Anda di halaman 1dari 4

ARGUMENTASI ILMIAH

PIJAT BAYI MENINGKATKAN STATUS GIZI BAYI

DISUSUN OLEH :
NAILA MAHDIYAH ROZAIN
NIM : P17312195002

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN
2019
Pijat Bayi Meningkatkan Status Gizi Bayi

Naila Mahdiyah Rozain


Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Indonesia
nailamahdiyah@gmail.com

Masa bayi adalah masa keemasaan sekaligus masa kritis dalam tahap awal
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia. Menurut WHO, usia bayi pada
beberapa bulan pertama kehidupannya yakni usia 1 sampai dengan 6 bulan merupakan
tahap usia yang sangat penting bagi bayi, karena pada usia ini bayi memerlukan
makanan yang bergizi tinggi untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal (Irva dkk, 2014). Pemberian gizi tentu saja paling
berpengaruh dan bisa terlihat pada pengukuran berat badan. Gangguan gizi yang dapat
muncul saat dewasa juga dapat dicegah dengan mengoptimalkan status gizi pada dua
tahun pertama kehidupan bayi. (Adriani, 2012)
Menurut World Health Organization (WHO) atau badan kesehatan dunia, pada
tahun 2017 terdapat 5,4 juta anak di bawah umur lima tahun meninggal atau sekitar
15.000 anak di dunia meninggal setiap harinya. Padahal, tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) menargetkan untuk
mengurangi angka kematian balita menjadi 25 atau lebih kecil lagi per 1.000 kematian
di 2030. Penyebab utama kematian balita di dunia menurut WHO yaitu bayi lahir
prematur dengan komplikasi (2%), pneumonia (13%), diare (9%), malaria (5%),
campak (1%), HIV/AIDS (1%), cedera atau luka (6%), dan kelainan konginetal atau
penyakit tidak menular (8%). Dari semua kasus kematian balita tersebut sekitar kurang
lebih 45% disebabkan oleh malnutrisi. Hal ini dapat diartikan bahwa negara memiliki
tugas berat untuk menekan kematian bayi agar mencapai target SDGs pada tahun 2030,
khususnya kematian karena malnutrisi. Menurut data riskesdas tahun 2013, prevalensi
balita (0-59 bulan) yang mengalami gizi buruk dan kurang mencapai 19,6 %.
Kemudian di tahun 2018 meningkat menjadi 17,7%, meski mengalami peningkatan,
perlu diperhatikan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun pemerintah hanya mampu meraih
peningkatan sebesar 1,9%. Padahal prosentase ini belum memenuhi target RPJMN
2019 untuk balita gizi buruk dan kurang yakni 17%. Artinya pemerintah hanya
memiliki waktu tidak lebih dari setahun untuk memenuhi target RPJMN 2019 dengan
meraih peningkatan sebesar 0,7%. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai
tugas yang berat dalam meningkatkan status gizi balita khususnya bayi di Indonesia.
UNICEF dalam Dirjen Gizi dan Kesmas (2007) mengemukakan bahwa faktor-
faktor penyebab kurang gizi dapat dilihat dari penyebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung gizi buruk meliputi kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi dan menderita penyakit infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung gizi
buruk yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang
memadai dan pendidikan yang rendah Selain itu Fuada, Mulyati dan Hidayat (2011)
menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak balita di
perkotaan adalah tingkat sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan orang tua dan tinggi
badan orang tua, sedangkan di perdesaan faktor yang berhubungan adalah status sosial
ekonomi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan orang tua, pemanfaatan pelayanan
kesehatan dan angka kecukupan konsumsi protein.
Ningsih (2017) menyatakan kekurangan gizi pada anak balita dapat
menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus, dan
sangat pendek. Apabila dalam jangka panjang hal tersebut tidak diatasi dengan segera
maka akan mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan
berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak produktif dan tidak mampu
bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak baik bagi anak karena
memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, hipertensi,
hiperkolestrol, dan penyakit jantung. Dampak paling buruk dari gizi buruk yaitu
kematian pada umur yang sangat dini (Kurnia, 2012)
Salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi rendahnya status gizi
bayi adalah dengan pijat bayi. Pijat bayi menawarkan solusi yang mudah dan murah
mengingat salah satu factor penyebab status gizi buruk adalah status social dan
ekonomi. Pijat bayi dapat dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun orang tua bayi,
tidak memerlukan kompetensi Pendidikan dan kompetensi khusus untuk dipraktikkan.
Primanta (2016) mengatakan bahwa pada beberapa penelitian menyatakan pijat bayi
bisa merangsang nervus vagus, dimana saraf ini meningkatkan persitaltik usus sehingga
pengosongan lambung meningkat dengan demikian akan merangsang nafsu makan
bayi. Disisi lain pijat juga melancarkan peredaran darah dan meningkatkan metabolism
sel, dari rangkaian tersebut berat badan bayi akan meningkat. Roesli mengutip
penelitian Field dan Scafidi yaitu pada bayi prematur yang dilaukan pemijatan 3 x 10
menit selama 10 hari, kenaikan berat badannya tiap hari 20%-47% dan pada bayi cukup
bulan usia 1-3 bulan dipijat 15 menit, dua kali seminggu selama enam minggu, kenaikan
berat badannya lebih baik daipada yang tidak dipijat. Mengutip pula penelitian yang
dilakukan oleh Sunarsih (2010), bayi pada kelompok eksperimen mengalami
peningkatan berat badan sebesar 17,32% dan kelompok kontrol meningkat sebesar
13,48%.
Bayi harus dalam keadaan sehat ketika dipijat. Bayi yang dipijat dalam keadaan
demam dapat menambah parah demam karena pada pemijatan dilakukan pengurutan
yang menghasilkan gesekan antara kulit bayi dengan tangan pemijat, sehingga suhu
tubuh bayi menjadi bertambah tinggi. Pijat bayi baik dilakukan pada pagi hari ketika
bayi dan orang tua siap memulai hari baru serta pada malam hari sebelum tidur guna
membantu bayi tidur lebih nyenyak. Pijat boleh dilakukan selama 10-15 menit untuk
pemijatan pertama. Dosis pemijatan dapat ditambah secara berkala bila bayi sudah
merasa nyaman. Sebelum melakukan pemijatan, pastikan tangan dalam keadaan bersih
dan hangat, hindari kuku yang panjang dan perhiasaan agar tidak meyakiti kulit bayi,
usahakan bayi sudah selesai makan atau tidak sedang lapar, baringkan bayi di atas
permukaan kain yang rata, lembut dan bersih. Baby oil/lotion dapat digunakan sebagai
pelumas karena sifatnya yang tidak iritatif untuk kulit bayi. Awali pemijatan dengan
melakukan komunikasi dengan bayi lewat pandangan, ucapan lembut, dan nyanian, lalu
lakukan sentuhan lembut pada daerah yang kurang sensitif misalkan kaki, kemudian
secara bertahap lakukan pemijatan mulai dari kaki, perut, dada, lengan, wajah, dan
punggung (Roesli, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana Prenada Media Grup.
Jakarta
Dewi Riana Kurnia dan I Nyoman Budiantara. 2012. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Angka Gizi Buruk Di Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi
Nonparametrik Spline Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1, No. 1 ISSN: 2301- 928X.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKMUI. 2007. Gizi Dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fuada, N. Muljati, S dan Hidayat, T.S. 2011. “Karakteristik Anak Balita Dengan Status
Gizi Akut Dan Kronis Diperkotaan Dan Perdesaan, Di Indonesia” Jurnal Ekologi
Kesehatan. 10 (3):174
Irva, S. & Hasanah, O. & Woferst, R. 2014. Pengaruh terapi pijat terhadap peningkatan
berat badan bayi. Jurnal Jom Psik. Volume 1. Nomor 2
Kementerian kesehatan. 2018. Riskesdas 2018. Jakarta
Ningsih, Ratna Septi. 2017. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Gizi
Bayi Bawah Umur Lima Tahun. Jurnal. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id. Diakses tanggal 23 Agustus 2019
Primanta, Anggun. 2016. Pengaruh Pijat Bayi terhadap Perubahan Berat Badan Bayi.
Skripsi
Roesli, Utami. 2013. Pedoman Pijat Bayi Bayi. Jakarta: Pustaka Pembangunan
Swadaya Nusantara
Sunarsih, Tri. 2010. Pengaruh Pijat Bayi terhadap Kenaikan Berat Badan Bayi Umur
0-3 tahun di BPS Saraswati Sleman Yogyakarta. Jurnal
WHO. 2018. Childern : Reducing Mortality. Retrieved from www.who.Int. Diakses
Pada 23 Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai