Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Kurang Vitamin A (KVA) merupakan masalah yang tersebar di seluruh


dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama
pada masa pertumbuhan. KVA merupakan Nutrition Related Diseases yang dapat
mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisisasi sel-sel kulit.
Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya
terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di
negara berkembang.
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau Gizi buruk, sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang,
termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA
mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak,
cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun
masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini
terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua/ibu tentang gizi yang baik.
Gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini
sangat jarang terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang
berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi
karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang
cukup1
Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian
yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survei yang sama
menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol
< 20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari beberapa
propinsi antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan menunjukkan munculnya

kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan
menyebabkan kebutaan.2
Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmia masih banyak
di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga kesehatan. Oleh
karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus
xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi kebutaan seumur hidup
yang berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Xeroftalmia
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan

vitamin A termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi
sel retina yang dapat berakibat kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa Yunani
(xeros=kering; Opthalmos=mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat mata
gagal memproduksi air mata atau yang dikenal dengan dry eye yang
mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering.3
2.2

Epidemiologi Xeroftalmia
Xeroftalmia merupakan salah satu dampak dari kekurangan vitamin A

yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab
utama kebutaan di negara berkembang. KVA pada anak biasanya terjadi pada anak
yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk akibat kurangnya
konsumsi makanan (< 80 % AKG) sehingga asupan zat gizi sangat kurang,
termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. 15-25% anak yang menderita
KVA mengalami kebutaan total dan 58-60% mengalami buta sebagian. Anak yang
menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan
akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut
menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan
penghasilan cukup karena kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi
yang baik ataupun gangguan penyerapan di saluran cerna. Sampai saat ini masalah
KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Survei
menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol
< 20 ug/dl). 3
2.3

Etiologi Xeroftalmia
Penyebab terjadinya xeroftalmia adalah karena kurangnya Vitamin A.
Factor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di

Indonesia:

Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau

2
3

Pro Vitamin A untuk jangka waktu yang lama


Bayi tidak diberikan ASI eksklusif
Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein,
Zn/seng atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan

Vitamin A dan penyerapan Vitamin A dalam tubuh


Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A
seperti pada penyekit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan

lain-lain.
Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis
kronis, menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol
Binding Protein) dan pre-albumin yang penting dalam penyerapan
Vitamin A.3

2.4

Vitamin A
Vitamin A diperoleh dari asupan makanan yang mengandung vitamin A.

Terdapat 3 bentuk vitamin A yang penting bagi tubuh yaitu retinol, beta karoten,
dan karotenoid. Dalam tubuh retinol merupakan bentuk dominan dari vitamin A.
Begitu diserap dalam saluran pencernaan, vitamin A dibawa ke hati untuk
disimpan.10 Saat dibutuhkan, vitamin A akan dilepas dalam bentuk retinol yang
akan berikatan dengan protein, bentuk dari ikatan tersebut disebut juga retinol
binding protein (RBP). RBP nantinya akan berikatan dengan sel-sel reseptor yang
dituju kemudian protein akan melepaskan retinol sehingga dapat masuk kedalam
sel yang dituju.17
Pada proses penglihatan vitamin A berperan dalam kerja retina, pembentukan
cairan yang melapisi permukaan bola mata, serta dalam pertumbuhan sel-sel
epitel.10
Vitamin A berperan sebagai retinal (retinene) yang merupakan komponen dari zat
penglihat rhodopsin. Rhodopsin ini mempunyai bagian protein yang disebut opsin
yang menjadi rhodopsin setelah bergabung dengan retinene. Rhodopsin
merupakan zat yang dapat menerima rangsang cahaya dan mengubah energi
cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indera penglihatan. Rhodopsin
terdapat pada bagian batang (rods) dari sel-sel retina. Dalam cones (kerucut)

terdapat zat sejenis yang komponen proteinnya berbeda dengan opsin; zat
penglihat yang terdapat di dalam cones disebut porphyropsin.1
Kekurangan vitamin A pada retina berpengaruh terhadap rhodopsin dalam
retina yang berfungsi untuk adaptasi mata dari tempat yang terang menuju tempat
yang gelap. Jika dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan gejala awal yaitu
buta senja.
2.5

Patofisiologi Xeroftalmia
Gejala kekeringan mata pada defisiensi vitamin A yang disebut

xeroftalmia berturut-turut terdiri atas buta senja, xerosis conjunctiva dan xerosis
kornea yaitu kekeringan epitel biji mata dan kornea karena sekresi glandula
lacrimalis menurun. Kornea kemudian mengoreng karena sel-selnya menjadi
lunak disebut keratomalasia dan dapat mengakibatkan kebutaan. Pada
penyembuhan luka kornea ini dapat terjadi luka parut yang terdiri atas jaringan
yang tidak tembus cahaya. Luka parut ini kadang-kadang membonjol keputihan
(atau kemerahan) disebut leucoma (biji kapas). Terdapat kelainan pada sklera di
sebelah lateral dari kornea yang disebut bercak Bitot. Kelainan ini tampak sebagai
kumpulan gelembung-gelembung busa sabun yang dapat dihapus dengan kapas
dan meninggalkan epitel kering dengan pigmen kecoklatan.
2.6

Klasifikasi Xeroftalmia
Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO yaitu:
-

XN (Rabun Senja)
Terjadi akibat gangguan pada retina sehubungan dengan adanya
defisiensi vitamin A. Dari sudut fungsi terjadi hemeralopia atau
nictalopia yang oleh awam disebut buta senja atau buta ayam
(kotokan) yaitu ketidaksanggupan melihat pada cahaya remangremang. Disebut buta senja karena terjadi bila sore hari (senja) anak
masuk dari luar (cahaya terang) ke serambi rumah (cahaya remang-

remang).
X1A (Xerosis Konjungtiva)

Umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis


terjadi akibat proses keratinisasi lapisan superfisial epitel tanpa sel
goblet yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A.

Gambar 1. Xeosis Konjungtiva

X1B (Bercak Bitot / bitots spot)


Merupakan suatu lapisan putih ireguler seperti sabun atau busa yang
menutupi lesi xerosis konjungtiva terdiri dari deskuamasi epitel yang
mengalami proliferasi dan keratinisasi disertai dengan pertumbuhan
bakteri (seperti corynobacterium xerosis) tanpa disertai sel goblet.

Gambar 2. Bercak Bitot

X2 (Xerosis Kornea)
Xerosis kornea yaitu adanya keratopati pungtata superfisisal yang
terjadi akibat kekeringan pada daerah kornea. Pada pasien dengan

xerosis kornea yang parah umumnya diikuti dengan defisiensi protein.


X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)
Mengenai kurang dari sepertiga dari permukaan kornea. Pada stadium
ini mulai terjadi kerusakan lapisan stroma.
X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)

Mengenai lebih dari sepertiga dari permukaan kornea. Kerusakan


-

lapisan sroma pada tahap ini umumnya dapat menyebabkan kebutaan.


XS (Xeroftalmia Scar)
Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses
perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di
sentral.

-XF (Xeroftalmia Fundus)Gambar 3. Xeroftalmia Scar

Fundus xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu


dimana pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang
tersebar dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade
vaskular temporal. Pada bagian ini hanya dapat diamati dengan
funduskopi

2.7

Gejala Klinis Xeroftalmia

Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO (1982), gejala klinisnya yaitu :


-

XN (Xerosis Nyctalopia)1
Ketidaksanggupan melihat pada cahaya remang-remang.
X1A (Xerosis Konjungtiva)16,17,20,22
Penderita tidak dapat melihat di sore hari (nocturnal
amblyopia)
Rasa tidak nyaman pada mata seperti terasa panas.
Mata terlihat xerotic
X1B (Bercak Bitot / bitots spot)4,16,22
10

Terdapat bercak putih kekuningan seperti busa atau sabun


X2 (Xerosis Kornea)4,16,17,22
Pandangan mata menjadi kabur
Penglihatan pasien menurun pada ruangan terang
Penderita melihat halo pada sekitar objek.
X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,22
Pada tahap ini, pasien mengalami penurunan penglihatan yang
irreversible.
X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,20,22
Pada tahap ini pasien tidak dapat melihat apapun (total
blindness).

XS

4,16,20,22

Pada stadium ini gejala yang dirasakan pasien bervariasi


tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya. Keparahan
gangguan penglihatan tergantung dari letak sikatriks.

2.8

Diagnosis Xeroftalmia

Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi


jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata
dan organ lain, akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada
mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah bagian depan
dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik
ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena
kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang Energi
Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk. Gejala klinis KVA pada mata akan
timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut
akan lebih cepat timbul bila anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan
penyakit infeksi lainnya.
.8.1

Pemeriksaan Fisik

Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait


langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia
seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati.
Yang terdiri dari :
- Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Penilaian Status gizi

11

- Pemeriksaan mata untuk melihat tanda-tanda xeroftalmia. Kelainan


pada mata bergantung dari stadium yang diderita oleh pasien
(klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO), yaitu :
XN (Xerosis Nyctalopia)1
Tidak terlihat ada tanda klinis
X1A (Xerosis Konjungtiva)16,17,20,22
Daerah konjungtiva tampak xerotic dan terdapat
pigmentasi.
Bila mata digerakkan akan terlihat lipatan yang

timbul pada konjungtiva bulbi.


X1B (Bercak Bitot / bitots spot)4,16,22
Terdapat bercak bitot yaitu bercak putih kekuningan
seperti busa atatu sabun yang umumnya bilateral

dengan letak temporal ke arah limbus.


X2 (Xerosis Kornea)4,16,17,22
Pada mata pasien yang tampak berupa kekeruhan
pada kornea. Kekeruhan akan lebih tampak jelas

ketika mata di tahan untuk berkedip.


X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,22
Pada tahap ini mulai terjadi kerusakan lapisan
stroma pada kornea yang umumnya dari daerah

inferior ke daerah sentral.


X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)16,17,20,22
Mulai terlihat nekrosis pada kornea disertai dengan
vaskularisasi kedalamnya.
Ulserasi yang melebihi stadium sebelumnya
Edema pada kornea disertai dengan penonjolan
disekitarnya
Luluhnya kornea dengan komplit yang berakhir

dengan stafiloma kornea atau ptisis.


XS (Xerosis Sikatrik)4,16,20,22
Kornea mata tampak menjadi putih
Bola mata tampak mengecil
Bila luka pada kornea telah sembuh

akan

meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan

parut.
XF (Fundus Xeroftalmia)4,16

12

Pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning


keputihan yang tersebar dalam retina, umumnya
terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal.
- Kelainan pada kulit : kering, bersisik
2.8.2

Pemeriksaan Penunjang
1.Tes adaptasi gelap5,18,20
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di
dalam ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes
adaptasi gelap juga dapat menggunakan alat yang bernama adaptometri.
Adaptometri adalah suatu alat yang dikembangkan untuk mengetahui
kadar vitamin A tanpa mengambil sampel darah menggunakan suntikan.
Derajat gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi seseorang yang
berada di dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran
tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada
kertas putih.
2.Sitologi impresi konjungtiva8,18
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet
dan sel-sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi.
3.Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi
air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm30 mm
dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas . Kertas
lakmus merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna.
Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Ratarata hasil
bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm27 mm) sedangkan

lakmus merah 10 mm (0 mm27 mm).


Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial
dan 1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata
perlahanlahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka
dan melihat keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas
yang basah, diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm25
mm 11, 10 mm30 mm 12

13

Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan


efek iritasi lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus
dirangsang dengan memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan
zat aromatik amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya
reflek sekresi. Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi basal karena
stimulasi dasar terhadap refleks sekresi telah dihilangkan.
4. Pemeriksaan osmolaritas air mata, air mata mempunyai osmolaritas
302 + 6,3 mOsm/l pada individu normal, pada KCS osmolaritas air
mata meningkat antara 330 dan 340 mOsm/l karena penurunan
aliran dan peningkatan evaporasi dari air mata. Osmolaritas air
mata mempunyai sensitivitas 90 % dan spesifisitas 95%, sayang
besarnya biaya dan terbatasnya mikroosmolmeter untuk mengukur
osmolaritas air mata mempunyai kegunaan klinis yang terbatas.
5. Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up
Time)8,18,19
Pada pasien xeroftalmia kekurangan musin berakibat tidak
stabilnya lapisan air mata yang mengakibatkan lapisan tersebut
mudah pecah. Hal ini mengakibatkan terbentuk Bintik-bintik
kering dalam film air mata (meniskus) sehingga epitel kornea atau
konjungtiva terpajan ke dunia luar. Pada tes ini akan positif
didapatkan sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea sehingga
meninggalkan daerah-daerah yang kecil yang dapat dipulas dan
daerah tersebut akan tampak jika dibasahi flourescein
Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan berkurang pada
penggunaan anastetik lokal, manipulasi mata atau dengan menahan
palbebra tetap terbuka.
Pasien dengan TBUT kurang dari 3 detik dklasifikasikan dalam
mata kering. Jika terdapat defisiensi air, maka film air mata akan
tampak lebih tipis.
6. Pemeriksaan kornea
a.Pemulasan Fluorescein
Pada pasein xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif
daerah-daerah erosi dan terluka epitel kornea.
b.Pemulasan Bengal Rose

14

Pulasan bengal rose 1% didapatkan sel-sel epitel konjungtiva dan


kornea yang mati yang tidak dilapisi oleh musin secara adekuat
dari daerah kornea.
c.Pemulasan Lissamine hijau
Pemulasan lissamine hijau memiliki fungsi yang sama dengan
bengal rose. Didapatkan hasil positif sel-sel epitel yang mati pada
penderita xeroftalmia.
7. Pemeriksaan laboratorium20,21
- Pemeriksaan serum retinol dengan kromatografi pada keadaan
defisiensi protein maupun infeksi didapatkan kadar serum vitamin
A umumnya akan menurun dengan nilai serum retinol < 20 ug/dl.
Total retinol binding protein (RBP). Pemeriksaan dilakukan

dengan imunologik assay. RBP merupakan komponen yang lebih


stabil dari retinol namun nilainya kurang akurat karena
dipengaruhi oleh serum protein
Kadar albumin < 2.5 mcg/dl pada penderita xeroftalmia
Pemeriksaan darah rutin untuk menilai kemungkinan anemia dan

infeksi
Skoring normal:21
Hematokrit: Laki-laki: 40% - 60%; Perempuan: 38% - 48%
Hemoglobin (g/dl): Laki-laki: 13,5 18,0 ; Perempuan: 12 16
Trombosit (sel-sel x 106/dl): 150 350
Leukosit (sel-sel x 103/dl): 4,5 11,0

2.9

Penatalaksanaan
1

Pencegahan
Xeroftalmia disebabkan oleh defisiensi vitamin A dan sering dialami
pada anak. 15-25% defisiensi vitamin A menyebabkan kebutaan total
pada anak dan 58-60% menyebabkan buta sebagian. Karenanya untuk
meminimalkan resiko terjadinya xeroftalmia pencegahan yang dapat
kita lakukan antara lain:
a Pendekatan jangka pendek
Pemberian vitamin A dosis tinggi secara berkala.
- < 6 bulan dan tidak memperoleh ASI:
pemberian vitamin A 50.000 IU sebelum bayi menginjak umur
-

6 bulan
6-12 bulan:

15

Pemberian vitamin A 100.000 IU tiap 3-6 bulan


1-6 tahun:
Pemberian vitamin A 200.000 IU dalam bentuk kapsul berbasis

minyak diberikan setiap 4-6 bulan


Ibu menyusui:
Pemberian vitamin A satu kali sebanyak 20.000 IU setelah

melahirkan atau 2 bulan setelahnya


Pendekatan jangka menengah
Fortifikasi makanan dengan vitamin A seperti penambahan pada

susu dan mentega


Pendekatan jangka panjang
Meningkatkan pemberian makanan yang banyak mengandung
vitamin A. Terdapat 2 jenis makanan yang mengandung vitamin
A yaitu:
Vitamin A yang berasal dari derivat hewani yang disebut
retinol merupakan suatu preformed vitamin A yang dapat
langsung digunakan oleh tubuh kita. Contohnya antara lain

hati sapi atau ayam, minyak ikan, susu, keju dan telur.
Vitamin A yang berasal dari buah-buahan ataupun sayuran
termasuk dalam bentuk provitamin A atau beta karoten yang
nantinya akan dikonversi menjadi retinol setelah masuk
saluran pencernaan.contohnya antara lain wortel, tomat,
mangga, kentang manis, bayam dan sayuran hijau lainnya.

Pengobatan
Secara garis besar pengobatan xeroftalmia tebagi menjadi 4 hal yaitu:
a Memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein)
Umumnya penderita xeroftalmia merupakan penderita PEM karena
itu diperlukan pendapat ahli gizi untuk memperbaiki gizi anak dan
b

dalam membantu pengobatan penyakit infeksi yang diderita.


Mengobati penyakit infeksi ataupun gangguan yang mendasarinya
Umumya anak dengan defisiensi vitamin A diikuti dengan infeksi
ataupun gangguan-gangguan lainnya

diantaranya campak,

penyakit paru, gangguan elektrolit, dehidrasi dan gastroentritis.


Karenanya diperlukan juga pengobatan terhadap penyakit-penyakit
c

infeksi yang diderita anak.


Memberi vitamin A (dosis terapeutik)

16

Pemberian vitamin A yang dilarutkan dalam minyak dapat


diberikan oral sedangkan vitamin A yang dilarutkan dalam air dapat
diberikan dalam bentuk injeksi. Vitamin A dapat diberikan dengan
dosis total 50.000-75.000 IU/kgBB dengan dosis maksimal
400.000 IU. Pemberian vitamin A berdasarkan WHO dijadwalkan
sebagai berikut:
- Usia > 1 tahun:
200.000 IU secara oral atau 100.000 secara injeksi muskular
perlu diberikan segera dan diulang esoknya atau 4 minggu
-

kemudian.
Usia < 1 tahun atau berat badan < 8 kg:
Diberikan dosis setengah dari pasien diatas 1 tahun
Wanita dalam usia reproduktif (baik hamil atau tidak):
Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot hingga
xerosis konjungtiva perlu diberikan vitamin A dengan dosis
100.000 IU secara oral setiap harinya selama 2 minggu.
Sedangkan pada penderita dengan gangguan pada korneanya
diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas

1 tahun
Mengobati kelainan mata
Pada pasien dengan xeroftalmia terjadi kekeringan pada mata baik
kornea maupun konjungtiva disertai dengan gangguan retina karena
itu perlu diberikan terapi diantaranya:
- Air mata buatan. Terdapat dalam sediaan tetes mata ataupun
salep. Pemberian air mata buatan tergantung pada tingkat
keparahan. Untuk kasus ringan diberikan air mata buatan 4 kali
dalam sehari sebanyak 1 sampai 2 tetes sedangkan pada pasien
dengan tingkat sedang hingga berat diberikan mulai dari 4 kali
dalam sehari hingga setiap jam. Terdapat beberapa jenis air
mata buatan diantaranya:
o Derivat selulosa untuk kasus ringan
o Alkohol povinil meningkatakan persistensi lapisan air mata
dan berguna untuk defisiensi mukus
o Sodium hyaluronat untuk perbaikan epitel kornea dan
konjungtiva

17

Ointment atau salep berguna sebagai pelumas jangka panjang


dan dapat diberikan sewaktu tidur. Telah terbukti aman dan
efektif dalam membantu proses penyembuhan. Sayangnya

penggunaan obat ini meninggalkan bekas.


Tindakan Operatif
Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan sumbatan
di punctum yang bersifat temporer ( kolagen ) atau untuk waktu
yang lebih lama ( silicon ). Tindakan ini untuk menahan sekret air
mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat
dilakukan dengan terapi termal ( panas ), kauter listrik, atau
dengan laser

2.10

Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada

kasus lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali
dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta
vaskularisasi pada kornea yang memperberat penurunan penglihatan. Untuk
komplikasi infeksi bakteri sekunder diberikan antibiotik berupa topikal maupun
sistemik. Antibiotik topikal yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin (0.3%) atau
ofloxacin (0.3%). Sedangkan antibiotik sisitemik yang dapat diberikan seperti
ciprofloxacin 750 mg dua kali dalam sehari atau sefalosporin.

18

BAB III
KESIMPULAN
Xeroftalmia merupakan suatu kelainan pada mata yang terjadi akibat
defisiensi vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan
tetapi kekurangan yang disertai pada kelaina pada mata umumnya terjadi pada
anak berusia 6 bulan samapai 4 tahun dan sering ditemukan pada anak dengan
PEM (protein energi malnutrisi).4 Gejala klinik yang ditemukan pada pasien
xerophtalmia berupa gangguan retina berupa rabun senja hingga kekeringan yang
terjadi pada konjungtiva dan kornea yang disebut juga xerosis.
Vitamin A mempunyai peran penting dalam fungsi penglihatan,
metabolism umum, dan membantu dalam proses reproduksi. Karenanya sangat
penting agar kadar vitamin A dalam tubuh terpenuhi dalam tubuh terutama bagi
anak-anak diusia balita. Pada pasien yang sudah menderita xeroftalmia,
pengobatan utama yang diperlukan adalah vitamin A dengan dosis sesuai dengan
usia pasien dan apabila sudah terjadi kekeringan ataupun ulkus pada kornea maka
diperlukan pengobatan tambahan sesuai dengan gangguan yang terjadi pada mata
pasien.
Terdapat 4 hal penting dalam penatalaksanaan xeroftalmia, yaitu:
a
b
c
d

Memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein)


Mengobati penyakit infeksi ataupun gangguan yang mendasarinya
Memberi vitamin A (dosis terapeutik)
Mengobati kelainan mata

DAFTAR PUSTAKA

19

Sedia Oetama, Achmad Djaeni. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa

dan Profesi. Jilid I. Jakarta. Dian Rakyat. 2008. Hal. 111-112


Hamurwono Guntur, Marianas Marias, dkk. Kelainan Mata Pada Anak
dalam Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa

Kedokteran. Jakarta. Sagung Seto. 2002. Hal. 229-230


Ansstas George. Vitamin A Deficiency. 2012.

http://emedicine.medscape.com/article
Heiting Gary. Vitamin A and Beta Carotene: Eye Benefits. Diunduh dari:

http://www.allaboutvision.com/nutrition/vitamin_a.htm
Gumus Koray, Cavanagh DH. The Role of Inflammation
antiinflammation

Therapies

in

Keratokonjunctivitis

Diunduh

Sicca.

dari:

and

Clinical

Ophthalmology. Dallas. Dove Medical Press Ltd. 2009. Hal 57-67


Gayton JL. Etiology, Prevalence, and Treatment of Dry Eye Disease.
Clinical Ophthalmology. Dallas. Dove Medical Press Ltd. 2009. Hal 405-

412
Javadi MA, Feizi Sepehr. Dry Eye Syndrome. J Ophtalmic Vis Res. 2011.

Hal 192-198
Khurana AK. Disease of Kornea: Comprehensive Ophthalmology. Ed. 4.

New Delhi. New Age International (P) Ltd. 2007. Hal 91-96
Khurana AK. Sistemic Ophthalmology: Comprehensive Ophthalmology. Ed.

4. New Delhi. New Age International (P) Ltd. 2007. Hal 434-436
10 Sommer Alfred, West KP. Xerophtalmia and Keratomalacia: Vitamin A
Deficiency Health Survival and Vision. New York. Oxford University Press.
1996. Hal 99-133
11 Sommer Alfred. Xerophtalmia and Keratomalacia: Nutritional Blindness.
1982. New York. Oxford University Press. 1996. Hal 404-411
12 Kurniawan Anie, dkk. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia Pedoman
Bagi Tenaga Kesehatan diunduh dari: http://gizi.depkes.go.id/2003.
13 Anderson Sylvia, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta. EGC. 2007. Hal. 740.

20

Anda mungkin juga menyukai