Dosen Pengampu :
Ns. Angga Saeful Rahmat, S.Kep., M.Kep., SP. Kep., Kom
Disusun Oleh :
Cahya Faturohman 030320745
Siti Maulidya Sahid 030320779
Malika Abdillah 122070170
Jl. Raya Industri Pasir Gombong, Jababeka, Cikarang, Bekasi 17530.Telp. 02189111110 Email :
info@imds.ac.id Website : www.imds.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting adalah masalah gizi kronis yang ditandai dengan kondisi tubuh anak yang
pendek karena kurangnya asupan gizi pada masa 1000 hari pertama kehidupan . Sebanyak
149,2 juta anak dibawah 5 tahun tercatat menjadi penderita stunting menurut WHO pada
tahun 2020. Di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan angka prevalensi
tertinggi ke-2 dengan 31,8% dibawah Timor Leste (48,8%) . Angka prevalensi stunting di
Indonesia menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 adalah 24,4%,
artinya terjadi penurunan angka prevalensi stunting jika dibandingkan dengan hasil SSGBI
tahun 2019 yang mencapai 27,7%. 27 provinsi tercatat masih menjadi wilayah dengan
kategori stunting kronis-akut termasuk Provinsi Jawa Barat dengan angka prevalensi stunting
24,5%
Pemberdayaan pada kader dalam bentuk pelatihan atau penyuluhan diperlukan untuk
meningkatkan pengetahuan kader tentang permasalahan gizi pada masyarakat, khususnya
balita sehingga kader kesehatan terpapar informasi baru guna diterapkan dalam pelayanan
Posyandu. Penelitian yang dilakukan oleh Megawati & Wiramihardja (2019)
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari normal
berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan salah satu jenis
pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseorang. Adanya stunting
menunjukkan status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama
(kronis).
Stunting diukur sebagai status gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang
badan, umur, dan jenis kelamin balita. Kebiasaan tidak mengukur tinggi atau panjang
badan balita di masyarakat menyebabkan kejadian stunting sulit disadari. Malnutrisi
merupakan suatu dampak keadaan status gizi baik dalam jangka waktu pendek maupun
jangka waktu lama. Penyebab stunting bisa dikaitkan karena kurang gizi.
Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U
atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD
(pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Stunting adalah masalah
kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup
lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat
terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
2.2 Manifestasi Klinis Stunting
Stunting dapat terjadi karena asupan zat gizi yang rendah. Asupan protein,
kalsium dan fosfor mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Semakin rendah
asupan zat gizi (protein, kalsium dan fosfor) akan meningkatkan risiko lebih besar
terjadinya stunting (Rukmana et al., 2016).
Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung antara lain :
c. Pemberian ASI
Pemberian ASI ekslusif merupakan makanan terbaik bayi yang harus
diberikan, karena dalam ASI mengandung semua zat gizi yang bayi butuhkan.
Bayi usia 0-6 bulan membutuhukan ASI secara eksklusif, karena pada
pencernaan bayi terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian stunting pada Balita usia 24-59 (Tahun et al., 2020).
d. Penyakit infeksi
kekurangan gizi kronis yang sebenarnya telah dimulai sejak janin hingga
masa pertumbuhan sampai usia 2 tahun. Kurangnya asupan makan, baik
jumlah maupun kualitas secara terus-menerus akan menyebabkan anak mudah
terkena penyakit infeksi dan menghambat pertumbuhan anak. Sebaliknya anak
yang terus menerus sakit akan malas makan, sehingga asupan makanan yang
didapatkan tidak cukup, dan akibatnya anak dapat menjadi stunting. tingkat
kecukupan energi, protein, zinc dan zat besi pada balita berisiko pada kejadian
stunting dengan berat badan lahir rendah berisiko menderita stunting, dan
lebih rentan terhadap penyakit infeksi, seperti: diare, infeksi saluran
pernafasan bawah serta peningkatan risiko komplikasi, anemia maupun
gangguan paru-paru kronis yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
fisik menjadi tidak optimal Balita yang menderita infeksi cenderung berat
badannya mengalami penurunan yang disebabkan peningkatan metabolisme
dalam tubuh yang biasanya diikuti dengan nafsu makan yang menurun. Status
gizi menjadi menurun akibat penurunan berat badan yang berlangsung
terusmenerus (Tahun et al., 2020).
Adapun faktor yang secara tidak langsung menjadi penyebab terjadinya
stunting pada anak, antara lain meliputi :
Dampak dari stunting menurut (Aye et al., 2020) dibagi menjadi dua, yaitu
Jangka pendek berupa terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Sedangkan yang kedua adalah jangka pendek panjang berupa menurunnya
kemampuan kognitif, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit,
resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes , kegemukan, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (siti
helmiyati, 2020).
2) Sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, dilakukan melalui
dorongan pemberian IMD/Inisiasi menyusui dini (pemberian
kolostrum ASI), memberikan edukasi kepada ibu untuk memberikan
ASI eksklusif, pemberian imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang
bayi/balita setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.
3) Sasaran ibu menyusui dan Anak usia 7- 23 bulan, dilakukan melalui
dorongan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian Makanan Pendamping-ASI (MP-ASI), penyediaan dan
pemberiaan obat cacing, pemberiaan suplementasi zink, fortifikasi zat
besi ke dalam makanan, perlindungan terhadap malaria, pemberian
imunisasi, pencegahan dan pengobatan diare. Intervensi sensitif
dilakukan melalui bebagai program kegiatan, di antaranya
penyediaan akses air bersih, penyediaan akses terhadap sanitasi salah
satunya melalui program STBM, fortifikasi bahan pangan oleh
Kementerian Pertanian, penyediaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), penyediaan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal),
pemberian pendidikan pengasuhan pada orang tua, pemberian
pendidikan anak usia dini universal oleh kementerian pendidikan dan
kebudayaan, Keluarga Berencana (KB), pemberian edukasi kesehatan
seksual dan reproduksi, serta gizi remaja, pengentasan kemiskinan
dan peningkatan ketahanan pangan dan gizi (Bappenas 2013, TNP2K
2017).