Anda di halaman 1dari 65

ANALYSIS MATERNAL FAKTOR TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA

ANAK BALITA DI KABUPATEN MUNA

TESIS

Oleh :

FITRI DIANA ASTUTI


NPM : 215120066

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN (S-2)


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting adalah kondisi status gizi yang diidentifikasi berdasarkan perbandingan

tinggi badan seorang anak dengan standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai

dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Menurut WHO pendek (stunting)

dipresentasikan berdasarkan tinggi badan dengan umur (TB/U) dengan nilai z-score yaitu

<-2 standar deviasi yang merupakan kategori pendek dan nilai z-score <-3,0 standar deviasi

merupakan kategori sangat pendek (Rahmayana et al., 2014; Triharno & Atmarita, 2015).

Pada konsekuensi jangka panjang anak dengan stunting dapat mengalami

penurunan kekebalan tubuh, serta dapat berdampak pada produktivitas dan kapasitas

kerja. Penelitian yang dilakukan di Afrika, anak stunting mengalami penurunan dalam

keterampilan mengingat, kemampuan spasial, dan kognisi umum sehingga membuat anak

anak mengalami kesulitan dalam pembelajarandan menyebabkan menurunnya prestasi

belajar (Sanou et al., 2018). Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas), stunting bisa menyebabkan Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar

330 triliun sehingga kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara (Akbar,

2019).

Prevalensi anak di bawah usia 5 tahun atau bawah lima tahun (balita) yang

mengalami stunting pada tahun 2019 di dunia adalah 21,3% atau sebanyak 144 juta anak

(UNICEF, 2019). Prevalensi stunting di Benua Afrika pada tahun 2019 sebesar 29,1%, di

Benua Asia sebesar 21.8%, dan di Amerika Latin sebesar 9%. Prevalensi tertinggi stunting

di dunia pada tahun 2019 yaitu di Afrika timurdengan angka 34,5%, dilanjutkan dengan

Asia Selatan sebesar 31,7% dan Afrika Tengah sebesar 31,5%. Kejadian stunting lebih
2
banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini menandakan bahwa angka stunting masih

tinggi dan perlu untuk segera ditanggulangi.

Status gizi pendek (stunting) adalah masalah yang tersembunyi yang disebabkan

oleh kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak. Stunting

mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan irreversibel (tidak dapat diubah) yaitu

anak tidak dapat mengembangan potensi dan kemampuan dalam dirinya secara optimal

(Ni’mah & Nadhiro, 2015; Triharno & Atmarita, 2015).

Bukti menunjukkan bahwa stunting memiliki dampak jangka pendek dan jangka

panjang seperti gangguan kesehatan, prestasi belajar yang rendah di sekolah, SDM yang

berkualitas rendah dan pendapatan rumah tangga rendah serta peningkatan risiko penyakit

kardiovaskular di masa dewasa (Hagos et al., 2017).

Permasalah gizi pendek (stunting) adalah suatu ancaman yang perlu diatasi segera.

Data global menunjukan bahwa sekitar 171 juta anak dibawah umur 5 tahun mengalami

stunting. Kondisi ini dialami oleh > 90% anak di wilayah Afrika dan Asia (Triharno &

Atmarita, 2015; Wang et al., 2017).

Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia

Tenggara, seperti Vietnam dengan prevalensi stunting 23%, dan Thailand 16,%. Prevalensi

stunting di Indonesia tahun 2016 yaitu 27,5%, mengalami peningkatan sebesar 29,6% pada

tahun 2017 dan pada tahun 2018 sebanyak 30,8%. Angka tersebut terdiri dari 11,5% balita

dengan kategori sangat pendek dan 19,3% balita kategori gizi pendek (Direktorat Gizi

Masyarakat, 2017; Kemenkes RI, 2018).

Penyebab utama stunting adalah kurang gizi kronis yang dialami anak sejak 1000

hari pertama kehidupan (HPK) (Martorell, 2017). Masa 1000 HPK merupakan masa golden

age bagi anak, dimulai sejak masa kehamilan atau terbentuknya janin hingga anak berusia

2 tahun (UNICEF, 2017). Literatur lain juga menunjukkan bahwa beberapa faktor yang

3
dapat menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, yaitu (1)

faktor maternal dan antenatal care, (2) faktor lingkungan rumah, (3) faktor praktik

pemberian air susu ibu (ASI), serta (4) faktor praktik pemberian makanan pada balita

((Black & Heidkamp, 2018; Stewart et al., 2013; WHO, 2013).

Faktor maternal adalah faktor yang terdapat pada ibu saat sebelum dan selama

masa kehamilan yang dapat memberikan pengaruh transgenerasi atau langsung terhadap

pertumbuhan dan perkembangan keturunannya pada masa 1000 HPK (Stewart et al, 2013).

Di beberapa negara berkembang, faktor risiko terbesar stunting adalah karena fetal growth

restriction (FGR) yang disebabkan oleh kondisi ibu sebelum atau selama masa kehamilan

(Danaei et al., 2016). Sekitar 20% kejadian stunting dimulai dari dalam rahim pada ibu

yang tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan janinnya

(Hamad et al., 2016; Titaley et al., 2019). Stunting dapat muncul selama masa kehamilan

yang efeknya terlihat pada saat pertumbuhan postnatal (Phiri, 2014).

Faktor maternal dapat berpengaruh terhadap kondisi keturunan dimana perbedaan

yang diwariskan selain genetik juga dapat dipengaruhi oleh riwayat hidup maternal.

Dalam kerangka konsep WHO, faktor maternal terdiri dari kecukupan nutrisi ibu sebelum

dan selama masa kehamilan, tinggi badan ibu, kondisi mental ibu, kondisi kesehatan ibu,

dan usia ibu (World HealthOrganization, 2013). Kondisi gizi ibu sebelum atau selama

kehamilan berpengaruh terhadap perkembangan janin. Sebelum kehamilan, penting untuk

mengoptimalkan nutrisi ibu karena nutrisi tersebut dapat mendukung bagaimana

lingkungan premplementasi dan diferensiasi awal pada perkembangan janin Sementara

itu, untuk memenuhi asupan nutrisi selama kehamilan, ibu perlu meningkatkan porsi

makan dan memperhatikan apa yang ibu makan karena saat hamil, ibu dan janin

merupakan satu kesatuan dan sumber nutrisi janin adalah dari ibunya sehingga jika asupan

nutrisi ibu kurang maka asupan nutrisi untuk janin juga berkurang (Daba et al., 2013;

4
Ernawati et al., 2013).

Ibu yang mengalami kekurangan nutrisi dapat menyebabkan janin tidak

mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan

janin, gangguan perkembangan kognitif, dan risiko gangguan lain di kemudian hari, serta

berisiko memiliki janin dengan intrauterine growth restriction (IUGR) yang dapat

mengganggu pertumbuhan anak di usia 5 tahun (Dorsey et al., 2017; Gordon & Halileh,

2013).

Tinggi badan ibu berpengaruh genetik dan epigenetik terhadap pertumbuhan anak

(MAL-ED Network Investigators, 2017). Wanita pendek cenderung memiliki panggul

sempit sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin di dalam rahim (Khatun et al.,

2019). Ibu dengan tinggi badan < 145 cm berisiko dua kali lipat memiliki anak stunting

dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan ≥ 150 cm (Beal et al., 2019). Kemudian,

kehamilan remaja berisiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah, dimana

dapat meningkatkan kemungkinan anak mengalami stunting. Perempuan usia dibawah 18

tahun, pertumbuhan organ reproduksi seperti rahim dan panggul belum maksimal,

sehingga apabila hamil akan meningkatkan peluang komplikasi pada kehamilannya

(Afifah, 2014; Aguayo & Menon, 2016). Ibu yang melahirkan di usia ≤ 19 tahun

berpeluang lebih tinggi mendapatkan anak dengan stunting( Aguayo et al., 2016).

5
Selama kehamilan, penting bagi ibu untuk menjaga kondisi kesehatannya

terutama pada ibu dengan riwayat penyakit, karena pada masa ini dapat muncul

beberapa masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan komplikasi (Center for

Disease Control and Prevention, 2020). Selain kondisi fisik, kondisi mental selama

kehamilan juga perlu diperhatikan karena kondisi mental ibu turut berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (Anne et al., 2004).

Ada faktor lain yang berhubungan dengan faktor maternal yaitu pelayanan

kesehatan maternal atau antenatal care. Pemeriksaan kehamilan atau antenatal care

(ANC) adalah perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan kepada ibu hamil

untuk memastikan kesehatan ibu dan janin dan deteksi dini terkait komplikasi

kehamilan (WHO, 2016). Kunjungan ANC memberikan peluang pada ibu hamil

mendapatkan pendidikan kesehatan mengenai perawatan kehamilan dan

meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian makan yang sesuai untuk bayi

setelah melahirkan seperti pemberian ASI eksklusif dan makanan tambahan

(Titaley et al., 2019). Selain itu kunjungan ANC cenderung mempengaruhi

perbaikan dalam praktik diet, penambahan berat badan dan intervensi untuk

mengurangi risiko bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) ( Hueston et

al.2003 dalam (Vir, 2016).

6
Dalam mengurangi prevalensi stunting, diperlukan pencegahan dan

pemberian intervensi terhadap semua faktor yang dapat mempengaruhi kejadian

stunting, salah satunya adalah faktor maternal Pencegahan sejak kehamilan perlu

dilakukan karena pembentukan dan perkembangan otak serta organ terjadi di masa

ini sehingga apabila pada masa ini terjadi gangguan, efek yang ditimbulkan tidak

dapat diperbaiki (Martorell, 2017). Dalam melakukan pencegahan stunting

sebelum atau selama masa kehamilan diperlukan intervensi yang tepat.

Pencegahan akan lebih efektif apabila intervensi yang diberikan tepat sasaran.

Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi mengenai apa saja faktor maternal dan

antenatal care yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak.

Penelitian mengenai faktor risiko stunting sudah banyak dilakukan

sehingga perlu dilakukan identifikasi mengenai simpulan faktor maternal yang

mempengaruhi kejadian stunting. Hal tersebut bertujuan agar para pemberi

intervensi mendapatkan gambaran faktor maternal yang mempengaruhi kejadian

stunting sehingga memudahkan dalam pemberian intervensi yang sesuai.

Tingginya prevalensi stunting ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor

determinan stunting diantaranya adalah pengetahuan gizi ibu, Usia ibu saat hamil,

dan pola asuh ibu (Picauly & Toy, 2013; Rahmayana et al., 2014; Wahdah et al.,

2015).
2

Parenting atau pola asuh dalam pelaksanaannya berdasarkan pada nilai

yang ada dalam keluarga. Seorang ibu berperan besar terhadap pengasuhan dan

perawatan anak. Bentuk perawatan yang diberikan kepada anak mencakup praktek

pemberian makan, kesehatan dan dukungan psikologi yang akan berdampak pada

tumbuh kembang anak. Namun terkadang pola pengasuhan para ibu dengan status

pekerja atau wanita karier akan berbeda dengan ibu yang hanya berada di rumah

(Supartini, 2014).

Bentuk perawatan terkait praktek pemberian makan pada bayi yaitu

pemberian ASI Ekslusif dan pemberian MPASI. Hasil penelitian sebelumnya

menunjukan pemberian ASI ekslusif dan MPASI pada usia yang tidak tepat adalah

praktek yang menyumbangkan hubungan pola asuh dan stunting dengan nilai p-

value < α (0,05) (Aridiyah et al., 2015).

Hasil studi terdahulu, menunjukan hasil yang sama yaitu adanya hubungan

pemberian ASI Ekslusif dan stunting (LAZ) dengan masing-masing nilai p-value

0,007 dan 0,047 (Kuchenbecker et al., 2015; R.K & A.B, 2014). Praktek pemberian

ASI ekslusif adalah bagian dari pola asuh yang diberikan ibu terhadap anaknya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nabuasa juga menyatakan bahwa pola

asuh gizi adalah faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian

stunting pada balita (Nabuasa et al., 2013). Parenting role atau peran pengasuhan

tidak diperoleh dari pendidikan secara formal tetapi dalam pelaksanaanya turut

dipengaruhi oleh pengetahuan yang diporeleh dari pengalaman secara trial and eror

(Supartini, 2014).
3

Pengetahuan adalah aspek kognitif yang sangat dominan dan berdampak

sangat besar terhadap pembentukan perilaku seseorang. Tinggi rendahnya

pengetahuan gizi erat kaitanya dengan tingkat pendidikan seseorang. Terlebih

dengan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah, yang

menyebabkan terbatasnya akses dan kesempatan mendapatkan pengetahuan terkait

gizi (Uliyanti et al., 2017).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukan adanya pengaruh yang signifikan

pada ibu yang tidak tamat sekolah dasar dengan kejadian stunting. Ibu yang tidak

tamat sekolah dasar memiliki peluang 3,3 kali lebih besar pada peningkatan

kejadian stunting (OR3.30, 95% CI 1.70-6.40). Hal ini dikaitkan dengan minimnya

pengetahuan yang dimiliki ibu , akibat rendahnya tingkat pendidikan ibu (Torlesse

et al., 2016).

Pengetahuan gizi ibu mempengaruhi asupan gizi yang diterima oleh anak,

berkaitan dengan pemilihan bahan dan keberagaman jenis makanan yang akan

diberikan kepada anak balita. Seorang ibu bertanggung jawab dalam menyediakan

makanan untuk anggota keluarga dan pola pengasuhan pada anak, sehingga masing-

masing individu dalam keluarga menjalankan perilaku gizi yang diterapkan oleh

ibu terlebih dalam kebutuhan makan dan pengasuhan anak (Uliyanti et al., 2017).

Penelitian yang dilakukan di daerah Ketapang, Kalimantan menunjukan

hasil bahwa hanya 27,5% ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi dengan

kategori tinggi. Pengetahuan mempunyai pengaruh sangat besar yaitu 9,1%.

Pengetahuan berpengaruh langsung dan tidak lansung terhadap stunting dengan

nilai koefisen 0,310, dikaitkan dengan asupan gizi yang diberikan kepada anak
4

(Uliyanti et al., 2017).

Hasil penelitian lainnya juga menyatakan bahwa ibu yang memiliki

pendidikan atau pengetahuan yang tidak baik mengenai gizi merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak (Khopkar et al.,

2014).

Hasil penelitian terdahulu di Mumbai pada masyarakat pedesaan

menyatakan bahwa pengetahuan dan pekerjaan berpengaruh terhadap kejadian

stunting (Rode, 2009). Hasil studi menjelaskan bahwa anak dari ibu yang bekerja

sebagai pedagang dan petani mempunya potensi yang sangat besar menjadi anak

stunting dibandingan dengan ibu yang hanya bekerja dirumah (Fikadu et al., 2014).

Ibu yang bekerja juga ikut mempengaruhi perilaku seorang ibu dalam mengasuh

anaknya dikaitkan dengan kesulitan dalam membagi waktu dalam proses

pengasuhan yang diberikan (Kusumaningtyas & Deliana, 2017).

Selain faktor pengetahuan dan pekerjaan, usia ibu saat hamil juga

merupakan faktor yang berkaitan dengan stunting.Provinsi Sulawesi Tenggara

adalah provinsi yang memiliki angka stunting tertinggi kedua di pulau Sulawesi,

angka prevalensi stunting di Sulawesi Tenggara tahun 2016 yaitu pada tahun 29,6%

dan 2017 mengalami meningkat menjadi 36,4%. Data stunting di Kabupaten Muna

tahun 2019 mengalami peningkatan yaitu 44,0%, tahun 2020 yaitu sebesar 31,8%

tahun 2021 meningkat sampai 31,90 % (Dinas Kesehatan Kab.Muna 2022).

Kabupaten Muna adalah salah satu kabupaten yang mengalami peningkatan

prevalensi stunting cukup tinggi dalam kurun waktu satu tahun terakhir serta belum

pernah dilakukanya penelitian terkait status gizi didaerah tersebut, menjadi penting
5

untuk dikaji lebih mendalam mengenai masalah kurang gizi tersebut. Dari 30

Puskesmas yang ada di Kabupaten Muna terdapat 3 Puskesmas dengan jumlah

kejadian stunting tertinggi diantaranya adalah Puskesmas kabawo, Puskesmas

Lohia dan Puskesmas Labasa. Hasil studi pendahuluan menunjukan bahwa tingkat

pengetahuan mengenai stunting masih sangat rendah dan belum pernah diadakan

pendidikan kesehatan terkait stunting kepada masyarakat dikabupaten Muna .

Jumlah kejadian stunting periode bulan Januari- Desember 2021 di ketiga

Puskesmas berturut-turut yaitu, Puskesmas kabawo 207 kasus, Puskesmas lohia

186 kasus, dan Puskemas Labasa 178 kasus. Selain faktor pengetahuan, budaya

berkaitan dengan kebiasaan memberikan makan dan menyusui pada anak masih

kurang baik, begitupun dengan pola asuh yang diberikan orang tua dalam perawatan

yang diberikan kepada anak mereka.

Tingginya kasus stunting yang ditemukan di lapangan akan menimbulkan

masalah kesehatan bagi anak baik jangka pendek maupun jangka panjang, serta

adanya faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan diperbaiki maka penelitian yang

akan dilakukan terkait permasalahan dilapangan adalah “bagaimana pengaruh

pengetahuan, pekerjaan dan usia ibu saat hamil terhadap kejadian stunting melalui

pola asuh gizi pada balita di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara?”

1.2 Identifikasi masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa

permasalah antara lain sebagai berikut:

1) Prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi dan masih menjadi masalah

prioritas yang harus ditangani karena masih dalam kategori akut ≥ 20% yaitu
6

berada dalam rentang 30%-44%.

2) Angka prevalensi stunting di Indonesia mengalami peningkatan dari dari tahun

tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 pada tahun 2018

sebesar 30,8%. Angka tersebut terdiri dari 11,5% balita dengan kategori sangat

pendek dan 19,3% balita kategori gizi pendek.

3) Prevalensi stunting di Sulawesi Tenggara berada diatas 20% yaitu 29,6% pada

2016 dan mengalami peningkatan pada tahun 2017 menjadi 36,4%. Data

stunting di Kabupaten Muna tahun 2016 yaitu 25,5%, meningkatan cukup

tinggi tahun 2017 yaitu 31,7%.,2019 mengalami peningkatan yaitu 44,0%,

tahun 2020 yaitu sebesar 31,8% tahun 2021 meningkat sampai 31,90 %

Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian stunting, diantaranya

rendahnya pengetahuan orang tua terkait gizi, pekerjaan orangtua yang ikut

mempengaruhi dari segi kurangnya waktu berinteraksis dengan anak dan, usia

ibu pada saat hamil yang masih belum memberikan dukungan sepenuhnya

tentang praktek-pratek yang berkaitan dengan pemenuhan nutrisi anak, serta

bentuk pola asuh yang diberikan kepada anak.

1.3 Cakupan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka cakupan masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini yaitu pengaruh faktor pengetahuan, pekerjaan, usia ibu saat

hamil dan pola asuh gizi melalui suatu studi penelitian untuk menganalisis faktor

yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting di Kabupaten Muna .

1.4 Rumusan Masalah


7

Berdasarkan latar belakang yang diurakan diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah pengaruh faktor pengetahuan terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna ?

2) Bagaimanakah pengaruh faktor pekerjaan terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna ?

3) Bagaimanakah pengaruh usia kehamilan terhadap kejadian stunting pada balita

di Kabupaten Muna ?

4) Bagaimanakah pengaruh faktor pola asuh gizi terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna ?

5) Bagaimanakah pengaruh faktor pengetahuan melalui pola asuh terhadap

kejadian stunting pada balita di Kabupaten Muna ?

6) Bagaimanakah pengaruh faktor pekerjaan melalui pola asuh terhadap kejadian

stunting pada balita di Kabupaten Muna ?

7) Bagaimanakah pengaruh faktor budaya melalui pola asuh terhadap kejadian

stunting pada balita di Kabupaten Muna?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari rumusan masalah penelitian ini adalah:

1) Menganalisis pengaruh faktor pengetahuan terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna .

2) Menganalisis pengaruh faktor pekerjaan terhadap kejadian stunting pada balita

di Kabupaten Muna .
8

3) Menganalisis pengaruh usia saat kehamilan terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna .

4) Menganalisis pengaruh faktor pola asuh gizi terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna

5) Menganalisis pengaruh faktor pengetahuan melalui pola asuh terhadap

kejadian stunting pada balita di Kabupaten Muna

6) Menganalisis pengaruh faktor pekerjaan melalui pola asuh terhadap kejadian

stunting pada balita di Kabupaten Muna

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

1) Memberikan informasi, sumber pengetahuan, bahan kepustakaan atau bahan

penelitian serta referensi bagi ilmu kesehatan masyarakat terkait dengan

pengetahuan, pekerjaan, budaya dan pola asuh terhadap kejadian stunting dan

sebagai salah satu bahan acuan atau pertimbangan dalam penetuan kebijakan-

kebijakan dan program terkait pencegahan dan penurunan kejadian stunting di

Dinas Kesehatan Kabupaten Muna .

2) Bagi institusi, Penelitian ini diharapakan menjadi sumber informasi bagi

institusi khususnya jurusan Magister Kesehatan Keperawatan.

3) Bagi peneliti menambah wawasan pengetahuan terutama dibidang penelitian

kesehatan

1.6.2 Manfaat Praktis

1) Bagi Mayarakat, diharapakan dengan adanya penelitian ini, masyarakat dapat

meminimalisir faktor pengebab, terkait pencegagahan stunting. Penelitian ini


9

perlu dilakukakn untuk membantu permasalahan yang berkaitan dengan

kejadian stunting yang akan berefek jangka panjang pada menurunya kualitas

SDM ada di Muna , serta meningkatkan peran serta perguruan tinggi dalam

mengentaskan permasalahan status gizi saat ini terkait kejadian stunting.

Penelitian ini berkaitan dengan pengembangan sumber daya dan peningkatan

kualitas hidup, melalui bidang kesehatan.


10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1. Stunting

1) Pengertian Stunting

Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseoarang ternyata lebih

pendek dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia) yang

disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang diterima oleh janin/bayi (Kementrian Desa,

2017). Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)

akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir

akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek

(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U)

atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-

MGRS (Multicentre Growth Reference Study). Sedangkan definisi stunting menurut

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang

dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (Tim Nasional

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).

Stunting menggambarkan pertumbuhan yang terhambat, merupakan indikator

untuk menilai status gizi anak melalui pengukuran antripometri dan merupakan indikator

yang sangat sensitif pada kuliatas hidup anak (Restrepo-méndez et al., 2014). Masalah

stunting disebabkan oleh, pengasuhan yang tidak baik, higiene atau praktik kebersihan

yang kurang baik. Stunnting menggambarkan status gizi kronis pada anak yang
11

diakibatkan dari riwayat sosial ekonomi keluarga yang tidak baik di masa lalu dan 2 tahun

pertama kehidupan anak, sehingga memberikan dampak yang sukar diperbaiki (Ngaisyah,

2015).

Savage dalam Fitrie menyatakan, stunting menyebabkan adanya gangguan pada

Intelligence Qoutient (IQ), perkembangan psikomotor, kemampuan motorik dan integrasi

neurosensoris. Dampak lainya adalah berkaitan dengan kapasitas mental dan performa

anak di sekolah juga penurunanan kapasitas kerja saat dewasa, yang disebabkan oleh

stunting dengan kasus sedang juga kasus parah (Fitrie, 2015).

Stunting menggambarkan kondisi yang disebabkan kekurang gizi dalam waktu

yang lama yaitu kurang energi protein dan juga di sebakan penyakit yang diderita anak.

Stunting behubungan dengan rendahnya perkembangan kognitif juga produktifita

(Hidayati et al., 2010).

Branca dalam Fitrie menyatakan, kejadian stunting pada anak-anak adalah indikator

pertama untuk dalam mentukan kualitas sumber daya manusia pada masa depan. Kejadian

stunting saat anak berusia lima tahun cenderung menetap seumur hidup, gagal tumbuh

pada usia dini berlanjut pada masa remaja sampai dewasa. Sedgh, dalam Fitrie, kondisi ini

akan berpengaruh secara lansung terhadap kesehatan dan produktifitas sehingga

berdampak meningkatnya kejadian melahirkan anak yang BBLR dan beresiko meninggal

ketika bersalin (Fitrie, 2015)

Kejadian stunting dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya faktor sosial-

ekonomi, dan budaya. Faktor sosial ekonomi diantanya yaitu faktor pengetahuan dan

pekerjaan orang tua, kemudian faktor kebudayaan yaitu kebiasan dalam praktek pemberian

makan pada balita seperti pemeria ASI sampai usia bayi 6 bulan dan pemberian makanan
12

pendamping MPASI pada usia yang tepat (Alom et al., 2012; Reurings et al., & Solomons,

2013).

Haines et al, dalam penelitian menemukan bahwa ada beberapa faktor yang

berhubungan signifikan dengan stunting yaitu, pengatahuan terkait pengasuhan, sikap dan

kepercayaan dari paparan terhdapa informasi yang akurat dan tidak akurat (Haines et al.,

2018)

2) Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:

a. Sangat pendek : Zscore < -3,0

b. Pendek : Zscore < -2,0

c. Normal : Zscore ≥ -2,0

3) Penyebab anak mengalami stunting

a. Faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita

b. Kekurangan pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa

kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.

c. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Antenatal Care

(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan

pembelajaran dini yang berkualitas.

d. Masih kurangnya akses kepada makanan bergizi

e. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi

f. Prakek pengasuhan yang tidak baik (Kementrian Desa, 2017).

2.1 Faktor Maternal

Stunting pada anak dapat muncul berkaitan dengan efek maternal (Phiri,

2014). Faktor maternal adalah faktor ibu selama atau sebelum masa kehamilan yang

dapat memberikan pengaruh transgenerasi atau langsung terhadap pertumbuhan


13

dan perkembangan keturunannya pada masa 1000 HPK (Stewart et al, 2013). Faktor

maternal dapat berpengaruh terhadap kondisi keturunan dimana perbedaan yang

diwariskan selain genetik juga dapat dipengaruhi oleh riwayat hidup maternal .

Kondisi gizi ibu sebelum atau selama kehamilan berpengaruh terhadap

perkembangan janin. Sebelum kehamilan, penting untuk mengoptimalkan nutrisi

ibu karena nutrisi tersebut dapat mendukung bagaimana lingkungan

premplementasi dan diferensiasi awal pada perkembangan janin. Nutrisi saat hamil

juga penting, karena status gizi ibu selama hamil dapat berpengaruh terhadap

pembagian gizi antara ibu dengan janin. Oleh karena itu penting untuk

mempersiapkan status gizi sebelum dan selama kehamilan untuk mendukung

tumbuh kembang anak saat masa awal pertumbuhan (Lowensohn et al., 2017).

Selain nutrisi, kondisi kesehatan ibu selama kehamilan, lingkungan ibu, usia ibu

saat hamil, kesehatan mental dan jarak kelahiran juga turut berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak (Stewart et al., 2013).


Hal hal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak akan

mempengaruhi bagaimana kondisi anak saat menjadi dewasa. Apabila anak

tersebut adalah wanita dan mengalami masa sulit dan mengalami stress

psikososial, ini akan berdampak negatif pada pertumbuhan linear

keturunannya (Phiri, 2014). Interaksi gen dengan lingkungan pada masa

kanak kanak, kemudian didukung dengan pemenuhan gizi yang tidak

optimal dapat membuat pertumbuhan anak terhambat. Hal ini selanjutnya

dikaitkan dengan stunting pada keturunannya, dimana ibu yang terhambat

lebih mungkin untuk memiliki anak stunting karena adanya gen stunting

yang diteruskan antar generasi (Phiri, 2014).

2.1.2. Pola Asuh

Pola asuh atau perawatan adalah perilaku-perilaku dan paraktek-praktek

pemberian perawatan (ibu, saudarah sedarah, ayah dan penyedia perawatan anak)

untuk menyediakan makan, perawatan kesehatan, stimulasi dan dukungan

semangat yang penting bgi tumbuh kembang anak yang sehat (Kasmini, 2011).

Pola asuh merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam

peningkatan status gizi anak. Pola asuh mencakup interaksi orang tua dan ananya,

dalam proses pengasuhan. Mengasuh anak yaitu mendidik, membimbing,

memelihara anak, meyediakan makanan, minuman, pakaian, kebersihan serta

segala kebutuhan anak. Pola asuh orang tua terhadap anak tersebut dipengaruhi oleh

banyak faktor diantaranya pendidikan dan pengetahuan. Pola asuh gizi dari ibu

11
12

berdampak pada status gizi anak karena kondisi gizi ditentukan oleh

kemampuannya ibu untuk menyiapkan dan memberikan makanan yang cukup

untuk anak. Pola asuh merupakan kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan

kembang meliputi kebutuhan emosi atau kasih sayang. Asuhan dari seorang ibu

dapat menghadirkan kontak fisik dan psikis, melalui proses menyusui segera setelah

lahir sehingga dapat menjalin rasa aman dan menumbuhkan ikatan yang baik antara

ibu dan anak (Leo et al., 2018).

Pola asuh gizi yang diberikan dari ibu yang tidak bekerja dapat dipantau

dengan baik oleh ibu meliputi menyediakan makan, jenis makan apa saja yang akan

diberikan dan sebagainya. Terlebih jika balita sakit lebih cepat terdeteksi dan akan

segera mendapat perawatan yang bersifat tradisional maupun secara medis. Pola

asuh yang diberikan oleh seorang ibu yang bekerja tentunya berbeda dengan ibu

yang tidak bekerja. Ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jarak

tempat kerja dan rumah menjadi faktor yang menghabat ibu pekerja dalam

memberikan ASI eksklusif dan mengasuh bayi mereka. Hasil studi menyatakan

bahwa ibu yang bekerja tidak memiliki banyak waktu untuk mengasuh anaknya,

selebihnya dilakukan oleh anggota keluarga lain dan pengasuh yang dibayar

(Fikawati & Syafiq, 2009)

Pengasuhan ibu yang kurang baik terhadap anak akan beresiko 9 kali lebih

besar menyebabkan Kekurangan Energi Protein (KEP) dibandingkan dengan ibu

yang memepunyai praktek pengasuhan balita yang baik (Razak et al., 2009).

Meningkatkan pengatahuan adalah salah satu bentuk upaya yang efektif dalam

mengatasi dan mencegah stunting. Pengetahuan ini bisa meliputi praktik pemberian
13

makanan yang sehat, pengetahuan tentang kandungan gizi dari berbagai jenis

makannan yag tersedia dan mampu mengidentifikasi stungting dan status gizi

secara umum serta praktik dalam pola pengasuhan anak (West et al., 2018).

Hasil penelitian yang telah dilakuakn menunjukan ada hubungan antara pola

asuh dan dengan stuting (Aramico et al., 2013; Asrar et al., 2009). Pola asuh atau

pola perawatan yang terapakan orang tua meliputi praktik pemberian makan,

praktik kebersihan/hygiene dan paktik pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hasil-

hasil studi terdahulu membuktikan bahwa terdapat pengaruh pola asuh yang

meliputi praktik pemberian makan dan praktik kesehatan terhadap stunting. Praktik

pemberian makan dan praktik kebersihan masing-masing berpengaruh sebesar

(OR=2.037;p=0.001 dan OR=1.447;p=0.046) terhadap kejadian stunting pada anak

balita (Niga & Purnomo, 2016). Penelitian terdahulu menunjukan bahwa pola asuh

berhubungan singnifikan terhadap status gizi anak. Pola asuh yang dimaksud,

praktik pemberian makan, praktik higiene, perilaku mencuci tangan dan psikososial

(Nasrul et al., 2015; Natalina & Praba, 2015; Pratiwi et al., 2016; Risma et al.,

2013). Praktik pemberian makan pada anak meliputi pemberian ASI ekslusif dan

pemberian makan pendamping ASI (MPASI). Anak yang tidak mendapatkan ASI

ekslusif mempunyai resiko mengalami stungting. ASI mengandung semua unsur-

unsur nutrisi yang dibutuhkan bayi dalam periode 6 bulan. ASI mengandung

protein, dan lemak dengan jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan

pertumbuhan yang optimal bagi bayi (Leo et al., 2018). Untuk mendapatkan

pertumbuhan yang optimal, dalam pemberian ASI ekslusif dipengaruhi oleh tingkat

pengetahuan ibu. Pola asuh yang baik bagi anak, harus sejalan dengan tingakat
14

pendidikan dan pengetahuan yang baik pula dari seorang ibu Pengetahuan ibu

terkait ASI ekslusif memiliki korelasi dengan praktik pemberian ASI ekslusif.

Pengetahuan yang baik akan perdampak pada ibu dalam pemberian ASI ekslusif

pada anaknya (Atabik, 2014; Khoeroh & Indriyanti, 2017; Oemar & Novita, 2015;

Raharjo, 2014; Sriningsih, 2011).

Hasil peneltian Desyanti dan Nindya juga menujukan hal yang selaras pada

praktik higiene dengan pengaruh sebesar (OR=4.808;p=0.006) Artinya bahwa anak

balita yang diasuh dengan praktik kebersihan yang buruk memiliki peluang sebesar

4.808 kali mengalami stunting dibandingan anak yang diasuh dengan pratik

kebersihan yang baik (Desyanti & Nindya, 2017).

2.1.3. Pengetahuan

1) Pengetian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadapat suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindra manusia, yaitu indara penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan indara peraba. Akan tetapi, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan dalam domain kognitif terbagimenjadi enam

tingkatan (Novita, 2011).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,


15

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Wawan & Dewi, 2010).

2) Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian

terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang tercakup domain

kognitif mempunyai 6 tingakatan yaitu:

(1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termaksuk kedalam pengetahuan tingkatan ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang elah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingakat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang itu tahu

tentang apa yang dipejari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan dan sebagainya.

(2) Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkn contoh, menyimpulkan, meramaikan dan sebagainya

terhadap suatu objek yang dipelajari.


16

(3) Aplikasi (applicaion)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengguanakn materi yang

telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainaya dalam konteks atau situasi lain.

(4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-kmponen tetapi masih didalam satu struktur organisasi

dan masih ada kaitannya satu sam lain.

(5) Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada

(6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

suatu kriteria yang telah ada (Wawan & Dewi, 2010)

4) Parameter Tingkat Pengetahuan

Kategori tinggkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan menjadi dua kelompok

jika yang diteliti masyarakat umum, adalah sebagai berikut :

(1) Baik, jika nilainya : > 50 %


17

(2) Kurang Baik, jika nilainya : ≤ 50 % (Agus & Budiman, 2013)

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam

menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga

dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan

seseorang (Notoatmodjo, 2010)

Hasil penelitian yang telah dilakakan menyatakan ada hubungan antara

pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian stunting (Kusumawati et al., 2015; Ni’mah

& Nadhiro, 2015) Hasil penelitian lainnya juga menyatakan adanya perbedaan

pengetahuan sebelum dan setelah pemberian edukasi gizi tentang stunting kepada

ibu balita, dengan demikian kejadian stunting dapat di kendalikan dan

prevalensinya turun. Hasil penelitian Rodriguez, menyatakan pendidikan gizi

kesehatan pada masa kehamilan akan meningkatkan pengetahuan dan hal tersebut

berhubungan dengan stunting (Dewi & Aminah, 2016; Rodriguez-Llanes et al.,

2016) Hasil penelitian di Negeria menjelaskan bahwa pengetahuan secara

signifikan berpengaruh pada nilai HAZ dan WAZ. Pengetahuan ibu terkait

kesehatan dan nutrisi menggatikan pengaruh pendidikan dalam menurukan status

gizi kurang pada anak dalam populasi yang kekurang akses terhadap pendidikan

formal (Fadare et al., 2019).

Hasil penetian Mardani menunjukan bahwa ada korelasi antara pengetahuan

ibu terkait malnutrusi dengan stunting nilai p=0.001 (Mardani et al., 2015). dan

hasil yang selaras juga menujukan bahwa pengetahuan ibu terkait gizi dan stunting
18

merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting (Adelina et al.,

2018; Aini et al., 2018; Ibrahim & Faramita, 2015).

Stunting merupakan gambaran dari status gizi anak yang tidak baik, status

gizi kurang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi sehingga upaya dalam perbaikan

status gizi terkendala sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan gizi seorang ibu.

Pengetahuan tidak hanya sekedar tahu tentang gizi namun harus paham gizi dan

mau bertindak (Lutviana & Budiono, 2010; Pahlevi, 2012).

Penelitian yang dilakukan di Uganda, menyatakan bahwa pengetahuan ibu

yang rendah miliki pengaruh yang signifikan sebesar (OR=3.2: P=0.002) hubungan

yang signifikan dengan kejadian stunting. Para ibu memiliki pengetahuan yang

terbatas sehingga tidak optimal dalam pratik pemberian ASI Esklusif sehingga

dapat menyebabkan stunting (Bukusubaet et al., 2017).

2.1.4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pekerjaan merupakan cara mencari

nafkah yang berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja pada umumnnya

merupakan kegiatan menyita waktu. Ibu yang bekerja akan mempengaruhi terhadap

kehidupan keluarga (Wawan & Dewi, 2010).

Ibu yang bekerja juga ikut mempengaruhi perilaku seorang ibu dalam

mengasuh anaknya dikaitkan dengan kesulitan dalam membagi waktu dalam proses

pengasuhan yang diberikan. Status gizi pada anak usia 0-6 bulan dipengaruhi oleh

kesibukan ibu diluar rumah, sehingga waktu interaksi dan perawatan yang berikan
19

ibu kepada anaknya berkurang dan ibu tidak bisa mengelola pola pemberian

makanan untuk anakanya setiap harinya. Hasil studi terdahulu oleh Sumarni (2013)

menemukan bahwa pada ibu pekerja memiliki anak dengan status gizi kurang

sebaliknya pada ibu bukan pekerja memiliki anak dengan status gizi baik

(Kusumaningtyas & Deliana, 2017)

Hasil studi terdahulu menunjukan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu

dengan stunting dibuktikan dengan hasil statistik nilai p-value 0,001. Hasil studi

menjelaskan bahwa anak dari ibu yang bekerja sebagai pedagang dan petani

mempunya potensi yang sangat besar menjadi anak stunting dibandingan dengan

ibu yang hanya bekerja dirumah (Fikadu et al., 2014; Mugianti et al., 2018).

Menurut Djaeni dalam Dalimunthe pekerjaan adalah mata pencaharian apa

yang dijadiakan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan

nafkah. Lamanya sesoarang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18

jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur,

dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik

selama 10-40 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan

pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986 (Dalimunthe,

2015).

Ibu dengan status pekerjaan merupakan faktor yang berpengaruh pada

peningkatan kejadian stunting pada anak. Ibu yang bekerja lebih banyak memiliki

anak yang stunting dibandingkan anak normal. Hal tersebut dikaitkan pola asuh
20

yang dilakukan ibu, para ibu yang bekerja semakin kurang perhatian pada anakanya

karena aktifitas mereka diluar rumah (Hanum et al., 2014).

Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan pekerjaan ibu

berhubungan dengan status gizi (Swandarit et al., 2017). Penelitian lainya juga

menyatakan ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian stunting (Alom et al.,

2012; Rengma et al., 2016; Taufiqoh et al., 2017).

2.1.5. Budaya

Kebudayaan yaitu sebagai suatu kopleks dari ide-ide, gagasan, konsep-

konsep, nilai-nilai, norma, peraturan, kepercayaan, kebiasaan, tradisi, mitos dan

sebagainya yang merupakan bagian dari sistem budaya (Kasmini, 2011). Pantangan

dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat dipengaruhi oleh faktor

budaya/kepercayaan. Pantangan yang didasari oleh kepercayaan pada umumnya

mengandung perlambangan atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik

yang lambat laun akan menjadi kebiasaan/adat. Kebudayaan suatu masyarakat

mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam

memilih dan mengolah pangan yang akan dikonsumsi. Kebudayaan menuntun

oarang dalam cara tingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologinya,

termaksuk kebutuhan terhadap pangan. Budaya mempengaruhi seseorang dalam

menentukan apa yang akan dimakan, bagaiman pengolahan, persiapan, dan

penyajian serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut

dikonsumsi. Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh dan tidak boleh

mengonsumsi suau makanan (Sulistyoningsih, 2011).


21

Budaya, tradisi atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat seperti

pantangan makan dan pola makan yang salah dapat mengakibatkan munculnya

masalah gizi terutama bagi balita. Hal ini dapat berdampak terhadap pertumbuhan

dan perkembangan balita (Andrianti & Wirjatmadi, 2012). Kebiasaan masyarakat

Muna Barat masih banyak yang tidak mendukung dengan pemberian ASI saja pada

bayi sampai berumur 6 bulan, banyak ibu dan orang tua yang beranggapan ASI saja

tidak cukup untuk memenuhu kebutuhan anak mereka, sehingga mereka

memberikan makanan tambahan lain. Namun akan timbul masalah jika ASI ekslusif

tidak maksimal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa

pemberian ASI tidak eksklusif merupakan faktor dominan sebagai resiko penyebab

anak mengalami stunting. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian terdahulu

yang menyatakan bahwa pemberian ASI berhubungan dengan kejadian stunting

pada anak. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa praktek atau kebiasaan

seorang ibu memberikan ASI pada bayi secara ekslusif selama 6 bulan dapat

menurunkan stunting (AL-Rahmad et al., 2013; Blake et al., 2016).

Budaya merupakan salah satu faktor tidak langsung yang memepengaruhi

status gizi anak. Budaya merupakan salah satu faktor yang memepengaruhi sikap

ibu di dalam menjalani masa kehamilannya, persalinan, serta dalam pengasuhan

balita. Hasil penelitian Rizky menyatakan praktik sosio budaya gizi yang yang

kemungkinan berkaitan dengan stunting yaitu pantangan makan bagi ibu hamil,

pemberian makan prelakteal pada bayi baru lahir, bayi tidak memperoleh imunisasi

dan pemberian makan pendamping ASI dini (sebelum bayi berusia 6 bulan) (Illahi

& Muniroh, 2016). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakuakn di
22

Guatelama yang menyatakan bahwa praktek pemberian makanan dini berhubungan

dengan stunting (Reurings et al., 2013).

2.2 Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

Sumber: Adaptasi dari UNICEF 1990 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi

2006-2010 (Kasmini, 2011).


23

2.3 Kerangka Berpikir

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis Penelitian

1) Pengetahuan berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Kabupaten

Muna

2) Pekerjaan berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Kabupaten

Muna

3) Budaya berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Kabupaten

Muna

4) Pola Asuh berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Kabupaten

Muna

5) Pengetahuan melalui pola asuh gizi berpengaruh terhadap kejadian stunting

pada balita di Kabupaten Muna


24

6) Pekerjaan melalui pola asuh gizi berpengaruh terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna

7) Budaya melalui pola asuh gizi berpengaruh terhadap kejadian stunting pada

balita di Kabupaten Muna


25

2.5 Konsep Teori Model Keperawatan Friedman

2.1.1 Pengertian dan Konsep Teori Model Keperawatan Friedman

Praktik keluarga sebagai pusat keperawatan (family centered nursing)

didasarkan pada perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar untuk perawatan

individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih luas. Keluarga adalah unit

dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat, mempresentasikan perbedaan

budaya, rasial, etnik, dan sosio ekonomi. Aplikasi dari teori ini termasuk

mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya ketika melakukan

pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi perawatan pada anak serta

keluarga (Hitchcock, Schubert, Thomas, 1999 dalam Nursalam 2016).

Penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan family

centerednursing salah satunya menggunakan Friedman Model. Pengkajian dengan

model ini melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat (Allender &

Spradley 2005 dalam Nursalam 2016). Proses keperawatan keluarga meliputi:

pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

Keluarga merupakan entry point dalam pemberian pelayanan kesehatan di

masyarakat, untuk menentukan risiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan

lingkungan. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah

satu anggota keluarganya memerlukan bantuan terus menerus karena masalah

kesehatannya bersifat kronik, seperti misalnya pada penderita pascastroke. Praktik

keluarga sebagai pusat keperawatan (family centered nursing), didasarkan pada

perspektif bahwa keluarga unit dasar untuk keperawatan individu dari anggota

keluarga. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat,

mempresentasikan perbedaan budaya, relasi, lingkungan, dan sosio ekonomi.


26

Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi,

lingkungan, tipe keluarga, dan budaya ketika melakukan pengkajian dan

perencanaan, implementasi dan evaluasi perawatan pada anak dan keluarga

(Hitchcock, Schubert & Thomas 1999; Friedman dkk 2003 dalam Nursalam 2016).

Penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan family centered

nursing, salah satunya menggunakan pendekatan proses keperawatan yang

didasarkan pada Friedman model. Pengkajian dengan model ini, melihat keluarga

dengan subsistem dari masyarakat (Friedman, dkk, 2003; Allender dan Spradley

2005 dalam Nursalam 2016). Proses keperawatan keluarga dengan fokus pada

keluarga sebagai klien (family centered nursing).

Pendekatan yang dilakukan dalam asuhan keperawatan keluarga adalah

proses keperawatan yang terdiri atas pengkajian individu dan keluarga, perumusan

diagnosis keperawatan, penyusunan rencana asuhan keperawatan, pelaksanaandan

evaluasi dari tindakan yang telah dilaksanakan (Friedman dkk 2003 dalam

Nursalam 2016).

1. Pengkajian

Adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mendapatkan informasi secara

terus-menerus, terhadap anggota keluarga yang dibinanya.


27

2. Pengkajian

Adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mendapatkan informasi secara

terus-menerus, terhadap anggota keluarga yang dibinanya.

3. Diagnosis keperawatan

Data yang telah dikumpulkan pada tahap pengkajian, selanjutnya dianalisis,

sehingga dapat dirumuskan diagnosis keperawatannya. Rumusan diagnosis

keperawatan keluarga ada tiga jenis, yaitu diagnosis aktual, risiko, dan

potensial. Etiologi dalam diagnosis keperawatan keluarga didasarkan pada

pelaksanaan lima tugas kesehatan.

4. Perencanaan.

Perencanaan keperawatan keluarga terdiri atas, penetapan tujuan yang

mencakup tujuan umum dan tujuan khusus, dilengkapi dengan kriteria dan

standar serta rencana tindakan. Penetapan tujuan dan rencana tindakan


28

dilakukan bersama dengan keluarga, karena diyakini bahwa keluarga

bertanggung jawab dalam mengatur kehidupannya, dan perawat mambantu

menyediakan informasi yang relevan untuk memudahkan keluarga mengambi

keputusan.

5. Implementasi

Implementasi keperawatan dinyatakan untuk mengatasi masalah kesehatan

dalam keluarga dan ditujukan pada lima tugas kesehatan keluarga dalam

rangka menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah

kesehatannya. Di samping itu menstimulasi keluarga untukmemutuskan cara

perawatan yang tepat, memberi kemampuan dan kepercayaan diri pada

keluarga, dalam merawat anggota keluarga yang sakit, serta membantu

keluarga menemukan bagaimana cara membuat lingkungan menjadi sehat,

dan memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang

tersedia.

6. Evaluasi

Evaluasi pada asuhan keperawatan keluarga dilakukan untuk menilai tingkat

kognitif, afektif, dan psikomotor keluarga (Friedman dkk, 2003). Evaluasi

perlu pada setiap tindakan, untuk mengetahui apakah suatu tindakan

keperawatan tidak diperlukan lagi, menambah ketepat gunaan dari tindakan

yang dilakukan dan perlunya tindakan keperawatan lain untuk menyelesaikan

masalah. Proses evaluasi yang digunakan peneliti untuk menilai tingkat

kemandirian keluarga, berdasarkan kriteria keluarga mandiri dari Depkes RI

(2006).
29

2.1.2 Model Keperawatan Friedman

Family assessment Individual family members’ assessment


 Identifying sociocultural data  Mental
 Environmental data  Physical
 Structure  Emotional
 Function  Sosial
 Family stress and coping strategies  Spiritual

Identification of family, family


subsystem, and individual
healthproblems

(Nursing diagnoses)

Plan of care:

 Setting of goals
 Identifying resources
 Defining alternative approaches
 Selecting nursing interventios
 Priority setting

Interventions

 Implementation of plan-
mobilizingresouces
Gambar 2.2 Model family centered nursing
Evaluation of care
Sumber: Friendman, Bowden, & Jones 2003
30

2.2 Teori Keperawatan Ramona T Mercer

2.2.1 Pengertian dan konsep utama (Mayor)

Mercer menggunakan konsep-konsep utaama dalam mengembangkan

model konseptualnya. Konsep-konsep tersebut adalah:

1. Pencapaian peran ibu (maternal role attainment) adalah suatu proses

pengembangan dan interaksional dimana setiap saat ketika ibu menyentuh

bayinya akan menciptakan kemampuan mengasuh dan merawat termasuk

membentuk peran dan menunjukkan kepuasan dan kesenangan menikmati

peranannya tersebut.

2. Maternal identity menunjukkan internalisasi diri dari ibu. Persepsi terhadap

kelahiran bayi adalah persepsi setiap wanita dalam menunjukkan persepsi

pengalamannya selama melahirkan bayinya.

3. Self estem digambarkan sebagai persepsi individu dalam menggambarkan

dirinya sendiri.

4. Konsep diri adalah seluruh persepsi individu terhadap kepuasan diri,

penerimaan diri, harga diri, dan kesesuaian antara diri dan ideal dirinya.

5. Fleksibilitas dikemukakan untuk menunjukkan bahwa peran tidaklah kaku.

Fleksibilitas perilaku pengasuhan anak meningkat seiring dengan

meningkatnya perkembangan. Ibu yang lebih tua berpotensi untuk mengalami

kekakuan pada bayinya dan untuk menyesuaikan pada setiap situasi.

Childrearing attitude adalah perilaku ibu atau kepercayaan mengenahi

pengasuhan anak.
31

6. Status kesehatan didefinisikan sebagai persepsi orang tua terhadap prioritas

kesehatannya, pandangan terhadap kesehatan, kesehatan saat ini, resistensi atau

kemungkinan untuk sakit, hal yang di khawatirkan dalam kesehatan, orientasi

sakit dan memutuskan peran sakit.

7. Kecemasan digambarkan sebagai persepsi individu tentang situasi yang penuh

stress seperti adanya bahaya atau ancaman.

8. Depresi ditunjukkan dengan adanya beberapa gejala tekanan yang ditunjukkan

dari perilaku ibu, role strain-role conflict (konflik peran) didefinisikan sebagai

konflik dan kesulitan yang dirasakan oleh wanita dalam penyesuaiannya

terhadap tugas peran ibu.

9. Gratification-satisfaction digambarkan sebagai kepuasan, kenikmatan, umpan

balik dan kebanggaan yang diekspresikan oleh wanita dalam berinteraksi

dengan bayinya dan dalam memenuhi tugas rutinnya sebagai seorang ibu.

10. Attachment adalah komponen dari peran orang tua dan identitas yang

digambarkan sebagai proses dalam mempertahankan komitmen sikap dan

emosi yang telah dibentuk. Infant temperament dikaitkan dengan apakah bayi

sulit mengirimkan untuk membaca isyarat, arahan pada perasaan

ketidakmampuan dan keputusasaan dari ibu.

11. Status kesehatan bayi (infant health status) adalah kesakitan yang disebabkan

oleh pemisahan ibu dan bayi, mempengaruhi proses kasih sayang (attachment).

12. Karakteristik bayi (infant characterize) meliputi temperamen bayi,penampilan

dan status kesehatan.


32

13. Isyarat-isyarat bayi (infant cues) adalah perilaku bayi yang menunjukkan

respon terhadap ibunya.

14. Keluarga (family) didefinisikan sebagai sistem yang dinamis yang terdiri atas

subsistem-individu (ibu, ayah, janin/bayi) dan dyad (ibu-ayah, ibu-janin/bayi)

yang bersama dalam satu sistem.

15. Fungsi keluarga (family functioning) adalah pandangan individu terhadap

aktivitas dan hubungan antara keluarga dan sub sistem serta unit sosial yang

tinggal dalam rumah. Ayah atau pasangan intim (father or intimate partner)

berkontribusi pada proses pencapaian peran ibu yang pada pelaksanaannya

tidak bisa digantikan oleh orang lain. Interaksi ayah membantu mengurangi

tekanan dan menfasilitasi pencapaian peran ibu. Stress terbentuk dari persepsi

positif atau negative tentang hidup dan lingkungan

16. Dukungan sosial (sosial support) adalah sejumlah bantuan yang diterima, puas

dengan bantuan tersebut dan orang-orang disekitarnya selalu siap untuk

membantu. Terdapat empat area dukungan sosial yang mencakup dukungan

emosional, informasi, fisik dan dan penilaian.

17. Hubungan ibu-ayah (mother-father relationship) adalah persepsi tentang

hubungan pasangan yang mencakup nilai, tujuan, antara keduanya dan

perjanjian. Kasih sayang ibu terhadap bayinya berkembang seiring dengan

lapangan emosional dari hubungan orang tuanya (Toney & Alligood, 2006).

Kemudian juga terdapat ada beberapa tahapan dalam pencapaian peran ibu,

empat tahapan dalam melaksanakan peran ibu menurut Mercer yaitu :


33

a) Anticipatory

Suatu masa sebelum menjadi ibu, yang dimulai dengan penyesuaian sosial

dan psikologi terhadap peran barunya nanti, dengan mempelajari apa saja

yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu. Contoh : Latihan memasak,

belajat tentang ASI dan menyusui pertama kali saat setelah melahirkan ,

belajar tentang merawat anak, dll.

b) Formal

Wanita memasuki peran ibu yang sebenarnya, bimbingan peran di butuhkan

sesuai dengan kondisi sistem sosial.

c) Informal

Di mana wanita telah mampu menemukan jalan yang unik dalam

melaksanakan perannya.

d) Personal

Merupakan peran terakhir, di mana wanita telah mahir melakukan perannya

sebagai ibu.

Sebagai bahan perbandingan, Reva Rubin menyebutkan peran ibu telah di

mulai sejak ibu menginjak kehamilan pada masa 6 bulan setelah melahirkan, tetapi

menurut Mercer mulainya peran ibu adalah setelah bayi lahir 3-7 bulan setelah

dilahirkan.Wanita dalam menjalankan peran ibu di pengaruhi oleh faktor –faktor

sebagai berikut:

1) Faktor ibu

a) Kepekaan terhadap isyarat

b) Harga diri
34

c) Pola asuh yang diterima sebagai anak

d) Kedewasaan dan fleksibilitas

e) sikap

f) pengalaman melahirkan

g) kesehatan ibu

h) konflik peran

2) Faktor bayi

a) Temperament.

b) Memberikan isyarat

c) Penampilan

d) Karakteristik

e) Daya tanggap

f) kesehatan

3) Faktor Ayah :

a) Dukungan

b) Interaksi

Dari faktor sosial support, Mercer mengidentifikasikan adanya empat faktor

pendukung:

1) Emotional support

Yaitu perasaan mencintai, penuh perhatian, percaya dan mengerti.

2) Informational support

Memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan ibu sehingga dapat

membantu ibu untuk menolong dirinya sendiri.


35

3) Physical support

Misalnya dengan membantu merwat bayi dan memberikan tambahan dana.

4) Appraisal support

Ini memungkinkan individu mampu mengevaluasi dirinya sendiri dan

pencapaiaan peran ibu.

2.2.2 Skema/model konsep Ramona T.Mercer

Maternal Role Attainment yang dikemukakan oleh Mercer merupakan

sekumpulan siklus mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Model ini

dikembangkan oleh Mercer sejalan pengertian yang dikemukakan

Bronfenbrenner’s yaitu :

Gambar 2.3 Model maternal role attainment


36

Model maternal role attainment yang didalamnya terdapat 3 lingkaran yaitu

makrosistem, mesosistem, dan mikrosistem, lingkaran mikrosistem ini memiliki 4

bagian yang terdiri dari: ibu, anak, maternal role identity dan dampak pada anak.

Secara lebih rinci, mikrosistem ini dapat kita uraikan sebagai berikut:

Ibu akan belajar menyiapkan perannya dari lingkungan terdekat atau belajar

dari pengalaman masa lalu yaitu ibu, nenek atau informasi tenaga kesehatanterkait

dengan perannya sebagai ibu. Hal ini diharapkan akan mempengaruhi bayi, pola dan

perilaku sehari-hari ketika dia nanti memiliki peran baru (ibu). Peran yang

diharapkan itu adalah empathy yaitu perasaan terkait dengan kesadaran diri untuk

menjadi seorang ibu, self estem yaitu penerimaan terhadap perubahan- perubahan

yang terjadi baik secara fisik/psikologis ketika hamin, bersalin dan fase sebelumnya.

Faktor lain adalah parenting received as a child yaitu penerimaan terhadap

anak, kematangan dari segi organ dan fungsi reproduksi, psikologis, sosial, budaya,

dan ekonomi terkait dengan peranannya sebagai ibu. Sikap ibu apakah

menunjukkan penerimaan maupun penolakan terhadap anaknya. Pengalaman hamil

dan pengalaman melahirkan, kalau ibu sering melahirkan maka banyak tahu dan

mengerti tentang peran dan perubahan yang akan terjadi setelah melahirkan.

Kesehatan dan depresi sangat mempengaruhi peran ibu, karena masalah

kesehatan pada ibu akan menurunkan harga diri dan menyebabkan kelelahan atau

kelemahan yang mempengaruhi perannya sebagai ibu sedangkan penyakit akan

memperlambat proses transisi menjadi ibu. Konflik peran atau ketegangan peran

akan mempengaruhi inyegritas ibu dalam menjalankan perannya sebagai ibu.


37

Kesemua faktor-faktor yang ada pada ibu akan mempengaruhi anak dalam

berespon terhadap lingkungan yang ditujukan dengan bayi menangis, tersenyum,

menolak, tidak mau menyusui dll. Faktor lain pada anak yang dapat

mempengaruhi peran ibu adalah status kesehatan dan karakteristik anak. Selain itu

faktor-faktor pada anak itu juga akan mempengaruhi ibu, begitu juga sebaliknya.

Kedua faktor-faktor yang ada baik pada ibu dan anak akan mempengaruhi

identitas peran pada ibu sehingga diharapkan ibu akan kompeten atau percaya diri

dalam melakukan perannya, ibu juga akan menjadi puas dan semakin dekat dan

membentuk suatu ikatan dengan anaknya. Ketiga hal ini baik faktor yang ada pada

anak, ibu dan maternal role identity akan berdampak pada anak baik dari segi

perkembangan kognitif, mental, perilaku, status kesehatan dan kemampuan sosial.

Dalam lingkaran mikrosistem keempat bagian ini akan dipengaruhi juga

oleh hubungan ibu dan ayah, dukungan sosial, fungsi keluarga dan stress.

Selanjutnya lingkaran kedua yaitu mesosistem, pada bagian ini hal-hal yang terkait

adalah pola hidup, pengaturan jadwal kerja orang tua dan sekolah. Secara umum

lingkaran mesosistem ini dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu tingkat pendidikan

orang tua akan mempengaruhi penerimaan terhadap peran ibu, begitu juga

pengaturan jadwal kerja orang tua akan mempengaruhi peran ibu sehingga akan

dapat mempertahankan kedekatannya dengan anak, dan juga pola hidup dapat

mempengaruhi peran ibu dalam pengasuhan anak. Lingkaran terakhir adalah

makrosistem yang terdiri dari budaya, sosial, politik yang akan mempengaruhi

semua sistem
38

1. Mikrosistem adalah lingkungan segera dimana peran pencapaian ibu terjadi.

Komponen mikrosistem ini antara lain fungsi keluarga, hubungan ibu-ayah,

dukungan sosial, status ekonomi, kepercayaan yang melekat dalam sistem

keluarga. Mercer (1990) mengungkapakn bahwa keluarga dipandangsebagai

sistem semi tertutup yang memelihara batasan dan pengawasan yang lebih

antar perubahan dengan sistem keluarga dan sistem lainnya.

2. Mesosistem meliputi, mempengaruhi dan berinteraksi dengan individu di

mikrosistem. Mesositem mencakup perawatan sehari-hari, sekolah, tempat

kerja, tempat ibadah dan lingkungan yang umum berada dalam masyarakat.

3. Makrosistem adalah budaya pada lingkunga individu. Makrosistem terdiri

atas sosial, politik. Lingkungan pelayanan kesehatan dan kebijakan sistem

kesehatan yang berdampak pada pencapaian peran ibu.

2.2.3 Tahap penguasaan peran, yaitu:

1. Antisipasi (komitmen dan persiapan kehamilan)

Tahap antisipasi dimulai selama kehamilan termasuk juga

penyesuain awal psikologis dan sosial selama kehamilan. Ibu

mempelajari harapan terhadap perannya, berfantasi tentang peran,

berhubungan dengan fetus dalam uterus dan mulai bermain peran.

2. Formal (pengetahuan, latihan dan pemulihan) 2 minggu pertama

Tahap formal dimulai dari kelahiran bayi, belajar dan menerima

peran menjadi ibu. Perilaku peran digambarkan melalui tahap formal dan

harapan-harapan lain yang ada dalam system sosial ibu.


39

3. Informal (pendekatan normalisasi) 2 minggu 4 bulan

Dimulai saat ibu mengembangkan cara yang unik dalam menjalankan

peran dan peran tersebut tidak ada dalam sistem sosial. Ibu membuat

peran baru yang tepat sesuai gaya hidupnya berdasarkan pengalaman

masa lalu dan tujuan yang akakn datang.

4. Personal (Integritas dan identitas maternal) 4 bulan sampai akhir

Tahap identitas peran personal terjadi ketika ibu menginternalisasi

peran. Ibu mengalami perasaan keselarasan, kepercayaan diri, dan

kompeten dam peran maternal yang telah dicapai.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi maternal role identity:

1. Usia maternal

Usia remaja meningkatkan resiko lahir premature dan BBLR, ibu yang

lebih tua (diatas 30 tahun) meningkatkan resiko kematian janin atau bayi

dan masalah kesehatan ibu.

2. Pengalaman melahirkan

Semakin sering melahirkan maka semakin berpengalaman

3. Pemisahan dini dari ifant

Pemisahan dini dari ibu menurunkan kesempatan untuk boonding

attachment

4. Stress sosial/sosial support

Kejadian stress dapat meningkatkan resiko masalah kesehatan pada ibu

5. Bakat personal

Temperamen bawaan atau bakat akan mempengaruhi peran ibu


40

6. Konsep diri

Konsep diri yang positif mempengaruhi kemampuan individu untuk

berhubungan dengan orang lain sehingga mampu menfasilitasi peran ibu.

7. Sikap kekanak-kanakan

Sikap kekanak-kanakan ibu memberikan efek langsung pada perilaku ibu

dalam mengarahkan anak-anaknya dalam bersosialisasi

8. Status kesehatan

Masalah kesehatan wanita menurunkan harga diri, menyebabkan

kelemahan yang akan mempengaruhi peran sebagai ibu

9. Temperamen bayi

Bayi yang sulit atau tidak merasa nyaman akan membuat peran ibu

dimasa transisi menjadi sulit.

10. Status kesehatan bayi

Yang dimaksud adalah kemampuan bayi dalam berespon terhadap

ibunya, perpisahan pada ibu dan bayi akan menurunkan kesehatan.

2.2.5 Konsep maternal role/identity:

1. Competence/confidence in role, partner peran ibu dan bayinya akan

mencerminkan kemampuan ibu dalam berperan sebagai ibu melalui

proses pertumbuhan dan perkembangan (Mercer, 1986).

2. Grafication-satisfaction di gambarkan sebagai kepuasan, kenikmatan,

umpan balik dan kebanggaan yang di ekspresikan oleh wanita dalam


41

berinteraksi dengan bayinya dan dalam nenebuhi tugas rutin sebagai

seorang ibu.

3. Attachment yaitu adalah komponen dari peran orang tua dan identitas

yang digambarkan sebagai proses dalam mempertahankan komitmen

sikap dan emosi yang telah terbentuk.

Pada bayi dan proses kedekatan antara keduanya. Akibat terburuk dari

masalah ini adalah adanya ketakutan ibu bahwa suatu saat anaknya akan meninggal.

Tahapan pencapaian peran ibu ini berkaitan dan sejalan dengan pertumbuhan

dan perkembangan bayi baru lahir respon perkembangan bayi sebagai respon

terhadap perkembangan peran ibu adalah:

a. Kontak mata dengan ibu saat ibu bicara, reflek menggenggam

b. Reflek tersenyum dan tenang dalam perawatan ibu

c. Perilaku interaksi tentang konsisten dengan ibu


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan yaitu analitik observasional dengan desain

kasus-kontrol atau case-control study, yaitu untuk mengidentifikasi subjek yang

mengalami stunting (kelompok kasus) dan subjek yang tidak mengalami stunting

(kelompok kontrol). Penelitian akan dilakasanakan di Muna Barat pada bulan Maret

2019.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak balita berumur

6-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kabawo, Puskesmas Lohia dan Puskesmas

Labasa. Selanjutnya populasi dalam penelitian ini dibagi menjadi populasi kasus

adalah balita stunting. Sedangkan populasi kontrolnya adalah balita tidak stunting.

3.2.2 Sampel

Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik fixed disease sampling.

Menyatakan bahwa teknik fixed disease sampling merupakan skema pencuplikan

yang dilakukan dengan memilih sampel berdasarkan status penyakit subjek, yaitu

berpenyakit (kasus) dan tidak berpenyakit (kontrol) oleh faktor yang diduga

memengaruhi terjadinya suatu penyakit (Murti, 2018).

28
29

1) Besar sampel

Perhitingan jumlah sampel dalam penelitian ini berdasarkan pada jenis

penelitian analitik tidak berpasangan sehingga diperlukan besar sampel minimal

dengan mengunakan rumus:

𝑍𝑎√2𝑃𝑄 +𝑍𝛽√𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2 2
n1=n2=( )
𝑃1−𝑃2

Menghitung besar sampel diketahui dari kasus bahwa :

Kesalahan Tipe 1 ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah Zα = 1,96.

Kesalahan Tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ = 0,842

P1 = Proporsi stunting pada kasus

P2 = Proporsi pajanan pada kelompok kontrol

OR = Odds Ratio yang dianggap bermakna secara klinis

Pada penelitian ini menggunakan odd ratio penelitian terdahulu untuk variabel

pekerjaan ibu (Nabuasa et al., 2013) OR = 3,37 penelitian terdahulu dengan

proporsi P2 = 0,65

Q1 = 1-P1 = 0,125

Q2 = 1-P2 = 0,32

P1 = OR x P2/(1-P2) + (OR x P2) = 0,875

P = ( P1 + P2 )/ 2 = ( 0,577+0,32)/2 = 0,762
30

Q = 1- P = 0,238

Dengan memasukkan nilai-nilai di atas pada rumus, maka diperoleh :

n1 = n2 = 𝑍𝑎√2𝑃𝑄 +𝑍𝛽√𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2 2
( )
𝑃1−𝑃2

n1 = n2 = 1,96√2(0,762𝑥0,238) +0,842√(0,875)(0,125)+(0,65)(0,32) 2
( ) = 41,86 = 42
0,875−0,65

Berdasarkan data dari berbagai penelitian kasus kontrol yang telah

dilakukan oleh peneliti terdahulu dapat diketahui bahwa jumlah sampel terbesar

diperoleh pada variabel pekerjaan ibu (42 sampel). Peneliti menggunakan jumlah

sampel tertinggi yaitu 42 sampel dan pengambilan sampel dibulatkan menjadi 50

sampel untuk setiap kelompok sehingga totalnya 100 sampel dengan perbandingan

1:1 atau sebanyak 50 sampel untuk kasus dan 50 sampel untuk kontrol. Responden

dalam penelitian ini adalah ibu balita. Pemilihan sampel dalam penelitian ini

dilanjutkan dengan teknik stratified propotional random sampling untuk

mendapatkan sampel berdasarkan proporsi terjadinya kasus perwilayah.

2) Kriterian inklusi dan ekslusi

Kriteria inklusi; Ibu yang memiliki Balita berusia 6-59 bulan, bersedia

menjadi responden, balita dengan status ekonomi keluarga <2.351.000 orang/bulan

Kriteria Eklusi; Ibu yang memiliki balita dengan cacat bawaan, balita

dengan penyakit kronis, Ibu yang mengalami ganguan kejiwaan.

Adapun cara perhitungan besar sampel untuk masing-masing wilayah

dengan teknik stratified propotional random sampling, yaitu sebagai berikut:


31

jumlah kasus wilayah X


Jumlah sampel = X jumlah minimal sampel
Jumlah kasus Keseluruhan

104
(1) Puskesmas Tiworo Tengah = = 205 x 50 = 25, 3 =23

Sampel kasus 23 responden, sampel kontrol 23 responden

73
(2) Puskesmas Sidamangura = 205 x 50 = 17,8 = 18

Sampel kasus 18 responden, sampel kontrol 18 responden

28
(3) Puskesmas Marobea = 205 x 50 = 6,8 = 7

Sampel kasus 7 responden, sampel kontrol 7 responden

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel independen, variabel

dependen dan variabel intervening. Diantaranya yaitu; variabel independen adalah

pengetahuan, pekerjaan, budaya. Variabel dependent yaitu stunting dan variabel

intervening yaitu pola asuh.

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Instrumen Hasil Skala


Penelitian Operasional Ukur Data

1 Stunting Keadaan gagal Lembar Ordinal


Balita tumbuh pada anak observasi 1. Tidak stunting =
balita < 5 sehingga Zscore ≥ -2,0 SD
tubuh anak pendek 2. Stunting =
untuk usianya, Zscore < -2,0 SD
dikarenakan (stunted) dan < -
kekurangan gizi 3,0 SD (severely
stunted)
32

kronis dalam waktu


yang lama

2 Pengetahuan Segala sesuatu Kuesioner 1. Baik = >50% Ordinal


yang diketahui oleh 2. Kurang = ≤ 50%
ibu tentang
kejadian stunting.
Pengertian,
penyebab dan
dampak dari
stunting

3 Pekerjaan Segala bentuk Kesioner 1. Tidak bekerja Ordinal


Ibu aktifitas yang 2. Bekerja
dilakukan oleh ibu
balita yang menyita
waktu dan tenaga
diluar rumah dan
didalam rumah
serta menghasilkan
uang guna
memenuhi
kebutuhan keluarga
Dengan waktu
maksimal bekerja
6-8 jam

4 Pola Asuh Praktek dan Kuesioner 1. Baik


perilaku orang tua Nilai ≥ 50% Ordinal
dalam merawat 2. Tidak baik
anak, menyediakan Nilai < 50%
dan memberikan
makan, hygiene.

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen


No Variabel Indikator Sub indikator No butir Jumlah

1 Pengetahuan Segala sesuatu 1. Pengertian 1,6,8,9, 9


1 yang diketahui
oleh ibu tentang 2. Penyebab
kejadian
2, 3,5,7
stunting.
3. Dampak
stunting
4
33

2 Budaya Kebiasaan, atau 1. Kebiasaan 1, 3, 4, 7, 11


tradisi, nilai, 2. Nilai 9
mitos 3. Mitos
masyarakat yang 2, 5,
berkaitan dalam
6, 8, 10,
pemenuhan
11
nutrisi yang
diberikan ibu
kepada anaknya
anak
3 Pola Asuh Praktek dan 1. Pola 1,2,3,4,5,6 17
perilaku orang pemberian
tua dalam makan
merawat anak, 2. Praktik
menyediakan kebersihan
dan memberikan 3. Pemaanfaatan 1,2,3,4,5,6
makan, serta pelayanan
perawatan kesehatan
kesehatan atau
hygiene. 1,2,3,4,5,

3.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

1) Data Primer

Data primer yang dikumpulkan antara lain :

(1) Data karakteristik dan tinggi badan balita diperoleh dengan hasil wawancara

dengan lembar observasi dan pengukuran antropometri pada balita secara

langsung.

(2) Data mengenai pemahaman respondeen terkait pengetahuan, pekerjaan,

budaya dan pola asuh diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan

menggunakan kuesioner.

2) Data Sekunder
34

Data sekunder yang dikumpulakan antara lain mengenai jumlah balita

stunting dan balita tidak stunting. Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari

laporan Dines Kesehatan Kabupaten Muna Barat, Puskesmas (laporan data bagian

Gizi).

Dalam pengumpulan data, ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu sebagai

berikut:

1) Tahap Persiapan

(1) Pengajuan izin penelitian dengan membuat ethical clearance di Fakultas Ilmu

Keolaragaan Universitas Negeri Semarang.

(2) Pengurusan surat izin penelitian ke instansi terkait yaitu Badan Kesatuan

Bangsa Dan Politik Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Kesatuan Bangsa Dan

Politik Kabupaten Muna Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Barat,

Puskesmas yang memiliki balita stunting.

(3) Melakukan kunjungan awal ke lokasi penelitian dan pengumpulan data

sekunder sebagai informasi awal.

(4) Mempersiapkan alat dan instrumen penelitian (kuesioner) yaitu Microtoice,

Length Board atau Infantometer.

2) Tahap pelaksanaan

(1) Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan dari ibu balita untuk menjadi

sampel
35

(2) Melakukan verifikasi data mengenai kejaadian stunting di Puskesmas lokasi

penelitian

(3) Memilih balita stunting pada kelompok pada kelompok umur 6-59 bulan sesuai

jumlah yang diperlukan untuk penelitian

(4) Melakukan verifikasi balita stunting dengan melakukan pengukuran tinggi

badan menurut umur (TB/U) balita yang dijadikan sampel penelitian.

(5) Melakukan wawancara, observasi dan pengukuran untuk mendapatkan

informasi mengenai faktor-faktor yang diteliti.

3) Pengolahan data

(1) Editing dengan mengecek isian kuesioner apakah jawaban kesioner telah

lengkap untuk semua pernyataan, jelas, relevan dan konsinten.

(2) Coding dilakukan dengan pengkodean terhadap setiap data untuk

mempermudah dalam pengolahan data.

(3) Processing dengan memasukan data kuesioner kedalam komputer.

(4) Cleaning dilakukan pemeriksaan kembali data yang telah dimasukkan.

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner untuk

mendapatkan data primer responden mengenai pengetahuan, pekerjaan, budaya dan

pola asuh.

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Pengujin instrumen dengan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan

reliabilitas kuesioner dilakukan pada item pertanyaan/pernyataan pada variabel


36

pengetahuan. Uji validitas digunakan untuk menunjukan tingkat kevalidan atau

kesasihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu

mengukur apa yang diinginkan. Uji validitas menggunakan korelasi Person Product

Moment, dengan ketentuan, jika koefisien korelasi 0,3 maka dinyatakan valid

(Sugiyono, 2016).

Uji reliabilitas dilakukan setelah semua butir soal dinyatakan valid.

Reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau akurasi yang ditujukan oleh

instrumen pengukuran. Instrumen yang reliabel berarti instrumen tersebut bila

digunakan berkali-kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data

yang sama. Pada uji reliabilitas pengujian instrumen dilakukan dengan teknik Alpha

Cronbach.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada responden yang memiliki

karakteristik sama dengan responden yang diteliti yaitu sebanyak 30 orang di

Wilayah Kerja Puskesmas Kampobalano.

3.6 Teknik Analisis Data

3.6.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah deskripsi variabel penelitian yang menjelaskan

tentang gambaran umum data penelitian masing-masing variabel penelitian

3.6.2 Analisis Bivariate

Analisis bivariat adalah analisis yang menjelaskan tentang pengaruh satu

variabel independen terhadap satu variabel dependen. Variabel independen dalam

penelitian ini yaitu pengetahuan, pekerjaan, buadaya, melalui pola asuh terhadap
37

varibel dependen yaitu stunting (berat dadan menurut umur). Metode yang

digunakan adalah Chi Square dengan nilai keprcayaan 95% (nilai p = 0,05) dan

nilai OR (case control odds Ratio) untuk melihat besar pengaruh.

3.6.3 Analisis Multivariat

Penelitian ini menggunakan teknik analisi jalur (Path analysis). Analisis

jalur digunakan untuk melukiskan dan menguji hubungan antar variabel yang

berbentuk sebab akibat. Melalui analisis jalur akan di temukan jalur mana yang

paling tepat dan singkat suatu variabel independent menuju variabel dependent

terakhir (Sugiyono, 2016)

Analisis path adalah teknik analisis yang digunakan untuk menguji

hubungan kausal anatara dua atau lebih variabel. Perbedaan analisis path dengan

teknik analisis regresi lainnya adalah dimana analisis path memungkinkan

pengujian dengan menggunakan variabel mediating/ intervening/ perantara

misalnya (X-Y-Z) (Ghozali, 2014).

Path analysis (nalisis jalur) merupakan ekstensi regresi, baik regresi linier

atau regresi logistik ganda, yang melibatkan sejumlah variabel independen dan

dependen, sehingga merupakan nalisis multivariat. Prosedur multivaariat dapat

menggunakan data kontinu, diskrit, maupun dikatom. Tujuan dari path analysis

yaitu menghasilkan estimasi besaran dan signifikasi statistik hubungan kausal yang

dihipotesiskan antara sejumlah variabel, yang gambarkan oleh koefisien jalur (path

coeffecient) (Ayuningrum & Murti, 2019)

Langakah-langkah dalam path analisis yaitu sebagia berikut:


38

1) Spesifikasi Model

2) Identifikasi model

3) Kesesuaian model

4) Estimasi parameter

5) Respesifikasi model (jika perlu) (Ayuningrum & Murti, 2019)

Gambar 3. Skema Path Analysis. Analisis jalur terkait tingkat Pengetahuan (X1),

Pekerjaan (X2), Budaya (X3) dan (X4) Pola Asuh (Y) Kejadian Stunting.

Berdasarkan skema analisis di atas, maka dapat dibuat persamaan sebagai berikut:

Y = Pyx1 X1 + Pyx2 X2 + Pyx3 X3 + Pyx4 X4 + ryX1X4 +


1

`DAFTAR PUSTAKA

Adelina, F. A., Widajanti, L., & Nugraheni, S. A. (2018). Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu,
Tingkat Konsumsi Gizi, Status Ketahanan Pangan Keluarga dengan Balita Stunting (Studi
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Duren Kabupaten Semarang).
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(5): 361–369.
Agus, R., & Budiman. (2013). Kapita Selekta Kesioner Pengetahuan dan Sikap Dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Aini, E. N., Nugraheni, S. A., & Pradigdo, S. F. (2018). Faktor yang Mempengaruhi Stunting
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Puskesmas Cepu Kabupaten Blora. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) FKM UNDIP, 6(5): 454–461.
Aisyah, Suyanto, & Rahfiludin, M. Z. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Stunting pada Anak Kelas Satu di SDI Taqwiayatul Watho, Daerah Pesisir Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 7(1): 280–288.
Aji, D. S. K., Wati, E. K., & Rahardjo, S. (2016). Analisis Faktor-Faktor yang berpengaruh
terhadap Pola Asuh Ibu Balita di Kabupaten Bayumas. Jurnal Kesmas Indonesia, 8(1): 1–
15.
AL-Rahmad, A. H., Miko, A., & Hadi, A. (2013). Kajian Stunting Pada Anak Balita ditinjau
dari Pemberian ASI Eksklusif , MP-ASI, Status Imunisasi Dan Karakteristik Keluarga di
Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes, 6(2): 169–184.
Alom, J., Quddus, M. A., & Islam, M. A. (2012). Nutritional Status of Under-Five Children in
Bangladesh: A Multilevel Analysis. Journal of Biosocial Science, 44(5): 525–535.
Amalia, H., & Mardiana. (2016). Hubungan Pola Asuh Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Lamper Tengah Kota Semarang. Journal Of Health Education,
1(2): 8–13.
Amin, N. A., & Julia, M. (2014). Faktor Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang Tua serta
Hubungannya dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-23 Bulan. Jurnal Gizi Dan
Dietetik Indonesia, 2(3): 170–177.
Andrianti, & Wirjatmadi. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Anindita, P. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zink dengan Stunting (Pendek) pada Balita Usia 6-35 Bulan di Kecamatan
Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2): 617–626.
Apriani, L. (2018). Hubungan Karekteristik Ibu, Pelaksnaan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)
dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Stunting. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(4): 198–205.
Aramico, B., Sudargo, T., & Susilo, J. (2013). Hubungan Sosial Ekonomi, Pola Asuh, Pola
Makan dengan Stunting Pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten
Aceh Tengah. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia, 1(3): 121–130.
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. E-Jurnal
2

Pustaka Kesehatan, 3(1): 163–170.


Asrar, M., Hadi, H., & Boediman, D. (2009). Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Gizi dan
Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan
Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 6(2):
84–94.
Atabik, A. (2014). Faktor Ibu yang Berhubungan dengan Praktik Pemberian ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamotan. Unnes Journal of Public Health, 3(1): 1–9.
Ayuningrum, I. Y., & Murti, B. (2019). Aplikasi Path Analysis & Structural Equation Model
dengan Stata. Surakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pasa
Sarjana, Universitas Sebelas Maret.
Blake, R. A., Park, S., Baltazar, P., Ayaso, E. B., Monterde, D. B. S., Acosta, L. P., …
Friedman, J. F. (2016). LBW and SGA Impact Longitudinal Growth and Nutritional
Status of Filipino Infants. PLoS ONE, 11(7): 1–13.
Bukusuba, J., Kaaya, A. N., & Atukwase, A. (2017). Predictors of Stunting in Children Aged
6 to 59 Months: A Case–Control Study in Southwest Uganda. Food and Nutrition Bulletin,
38(4): 542–553.
Chávez-Zárate, A., Maguiña, J. L., Quichiz-Lara, A. D., Zapata-Fajardo, P. E., & Mayta-
Tristán, P. (2019). Relationship between stunting in children 6 to 36 months of age and
maternal employment status in Peru: A sub-analysis of the Peruvian Demographic and
Health Survey. PLoS ONE, 14(4): 1–16.
Dalimunthe, S. M. (2015). Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59
Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ( Analisis Data Sekunder Riskesdas
2010 ). In Skipsi. Jakarta: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Desyanti, C., & Nindya, T. S. (2017). Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik Higiene
dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Simolawang , Surabaya. Amerta Nutrition, 1(3): 243–251.
Dewi, M., & Aminah, M. (2016). Pengaruh Edukasi Gizi terhadap Feeding Practice Ibu Balita
Stunting Usia 6-24 Bulan. Indonesian Journal of Human Nutrition, 3(1): 1–8.
Direktorat Gizi Masyarakat. (2017). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2016. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementrian Kesehatan.
Direktorat Gizi Masyarakat. (2018). Buku Saku Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun
2017. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementrian Kesehatan.
Fadare, O., Amare, M., Mavrotas, G., Akerele, D., & Ogunniyi, A. (2019). Mother’s nutrition-
related knowledge and child nutrition outcomes: Empirical evidence from Nigeria. PLoS
ONE, 14(2): 1–17.
Fikadu, T., Assegid, S., & Dube, L. (2014). Factors associated with stunting among children
of age 24 to 59 months in Meskan district , Gurage Zone , South Ethiopia : a case-control
study. BMC Public Health, 14(800): 1–7.
Fikawati, S., & Syafiq, A. (2009). Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan Praktik Pemberian
3

ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 4(3): 120–131.


Fikrina, L. T. (2017). Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 24-59 Bulan Di Desa Karangrejek Wonosari Gunung Kidul. In Skripsi.
Yogyakarta: Disusun oleh: Lutfia Tazki Fikrina Program Studi Bidan Pendidik Jenjang
Diploma Iv Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Fitrie Wellina, W. (2015). Faktor Resiko Stunting pada Anak Umur 12-24 Bulan. In Tesis.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Ghozali, I. (2014). Struktural Equation Modeling Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program
LISREL 9.10 (4th ed.). Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Habyarimana, F., Zewotir, T., & Ramroop, S. (2016). Key Determinants of Malnutrition of
Children Under Five Years of Age in Rwanda: Simultaneous Measurement of Three
Anthropometric Indices. African Population Studies, 30(2): 2328–2341.
Hagos, S., Hailemariam, D., WoldeHanna, T., & Lindtjorn, B. (2017). Spatial Heterogeneity
and Risk Factors for Stunting among Children Under Age Five in Ethiopia: A Bayesian
Geo-Statistical Model. PLoS ONE, 12(2): 1–18.
Haines, A. C., Jones, A. C., Kriser, H., Dunn, E. L., Graff, T., Bennett, C., … West, J. H.
(2018). Analysis of Rural Indonesian Mothers Knowledge , Attitudes, and Beliefs
Regarding Stunting. Medical Research Archives, 6(11): 1–13.
Handayani, R. (2017). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Status Gizi pada Anak Balita.
Journal Endurance, 2(2): 217–224.
Hanum, F., Khomsan, A., & Heryatno, Y. (2014). Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi Badan
Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Journal Gizi Dan Pangan, 9(1): 1–6.
Hidayati, L., Hadi, H., & Kumara, A. (2010). Kekurangan Energi dan Zat Gizi Merupakan
Faktor Risiko Kejadian Stunted pada Anak Usia 1-3 Tahun yang Tinggal di Wilayah
Kumuh Perkotaan Surakarta. Jurnal Kesehatan, 3(1): 89–104.
Huslan, Bahar, B., Syam, A., & Zakaria. (2011). Pola Asuhan Gizi Pemberian ASI dan MP-asi
Anak Baduta Keluarga Etnik Bugis Manuba. Media Gizi Pangan, 11(1): 46–53.
Ibnu, I. N., Thaha, A. R. M., & Jafar, N. (2013). Pola Asuh Pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) pada Ibu Baduta Adat Kajang Ammatoa Kabupaten Bulukumba. Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 9(4): 257–263.
Ibrahim, I. A., & Faramita, R. (2015). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Keluarga dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong Kota
Makassar Tahun 2014. Al- Sihah : Public Health Science Journal, 7(1): 63–75.
Illahi, R. K., & Muniroh, L. (2016). Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik Madura dan Kejadian
Stunting Balita Usia 24-59 Bulan di Bangkalan. Media Gizi Indonesia, 11(2): 135–143.
Ilma, N. N., Salimo, H., & Pamungkasari, E. P. (2019). Prevalence and Path Analysis on the
Effects of Diarrhea and Life Course Determinants on Stunting in Children Under Two
Years of Age in Kupang, East Nusa Tenggara. Journal of Maternal and Child Health,
4(4): 230–241.
4

Izhar, M. D. (2017). Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Pola Asuh Makan terhadap
Status Gizi Anak di Kota Jambi. Jurnal Kesmas Jambi (JKMJ), 1(2): 61–74.
Kasmini, O. W. (2011). Nilai Anak Jalanan Dalam Konteks Sosiokultural (Studi Tentang
Status Gizi Balita Pada Lingkunagan Rentan Gizi Di Desa Pucuk Kecamatan Mijen
Kabupaten Demak Jawa Tengah). Semarang: Unnes Press.
Kemenkes RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan
Peneltian dan Pengembagan Kesehatan.
Kementrian Desa. (2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta: Kementrian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Khoeroh, H., & Indriyanti, D. (2017). Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita Stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Sirampong. Unnes Journal of Public Health, 6(3): 190–195.
Khopkar, A. S., Virtanen, M. S., & Kulathinal, S. (2014). Anthropometric Characteristics of
Underprivileged Adolescents: A Study from Urban Slums of India. Journal of
Anthropology, 1–9.
Kuchenbecker, J., Jordan, I., Reinbott, A., Herrmann, J., Jeremias, T., Kennedy, G., …
Krawinkel, M. B. (2015). Exclusive breastfeeding and its effect on growth of Malawian
infants: results from a cross-sectional study. Paediatrics and International Child Health,
35(1): 14–23.
Kullu, V. M., Yusnani, & Lestari, H. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Desa Wawatu Kecamatan Moramo
Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, 3(2): 1–11.
Kusumaningtyas, D. E., & Deliana, S. M. (2017). Pola Pemberian Makanan Terhadap Status
Gizi Usia 12-24 Bulan pada Ibu Bekerja. Public Health Perspective Journal, 2(2): 155–
167.
Kusumawati, E., Rahardjo, S., & Sari, H. P. (2015). Model Pengendalian Faktor Risiko
Stunting pada Anak Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurnal Kesehatan Mayarakat Nasional,
9(3): 249–255.

Anda mungkin juga menyukai