua asuh program plus lainnya adalah Dapur Sehat Atasi
9

Stunting (Dahsat), kegiatan yang berada dalam Kampung Keluarga


Berkualitas (Kampung KB) dan menjadi pusat gizi serta pelayanan pada
anak stunting. Keberadaan DAHSAT diharapkan mampu mengubah pola
perilaku masyarakat dalam penyiapan gizi seimbang, sehingga intervensi
1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) dapat dilakukan maksimal untuk
tidak terjadinya stunting.

BAB 3. KESIMPULAN
Upaya yang dilakukan dalam penurunan stunting tidak dapat dilakukan
oleh salah satu pihak saja, namun dibutuhkan komitmen dan aksi nyata dari semua
pihak. Baik dari segi aturan pemerintah maupun regulasi yang mengatur teknis
pelaksanaanya. Peran dari swasta, donor, masyarakat madani, individu dan
kelompok masyarakat juga sangat penting, sehingga tercipta upaya bersama
dalam pencegahan stunting.

DAFTAR PUSTAKA

Audrey HM, Candra A. Hubungan Antara Status Anemia Ibu Hamil Trimester Iii
Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di Wilayah Kerja Puskesmas
Halmahera, Semarang. J Kedokt DIPONEGORO. Available from:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/vie w/14458/13988
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2021. Panduan Satuan
Tugas Percepatan Penurunan Stunting Untuk Mendukung Percepatan
Penurunan Stnting Daerah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2018. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2018. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
BKKBN. (2021). BUKU PINTAR STUNTING - JILID 1. Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencan Nasioanl.
Candra A, Puruhita N, JS. Risk Factors Of Stunting Among 1-2 Years Old
Children In Semarang City. Medical bulletin. MEDIA Med Indones
[Internet]. 2011 Available
from:https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmi/article/vi ew/3254
Candra A., Nugraheni N., Hubungan Asupan Mikronutrien Dengan Nafsu Makan
Dan Tinggi Badan Balita," Jnh (Journal Of Nutrition And Health), Vol.
3, No. 2, Aug. 2015.
Candra, A. (2022). EPIDEMIOLOGI STUNTING (Vol. 1). Fakultas Kedokteran 
Universitas Diponegoro Semarang .
Danaei, G., Andrews, K. G., Sudfeld, C. R., Fink, G., McCoy, D. C., Peet, E.,
Sania, A., Smith Fawzi, M. C., Ezzati, M., & Fawzi, W. W. (2016). Risk
Factors for Childhood Stunting in 137 Developing Countries: A
Comparative Risk Assessment Analysis at Global, Regional, and Country
10

Levels. PLoS Medicine, 13(11).


https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1002164
Darwis N, R. (2017). KYAI SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL DAN
PERDAMAIAN DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL.
Sosiohumaniora, 19(2), 177–184.
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2021. STATUS GIZI BALITA
BERDASARKAN INDEKS BB/U, TB/U, DAN BB/TB MENURUT
KECAMATAN DAN PUSKESMAS PROVINSI NUSA TENGGARA
BARAT TAHUN 2021. Diakses di https://data.ntbprov.go.id pada
tanggal 20 Desember 2022
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2022. Data EPPGBM Provinsi
Nusa Tenggara Barat Pengukuran Bulan Agustus 2022.
El Taguri A, Betilmal I, Mahmud SM, Monem Ahmed A, et al. Risk factors for
stunting among under-fives in Libya. Public Health Nutrition 2009
Aug;12(8):1141-9.
Kementeri Kesehat Republik Indonesia. 2018. Buletin Stunting. 301(5):1163–78.
Kementerian Agama. 2022. Statistik Data Pondok Pesantren. Diakses di
https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik?id=52 pada tanggal 20
Desember 2022
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indoensia.
Khanif, A. (2011). MENGUJI KHARISMA KYAI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT MADURA JEMBER JAWA TIMUR. INFERENSI,
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 5(1), 121.
Media, Y. Elfemi, N. 2021. Permasalahan Sosial Budaya dan Alternatif Kebijakan
dalam Upaya Penanggulangan Stunting pada Balita di Kabupaten Solok,
Provinsi Sumatra Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni
2021: 56-68
Mitra, M. 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk
Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Jurnal
Kesehatan Komunitas, 2(6), 254–261.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol2.iss6.85
Nirmalasari, N O. 2020. Stunting Pada Anak: Penyebab dan Faktor Risiko
Stunting di Indonesia. Journal For Gender Mainstreaming. Vol 14 No. 1
Hal 19-28.
Rehman AM, Gladstone BP, Verghese VP, Muliyil J, et al. Chronic growth
faltering amongst a birth cohort of Indian children begins prior to
weaning and is highly prevalent at three years of age. Nutrition Journal
2009; 8:44.
Rizki, K, I., 2016. Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik Madura dan Kejadian
Stunting Balita Usia 24-59 Bulan di Bangkalan. Media Gizi Indonesia.
Vol 11 No 2 Hal 135-143
11

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100


Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting).
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.
Tonga, T. D., Tamu, J. G. U., 2022. Penguatan Kearfan Lokal Dalam Pencegahan
Stunting di Indonesia dengan Memanfaatkan Daun Katuk. KTI.
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Unicef, 1990. Nutrition in Africa’s drylands: A conceptual framework for
addressing acute malnutrition - Scientific Figure on ResearchGate.
Available from: https://www.researchgate.net/figure/UNICEF-
Conceptual-Framework-causes-ofmalnutrition-and-death-
19_fig1_34341765.
Wahyuni, D., Fitrayuna, R. 2020. Pengaruh Sosial Ekonomi dengan Kejadian
Stunting pada Balita di Desa Kualu Tambang Kampar. PREPOTIF Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Volume 4, Nomor 1, April 2020
WHO. 2022. Child Stunting Data Visualizations Dashboard.
http://apps.who.int/gho/data/node.sdg.2-2-viz-1?lang=en
World Health Organization. 2022. Global Health Observatory (GHO) data 2019.
Dapat diakses di https://www.who.int/gho/child-
malnutrition/stunting/en/.
12
13
14
15
16
17
18

Lampiran 2. Kontribusi ketua, anggota, dan dosen pendamping


No Nama Posisi penulis Bidang Kontribusi
19

Ilmu
1 May Hardianti Penulis pertama Gizi Melakukan
pengumpulan data
Pustaka
2 Muhammad Penulis kedua Farmasi Menyiapkan Draf
Rizal Januardi manuskrip
3 Nurul Jannah Penulis ketiga Farmasi Mengedit sesuai
format pedoman
4 Baiq Repika Penulis Terakhir Farmasi Pengarah dan
Nurul Furqan desain kegiatan
serta penyelaras
akhir manuskrip
20

Lampiran 3. Surat Pernyataan Ketua Pelaksana

Anda mungkin juga menyukai