Anda di halaman 1dari 29

TUGAS EPIDEMIOLOGI GIZI DAN INTERVENSINYA

PROGRAM FORTIFIKASI UNTUK PERBAIKAN GIZI DI USA DAN


INDONESIA

Dosen Pengampu : Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si

Peminatan Epidemiologi dan Biostatistika (Semester 2)

Disusun Oleh :

Ayunita Dwi Hadianti


(S021502013)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat anugerah-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Program fortifikasi untuk Perbaikan Gizi di USA
dan Indonesia’. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Epidemiologi Gizi dan Intervensinya  semester 2 (dua) Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan yang lebih khusus dari
penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan tentang peranan Fortifikasi
Makanan Untuk Perbaikan Gizi Mikro.

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis


telah berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik, namun
penulis menyadari makalah ini belum bisa sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan
makalah ini.

Surakarta, 3 November 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................ 4
C. Tujuan .................................................................................. 4
BAB 2. PEMBAHASAN
A. Pengertian fortifikasi pangan................................................ 5
B. Klasifikasi dan enis-jenis fortifikasi pangan........................ 7
C. Perbandingan program fortifikasi pangan
di USA dan Indonesia........................................................... 10
D. Kelebihan dan kekurangan program fortifikasi.................... 18
E. Kunci sukses fortifikasi pangan di negara industri ............. 20
BAB 3. PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 21
B. Saran..................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sampai saat ini, masalah kekurangan zat gizi mikro terutama iodium, zat besi dan
vitamin A sangat luas dan besar, bahkan diderita lebih dari sepertiga penduduk dunia.
Kurangnya zat gizi mikro menyebabkan konsekuensi yang sangat serius pada individu
maupun keluarga, antara lain ketidakmampuan dalam belajar, menurunkan kapasitas
kerja, sakit, dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Masalah kurang zat gizi mikro
ini, sering disebut sebagai masalah kelaparan tidak kentara atau terselubung (hidden
hunger), karena gejalanya tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sedangkan
masalah kurang gizi makro, dikenal dengan istilah kelaparan nyata (overt hunger) atau
lebih dikenal dengan HO (hunger oedem) karena gejalanya mudah dikenal umum,
seperti kurus, ada odem dan lain-lain. WHO menyebutkan kurang zat gizi mikro
khususnya kurang zat besi merupakan satu dari 10 faktor risiko penting terjadinya
penyakit, cacat, dan kematian yang dapat dicegah. Lebih dari setengah kematian bayi
dan balita secara tidak langsung disebabkan oleh kurang zat gizi mikro (ADB, 2000;
Soekirman, 2000).
Di Indonesia antara 30 – 60% anak balita, remaja putri dan wanita hamil
menderita kurang zat gizi mikro. Sedangkan wanita usia produktif dan wanita hamil di
beberapa negara maju juga memiliki risiko untuk anemia. Data representatif dari AS
mengindikasikan bahwa 5% dari wanita tidak hamil menderita anemia, prevalensi ini
meningkat menjadi 17% pada wanita hamil, dan prevalensi menjadi 33% diantara
kelompok wanita hamil dengan sosio ekonomi rendah. Begitu juga di Canada, anak-
anak pra sekolah menderita kekurangan energi protein dan mikronutrien dengan
berbagai dampak berkelanjutan. Seperti, pada orang dewasa mengganggu
produktivitas dan pada ibu hamil risiko kematian pada saat melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (Leung dan Pearce, 2012).
Kekurangan zat gizi mikro lainnya juga terjadi di Amerika Serikat pada tahun
1948, seperti endemik gondok karena kekurangan iodium, dan pada ibu hamil
menyebabkan bayi lahir dengan kelainan mental dan fisik. Kekurangan Vitamin A
berdampak pada berkurangnya kekebalan dan meningkatnya risiko infeksi yang pada

1
akhirnya dapat meningkatkan kematian. Kekurangan asam folat yang biasanya
bersamaan dengan kekurangan zat besi menyebakan meningkatnya risiko penyakit
jantung dan stroke (Saragih, 2007a ; 2007b ;2007c; Depkes, 2003).
Alasan-alasan dibalik pemfokusan usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi
ketiga zat gizi mikro ini adalah : 1) Didasarkan pada informasi yang tersedia.
Kekurangan vitamin A, iodium dan anemia gizi besi memiliki prevalensi yang tinggi
di dunia dewasa ini; 2) Informasi yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat
gizi mikro tersebut terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja,
dan efisiensi ekonomi; 3) Meskipun beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat
gizi mikro telah lama diketahui, dimensi global dan spektrum yang luas dari efek
dentrimental dari kekurangan zat gizi mikro yang sedang (mild) terhadap
perkembangan fisik dan mental, mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan
ini; 4) Luasnya spketrum kekurangan zat gizi mikro ini pada tingkat populasi dapat
diukur secara relatif dengan akurat; 5) Solusi untuk menghilangkan kekurangan zat
gizi mikro telah diketahui dan mudah diimplementasikan dan biayanya relatif murah.
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi luasnya cakupan kekurangan
zat gizi mikro di negara-negara berkembang (Siagian, 2003). Penyebaran tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah populasi yang Berisiko dan terkena kekurangan Zat Gizi mikro
Kekurangan zat gizi
Wilayahb GAKIc KVAd
besif atau populasi
GAKI Menderita Prevalensi terkena anemia
a
Penderitae
at Risk Goitre (%)
Afrika 181 86 53 49 206
Amerika 168 63 16.1 20 94
Asia tenggara 486 176 126.5 69 616
Mediterania Timur 173 93 16.1 22 149
Pasifik Barat 423 141 42.1 27 1.058
Total 1.572 655 254 2.150
(Sumber: WHO, 1992; 1994)

Keterangan : GAKI : ganguan akibat kekurangan Iodium; KVA : Kekurangan Vitamin A; a)


Banyak yang tinggal di wilayah yang berisiko terkena GAKI dan banyaknya anak usia
prasekolah yang tinggal di wilayah KVA; b) WHO region; c) sumber WHO (1992); d) Estimasi
menggambarkan hanya data WHO tahun 1994 (sumber:WHO, 1994); e) Populasi yang
menderita defisiensi sub klinis berat dan sedang; f) Hanya untuk anak usia prasekolah
termasuk cina.

2
Kekurangan vitamin A, iodium, dan zat besi dapat menghabiskan 5% dari Produk
Domestik Bruto (PDR) suatu negara (bandingkan dengan hanya 0.3% PDR untuk
penanggulangannya). Pertemuan para pemimpin negara pada World Summit for
Children di New York menetapkan tujuan spesifik dari program penghilangan
kekurangan zat gizi mikro, yaitu dengan penghapusan yang sesungguhnya kekurangan
iodium, vitamin A, dan pengurangan anemi gizi besi pada wanita sebesar 1/3 dari
tahun 1990. Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi
makanan keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua
anggota keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena  ketidakmampuan ekonomi
dan atau kurangnya pengetahuan. Untuk memenuhi gizi seimbang, masyarakat 'tidak
mampu' membutuhkan daya beli yang cukup, dan pengetahuan tentang gizi seimbang
(Allen et al., 2006; Soekirman, 2003).
Upaya peningkatan daya beli masyarakat memerlukan pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan dan pro-rakyat miskin. Sementara hasilnya tidak dapat diharapkan
terlihat dalam waktu singkat. Padahal balita yang Kekurangan Gizi Mikro (KGM)
membutuhkan pertolongan saat ini. Artinya, diperlukan program gizi saat anak masih
balita dan orang tua masih miskin, agar balita terhindar dari dampak negatif KGM
terhadap kesehatan, kecerdasan dan produktivitasnya, apabila mereka dewasa
(Soekirman, 2003).
Masalah ini dapat dicegah atau dihilangkan jika sejumlah kecil gizi mikro
dikonsumsi secara terus menerus. Beberapa cara penanggulangan di tingkat
masyarakat telah dilakukan mulai dari suplemen dosis tinggi, konsumsi pangan kaya
gizi mikro sampai pada program fortifikasi pangan. Pemberian suplemen dosis tinggi
merupakan strategi jangka pendek yang cukup efektif telah terbukti di beberapa
negara, akan tetapi kendala utama dari efektifitas metode suplemen ini adalah
dibutuhkan biaya yang cukup tinggi dan perlu motivasi yang berkelanjutan dalam
mengkonsumsi suplemen. Perbaikan pangan berupa fortifikasi pangan merupakan
metode yang paling ideal. Fortifikasi atau penambahan satu atau lebih zat gizi mikro
pada pangan yang lazim dikonsumsi merupakan strategi penting yang dapat digunakan
untuk meningkatkan status zat gizi mikro di dalam pangan. Fortifikasi pangan
umumnya digunakan untuk mengatasi masalah zat gizi mikro pada jangka menengah
dan panjang (Soekirman, 2003).

3
Oleh karena itu, fortifikasi pangan merupakan pilihan yang berperan penting dalam
pemenuhan kebutuhan gizi masyarakt untuk jangka panjang. Untuk itu, intervensi gizi
yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi
mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu
dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan
keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas
dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan
dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai
solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan
(Siagian, 2003).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fortifikasi pangan?
2. Apa saja jenis-jenis dan klasifikasi fortifikasi pangan?
3. Bagaimana perbandingan fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia?
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari program fortifikasi pangan?
5. Bagaimana kunci sukses program fortifikasi pangan di negara-negara industri?

C. Tujuan
1. Diketahui definisi dari fortifikasi pangan.
2. Diketahui jenis-jenis dan klasifikasi dari fortifikasi pangan.
3. Diketahui perbandingan fortifikasi pangan antar negara maju (USA) dan negara
berkembang (Indonesia).
4. Diketahui kelebihan dan kekurangan dari program fortifikasi pangan.
5. Diketahui kunci sukses program fortifikasi pangan di negara-negara industri.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fortifikasi Pada Makanan


Beberapa istilah yang sering digunakan selain fortifikasi untuk penambahan Gizi
terhadap makanan, yaitu (Martianto, 2012):

a. Restorasi adalah penambahan gizi pada makanan dalam rangka memperbaiki


kandungan gizi alami, pengayaan tambahan gizi pada makanan menurut standar
pengaturan makanan.
b. Standarisasi adalah penambahan gizi pada makanan untuk mengimbangi variasi
alami, sehingga level standar dapat dicapai. Standarisasi adalah langkah penting
untuk memastikan kualitas standarisasi konsisten dari produk akhir.
c. Suplementasi adalah penambahan gizi yang tidak ada secara normal atau hanya
terdapat dalam kuantitas menit dalam makanan.

Lebih dari satu gizi yang mungkin ditambahkan, dan mereka mungkin
ditambahkan dalam kuantitas tinggi dibanding restorasi dan standarisasi, fortifikasi
mempunyai arti khusus, yaitu penambahan gizi dan pemilihan makanan yang berperan
sebagai karier (pembawa) yang memiliki kriteria tertentu, sehingga produk yang
difortifikasi akan menjadi sumber gizi yang baik untuk populasi target (Martianto,
2012).

Table 2. Makanan Yang Difortifikasi


  Agen fortifikasi
Garam iodium, besi
Tepung , roti, beras Vitamin B1, B2, niasin, besi
Susu, margarin Vitamin A and D
Gula, monosodium glutamat, teh Vitamin A
Formula bayi, biskuit Besi
Sayuran campur asam amino, protein Vitamin, mineral,
Susu kedelai, jus jeruk Kalsium
Sereal siap makan Vitamin, mineral
Minuman diet Vitamin, mineral
(Diniwati, 2005)

Efektivitas suatu program makanan yang difortifikasi tergantung pada ya atau


tidaknya makanan yang difortifikasi dapat diterima, dibeli, dan dikonsumsi oleh
populasi yang ditargetkan. Faktor seperti mutu, rasa, dan harga produk yang

5
difortifikasi akan berperan penting didalam menentukan efektivitas program.
Beberapa faktor penting lain yang harus dipertimbangkan secara hati-hati didalam
merancang program fortifikasi makanan adalah sebagai berikut (Ottaway, 2008):
a. Makanan yang dipilih sabagai karier (pembawa) harus dikonsumsi dalam jumlah
cukup untuk membuat kontribusi berarti terhadap diet dari populasi yang
ditargetkan. Garam, Gula, Tepung, Monosodium Glutamate ( Msg), dan minyak
goreng telah digunakan. Makanan yang lain harus diselidiki, terutama berkenaan
dengan kebiasaan makanan yang spesifik dan pilihan dari populasi yang
ditargetkan.
b. Penambahan gizi harusnya tidak menimbulkan suatu ketidakseimbangan dari gizi
yang esensial. Penambahan ini khususnya penting untuk menambah dua kali lipat,
tiga kali lipat atau berlipat-lipat makanan yang difortifikasi, yang berinteraksi di
antara gizi yang ditambahkan (di antara gizi yang ditambahkan dengan gizi yang
secara alami ada dalam makanan karier) kemungkinan ini dapat terjadi.
c. Gizi yang ditambahkan harus stabil di bawah kondisi yang normal penggunaan dan
penyimpanan. Data tentang stabilitas gizi yang ditambahkan juga penting untuk
tujuan pelabelan. Harga makanan yang difortifikasi harus bisa diusahakan untuk
populasi yang ditargetkan.
d. Program penjamin mutu dan pengawasan terhadap makanan yang difortifikasi
dapat lebih mudah diimplementasikan jika program fortifikasi memusat dan
melibatkan produksi massa.

Saat ini, fortifikasi makanan meliputi konsep yang lebih luas, dan boleh jadi
dilaksanakan untuk beberapa pertimbangan. Yang pertama adalah untuk memulihkan
kembali gizi yang hilang selama proses makanan, prosesnya dikenal sebagai
pengayaan. Dalam hal ini, sejumlah gizi ditambahkan kira-kira sama dengan
kandungan yang alami di dalam makanan sebelum dilakukan pengolahan. Alasan
kedua adalah untuk menambahkan gizi yang mungkin tidak terdapat secara alami
dalam makanan, prosesnya diketahui sebagai fortifikasi. Dalam hal ini, jumlah gizi
yang ditambahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada sebelum
pengolahan. Fortifikasi juga menstandarisasi kandungan bahan gizi yang
menunjukkan konsentrasi variabel. Contoh yang khas adalah penambahan vitamin C
kedalam sari jeruk untuk menstandarisasi konsentrasi vitamin C dan mengganti
kerugian karena perubahan yang disebabkan oleh musim dan variasi pengolahan.

6
Akhirnya, untuk tujuan teknologi, suatu bahan pengawet atau agen pewarna
ditambahkan untuk memproses makanan (Martianto, 2012).
Oleh karena itu, tergantung pada alasan untuk penambahan gizi, tujuan dari
fortifikasi adalah (Diniwati, 2005):
a. Untuk memelihara mutu gizi pada makanan, pemeliharaan tingkat gizi yang cukup
untuk mengoreksi atau mencegah defisiensi gizi pada populasi yang besar atau
dalam kelompok yang berhadapan dengan risiko defisiensi tertentu (seperti: usia
yang lebih tua, vegetarian, wanita-wanita hamil, dan lain-lain).
b. Untuk meningkatkan nilai gizi yang ditambahkan pada suatu produk (pandangan
komersil)
c. Untuk menyediakan fungsi teknologi tertentu di dalam pengolahan makanan.

Berdasarkan prinsip di beberapa negara sekarang ini, gizi ditambahkan ke dalam


suatu makanan karier (pembawa) yang bervarisi dalam jumlah yang besar, seperti
gandum, tepung, roti, susu, margarin, formula bayi, susu kedelai, sari jeruk, garam,
gula, monosodium glutamate dan teh yang dapat dilihat pada Tabel 2. Kebanyakan
agen fortifikasi adalah vitamin dan mineral, dan dalam beberapa hal asam amino
esensial dan protein (Diniwati, 2005).

B. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan


1. Klasifikasi fortifikasi bahan pangan
a) Fortifikasi sukarela (voluntary)
Fortifikasi sukarela dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan
untuk meningkatkan nilai tambah produknya sehingga lebih menarik
konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-undang atau peraturan
pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak mengacu
kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam
promosinya segi kesehatan ini yang ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri
komoditi makanan yang akan difortifikasi. Sasaran fortifikasi sukarela adalah
semua orang yang mampu dan mau membeli komoditi yang difortifikasi.
Contohnya, produk makanan dan minuman yang ada di supermarket
(Soekirman, 2011).
b) Fortifikasi wajib (mandatory)

7
Fortifikasi wajib diharuskan oleh undang-undang dan peraturan
pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat
miskin, meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh
karena itu, fortifikasi wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai
bagian tanggung jawabnya untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam
Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat gizi sebagai fortifikan yang
penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium. Di Indonesia, fortifikasi zat
besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti
mie instant, susu bubuk dan terigu (Soekirman, 2011).
c) Forifikasi khusus
Fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya
kelompok masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau anak sekolah.
(Anonim, 2013).

2. Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan


a) Fortifikasi Iodium
Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI). Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium
Iodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Negara-negara dengan program iodisasi
garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan
prevalensi GAKI. Contoh : garam Fortifikasi Iodium (Siagian, 2003).
Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan
iodium untuk anak-anak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari,
sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari
dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak
perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut
fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras
giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1
ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang
berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet
fortifikan yang digunakan 4-5 satu/jam tergantung pada kekeringan beras yang
di fortifikasi (DEPTAN, 2008).
b) Fortifikasi Besi

8
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemia
gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan
strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup
jumlah populasi yang terbesar dan menjamin pendekatan jangka panjang.
Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan.
Inilah keuntungan pokok dalam hal diterimanya oleh konsumen dan pemasaran
produk-produk yang diperkaya dengan besi (Cook and Reuser, 1983).
Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan
mengalami defisiensi zat besi. Ini merupakan strategi yang aman dan efektif
untuk mengatasi masalah anemia besi. Pilihan pendekatan ditentukan oleh
prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi. Tahapan kritis dalam perencanaan
program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan
dapat diserap. Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi
sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa
fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi, seperti  besi sulfat, besi
glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. Contoh: fortifikasi
zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung
singkong (Ballot et al., 1989; Cook and Reuser, 1983; Siagian, 2003).
c) Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk
mengatasi masalah kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara
asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah
strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik
dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin
yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk
larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, yang dalam keadaan stabil
dapat digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara
langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari
vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam
bentuk retionol  atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal)
dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa

9
seperti gula, lemak, minyak, garam, sereal, dan monosodium glutamat (MSG)
telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A (Siagian, 2003).
d) Asam folat
Asam Folat ( asam folinat, folasin dan asam pteroylglutamat) adalah
penting untuk sintesis adenin dan timin. Dua dari empat asam nukleat yang
menyusun gen kita (DNA dan kromosom) juga diperlukan untuk metabolisme
yang baik dari asam amino esensial methionine yang ditemukan, terutama di
dalam protein hewani. Kekurangan asam folat sudah jelas berhubungan dengan
tingkat homocysteine sulfur yang tinggi. Tingkat homocysteine yang tinggi,
pada kenyataannya telah dihubungkan pada penyakit cardiovasculer dan
sejumlah besar kondisi-kondisi lain yang tidak diinginkan. Asam folat juga
diperlukan oleh wanita. Ketika wanita memiliki cukup asam folat sebelum dan
selama masa kehamilan, dapat membantu mencegah penyakit cacat lahir dari
bayi seperti pada otak atau saraf. Adapun konsumsi asam folat yang dianjurkan
adalah sedikitnya 400 mikrogram setiap hari (Jacques et al., 2000).

C. Perbandingan Program Fortifikasi Di USA Dan Di Indonesia


1. Fortifikasi yodisasi garam
Fortifikasi terbukti telah berjasa mengatasi masalah kurang zat gizi mikro di
Eropa, Amerika Utara dan akhir-akhir ini di Amerika Latin. Negara pertama yang
melakukan program fortifikasi adalah Amerika Serikat. Pada tahun 1920, di
negara Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan wajib menambahkan zat
iodium pada garam untuk menanggulangi penyakit  akibat kurang iodium. Bahkan
di negara-negara maju terutama AS telah mengkombinasi zat besi dan iodium
pada garam untuk menanggulangi GAKI dan anemia defisiensi besi. Dewan
Internasional untuk Pengendalian Iodine Gangguan defisiensi (ICCIDD) Global
Network memperkirakan bahwa proporsi rumah tangga di AS yang mengonsumsi
garam beriodium sekarang melebihi 90%. Sejak awal abad ke-20 sampai
sekarang, iodisasi garam menjadi program global yang diwajibkan oleh undang-
undang setiap negara yang terbukti mampu menekan goitre secara signifikan
(INNAG, 1993).
Di Indonesia, program iodisasi garam baru dimulai akhir tahun 1970-an,
kemudian ditingkatkan menjadi fortifikasi wajib oleh Keputusan  Presiden No. 69

10
tahun 1994. Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan
terkait gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Di Indonesia, sedang
melakukan riset pengembangan garam fortifikasi ganda (iodium dan besi) yang
stabil dengan menerapkan teknologi mikroenkapsulasi. Menurut Koalisi
Fortifikasi Indonesia (KFI), persentasi rumah tangga yang mengkonsumsi garam
beriodium di daerah pedalaman dan terisolir masih rendah, jauh dibawah rata-rata
nasional (73%). Salah satu masalah yang masih dihadapi Indonesia dalam
program iodisasi garam adalah masih banyaknya beredar garam dengan label
beriodium, tetapi tanpa iodium alias palsu (Soekirman, 2003).

2. Fortifikasi zat besi dengan tepung terigu


Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi di Amerika dimulai pada tahun 1938,
dan ditingkatkan menjadi wajib pada tahun 1941, yang mewajibkan fortifikasi
tepung terigu dengan zat thiamine, riboflafin, niacin, folic acid, Fe, Ca. Kejadian
IDA (Iron Deficiency Anemia) pada wanita subur di AS, dilaporkan sebesar 2,9%.
Kejadian tersebut membuat AS untuk meningkatkan konsumsi zat besi pada
makanan atau produk yang diperkaya selain dari tepung terigu. Fortifikasi produk
lainnya, seperti white bread, rolls, crackers, kecap ikan, tepung jagung, bubur
jagung, pasta dan sereal sarapan yang sudah tersebar luas. Program fortifikasi
tersebut berhasil menurunkan prevalensi penderita anemia gizi besi secara
dramatis. Seperti di Chile berhasil “menghapus” anemia karena kurang zat besi,
sehingga anemia tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (Dary dan
Mora, 2002).
Di Indonesia, untuk mengatasi kekurangan dan atau penurunan status gizi
masyarakat, pemerintah menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan
gizi pangan tertentu yang diedarkan. Pengayaan tersebut berupa percobaan fortikasi
tepung terigu dengan zat besi yang dimulai dengan dukungan dana pengadaan
premix dari UNICEF, US-AID dan  CIDA pada tahun 1997. Sedangkan
pengoperasiannya, fortifikasi tepung terigu dimulai pada tahun 1998 di salah satu
pabrik tepung terigu di Jakarta.  Akhirnya pada tanggal 14 Januari 1999, program
fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dicanangkan secara resmi oleh pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Negara Urusan Pangan dan disaksikan oleh kepala
perwakilan UNICEF di Indonesia. Dua tahun kemudian, berdasarkan SK Menteri
Perindustrian dan Perdagangan dengan SNI tepung terigu tahun 2001 menyatakan,

11
bahwa semua tepung terigu yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia
harus difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1, vitamin B2
(Soekirman, 2003).
Program fortifikasi zat besi dalam pangan selain tepung terigu, Indonesia
telah wajib memberlakukan fortifikasi zat besi ke beberapa produk pangan seperti
mie instant, susu bubuk, dan biskuit. Akan tetapi, program tersebut belum
memberikan hasil yang bagus dalam menurunkan defisiensi zat besi atau defisiensi
anemia. Mengingat sebagian besar masyarakat penderita kurang gizi di Indonesia
terutama penderita anemia memiliki daya beli yang rendah, maka hal ini dapat
mengakibatkan akses terhadap bahan-bahan makanan tersebut menjadi menurun
dan menyebabkan program fortifikasi menjadi sia-sia (Soekirman, 2003).

3. Fortifikasi Beras
Program fortifikasi beras di Amerika (USA) dimulai pada tahun 1958 yang
merupakan program pemerintah dan pasar terbuka dengan skala besar (70% beras
fortifikasi) dan fortifikasi diharuskan di 6 negara bagian dengan menambahkan zat
gizi besi, FePO4< B1<B3, B9 untuk masyarakat umum. Sebagian kecil, program
fortifikasi di beberapa negara bagian AS dilaksanakan secara sukarela (voluntary)
atas inisiatif dari produsen dalam merespon kebutuhan konsumen. Teknologi
fortifikasi yang digunakan yaitu dengan dusting dan coating. Fortifikasi beras
ditargetkan untuk menurunkan prevalensi anemia pada ibu di salah satu negara
bagian USA yang diwajibkan. Salah satunya adalah negara Mexico, yang
memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi anemia pada ibu penerima
beras fortifikasi turun sebesar 80% dan prevalensi defisiensi besi sebesar 29%
setelah 6 bulan perlakuan. Potensi dampak yang dihasilkan dari program fortifikasi
beras di Mexico dapat di lihat pada Gambar 1 (Christine et al., 2008).

12
Gambar 1. Comparison of the prevalence of anemia (hemoglobin < 12.2
g/dL) and iron deficiency (serum ferritin < 12.0 µg/L or serum
transferrin receptors > 8.5 mg/L) (Christine et al., 2008).

Program fortifikasi beras di Indonesia, baru dimulai pada tahun 2010 yang
merupakan program sektor pemerintah dengan skala menengah. Program
fortifikasi beras ini menggunakan raskin yang ditambahkan dengan zat Besi-Fe
PP, Seng, B1, B3, B9, B12 untuk penduduk miskin. Fortifikasi Raskin (beras
subsidi bagi penduduk miskin) sangat prospektif, dimana (Widjojo, 2014):
a) Teknologi fortifikasi pada beras yaitu dengan ekstrusi semakin berkembang
dan telah mulai diimplementasikan di Costa Rica, Cina, Filipina, Brazil,India,
dll.
b) Raskin ditargetkan untuk dikonsumsi keluarga miskin yang mempunyai risiko
tinggi menderita AGB (Tepat sasaran).
c) Produksi Raskin terpusat di bawah koordinasi Perum BULOG sehingga relatif
mudah untuk dikontrol.

d) Dalam rangka mengatasi Anemia Gizi Besi (AGB) pada penduduk miskin,
Bappenas bekerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait melaksanakan
Pilot Proyek Fortifikasi RASKIN sejak tahun 2010, menggunakan bantuan
hibah dari ADB.

4. Fortifikasi vitamin A
Fortifikasi vitamin A pada mentega, susu dan lain-lain di USA dimulai sejak
perang dunia kedua yaitu sekitar tahun 1944. Selain itu, negara-negara maju
lainnya terutama Amerika Serikat dan negara bagiannya telah lama memperkaya
atau memfortifikasi kandungan susu dan sereal sarapan dengan vitamin A serta
vitamin D dan mineral lainnya. Kemudian dalam 5 tahun berhasil menurunkan
prevalensi kurang vitamin A dari 40% menjadi 13%. Program nasional dari
fortifikasi gula dengan vitamin A di negara-negara Amerika pusat telah dievaluasi
pengaruhnya untuk menurunkan kekurangan vitamin A dalam populasi kelompok
berisiko atau subklinis. Survei nasional yang dilakukan antara tahun 1995 dan
1998 di Guatemala, Honduras dan El Salvador telah menunjukkan jelas
pengurangan prevalensi defisiensi vitamin A antara anak usia pra-sekolah. Sumber

13
utama vitamin A di negara-negara bagian Amerika ini dalam bentuk fortifikasi
gula, dengan cakupan >80% rumah tangga telah menggunakan fortifikasi vitamin
A dengan gula (Arroyave et al., 1979; Dary dan Mora, 2002).
Fortifikasi vitamin A di Indonesia, pertama kali dicoba pada bumbu penyedap
(MSG) pada tahun 1980-an yang hanya diproduksi oleh 2 pabrik. Awalnya, MSG
sangat memenuhi persyaratan fortifikasi. Seperti halnya dengan garam, MSG
dijumpai di hampir setiap rumah tangga, baik kaya maupun miskin. MSG
memenuhi syarat untuk  fortifikasi vitamin A yang juga merupakan salah satu
masalah kekurangan gizi penting di Indonesia sampai sekarang. Pada tahun 1980-
an dilakukan percobaan fortifikasi vitamin A pada bumbu penyedap MSG.  Hal
serupa pernah dilakukan juga di Philipina. Hasil percobaan dari kedua negara
tersebut positif, bahwa fortifikasi MSG dengan vitamin A menurunkan prevalensi
kurang vitamin A pada balita keluarga miskin. Meskipun demikian, percobaan ini
tidak berlanjut menjadi program, oleh karena masalah teknologi (terjadi perubahan
warna MSG) dan adanya kelompok masyarakat yang menentang pemakaian MSG
secara luas (Soekirman, 2003).
Pada tahun 2007, Indonesia melakukan percobaan lagi untuk fortifikasi
vitamin A tetapi dalam minyak goreng. Proyek percobaan ini berhasil, sehingga
fortifikasi minyak goreng diterapkan dalam skala produksi yang diawali oleh 2
produsen minyak goreng.  Hasil percobaan tersebut pada tahun 2010 sudah
ditingkatkan menjadi program nasional. Dan pada tahun 2013, SNI telah
mewajibkan semua minyak goreng untuk difortifikasi dengan vitamin A sebanyak
45 IU. Program fortifikasi pilihan lain adalah fortifikasi gula dengan vitamin A
seperti dilakukan di Amerika Latin selama 10 tahun terakhir. Kemungkinan
fortifikasi gula dengan vitamin A di Indonesia masih kecil mengingat produksi dan
perdagangan  gula masih sering  menghadapi banyak masalah (Soekirman, 2003).
Kandidat bahan pangan yang dapat digunakan untuk fortifikasi vitamin A di
Indonesia untuk saat ini adalah minyak goreng. Karena minyak goreng merupakan
komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk.
Konsumsi minyak goreng per kapita yang mencapai lebih dari 23 gram (lebih dari
10 gram jumlah minimum utnuk fortifikasi) rumah tangga rata-rata menggunakan
1-3 kali minyak goreng utnuk penggorengan stabilitas vitamin A selama
penyimpanan dan penggorengan yang telah teruji (retensi selama penggorengan

14
tinggi). Hasilnya dibuktikan dengan berbagai penelitian bahwa konsumsi minyak
goreng berfortifikasi vitamin A terbukti mampu meningkatkan status vitamin A
anak usia sekolah untuk mencegah dan menanggulangi subklinis KVA. Seperti
pada penelitian yang dilakukan oleh Achadi et al (2010) yang menyebutkan bahwa,
konsumsi minyak goreng dengan vitamin A dalam 12 minggu atau lebih lama,
dapat meningkatkan kadar vitamin A untuk mengatasi subklinis KVA dan atau
menurunkan KVA (PIPIMM, 2011).

5. Fortifikasi Asam Folat


Di Amerika Serikat, fortifikasi produk biji-bijian sereal yang diperkaya dengan
asam folat dimulai pada tahun 1996. Januari 1998 merupakan batas waktu yang
dimandatkan untuk penambahan gizi pada produk padi-padian yang diperkaya
dengan asam folat (asam pteroilglutamat, buatan dan hasil oksidasi dari folat) di
Amerika Serikat. Motivasi yang utama di balik fortifikasi adalah untuk
mengurangi terjadinya cacat tabung neural ( NTDs), suatu cacat kelahiran yang
menunjukkan asupan asam folat yang responsif. Serupa dengan hal itu,
diperkirakan bahwa manfaat sekunder dari fortifikasi mungkin dapat mengurangi
terjadinya penyakit jantung (kardiovaskuler) dan kanker tertentu, yang berkaitan
dengan status folat yang rendah (Jacques et al., 2000).
Pada tahun 1999, Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi yang
dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit menemukan bahwa,
rata-rata tingkat asam folat dalam darah wanita AS usia subur telah hampir tiga
kali lipat dalam 5 tahun. Beberapa studi telah memperkirakan jumlah NTDs dapat
dicegah dengan fortifikasi tepung terigu termasuk di Amerika Serikat. Fortifikasi
tepung terigu dan sereal sarapan dapat mencegah 1000 kasus NTDs selama
setahun. Karena sebuah penelitian di Ontario menunjukkan bahwa kejadian cacat
tabung neural (NTDs) telah menurun menjadi 8,6 kasus/10.000 kehamilan dari
16,2/10.000 kehamilan di tahun 1995 (Mannar, 2006; Charatan, 1999).
Amerika Serikat dan Kanada sepakat untuk memfortifikasi tepung terigu
dengan asam folat sebesar 1,4 dan 1,5 ppm (mg/kg). Negara-negara di Amerika
Tengah sepakat untuk memfortifikasi tepung terigu dengan asam folat pada tingkat
1,8 ppm (mg/kg) pada Tahun 2002. Rekomendasi yang diakui secara global untuk
menambahkan asam folat pada tepung terigu diterbitkan pada tahun 2009 dengan

15
tingkat mulai dari 1 sampai 5 ppm (mg/kg) berdasarkan pola konsumsi suatu
negara (PIPIMM, 2011).
Di Indonesia, SNI wajib tepung terigu ditetapkan pada Tahun 2000. SNI yang
ditetapkan mengharuskan tepung terigu di Indonesia mengandung asam folat
minimum 2 ppm. Sejauh ini pangan pembawa asam folat yang paling sukses di
Indonesia adalah tepung terigu. Karena Tepung terigu merupakan makanan pokok
kedua setelah beras yang umum dikonsumsi saat ini. Selain itu, konsumen tepung
terigu pada kelompok masyarakat miskin di Indonesia dalam bentuk mie basah
yang diperkirakan akan makin  meningkat terutama di perkotaan. Hal ini
merupakan metode yang dapat diandalkan untuk mengurangi prevalensi kelahiran
yang dipengaruhi oleh neural tube defects. Untuk menambahkan asam folat pada
tepung hanya butuh biaya yang minimal, terutama bila dibandingkan dengan biaya
mengobati anak-anak dengan spina bifida dan beragam dampak pada keluarga
mereka (Soekirman, 2003; PIPIMM, 2011).
Ringkasan dari perbandingan program fortifikasi pangan di USA dan di
Indonesia yang telah dijelaskan diatas, dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Perbandingan program fortifikasi pangan di USA dan di Indonesia


Jenis Perbandingan program fortifikasi pangan
fortifikasi
pangan USA Indonesia

Fortifikasi  Dimulai pada tahun 1920 dan  Dimulai pada akhir tahun
iodisasi telah diwajibkan 1970-an dan menjadi wajib
pada tahun 1994.
 Tujuan: untuk mencegah dan
menanggulangi GAKI  Tujuan: untuk mengatasi
permasalahan kesehatan
 Cakupan garam beriodium > terkait GAKI
90%
 Cakupan garam beriodium
 Potensi dampak yang masih rendah, jauh di bawah
dihasilkan mampu menekan rata-rata nasional (73%).
goitre secara signifikan
 Sasarannya masyarakat umum
 Sasarannya masyarakat umum (Soekirman, 2003).
(INNAG, 1993).
Fortifikasi zat  Fortifikasi tepung terigu  Dimulai pada tahun 1998 dan
besi dimulai pada tahun 1938 dan diwajibkan pada tahun 2001.
menjadi wajib pada tahun
1941.  Kandungan: zat besi, seng,
asam folat, vitamin B1,
 Kandungan: thiamine,

16
riboflafin, niacin, folic acid, vitamin B2.
Fe, Ca.
 Produk lain: mie instant, susu
 Produk lain: white bread, rolls, bubuk, dan biskuit.
crackers, kecap ikan, tepung
jagung, bubur jagung, pasta  Belum memberikan hasil yang
dan sereal sarapan. bagus dalam menurunkan
defisiensi zat besi.
 Potensi dampak yang
dihasilkan menurunkan  Sasaran: ibu hamil dan
prevalensi penderita anemia masyarakat umum
gizi besi secara dramatis. (Soekirman, 2003).
Seperti di Chile prevalensi
anemia hanya 1-7%
 Sasaran: wanita usia subur,
masyarakat umum (Dary dan
Mora, 2002).
 Fortifikasi beras dimulai pada  Mulai diwajibkan pada tahun
tahun 1958 2010 dalam bentuk raskin
 Program pemerintah dan pasar  Program sektor pemerintah
terbuka dengan skala besar dengan skala menengah.
bersifat wajib (70% beras
fortifikasi) diharuskan di 6  Kandungan: zat besi-Fe PP,
negara bagian. seng, B1, B3, B9, B12.

 Sebagian kecil bersifat  Teknologi fortifikasi: ekstrusi


sukarela di beberapa negara  Targetnya: untuk dikonsumsi
bagian AS. keluarga miskin yang
 Kandungan: zat gizi besi, mempunyai risiko tinggi
FePO4<B1<B3, B9. menderita AGB (Anemia Gizi
Besi).
 Teknologi fortifikasi: dusting
dan coating  Sasarannya: penduduk miskin
(Widjojo, 2014).
 Potensi dampak yang
dihasilkan menurunkan
prevalensi anemia di Mexico
pada ibu penerima beras
fortifikasi turun sebesar 80%
dan prevalensi defisiensi besi
sebesar 29% setelah 6 bulan
perlakuan.
 Sasarannya: masyarakat umum
(Christine et al., 2008).
Fotifikasi  Fortifikasi pada mentega, susu  Fortifikasi penyedap rasa
vtamin A di mulai sejak perang dunia (MSG) menjadi percobaan
pertama kalinya pada tahun

17
kedua sekitar tahun 1944. 1980-an. Hasilnya dapat
menurunkan prevalensi
 Fortifikasi pangan lainnya kurang vitamin A pada balita
pada sereal sarapan dengan keluarga miskin. Namun tidak
vitamin A serta vitamin D dan terlaksana dengan baik.
mineral lainnya.
 Fortifikasi minyak goreng
 Targetnya: menurunkan dimulai pada tahun 2007.
prevalensi kurang vitamin A Kemudian ditingkatkan
dari 40% menjadi 13%. menjadi program nasional
 Program nasional fortifikasi pada tahun 2010, dan mulai
vitamin A adalah gula diwajibkan dengan SNI pada
tahun 2013.
 Potensi dampak yang
dihasilkan menurunkan  Fortifikasi minyak goreng
kekurangan vitamin A dalam menjadi kandidat bahan
populasi berisiko terutama pangan pembawa vitamin A
pada anak usia prasekolah. yang baik.

 Cakupan fortifikasi gula  Cakupan konsusmsi fortifikasi


>80%. minyak goreng > 90%

 Sasarannya: kelompok  Potensi dampak yang


berisiko (anak usia prasekolah) dihasilkan mampu
dan masyarakat umum meningkatkan status vitamin
(Arroyave et al., 1979; Dary A anak usia sekolah untuk
dan Mora, 2002). mengatasi sublkinis KVA dan
atau menurunkan KVA.
 Sasarannya: masyarakat
umum dan anak usia sekolah
(PIPIMM, 2011).
Fortifikasi  Fortifikasi produk biji-bijian  Di mulai tahun 2000 SNI
asam folat sereal dimulai pada tahun 1996 mewajibkan tepung terigu
dan di mandatkan pada awal harus mengandung asam folat.
tahun 1998.
 Sejauh ini pangan pembawa
 Tujuan: mengurangi terjadinya asam folat yang paling sukses
cacat tabung neural (NTDs) di Indonesia adalah tepung
dan mengurangi terjadinya terigu dengan kadar asam
penyakit jantung dan kanker folat minimum 2 ppm.
tertentu.
 Model fortifikasi tepung
 Fortifikasi lain pada tepung terigu dalam produk lain: mie
terigu dengan mewajibkan basah
kadar asam folat pada tepung
terigu 1,4 dan 1,5 ppm.  Targetnya: mengurangi
prevalensi kelahiran yang
 Potensi dampak yang dipengaruhi oleh neural tube
dihasilkan rata-rata tingkat defects
kadar asam folat dalam darah

18
wanita usia subur di AS telah  Sasarannya: masyarakat
hampir tiga kali lipat dalam 5 umum, ibu hamil (Soekirman,
tahun sehingga mencegah 2003; PIPIMM, 2011).
1000 kasus NTDs selama
setahun.
 Sasarannya: masyarakat
umum, wanita usia subur dan
ibu hamil (Jacques et al., 2002;
Mannar, 2006; PIPIMM,
2011).

D. Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi


1. Kelebihan
a) Makanan fortifikasi yang dikonsumsi secara teratur dan sering, dapat menjaga
gizi pada tubuh lebih efisien dan efektif dari pada suplemen dan dapat
menurunkan risiko beberapa kekurangan yang mungkin timbul dari defisit
musiman dalam penyediaan makanan atau diet berkualitas rendah.
b) Makanan yang difortifikasi mungkin mengandung zat gizi mikro yang dapat
mencapai diet seimbang dengan baik.
c) Fortifikasi didistribusikan secara luas pada makanan yang banyak dikonsumsi,
sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan status gizi sebagian besar
populasi umum.
d) Fortifikasi tidak memerlukan perubahan dalam pola makanan yang ada atau
kepatuhan individu.
e) Sistem pembawa untuk makanan yang difortifikasi biasanya sudah ada,
umumnya melalui sektor swasta.
f) Dimungkinkan untuk memfortifikasikan makanan dengan beberapa
mikronutrien secara bersamaan. Total biaya makanan tidak sebagian besar
dipengaruhi oleh penambahan lebih mikronutrien.
g) Dengan peraturan yang tepat di tempat tinggal, maka fortifikasi dapat
meminimalkan risiko toksisitas kronis dengan fortifikasi.
h) Dengan sistem pangan yang tepat dan teknologi yang ada, fortifikasi makanan
lebih hemat biayanya daripada strategi lain (Allen et al., 2006).
2. Kelemahan

19
Fortifikasi merupakan pendekatan yang lebih disukai daripada strategi lain
berdasarkan kelebihan di atas. Namun, ada kelemahan atau lebih tepatnya
keterbatasan fortifikasi makanan yang meliputi (Allen et al., 2006):
a) Mengkonsumsi makanan yang difortifikasi bukanlah pengganti yang baik
untuk kualitas diet seimbang dalam menghasilkan energi, protein, lemak
esensial-yang diperlukan untuk kesehatan yang optimal.
b) Mengoreksi masalah kekurangan mikronutrien melalui fortifikasi pangan bisa
menjadi sulit karena mikronutrien yang lengkap bahkan beranekaragam pada
makanan yang tersedia, tidak mungkin dapat dikonsumsi dalam jumlah yang
cukup. Semua kelompok sasaran dalam populasi umum mungkin tidak
mengkonsumsi makanan yang difortifikasi, seperti:
1) Bayi dan anak kecil mengkonsumsi sejumlah kecil makanan dan karena itu
cenderung untuk dapat memperoleh asupan yang direkomendasikan dari
semua mikronutrien dari makanan yang dfortifikasi saja; makanan
pembawa zat gizi mungkin tidak mudah diakses atau tidak tersedia untuk
kelompok-kelompok penduduk yang tinggal di daerah terpencil.
2) Kelompok berpenghasilan-rendah, khususnya di negara berkembang sering
mengandalkan makanan pembawa zat gizi dari sistem yang diproduksi
secara lokal. Oleh karena itu lebih berisiko kekurangan zat gizi mikro,
dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi
makanan olahan.
3) Kelompok miskin atau penduduk berpenghasilan rendah sering menderita
karena kekurangan beberapa mikronutrien sebagai akibat dari kurangnya
asupan dalam diet secara keseluruhan. kelompok-kelompok ini tidak
mungkin untuk mendapatkan asupan yang disarankan dari semua
mikronutrien pada makanan yang difortifikasi.
c) Masalah teknologi yang berkaitan dengan fortifikasi makanan pembawa,
terutama kadar gizi yang ditambahkan, stabilitas penambah, interaksi hara,
karakteristik sifat fisik, dan kemampuan konsumen dalam menerima, termasuk
sifat memasak dan rasa.
d) Sifat alami makanan pembawa, penambah, atau keduanya, mungkin membatasi
jumlah fortifikan agar dapat berhasil ditambahkan. Kualitas sensorik makanan
seperti warna dan rasa, dan stabilitas micronutrient mungkin akan terpengaruh.

20
Dan juga, interaksi antara gizi dalam makanan dapat terjadi (misalnya,
kehadiran sejumlah besar kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi dari
makanan yang difortifikasi, kehadiran vitamin memiliki efek berlawanan pada
besi, dan dengan demikian meningkatkan penyerapan zat besi).

e) Seluruh makanan fortifikasi ini terbukti lebih hemat biaya dari strategi lain,
tetapi ada biaya lebih yang mendasari terkait dengan proses fortifikasi yang
dapat membatasi pelaksanaan dan efektivitas program fortifikasi makanan
(misalnya, biaya permulaan, percobaan, percontohan dan pengujian, biaya
pengawasan yang efektif, dan sistem evaluasi untuk memastikan makanan
yang difortifikasi efektif dan aman).

E. Kunci Sukses Fortifikasi Pangan Di Negara-Negara Industri


Faktor yang mendorong keberhasilan program fortifikasi sebagai berikut:
Dukungan politik, dukungan industri, perangkat legislasi yang cukup termasuk
pengendalian kualitas eksternal, tingkat (taraf) fortifikasi yang tepat, bioavailibilitas
yang baik dari campuran, tidak ada efek penghambat dari makanan asal (common
diet), pelatihan sumber daya manusia pada tingkat industri dan pemasaran,
akseptibilitas (keterimaan) konsumen, tidak ada penolakan secara kultural (dan yang
lain) terhadap pangan hasil fortifikasi, penilaian laboratoris yang cukup (memadai)
untuk status zat gizimikro, dalam kasus kekurangan gizi besi ketidakhadiran paratisme
yang menyebabkan anemia, dan tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk
mendapatkan gizi mikro (Darnton-Hill dan Nabulo, 2002).
Dukungan spesifik industri pangan (baik nasional manpun internasional) dalam
bentuk: 1) berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan
menetapkan strategi fortifikasi yang layak; 2) mengidentifikasi mekanisme untuk
kolaborasi antara pemerintah, industri pangan dan sistem pemasarannya, dan
organisasi non pemerintah dan perwakilan donor; 3) membantu dalam
mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang sesuai; 4) menetapkan dan
mengembangkan sistem jaminan mutu  (quality assurance system); 5) berpatisipasi
dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran
fortifikasi (Darnton-Hill dan Nabulo, 2002).

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah dibahas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke dalam
pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat
gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi. Dan berperan dalam
pencegahan detisiensi untuk menghindari terjadinya gangguan yang membawa
kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis.
2. Fortifikasi bahan pangan di klasifikasi menjadi 3, yaitu fortifikasi sukarela
(voluntary), fortifikasi wajib (mandatory), dan fortifikasi khusus.

22
3. Jenis-jenis fortifikasi pangan dalam menghapus dan mengendalikan defisiensi zat
gizi dan gangguan yang diakibatkannya, yaitu fortifikasi iodium dengan garam;
fortifikasi zat besi dengan tepung terigu dan beras; fortifikasi vitamin A dengan
minyak goreng, mentega, susu dan sarapan sereal lainnya; fortifikasi asam folat
dengan biji-bijian dan makanan sereal serta pada tepung terigu.
4. Program fortifikasi pangan di negara maju terutama USA umumnya sudah
berhasil menuntaskan berbagai masalah kurang gizi, sedangkan di negara-negara
sedang berkembang seprti Indonesia masih ditemukan masalah proses dalam
fortifikasi pangan.

5. Kunci sukses untuk berjalannya program fortifikasi ini perlu dilakukan kerjasama
yang baik antara Pemerintah, Industri, dan Konsumen.

B. Saran
1. Diperlukan pengawasan dan pemilihan bahan pangan yang akan difortifikasi
(vehicle) agar masyarakat dapat terjangkau dalam pembelian bahan makanan
tersebut.
2. Perlu adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta
dan sektor sosial. Pada program fortifikasi, peran swasta dan masyarakat cukup
besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.
3. Pentingnya advokasi pada tingkat politik, pemasaran sosial, serta meningkatkan
kesadaran konsumen mengenai besarnya efek dari kekurangan gizi, dan peran
fortifikasi sebagai pendekatan pelengkap untuk intervensi sebagai prasyarat untuk
keberhasialan program.
4. Perlu adanya peran industri dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui
penyediaan tenik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan
(promosi) pangan yang kaya zat gizi mikro yang tersedia secara lokal atau sebagai
fortifikan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, Endang., Arifah, Siti., Muslimatun, Siti., Anggondowati, Trisari., Setiarini, Asih
(2010). Efektivitas Program Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A terhadap
Status Gizi Anak Sekolah di Kota Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 4 (6): 255-261.
ADB (2000). Mabila Forum 2000: Strategies to Fortify Essential Food in Asia and the
Fasitic. Asian Development Bank. Manila.
Allen L et al., eds (2006). Guidelines on food fortification with micronutrients. Geneva,
World Health Organization and Food and Agricultural Organization of the United
Nations, 2006.

24
Anonim (2010). Fortifikasi Pangan di Indonesia. Diakses dari http://www.kulinologi.co.id
/index1. php?view&id=98160, pada tanggal 2 November 2015 di Surakarta.
Arroyave, C. M., Levy, R. N ., dan Johnson, J. S (1979). Genetic Deficiencyof the Fourth
Component (C4) in Wistar Rats, Immunology, 33: 453-459.
Ballot, D. E., MacPhail, A. P., Bothwell, T. H., Gillooly, M. & Mayet, F. G. (1989)
Fortification of Curry Powder With NaFe (III) EDTA: Report of A ControlledIron
Fortification Trial. Am. J. Clin. Nutr, 49: 162–169.
Charatan F (1999). Fortification of flour likely to havle neural tube defects, says CDC.
BMJ, 318:1506.
Christine, A, et al. (1998). Nutrition and education: a randomized trial of the effects of
breakfast in rural primary school children. The American Journal of Clinical
Nutrition.
Cook, J.D dan Reuser, ME (1983). Iron fortification: An update. Am J clin Nutr, 38: 648-
659.
Darnton-Hill Ian and Nalubola Ritu (2002). Fortification strategy to meet micronutrioent:
successes and failures. Proceedings of the Nutrition Society, 61:231-141.
Dary O dan Mora O (2002). Food Fortification to Reduce Vitamin A Deficiency:
International Vitamin A Consultative Group Recommendations. The American
Society for Nutritional Sciences J. Nutr, 132: 2927S-33S.
Depkes RI (2003). Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Departemen Pertanian (DEPTAN) (2008). Kebijakan Teknis Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan. Jakarta : Departemen Pertanian.
Diniwati (2005). Pengaruh Tambahan Gizi (Fortifikasi) Asam Folat pada Makanan
Terhadap Asupan Asam Folat di Amerika Serikat. Diakses dari
http://old.analytical.chem.itb.ac.id/coursesdata/16/moddata/assignment/19/556/Ma
kalah_efect_of_food.doc, pada tanggal 3 November 2015 di Surakarta.
Jacques PF, Selhub J, Bostom AG, Wilson PWF, Rosenberg IH (2002). The effect of folic
acid fortification on plasma folate and total homocysteine concentrations. N Engl J
Med, 340:1449–54.
INNAG (1993). Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG. Wahongton,
DC. USA.
Leung A.M., Braverman L.E., and Pearce E.N (2012). History of U.S Iodine Fortificatiion
and Supplementation. Nutrients, 4:1740-1746.
Mannar Venkatesh M.G (2006). Successful Food-Based Programmes, Suplementation and
Fortification. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 43:S47-S53.

25
Martianto, Drajat. 2012. Fortifikasi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia.
Ottaway B (ed) (2008). Food Fortification and Supplementation: Technological, Safety
and Regulatory Aspects. TJ International Limited, Padstow, Cornwall, England.
PIPIMM (2011). Kelayakan Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng. Diakses dari
http://www.pipimm.or.id/food_info.php?view=1&id=51, pada tanggal 3 November
2015 di Surakarta.
Saragih B (2007c) Pengaruh Pemberian Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu
Hamil dan Status Pemberian ASI Terhadap Pertumbuhan linier, Perkembangan
Motorik bayi. Disertasi, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Saragih B, Syarief H, Riyadi H, Nasoetion A dan Dewi R (2007b). Pengaruh Pemberian
Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil terhadap Status Gizi dan
Morbiditas Bayi dari Usia 0-6 bulan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 11(1): 1-10.
Saragih, B, Syarief H, Riyadi H dan Nasoetion A (2007a). Pengaruh Pemberian Pangan
Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil terhadap Pertumbuhan Linier,
Tinggi Lutut dan Status Anemia Bayi. Jurnal Gizi Indonesia, 30 (1): 12-24
Siagian A (2003). Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan
Zat Gizi Mikro. Digitized By Usu Digital Library.
Soekirman (2003). Fortifikasi dalam Program Gizi, Apa dan Mengapa. Jakarta: Koalisi
Fortifikasi Indonesia.

Soekirman (2011). Perkembangan Fortikasi di Indonesia. Diakses dari


http://www.kfindonesia.org/index. php?pgid=11&contentid=12, pada tanggal 2
November 2015 di Surakarta.

Widjojo, Sunarno Ranu (2014). Fortifikasi Beras: Review Pengalaman Di Berbagai


Negara. Diakses dari http://file.persagi.org/share/40%20Sunarno.pdf, pada tanggal
3 November 2015 di Surakarta.
WHO (1992). National strategies for overcoming micronutrient malnutrition EB89/27.
45th World Health Assembly Provisional Agenda Item 21; WHO, Geneva,
Switzernland.
WHO (1994). Indicator for assesing iodine deficiency disorders and their controll through
salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva, Switzernland.

26

Anda mungkin juga menyukai