TESIS
Oleh :
2021
BAB I
PENDAHULUAN
tinggi badan seorang anak dengan standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai
dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Menurut WHO pendek (stunting)
dipresentasikan berdasarkan tinggi badan dengan umur (TB/U) dengan nilai z-score yaitu
<-2 standar deviasi yang merupakan kategori pendek dan nilai z-score <-3,0 standar deviasi
merupakan kategori sangat pendek (Rahmayana et al., 2014; Triharno & Atmarita, 2015).
penurunan kekebalan tubuh, serta dapat berdampak pada produktivitas dan kapasitas
kerja. Penelitian yang dilakukan di Afrika, anak stunting mengalami penurunan dalam
keterampilan mengingat, kemampuan spasial, dan kognisi umum sehingga membuat anak
belajar (Sanou et al., 2018). Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
330 triliun sehingga kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara (Akbar,
2019).
Prevalensi anak di bawah usia 5 tahun atau bawah lima tahun (balita) yang
mengalami stunting pada tahun 2019 di dunia adalah 21,3% atau sebanyak 144 juta anak
(UNICEF, 2019). Prevalensi stunting di Benua Afrika pada tahun 2019 sebesar 29,1%, di
Benua Asia sebesar 21.8%, dan di Amerika Latin sebesar 9%. Prevalensi tertinggi stunting
di dunia pada tahun 2019 yaitu di Afrika timurdengan angka 34,5%, dilanjutkan dengan
Asia Selatan sebesar 31,7% dan Afrika Tengah sebesar 31,5%. Kejadian stunting lebih
2
banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini menandakan bahwa angka stunting masih
Status gizi pendek (stunting) adalah masalah yang tersembunyi yang disebabkan
oleh kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak. Stunting
anak tidak dapat mengembangan potensi dan kemampuan dalam dirinya secara optimal
Bukti menunjukkan bahwa stunting memiliki dampak jangka pendek dan jangka
panjang seperti gangguan kesehatan, prestasi belajar yang rendah di sekolah, SDM yang
berkualitas rendah dan pendapatan rumah tangga rendah serta peningkatan risiko penyakit
Permasalah gizi pendek (stunting) adalah suatu ancaman yang perlu diatasi segera.
Data global menunjukan bahwa sekitar 171 juta anak dibawah umur 5 tahun mengalami
stunting. Kondisi ini dialami oleh > 90% anak di wilayah Afrika dan Asia (Triharno &
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia
Tenggara, seperti Vietnam dengan prevalensi stunting 23%, dan Thailand 16,%. Prevalensi
stunting di Indonesia tahun 2016 yaitu 27,5%, mengalami peningkatan sebesar 29,6% pada
tahun 2017 dan pada tahun 2018 sebanyak 30,8%. Angka tersebut terdiri dari 11,5% balita
dengan kategori sangat pendek dan 19,3% balita kategori gizi pendek (Direktorat Gizi
Penyebab utama stunting adalah kurang gizi kronis yang dialami anak sejak 1000
hari pertama kehidupan (HPK) (Martorell, 2017). Masa 1000 HPK merupakan masa golden
age bagi anak, dimulai sejak masa kehamilan atau terbentuknya janin hingga anak berusia
2 tahun (UNICEF, 2017). Literatur lain juga menunjukkan bahwa beberapa faktor yang
3
dapat menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, yaitu (1)
faktor maternal dan antenatal care, (2) faktor lingkungan rumah, (3) faktor praktik
pemberian air susu ibu (ASI), serta (4) faktor praktik pemberian makanan pada balita
Faktor maternal adalah faktor yang terdapat pada ibu saat sebelum dan selama
masa kehamilan yang dapat memberikan pengaruh transgenerasi atau langsung terhadap
pertumbuhan dan perkembangan keturunannya pada masa 1000 HPK (Stewart et al, 2013).
Di beberapa negara berkembang, faktor risiko terbesar stunting adalah karena fetal growth
restriction (FGR) yang disebabkan oleh kondisi ibu sebelum atau selama masa kehamilan
(Danaei et al., 2016). Sekitar 20% kejadian stunting dimulai dari dalam rahim pada ibu
yang tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan janinnya
(Hamad et al., 2016; Titaley et al., 2019). Stunting dapat muncul selama masa kehamilan
yang diwariskan selain genetik juga dapat dipengaruhi oleh riwayat hidup maternal.
Dalam kerangka konsep WHO, faktor maternal terdiri dari kecukupan nutrisi ibu sebelum
dan selama masa kehamilan, tinggi badan ibu, kondisi mental ibu, kondisi kesehatan ibu,
dan usia ibu (World HealthOrganization, 2013). Kondisi gizi ibu sebelum atau selama
itu, untuk memenuhi asupan nutrisi selama kehamilan, ibu perlu meningkatkan porsi
makan dan memperhatikan apa yang ibu makan karena saat hamil, ibu dan janin
merupakan satu kesatuan dan sumber nutrisi janin adalah dari ibunya sehingga jika asupan
nutrisi ibu kurang maka asupan nutrisi untuk janin juga berkurang (Daba et al., 2013;
4
Ernawati et al., 2013).
janin, gangguan perkembangan kognitif, dan risiko gangguan lain di kemudian hari, serta
berisiko memiliki janin dengan intrauterine growth restriction (IUGR) yang dapat
mengganggu pertumbuhan anak di usia 5 tahun (Dorsey et al., 2017; Gordon & Halileh,
2013).
Tinggi badan ibu berpengaruh genetik dan epigenetik terhadap pertumbuhan anak
sempit sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin di dalam rahim (Khatun et al.,
2019). Ibu dengan tinggi badan < 145 cm berisiko dua kali lipat memiliki anak stunting
dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan ≥ 150 cm (Beal et al., 2019). Kemudian,
kehamilan remaja berisiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah, dimana
tahun, pertumbuhan organ reproduksi seperti rahim dan panggul belum maksimal,
(Afifah, 2014; Aguayo & Menon, 2016). Ibu yang melahirkan di usia ≤ 19 tahun
berpeluang lebih tinggi mendapatkan anak dengan stunting( Aguayo et al., 2016).
5
Selama kehamilan, penting bagi ibu untuk menjaga kondisi kesehatannya
terutama pada ibu dengan riwayat penyakit, karena pada masa ini dapat muncul
Disease Control and Prevention, 2020). Selain kondisi fisik, kondisi mental selama
kehamilan juga perlu diperhatikan karena kondisi mental ibu turut berpengaruh
Ada faktor lain yang berhubungan dengan faktor maternal yaitu pelayanan
kesehatan maternal atau antenatal care. Pemeriksaan kehamilan atau antenatal care
(ANC) adalah perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan kepada ibu hamil
untuk memastikan kesehatan ibu dan janin dan deteksi dini terkait komplikasi
kehamilan (WHO, 2016). Kunjungan ANC memberikan peluang pada ibu hamil
meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian makan yang sesuai untuk bayi
perbaikan dalam praktik diet, penambahan berat badan dan intervensi untuk
mengurangi risiko bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) ( Hueston et
6
Dalam mengurangi prevalensi stunting, diperlukan pencegahan dan
stunting, salah satunya adalah faktor maternal Pencegahan sejak kehamilan perlu
dilakukan karena pembentukan dan perkembangan otak serta organ terjadi di masa
ini sehingga apabila pada masa ini terjadi gangguan, efek yang ditimbulkan tidak
Pencegahan akan lebih efektif apabila intervensi yang diberikan tepat sasaran.
Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi mengenai apa saja faktor maternal dan
determinan stunting diantaranya adalah pengetahuan gizi ibu, Usia ibu saat hamil,
dan pola asuh ibu (Picauly & Toy, 2013; Rahmayana et al., 2014; Wahdah et al.,
2015).
2
yang ada dalam keluarga. Seorang ibu berperan besar terhadap pengasuhan dan
perawatan anak. Bentuk perawatan yang diberikan kepada anak mencakup praktek
pemberian makan, kesehatan dan dukungan psikologi yang akan berdampak pada
tumbuh kembang anak. Namun terkadang pola pengasuhan para ibu dengan status
pekerja atau wanita karier akan berbeda dengan ibu yang hanya berada di rumah
(Supartini, 2014).
menunjukan pemberian ASI ekslusif dan MPASI pada usia yang tidak tepat adalah
praktek yang menyumbangkan hubungan pola asuh dan stunting dengan nilai p-
Hasil studi terdahulu, menunjukan hasil yang sama yaitu adanya hubungan
pemberian ASI Ekslusif dan stunting (LAZ) dengan masing-masing nilai p-value
0,007 dan 0,047 (Kuchenbecker et al., 2015; R.K & A.B, 2014). Praktek pemberian
ASI ekslusif adalah bagian dari pola asuh yang diberikan ibu terhadap anaknya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nabuasa juga menyatakan bahwa pola
asuh gizi adalah faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian
stunting pada balita (Nabuasa et al., 2013). Parenting role atau peran pengasuhan
tidak diperoleh dari pendidikan secara formal tetapi dalam pelaksanaanya turut
dipengaruhi oleh pengetahuan yang diporeleh dari pengalaman secara trial and eror
(Supartini, 2014).
3
pada ibu yang tidak tamat sekolah dasar dengan kejadian stunting. Ibu yang tidak
tamat sekolah dasar memiliki peluang 3,3 kali lebih besar pada peningkatan
kejadian stunting (OR3.30, 95% CI 1.70-6.40). Hal ini dikaitkan dengan minimnya
pengetahuan yang dimiliki ibu , akibat rendahnya tingkat pendidikan ibu (Torlesse
et al., 2016).
Pengetahuan gizi ibu mempengaruhi asupan gizi yang diterima oleh anak,
berkaitan dengan pemilihan bahan dan keberagaman jenis makanan yang akan
diberikan kepada anak balita. Seorang ibu bertanggung jawab dalam menyediakan
makanan untuk anggota keluarga dan pola pengasuhan pada anak, sehingga masing-
masing individu dalam keluarga menjalankan perilaku gizi yang diterapkan oleh
ibu terlebih dalam kebutuhan makan dan pengasuhan anak (Uliyanti et al., 2017).
hasil bahwa hanya 27,5% ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi dengan
nilai koefisen 0,310, dikaitkan dengan asupan gizi yang diberikan kepada anak
4
pendidikan atau pengetahuan yang tidak baik mengenai gizi merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak (Khopkar et al.,
2014).
stunting (Rode, 2009). Hasil studi menjelaskan bahwa anak dari ibu yang bekerja
sebagai pedagang dan petani mempunya potensi yang sangat besar menjadi anak
stunting dibandingan dengan ibu yang hanya bekerja dirumah (Fikadu et al., 2014).
Ibu yang bekerja juga ikut mempengaruhi perilaku seorang ibu dalam mengasuh
Selain faktor pengetahuan dan pekerjaan, usia ibu saat hamil juga
adalah provinsi yang memiliki angka stunting tertinggi kedua di pulau Sulawesi,
angka prevalensi stunting di Sulawesi Tenggara tahun 2016 yaitu pada tahun 29,6%
dan 2017 mengalami meningkat menjadi 36,4%. Data stunting di Kabupaten Muna
tahun 2019 mengalami peningkatan yaitu 44,0%, tahun 2020 yaitu sebesar 31,8%
prevalensi stunting cukup tinggi dalam kurun waktu satu tahun terakhir serta belum
pernah dilakukanya penelitian terkait status gizi didaerah tersebut, menjadi penting
5
untuk dikaji lebih mendalam mengenai masalah kurang gizi tersebut. Dari 30
Lohia dan Puskesmas Labasa. Hasil studi pendahuluan menunjukan bahwa tingkat
pengetahuan mengenai stunting masih sangat rendah dan belum pernah diadakan
186 kasus, dan Puskemas Labasa 178 kasus. Selain faktor pengetahuan, budaya
berkaitan dengan kebiasaan memberikan makan dan menyusui pada anak masih
kurang baik, begitupun dengan pola asuh yang diberikan orang tua dalam perawatan
masalah kesehatan bagi anak baik jangka pendek maupun jangka panjang, serta
adanya faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan diperbaiki maka penelitian yang
pengetahuan, pekerjaan dan usia ibu saat hamil terhadap kejadian stunting melalui
prioritas yang harus ditangani karena masih dalam kategori akut ≥ 20% yaitu
6
tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 pada tahun 2018
sebesar 30,8%. Angka tersebut terdiri dari 11,5% balita dengan kategori sangat
3) Prevalensi stunting di Sulawesi Tenggara berada diatas 20% yaitu 29,6% pada
2016 dan mengalami peningkatan pada tahun 2017 menjadi 36,4%. Data
tahun 2020 yaitu sebesar 31,8% tahun 2021 meningkat sampai 31,90 %
rendahnya pengetahuan orang tua terkait gizi, pekerjaan orangtua yang ikut
mempengaruhi dari segi kurangnya waktu berinteraksis dengan anak dan, usia
ibu pada saat hamil yang masih belum memberikan dukungan sepenuhnya
dalam penelitian ini yaitu pengaruh faktor pengetahuan, pekerjaan, usia ibu saat
hamil dan pola asuh gizi melalui suatu studi penelitian untuk menganalisis faktor
di Kabupaten Muna ?
4) Bagaimanakah pengaruh faktor pola asuh gizi terhadap kejadian stunting pada
di Kabupaten Muna .
8
4) Menganalisis pengaruh faktor pola asuh gizi terhadap kejadian stunting pada
pengetahuan, pekerjaan, budaya dan pola asuh terhadap kejadian stunting dan
sebagai salah satu bahan acuan atau pertimbangan dalam penetuan kebijakan-
kesehatan
kejadian stunting yang akan berefek jangka panjang pada menurunya kualitas
SDM ada di Muna , serta meningkatkan peran serta perguruan tinggi dalam
BAB II
HIPOTESIS PENELITIAN
2.1.1. Stunting
1) Pengertian Stunting
Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseoarang ternyata lebih
pendek dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia) yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang diterima oleh janin/bayi (Kementrian Desa,
2017). Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir
akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek
(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U)
atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang
dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (Tim Nasional
untuk menilai status gizi anak melalui pengukuran antripometri dan merupakan indikator
yang sangat sensitif pada kuliatas hidup anak (Restrepo-méndez et al., 2014). Masalah
stunting disebabkan oleh, pengasuhan yang tidak baik, higiene atau praktik kebersihan
yang kurang baik. Stunnting menggambarkan status gizi kronis pada anak yang
11
diakibatkan dari riwayat sosial ekonomi keluarga yang tidak baik di masa lalu dan 2 tahun
pertama kehidupan anak, sehingga memberikan dampak yang sukar diperbaiki (Ngaisyah,
2015).
neurosensoris. Dampak lainya adalah berkaitan dengan kapasitas mental dan performa
anak di sekolah juga penurunanan kapasitas kerja saat dewasa, yang disebabkan oleh
yang lama yaitu kurang energi protein dan juga di sebakan penyakit yang diderita anak.
Branca dalam Fitrie menyatakan, kejadian stunting pada anak-anak adalah indikator
pertama untuk dalam mentukan kualitas sumber daya manusia pada masa depan. Kejadian
stunting saat anak berusia lima tahun cenderung menetap seumur hidup, gagal tumbuh
pada usia dini berlanjut pada masa remaja sampai dewasa. Sedgh, dalam Fitrie, kondisi ini
berdampak meningkatnya kejadian melahirkan anak yang BBLR dan beresiko meninggal
ekonomi, dan budaya. Faktor sosial ekonomi diantanya yaitu faktor pengetahuan dan
pekerjaan orang tua, kemudian faktor kebudayaan yaitu kebiasan dalam praktek pemberian
makan pada balita seperti pemeria ASI sampai usia bayi 6 bulan dan pemberian makanan
12
pendamping MPASI pada usia yang tepat (Alom et al., 2012; Reurings et al., & Solomons,
2013).
Haines et al, dalam penelitian menemukan bahwa ada beberapa faktor yang
berhubungan signifikan dengan stunting yaitu, pengatahuan terkait pengasuhan, sikap dan
kepercayaan dari paparan terhdapa informasi yang akurat dan tidak akurat (Haines et al.,
2018)
a. Faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita
b. Kekurangan pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan
Stunting pada anak dapat muncul berkaitan dengan efek maternal (Phiri,
2014). Faktor maternal adalah faktor ibu selama atau sebelum masa kehamilan yang
dan perkembangan keturunannya pada masa 1000 HPK (Stewart et al, 2013). Faktor
diwariskan selain genetik juga dapat dipengaruhi oleh riwayat hidup maternal .
premplementasi dan diferensiasi awal pada perkembangan janin. Nutrisi saat hamil
juga penting, karena status gizi ibu selama hamil dapat berpengaruh terhadap
pembagian gizi antara ibu dengan janin. Oleh karena itu penting untuk
tumbuh kembang anak saat masa awal pertumbuhan (Lowensohn et al., 2017).
Selain nutrisi, kondisi kesehatan ibu selama kehamilan, lingkungan ibu, usia ibu
saat hamil, kesehatan mental dan jarak kelahiran juga turut berpengaruh terhadap
tersebut adalah wanita dan mengalami masa sulit dan mengalami stress
lebih mungkin untuk memiliki anak stunting karena adanya gen stunting
pemberian perawatan (ibu, saudarah sedarah, ayah dan penyedia perawatan anak)
semangat yang penting bgi tumbuh kembang anak yang sehat (Kasmini, 2011).
peningkatan status gizi anak. Pola asuh mencakup interaksi orang tua dan ananya,
segala kebutuhan anak. Pola asuh orang tua terhadap anak tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya pendidikan dan pengetahuan. Pola asuh gizi dari ibu
11
12
berdampak pada status gizi anak karena kondisi gizi ditentukan oleh
untuk anak. Pola asuh merupakan kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan
kembang meliputi kebutuhan emosi atau kasih sayang. Asuhan dari seorang ibu
dapat menghadirkan kontak fisik dan psikis, melalui proses menyusui segera setelah
lahir sehingga dapat menjalin rasa aman dan menumbuhkan ikatan yang baik antara
Pola asuh gizi yang diberikan dari ibu yang tidak bekerja dapat dipantau
dengan baik oleh ibu meliputi menyediakan makan, jenis makan apa saja yang akan
diberikan dan sebagainya. Terlebih jika balita sakit lebih cepat terdeteksi dan akan
segera mendapat perawatan yang bersifat tradisional maupun secara medis. Pola
asuh yang diberikan oleh seorang ibu yang bekerja tentunya berbeda dengan ibu
yang tidak bekerja. Ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jarak
tempat kerja dan rumah menjadi faktor yang menghabat ibu pekerja dalam
memberikan ASI eksklusif dan mengasuh bayi mereka. Hasil studi menyatakan
bahwa ibu yang bekerja tidak memiliki banyak waktu untuk mengasuh anaknya,
selebihnya dilakukan oleh anggota keluarga lain dan pengasuh yang dibayar
Pengasuhan ibu yang kurang baik terhadap anak akan beresiko 9 kali lebih
yang memepunyai praktek pengasuhan balita yang baik (Razak et al., 2009).
Meningkatkan pengatahuan adalah salah satu bentuk upaya yang efektif dalam
mengatasi dan mencegah stunting. Pengetahuan ini bisa meliputi praktik pemberian
13
makanan yang sehat, pengetahuan tentang kandungan gizi dari berbagai jenis
makannan yag tersedia dan mampu mengidentifikasi stungting dan status gizi
secara umum serta praktik dalam pola pengasuhan anak (West et al., 2018).
Hasil penelitian yang telah dilakuakn menunjukan ada hubungan antara pola
asuh dan dengan stuting (Aramico et al., 2013; Asrar et al., 2009). Pola asuh atau
pola perawatan yang terapakan orang tua meliputi praktik pemberian makan,
hasil studi terdahulu membuktikan bahwa terdapat pengaruh pola asuh yang
meliputi praktik pemberian makan dan praktik kesehatan terhadap stunting. Praktik
balita (Niga & Purnomo, 2016). Penelitian terdahulu menunjukan bahwa pola asuh
berhubungan singnifikan terhadap status gizi anak. Pola asuh yang dimaksud,
praktik pemberian makan, praktik higiene, perilaku mencuci tangan dan psikososial
(Nasrul et al., 2015; Natalina & Praba, 2015; Pratiwi et al., 2016; Risma et al.,
2013). Praktik pemberian makan pada anak meliputi pemberian ASI ekslusif dan
pemberian makan pendamping ASI (MPASI). Anak yang tidak mendapatkan ASI
unsur nutrisi yang dibutuhkan bayi dalam periode 6 bulan. ASI mengandung
protein, dan lemak dengan jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan
pertumbuhan yang optimal bagi bayi (Leo et al., 2018). Untuk mendapatkan
pertumbuhan yang optimal, dalam pemberian ASI ekslusif dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan ibu. Pola asuh yang baik bagi anak, harus sejalan dengan tingakat
14
pendidikan dan pengetahuan yang baik pula dari seorang ibu Pengetahuan ibu
terkait ASI ekslusif memiliki korelasi dengan praktik pemberian ASI ekslusif.
Pengetahuan yang baik akan perdampak pada ibu dalam pemberian ASI ekslusif
pada anaknya (Atabik, 2014; Khoeroh & Indriyanti, 2017; Oemar & Novita, 2015;
Hasil peneltian Desyanti dan Nindya juga menujukan hal yang selaras pada
balita yang diasuh dengan praktik kebersihan yang buruk memiliki peluang sebesar
4.808 kali mengalami stunting dibandingan anak yang diasuh dengan pratik
2.1.3. Pengetahuan
1) Pengetian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
rasa dan indara peraba. Akan tetapi, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan dalam domain kognitif terbagimenjadi enam
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
2) Tingkatan Pengetahuan
terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang tercakup domain
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang elah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingakat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang itu tahu
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada
menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga
pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian stunting (Kusumawati et al., 2015; Ni’mah
& Nadhiro, 2015) Hasil penelitian lainnya juga menyatakan adanya perbedaan
pengetahuan sebelum dan setelah pemberian edukasi gizi tentang stunting kepada
kesehatan pada masa kehamilan akan meningkatkan pengetahuan dan hal tersebut
signifikan berpengaruh pada nilai HAZ dan WAZ. Pengetahuan ibu terkait
gizi kurang pada anak dalam populasi yang kekurang akses terhadap pendidikan
ibu terkait malnutrusi dengan stunting nilai p=0.001 (Mardani et al., 2015). dan
hasil yang selaras juga menujukan bahwa pengetahuan ibu terkait gizi dan stunting
18
Stunting merupakan gambaran dari status gizi anak yang tidak baik, status
gizi kurang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi sehingga upaya dalam perbaikan
status gizi terkendala sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan gizi seorang ibu.
Pengetahuan tidak hanya sekedar tahu tentang gizi namun harus paham gizi dan
yang rendah miliki pengaruh yang signifikan sebesar (OR=3.2: P=0.002) hubungan
yang signifikan dengan kejadian stunting. Para ibu memiliki pengetahuan yang
terbatas sehingga tidak optimal dalam pratik pemberian ASI Esklusif sehingga
2.1.4. Pekerjaan
nafkah yang berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja pada umumnnya
merupakan kegiatan menyita waktu. Ibu yang bekerja akan mempengaruhi terhadap
Ibu yang bekerja juga ikut mempengaruhi perilaku seorang ibu dalam
mengasuh anaknya dikaitkan dengan kesulitan dalam membagi waktu dalam proses
pengasuhan yang diberikan. Status gizi pada anak usia 0-6 bulan dipengaruhi oleh
kesibukan ibu diluar rumah, sehingga waktu interaksi dan perawatan yang berikan
19
ibu kepada anaknya berkurang dan ibu tidak bisa mengelola pola pemberian
makanan untuk anakanya setiap harinya. Hasil studi terdahulu oleh Sumarni (2013)
menemukan bahwa pada ibu pekerja memiliki anak dengan status gizi kurang
sebaliknya pada ibu bukan pekerja memiliki anak dengan status gizi baik
Hasil studi terdahulu menunjukan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu
dengan stunting dibuktikan dengan hasil statistik nilai p-value 0,001. Hasil studi
menjelaskan bahwa anak dari ibu yang bekerja sebagai pedagang dan petani
mempunya potensi yang sangat besar menjadi anak stunting dibandingan dengan
ibu yang hanya bekerja dirumah (Fikadu et al., 2014; Mugianti et al., 2018).
nafkah. Lamanya sesoarang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18
dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik
selama 10-40 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan
2015).
peningkatan kejadian stunting pada anak. Ibu yang bekerja lebih banyak memiliki
anak yang stunting dibandingkan anak normal. Hal tersebut dikaitkan pola asuh
20
yang dilakukan ibu, para ibu yang bekerja semakin kurang perhatian pada anakanya
berhubungan dengan status gizi (Swandarit et al., 2017). Penelitian lainya juga
menyatakan ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian stunting (Alom et al.,
2.1.5. Budaya
sebagainya yang merupakan bagian dari sistem budaya (Kasmini, 2011). Pantangan
mengandung perlambangan atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik
oarang dalam cara tingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologinya,
penyajian serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut
dikonsumsi. Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh dan tidak boleh
pantangan makan dan pola makan yang salah dapat mengakibatkan munculnya
masalah gizi terutama bagi balita. Hal ini dapat berdampak terhadap pertumbuhan
Muna Barat masih banyak yang tidak mendukung dengan pemberian ASI saja pada
bayi sampai berumur 6 bulan, banyak ibu dan orang tua yang beranggapan ASI saja
memberikan makanan tambahan lain. Namun akan timbul masalah jika ASI ekslusif
tidak maksimal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa
pemberian ASI tidak eksklusif merupakan faktor dominan sebagai resiko penyebab
anak mengalami stunting. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian terdahulu
pada anak. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa praktek atau kebiasaan
seorang ibu memberikan ASI pada bayi secara ekslusif selama 6 bulan dapat
status gizi anak. Budaya merupakan salah satu faktor yang memepengaruhi sikap
balita. Hasil penelitian Rizky menyatakan praktik sosio budaya gizi yang yang
kemungkinan berkaitan dengan stunting yaitu pantangan makan bagi ibu hamil,
pemberian makan prelakteal pada bayi baru lahir, bayi tidak memperoleh imunisasi
dan pemberian makan pendamping ASI dini (sebelum bayi berusia 6 bulan) (Illahi
& Muniroh, 2016). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakuakn di
22
Sumber: Adaptasi dari UNICEF 1990 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
Muna
Muna
Muna
Muna
6) Pekerjaan melalui pola asuh gizi berpengaruh terhadap kejadian stunting pada
7) Budaya melalui pola asuh gizi berpengaruh terhadap kejadian stunting pada
didasarkan pada perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar untuk perawatan
individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih luas. Keluarga adalah unit
budaya, rasial, etnik, dan sosio ekonomi. Aplikasi dari teori ini termasuk
model ini melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat (Allender &
masyarakat, untuk menentukan risiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan
lingkungan. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah
perspektif bahwa keluarga unit dasar untuk keperawatan individu dari anggota
keluarga. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat,
(Hitchcock, Schubert & Thomas 1999; Friedman dkk 2003 dalam Nursalam 2016).
didasarkan pada Friedman model. Pengkajian dengan model ini, melihat keluarga
dengan subsistem dari masyarakat (Friedman, dkk, 2003; Allender dan Spradley
2005 dalam Nursalam 2016). Proses keperawatan keluarga dengan fokus pada
proses keperawatan yang terdiri atas pengkajian individu dan keluarga, perumusan
evaluasi dari tindakan yang telah dilaksanakan (Friedman dkk 2003 dalam
Nursalam 2016).
1. Pengkajian
2. Pengkajian
3. Diagnosis keperawatan
keperawatan keluarga ada tiga jenis, yaitu diagnosis aktual, risiko, dan
4. Perencanaan.
mencakup tujuan umum dan tujuan khusus, dilengkapi dengan kriteria dan
keputusan.
5. Implementasi
dalam keluarga dan ditujukan pada lima tugas kesehatan keluarga dalam
tersedia.
6. Evaluasi
(2006).
29
(Nursing diagnoses)
Plan of care:
Setting of goals
Identifying resources
Defining alternative approaches
Selecting nursing interventios
Priority setting
Interventions
Implementation of plan-
mobilizingresouces
Gambar 2.2 Model family centered nursing
Evaluation of care
Sumber: Friendman, Bowden, & Jones 2003
30
peranannya tersebut.
dirinya sendiri.
penerimaan diri, harga diri, dan kesesuaian antara diri dan ideal dirinya.
pengasuhan anak.
31
dari perilaku ibu, role strain-role conflict (konflik peran) didefinisikan sebagai
dengan bayinya dan dalam memenuhi tugas rutinnya sebagai seorang ibu.
10. Attachment adalah komponen dari peran orang tua dan identitas yang
emosi yang telah dibentuk. Infant temperament dikaitkan dengan apakah bayi
11. Status kesehatan bayi (infant health status) adalah kesakitan yang disebabkan
oleh pemisahan ibu dan bayi, mempengaruhi proses kasih sayang (attachment).
13. Isyarat-isyarat bayi (infant cues) adalah perilaku bayi yang menunjukkan
14. Keluarga (family) didefinisikan sebagai sistem yang dinamis yang terdiri atas
aktivitas dan hubungan antara keluarga dan sub sistem serta unit sosial yang
tinggal dalam rumah. Ayah atau pasangan intim (father or intimate partner)
tidak bisa digantikan oleh orang lain. Interaksi ayah membantu mengurangi
tekanan dan menfasilitasi pencapaian peran ibu. Stress terbentuk dari persepsi
16. Dukungan sosial (sosial support) adalah sejumlah bantuan yang diterima, puas
lapangan emosional dari hubungan orang tuanya (Toney & Alligood, 2006).
Kemudian juga terdapat ada beberapa tahapan dalam pencapaian peran ibu,
a) Anticipatory
Suatu masa sebelum menjadi ibu, yang dimulai dengan penyesuaian sosial
dan psikologi terhadap peran barunya nanti, dengan mempelajari apa saja
belajat tentang ASI dan menyusui pertama kali saat setelah melahirkan ,
b) Formal
c) Informal
melaksanakan perannya.
d) Personal
sebagai ibu.
mulai sejak ibu menginjak kehamilan pada masa 6 bulan setelah melahirkan, tetapi
menurut Mercer mulainya peran ibu adalah setelah bayi lahir 3-7 bulan setelah
sebagai berikut:
1) Faktor ibu
b) Harga diri
34
e) sikap
f) pengalaman melahirkan
g) kesehatan ibu
h) konflik peran
2) Faktor bayi
a) Temperament.
b) Memberikan isyarat
c) Penampilan
d) Karakteristik
e) Daya tanggap
f) kesehatan
3) Faktor Ayah :
a) Dukungan
b) Interaksi
pendukung:
1) Emotional support
2) Informational support
3) Physical support
4) Appraisal support
Bronfenbrenner’s yaitu :
bagian yang terdiri dari: ibu, anak, maternal role identity dan dampak pada anak.
Secara lebih rinci, mikrosistem ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
Ibu akan belajar menyiapkan perannya dari lingkungan terdekat atau belajar
dari pengalaman masa lalu yaitu ibu, nenek atau informasi tenaga kesehatanterkait
dengan perannya sebagai ibu. Hal ini diharapkan akan mempengaruhi bayi, pola dan
perilaku sehari-hari ketika dia nanti memiliki peran baru (ibu). Peran yang
diharapkan itu adalah empathy yaitu perasaan terkait dengan kesadaran diri untuk
menjadi seorang ibu, self estem yaitu penerimaan terhadap perubahan- perubahan
yang terjadi baik secara fisik/psikologis ketika hamin, bersalin dan fase sebelumnya.
anak, kematangan dari segi organ dan fungsi reproduksi, psikologis, sosial, budaya,
dan ekonomi terkait dengan peranannya sebagai ibu. Sikap ibu apakah
dan pengalaman melahirkan, kalau ibu sering melahirkan maka banyak tahu dan
mengerti tentang peran dan perubahan yang akan terjadi setelah melahirkan.
kesehatan pada ibu akan menurunkan harga diri dan menyebabkan kelelahan atau
memperlambat proses transisi menjadi ibu. Konflik peran atau ketegangan peran
Kesemua faktor-faktor yang ada pada ibu akan mempengaruhi anak dalam
menolak, tidak mau menyusui dll. Faktor lain pada anak yang dapat
mempengaruhi peran ibu adalah status kesehatan dan karakteristik anak. Selain itu
faktor-faktor pada anak itu juga akan mempengaruhi ibu, begitu juga sebaliknya.
Kedua faktor-faktor yang ada baik pada ibu dan anak akan mempengaruhi
identitas peran pada ibu sehingga diharapkan ibu akan kompeten atau percaya diri
dalam melakukan perannya, ibu juga akan menjadi puas dan semakin dekat dan
membentuk suatu ikatan dengan anaknya. Ketiga hal ini baik faktor yang ada pada
anak, ibu dan maternal role identity akan berdampak pada anak baik dari segi
oleh hubungan ibu dan ayah, dukungan sosial, fungsi keluarga dan stress.
Selanjutnya lingkaran kedua yaitu mesosistem, pada bagian ini hal-hal yang terkait
adalah pola hidup, pengaturan jadwal kerja orang tua dan sekolah. Secara umum
lingkaran mesosistem ini dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu tingkat pendidikan
orang tua akan mempengaruhi penerimaan terhadap peran ibu, begitu juga
pengaturan jadwal kerja orang tua akan mempengaruhi peran ibu sehingga akan
dapat mempertahankan kedekatannya dengan anak, dan juga pola hidup dapat
makrosistem yang terdiri dari budaya, sosial, politik yang akan mempengaruhi
semua sistem
38
sistem semi tertutup yang memelihara batasan dan pengawasan yang lebih
kerja, tempat ibadah dan lingkungan yang umum berada dalam masyarakat.
peran menjadi ibu. Perilaku peran digambarkan melalui tahap formal dan
peran dan peran tersebut tidak ada dalam sistem sosial. Ibu membuat
1. Usia maternal
Usia remaja meningkatkan resiko lahir premature dan BBLR, ibu yang
lebih tua (diatas 30 tahun) meningkatkan resiko kematian janin atau bayi
2. Pengalaman melahirkan
attachment
5. Bakat personal
6. Konsep diri
7. Sikap kekanak-kanakan
8. Status kesehatan
9. Temperamen bayi
Bayi yang sulit atau tidak merasa nyaman akan membuat peran ibu
seorang ibu.
3. Attachment yaitu adalah komponen dari peran orang tua dan identitas
Pada bayi dan proses kedekatan antara keduanya. Akibat terburuk dari
masalah ini adalah adanya ketakutan ibu bahwa suatu saat anaknya akan meninggal.
Tahapan pencapaian peran ibu ini berkaitan dan sejalan dengan pertumbuhan
dan perkembangan bayi baru lahir respon perkembangan bayi sebagai respon
METODE PENELITIAN
mengalami stunting (kelompok kasus) dan subjek yang tidak mengalami stunting
(kelompok kontrol). Penelitian akan dilakasanakan di Muna Barat pada bulan Maret
2019.
3.2.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak balita berumur
6-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kabawo, Puskesmas Lohia dan Puskesmas
Labasa. Selanjutnya populasi dalam penelitian ini dibagi menjadi populasi kasus
adalah balita stunting. Sedangkan populasi kontrolnya adalah balita tidak stunting.
3.2.2 Sampel
yang dilakukan dengan memilih sampel berdasarkan status penyakit subjek, yaitu
berpenyakit (kasus) dan tidak berpenyakit (kontrol) oleh faktor yang diduga
28
29
1) Besar sampel
𝑍𝑎√2𝑃𝑄 +𝑍𝛽√𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2 2
n1=n2=( )
𝑃1−𝑃2
Pada penelitian ini menggunakan odd ratio penelitian terdahulu untuk variabel
proporsi P2 = 0,65
Q1 = 1-P1 = 0,125
Q2 = 1-P2 = 0,32
P = ( P1 + P2 )/ 2 = ( 0,577+0,32)/2 = 0,762
30
Q = 1- P = 0,238
n1 = n2 = 𝑍𝑎√2𝑃𝑄 +𝑍𝛽√𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2 2
( )
𝑃1−𝑃2
n1 = n2 = 1,96√2(0,762𝑥0,238) +0,842√(0,875)(0,125)+(0,65)(0,32) 2
( ) = 41,86 = 42
0,875−0,65
dilakukan oleh peneliti terdahulu dapat diketahui bahwa jumlah sampel terbesar
diperoleh pada variabel pekerjaan ibu (42 sampel). Peneliti menggunakan jumlah
sampel untuk setiap kelompok sehingga totalnya 100 sampel dengan perbandingan
1:1 atau sebanyak 50 sampel untuk kasus dan 50 sampel untuk kontrol. Responden
dalam penelitian ini adalah ibu balita. Pemilihan sampel dalam penelitian ini
Kriteria inklusi; Ibu yang memiliki Balita berusia 6-59 bulan, bersedia
Kriteria Eklusi; Ibu yang memiliki balita dengan cacat bawaan, balita
104
(1) Puskesmas Tiworo Tengah = = 205 x 50 = 25, 3 =23
73
(2) Puskesmas Sidamangura = 205 x 50 = 17,8 = 18
28
(3) Puskesmas Marobea = 205 x 50 = 6,8 = 7
1) Data Primer
(1) Data karakteristik dan tinggi badan balita diperoleh dengan hasil wawancara
langsung.
menggunakan kuesioner.
2) Data Sekunder
34
stunting dan balita tidak stunting. Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari
laporan Dines Kesehatan Kabupaten Muna Barat, Puskesmas (laporan data bagian
Gizi).
Dalam pengumpulan data, ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu sebagai
berikut:
1) Tahap Persiapan
(1) Pengajuan izin penelitian dengan membuat ethical clearance di Fakultas Ilmu
(2) Pengurusan surat izin penelitian ke instansi terkait yaitu Badan Kesatuan
Bangsa Dan Politik Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Kesatuan Bangsa Dan
2) Tahap pelaksanaan
(1) Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan dari ibu balita untuk menjadi
sampel
35
penelitian
(3) Memilih balita stunting pada kelompok pada kelompok umur 6-59 bulan sesuai
3) Pengolahan data
(1) Editing dengan mengecek isian kuesioner apakah jawaban kesioner telah
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner untuk
pola asuh.
Pengujin instrumen dengan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan
mengukur apa yang diinginkan. Uji validitas menggunakan korelasi Person Product
Moment, dengan ketentuan, jika koefisien korelasi 0,3 maka dinyatakan valid
(Sugiyono, 2016).
Reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau akurasi yang ditujukan oleh
digunakan berkali-kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data
yang sama. Pada uji reliabilitas pengujian instrumen dilakukan dengan teknik Alpha
Cronbach.
penelitian ini yaitu pengetahuan, pekerjaan, buadaya, melalui pola asuh terhadap
37
varibel dependen yaitu stunting (berat dadan menurut umur). Metode yang
digunakan adalah Chi Square dengan nilai keprcayaan 95% (nilai p = 0,05) dan
jalur digunakan untuk melukiskan dan menguji hubungan antar variabel yang
berbentuk sebab akibat. Melalui analisis jalur akan di temukan jalur mana yang
paling tepat dan singkat suatu variabel independent menuju variabel dependent
hubungan kausal anatara dua atau lebih variabel. Perbedaan analisis path dengan
Path analysis (nalisis jalur) merupakan ekstensi regresi, baik regresi linier
atau regresi logistik ganda, yang melibatkan sejumlah variabel independen dan
menggunakan data kontinu, diskrit, maupun dikatom. Tujuan dari path analysis
yaitu menghasilkan estimasi besaran dan signifikasi statistik hubungan kausal yang
dihipotesiskan antara sejumlah variabel, yang gambarkan oleh koefisien jalur (path
1) Spesifikasi Model
2) Identifikasi model
3) Kesesuaian model
4) Estimasi parameter
Gambar 3. Skema Path Analysis. Analisis jalur terkait tingkat Pengetahuan (X1),
Pekerjaan (X2), Budaya (X3) dan (X4) Pola Asuh (Y) Kejadian Stunting.
Berdasarkan skema analisis di atas, maka dapat dibuat persamaan sebagai berikut:
`DAFTAR PUSTAKA
Adelina, F. A., Widajanti, L., & Nugraheni, S. A. (2018). Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu,
Tingkat Konsumsi Gizi, Status Ketahanan Pangan Keluarga dengan Balita Stunting (Studi
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Duren Kabupaten Semarang).
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(5): 361–369.
Agus, R., & Budiman. (2013). Kapita Selekta Kesioner Pengetahuan dan Sikap Dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Aini, E. N., Nugraheni, S. A., & Pradigdo, S. F. (2018). Faktor yang Mempengaruhi Stunting
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Puskesmas Cepu Kabupaten Blora. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) FKM UNDIP, 6(5): 454–461.
Aisyah, Suyanto, & Rahfiludin, M. Z. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Stunting pada Anak Kelas Satu di SDI Taqwiayatul Watho, Daerah Pesisir Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 7(1): 280–288.
Aji, D. S. K., Wati, E. K., & Rahardjo, S. (2016). Analisis Faktor-Faktor yang berpengaruh
terhadap Pola Asuh Ibu Balita di Kabupaten Bayumas. Jurnal Kesmas Indonesia, 8(1): 1–
15.
AL-Rahmad, A. H., Miko, A., & Hadi, A. (2013). Kajian Stunting Pada Anak Balita ditinjau
dari Pemberian ASI Eksklusif , MP-ASI, Status Imunisasi Dan Karakteristik Keluarga di
Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes, 6(2): 169–184.
Alom, J., Quddus, M. A., & Islam, M. A. (2012). Nutritional Status of Under-Five Children in
Bangladesh: A Multilevel Analysis. Journal of Biosocial Science, 44(5): 525–535.
Amalia, H., & Mardiana. (2016). Hubungan Pola Asuh Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Lamper Tengah Kota Semarang. Journal Of Health Education,
1(2): 8–13.
Amin, N. A., & Julia, M. (2014). Faktor Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang Tua serta
Hubungannya dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-23 Bulan. Jurnal Gizi Dan
Dietetik Indonesia, 2(3): 170–177.
Andrianti, & Wirjatmadi. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Anindita, P. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zink dengan Stunting (Pendek) pada Balita Usia 6-35 Bulan di Kecamatan
Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2): 617–626.
Apriani, L. (2018). Hubungan Karekteristik Ibu, Pelaksnaan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)
dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Stunting. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(4): 198–205.
Aramico, B., Sudargo, T., & Susilo, J. (2013). Hubungan Sosial Ekonomi, Pola Asuh, Pola
Makan dengan Stunting Pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten
Aceh Tengah. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia, 1(3): 121–130.
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. E-Jurnal
2
Izhar, M. D. (2017). Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Pola Asuh Makan terhadap
Status Gizi Anak di Kota Jambi. Jurnal Kesmas Jambi (JKMJ), 1(2): 61–74.
Kasmini, O. W. (2011). Nilai Anak Jalanan Dalam Konteks Sosiokultural (Studi Tentang
Status Gizi Balita Pada Lingkunagan Rentan Gizi Di Desa Pucuk Kecamatan Mijen
Kabupaten Demak Jawa Tengah). Semarang: Unnes Press.
Kemenkes RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan
Peneltian dan Pengembagan Kesehatan.
Kementrian Desa. (2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta: Kementrian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Khoeroh, H., & Indriyanti, D. (2017). Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita Stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Sirampong. Unnes Journal of Public Health, 6(3): 190–195.
Khopkar, A. S., Virtanen, M. S., & Kulathinal, S. (2014). Anthropometric Characteristics of
Underprivileged Adolescents: A Study from Urban Slums of India. Journal of
Anthropology, 1–9.
Kuchenbecker, J., Jordan, I., Reinbott, A., Herrmann, J., Jeremias, T., Kennedy, G., …
Krawinkel, M. B. (2015). Exclusive breastfeeding and its effect on growth of Malawian
infants: results from a cross-sectional study. Paediatrics and International Child Health,
35(1): 14–23.
Kullu, V. M., Yusnani, & Lestari, H. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Desa Wawatu Kecamatan Moramo
Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, 3(2): 1–11.
Kusumaningtyas, D. E., & Deliana, S. M. (2017). Pola Pemberian Makanan Terhadap Status
Gizi Usia 12-24 Bulan pada Ibu Bekerja. Public Health Perspective Journal, 2(2): 155–
167.
Kusumawati, E., Rahardjo, S., & Sari, H. P. (2015). Model Pengendalian Faktor Risiko
Stunting pada Anak Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurnal Kesehatan Mayarakat Nasional,
9(3): 249–255.