Anda di halaman 1dari 46

REFERAT

TRAUMA THORAKS DAN ABDOMEN

PEMBIMBING :
dr. Donny Sandra, Sp. B

DISUSUN OLEH :

Salsabilla Athaska - 2017730106

KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan
YME, berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan
referat yang berjudul “trauma thorax dan abdomen” yang merupakan
salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Bedah RSIJ Pondok kopi.

Referat ini sedikit banyak membahas mengenai trauma


thoraks. Walaupun mungkin hanya sebagian kecil yang penulis bahas,
diharapkan referat ini bisa memberikan sedikit pengetahuan kepada
para pembaca sekalian mengenai trauma thoraks dan abdomen.

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Donny Sandra, Sp. B
selaku dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini dan teman-
teman Co-Ass yang telah membantu dalam pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini


banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.

Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada


khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan
ilmu kedokteran pada umumnya. Aamiin.

Jakarta, Mei 2022

Penulis

ii

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma toraks dan abdomen merupakan penyebab kematian yang
signifikan; pada kenyataannya, banyak pasien dengan trauma toraks meninggal
setelah mencapai rumah sakit. Namun, banyak dari kematian ini dapat dicegah
dengan diagnosis segera dan perawatan. Kurang dari 10% dari cedera dada tumpul
dan hanya 15% hingga 30% dari cedera dada penetrasi memerlukan intervensi
operasi. Sebagian besar pasien yang menderita trauma toraks dapat diobati dengan
prosedur teknis sesuai kemampuan dokter yang terlatih dalam ATLS.

Banyak prinsip yang diuraikan dalam bab ini juga berlaku untuk cedera
toraks iatrogenik, seperti hemotoraks atau pneumotoraks dari penempatan garis
sentral dan cedera esofagus selama endoskopi. Konsekuensi fisiologis dari trauma
toraks adalah hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis. Kontusi, hematoma, dan
kolapsnya alveolar, atau perubahan dalam hubungan tekanan intrathoracic (mis.,
Tension pneumothorax dan open pneumothorax) menyebabkan hipoksia dan
menyebabkan asidosis metabolik. Hypercarbia menyebabkan asidosis pernapasan
dan paling sering mengikuti ventilasi yang tidak memadai yang disebabkan oleh
perubahan hubungan tekanan intrathoracic dan tingkat kesadaran tertekan.

Penilaian awal dan perawatan pasien dengan trauma toraks terdiri dari
survei primer dengan resusitasi fungsi vital, survei sekunder terperinci, dan
perawatan definitif. Karena hipoksia adalah konsekuensi paling serius dari cedera
dada, tujuan intervensi dini adalah untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia.
Cedera yang merupakan ancaman langsung terhadap kehidupan diperlakukan
secepat dan sesederhana mungkin. Kebanyakan cedera toraks yang mengancam
jiwa dapat diobati dengan kontrol jalan napas atau dekompresi dada dengan
jarum, jari, atau tabung. Survei sekunder dipengaruhi oleh riwayat cedera dan
indeks kecurigaan yang tinggi untuk cedera tertentu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
a. Dinding dada

Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk


dinding dada adalah tulang iga, columna vertebralis thoraksalis, sternum,
tulang clavicula dan scapula. Jaringan lunak yang membentuk dinding
dada adalah otot serta pembuluh darah terutama pembuluh darah
intrerkostalis dan thoraksalis interna.

b. Kerangka dinding thoraks

Kerangka dinding thoraks membentuk sangkar dada


osteokartilogenous yang melindungi jantung, paru-paru dan beberapa
organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka thoraks terdiri dari:

• Vertebra thoracica (12) dan discus intervertebralis

• Costa (12 pasang) dan cartilage costalis

• Sternum

Costa adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan


membatasi bagian terbesar sangkar dada terdiri dari:

• Ketujuh (kadang-kadang delapan) costae I disebut costa sejati


(vertebrosternal) karena menghubungkan vertebra dengan sternum
melalui kartilago costalis

• Costa VIII sampai costa X adalah costa tak sejati (vertebrokondral)


karena kartilago costalis masing-masing costa melekat pada
kartilago costalis tepat diatasnya

• Costa XI dan costa XII adalah costa bebas atau kosta melayang
karena ujung kartilago kostalis masing-masing costa berakhir
dalam susunan otot abdomen dorsal

Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi


bagian ventral sangkar dada. Sternum terdiri atas tiga bagian: manubrium
sterni, corpus sterni, dan processus xiphoideus.

c. Dasar thoraks

Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus


dan merupakan struktur yang menyerupai kubah (dome-like structure).
Diafragma membatasi abdomen dari rongga thoraks serta terfiksasi pada
batas inferior dari sangkar dada. Diafragma termasuk salah satu otot utama
pernapasan dan mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior
serta esophagus

d. Rongga thoraks (Cavitas thoracis).

Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi
oleh pleura visceralis dan parietalis.

Rongga dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu ;

1. Rongga dada kanan (cavum pleura kanan )

2. Rongga dada kiri (cavum pleura kiri)

3. Rongga dada tengah (mediastinum).

Pleura (selaput paru) adalah selaput tipis yang membungkus paru –


paru :

Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;

1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru –


paru.

2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.

Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu


membentuk kantong tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura).
Di dalam kantong terisi sedikit cairan pleura yang diproduksi oleh selaput
tersebut.

Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada.


Mediastinum meluas dari aperture thoracis superior ke diafragma di
sebelah kaudal, dan dari sternum dan cartilage costalis di sebelah ventral
ke corpus vertebrae thoracica di sebelah dorsal. Struktur dalam
mediastinum diliputi oleh jaringan ikat, pembuluh darah dan limfe,
kelenjar limfe dan lemak. Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-paru
dan pleura parietalis memungkinkan mediastinum menyesuaikan diri
kepada perubahan gerak dan volume dalam rongga thoraks.

Mediastinum dibagi menjadi bagian cranial (mediastinum


superius) dan bagian kaudal. Mediastinum bagian atas meluas ke arah
kaudal dari aperture thoracis superior sampai pada bidang melalui angulus
sterni dan tepi bawah veftebra T4. Mediastinum bagian bawah yang
meluas antara bidang tersebut dan diafragma, dibedakan atas sektor ventral
(mediastinum anterius), sector tengah (mediastinum medius), dan sektor
dorsal (mediastinum posterior). Dalam mediastinum medius terdapat
jantung dan pembuluh besar. Beberapa bangunan melintasi mediastinum
secara vertikal (misalnya esophagus) dan dengan demikian melewati lebih
dari satu sektor.

2.2 Fisiologi
Pada inspirasi gerak dinding thoraks dan diafragma menghasilkan
bertambahnya ukuran thoraks vertical, tranversal dan dorsoventral serta volume
intrathoraksal. Perubahan tekanan menyebabkan inspirasi dan ekspirasi udara
secara bergantian ke dalam/keluar dari paru-paru melalui hidung, mulut, laring
dan trakea, dan sebaliknya. Pada ekspirasi, diafragma, muskulus intercostalis dan
otot lainnya mengalami relaksasi sehingga volume intrathoraksal berkurang dan
tekanan intrathoraksal meningkat. Jaringan paru-paru yang lentur dan teregang
menebal kekeadaan semula (recoil), dan cukup banyak udara terdesak keluar.
Bersamaan dengan ini tekanan intraabdominal berkurang.

Fungsi dinding thoraks :

a. Melindungi organ toraks dan abdomen dari kerusakan eksternal.

b. Menahan tekanan internal negatif (sub-atmosfer) yang dihasilkan oleh


elastisitas paru-paru dan gerakan inspirasi.

c. Membantu mekanisme pernafasan.

2.3 Definisi
Cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan
pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax disebabkan oleh benda tajam
atau benda tumpul, menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Terbanyak
mengenai rongga pleura dan parenkim paru. Pada rongga pleura tersering adalah
pneumothoraks dan hematothoraks, sedangkan pada parenkim paru meliputi
kontusio, laserasi dan hematoma parenkim paru.

2.4 Epidemiologi
Trauma toraks merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur
dibawah 35 tahun. Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus
kecelakaan. 20-25% dari kasus trauma yang diterima rumah sakit berkaitan
dengan kematian. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor

empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab
kematian utama. Trauma thoraks kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas yang umumnya berupa trauma tumpul (90%).

2.5 Etiologi
Trauma thoraks terdiri dari trauma tumpul dan tajam dimana angka
kejadian trauma tumpul terbanyak sekitar 75 hingga 80 persen dan sebagian besar
dari pasien ini juga mengalami cederaekstra-thoraks. Penyebab tersering karena
kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 63 hingga 78 persen. Terdapat tiga
mekanisme trauma yang menyebabkan trauma tumpul thoraks, yaitu trauma
langsung pada thoraks, cedera akibat penekanan ataupun deselarasi.

Sedangkan pada trauma tajam dibedakan menjadi tiga berdasarkan tingkat


energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti
tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti tembakan senjata militer. Penyebab
trauma lainnya adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru yang bisa
menyebabkan pneumothoraks seperti pada aktivitas menyelam. Oleh karena itu
harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap
orang memiliki pola trauma berbeda.

2.6 Mekanisme trauma


a. Akselerasi

Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab


trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan
(akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga
bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari
trauma tersebut).

Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak


tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata
militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan

kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang
masuk peluru.

b. Deselerasi

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.


Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat
trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ
dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb)
masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada
dinding thoraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan
pengikat organ tersebut.

c. Torsio dan rotasi

Gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya diakibatkan oleh


adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki
jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma
atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut
dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau
poros-nya.

d. Blast injury

Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak


langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya
merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.

2.7 Primary Survey


Seperti pada semua pasien trauma, survei utama pasien dengan cedera
toraks dimulai dengan airway, diikuti dengan breathing dan kemudian circulation.
Masalah besar harus diperbaiki karena mereka diidentifikasi. masalah jalan napas
Sangat penting untuk mengenali dan mengatasi cedera besar yang mempengaruhi
jalan napas selama survei primer.

a. Airway

1. Obstruksi Jalan nafas

Obstruksi jalan nafas disebabkan oleh pembengkakan, pendarahan,


atau muntah yang disedot ke jalan nafas, mengganggu pertukaran gas.
Beberapa mekanisme cedera dapat menghasilkan jenis masalah ini. Cedera
laring bisa menyertai trauma toraks utama atau hasil dari pukulan
langsung ke leher atau pengekangan bahu yang salah tempat di leher.
Dislokasi posterior kepala klavikular kadang-kadang menyebabkan
obstruksi jalan napas. Atau, trauma tembus yang melibatkan leher atau
dada dapat menyebabkan cedera dan perdarahan, yang menghasilkan
obstruksi. Meskipun presentasi klinis kadang-kadang halus, obstruksi jalan
napas akut dari trauma laring adalah cedera yang mengancam jiwa. (Lihat
Bab 2: Manajemen Saluran Udara dan Ventilasi.)

Selama survei utama, cari bukti kelaparan udara, seperti retraksi


otot interkostal dan supraklavikula. Periksa orofaring untuk obstruksi
benda asing. Dengarkan gerakan udara di bidang hidung, mulut, dan paru-
paru pasien. Dengarkan bukti obstruksi jalan nafas atas parsial (stridor)
atau perubahan yang nyata pada kualitas suara yang diharapkan pada
pasien yang dapat berbicara. Rasakan adanya crepitus di leher anterior.
Pasien dengan obstruksi jalan napas dapat diobati dengan pembersihan
darah atau muntah dari jalan napas dengan menyedot. Manuver ini
seringkali hanya bersifat sementara, dan penempatan jalan napas definitif
diperlukan. Palpasi untuk defek pada daerah sendi sternoklavikula.
Kurangi dislokasi posterior atau fraktur klavikula dengan memanjangkan
bahu pasien atau menggenggam klavikula dengan penjepit handuk
penembus, yang dapat meringankan obstruksi. Pengurangan biasanya
stabil ketika pasien tetap dalam posisi terlentang.

2. Cedera Trakeobronkial

Cedera pada trakea atau bronkus mayor adalah kondisi yang tidak
biasa tetapi berpotensi fatal. Mayoritas cedera pohon trakeobronkial terjadi
dalam jarak 2,5 cm dari carina. Cedera ini bisa parah, dan sebagian besar
pasien meninggal di tempat kejadian. Mereka yang mencapai rumah sakit
hidup memiliki angka kematian yang tinggi tingkat dari cedera terkait,
saluran napas yang tidak memadai, atau pengembangan pneumotoraks
tension atau pneumopericardium tension. Perlambatan cepat setelah
trauma tumpul menghasilkan cedera di mana titik perlekatan memenuhi
area mobilitas. Cedera ledakan umumnya menghasilkan cedera parah pada
antarmuka udara-cairan. Trauma penetrasi menghasilkan cedera melalui
laserasi langsung, robek atau transfer cedera kinetik dengan kavitasi.
Intubasi berpotensi menyebabkan atau memperburuk cedera pada trakea
atau bronkus proksimal.

Pasien biasanya datang dengan hemoptisis, emfisema subkutan


serviks, pneumotoraks tension, dan / atau sianosis. Ekspansi paru yang
tidak lengkap dan terus terjadi kebocoran udara besar setelah pemasangan
tabung dada menunjukkan cedera trakeobronkial, dan penempatan lebih
dari satu tabung dada mungkin diperlukan untuk mengatasi kebocoran
udara yang signifikan. (Lihat animasi Tabung Dada di aplikasi seluler
MyATLS.) Bronkoskopi menegaskan diagnosis. Jika dicurigai cedera
trakeobronkial, dapatkan konsultasi bedah segera.

Perawatan segera mungkin memerlukan penempatan jalan nafas


yang pasti. Intubasi pasien dengan cedera trakeobronkial seringkali sulit
karena distorsi anatomi dari hematoma paratrakeal, cedera orofaringeal
terkait, dan / atau cedera trakeobronkial itu sendiri. Keahlian jalan napas
lanjutan, seperti penempatan tabung endotrakeal serat optik yang dibantu
melewati situs sobek atau intubasi selektif dari bronkus yang tidak
terpengaruh, mungkin diperlukan. Untuk pasien seperti itu, intervensi
operasi segera diindikasikan. Pada pasien yang lebih stabil, pengobatan

10

operatif cedera trakeobronkial dapat ditunda sampai peradangan akut dan


edema sembuh.

b. Breathing

Ekspos dada dan leher pasien untuk memungkinkan penilaian


pembuluh darah leher dan pernapasan. Ini mungkin memerlukan pelepasan
sementara bagian depan kerah serviks; dalam hal ini, aktifkan gerakan
serviks secara aktif dengan memegang kepala pasien saat kerah
dilonggarkan. Lihatlah dinding dada untuk menilai Gerakan dan tentukan
apakah itu sama.

Nilai kecukupan respirasi. Dengarkan dada untuk mengevaluasi


suara napas yang sama dan mengidentifikasi suara-suara tambahan yang
mungkin menunjukkan efusi atau memar. Palpasi untuk menentukan
apakah ada area nyeri tekan, krepitus, atau cacat. Tanda-tanda cedera dada
dan / atau hipoksia yang signifikan, namun seringkali halus, meliputi
peningkatan laju pernapasan dan perubahan dalam pola pernapasan pasien,
yang seringkali dimanifestasikan oleh respirasi yang semakin dangkal.

Ingat bahwa sianosis adalah tanda terlambat hipoksia pada pasien


trauma dan bisa sulit untuk dirasakan pada kulit berpigmen gelap;
ketidakhadirannya tidak selalu mengindikasikan oksigenasi jaringan yang
memadai atau jalan napas yang adekuat. Tension pneumotoraks,
pneumotoraks terbuka (mengisap luka dada), dan hemotoraks masif adalah
cedera toraks utama yang memengaruhi pernapasan. Sangat penting bagi
dokter untuk mengenali dan mengelola cedera ini selama survei primer.

1. Tension Pneumotoraks

11

Tension pneumotoraks berkembang ketika kebocoran udara "katup


satu arah" terjadi dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara dipaksa
masuk ke dalam rongga pleura tanpa ada jalan keluar, yang pada akhirnya
akan membuat paru-paru yang terjangkit.

Mediastinum dipindahkan ke sisi yang berlawanan, mengurangi


aliran balik vena dan menekan seberang paru. Syok (sering
diklasifikasikan sebagai syok obstruktif) merupakan hasil dari penurunan
vena yang ditandai, yang menyebabkan penurunan curah jantung.
Penyebab paling umum dari tension pneumothorax adalah ventilasi
tekanan positif mekanis pada pasien dengan cedera pleural visceral.

Tension pneumotoraks juga dapat menyulitkan pneumotoraks


sederhana setelah trauma dada tembus atau tumpul di mana cedera paru
parenkim gagal menutup, atau setelah upaya pemasangan kateter vena
subklavia atau internal jugularis. Kadang-kadang, cacat traumatis di
dinding dada menyebabkan pneumotoraks ketika tegang dressing oklusif
diamankan di empat sisi atau cacat itu sendiri merupakan mekanisme
katup-tutup. Jarang, tension pneumothorax terjadi dari fraktur tulang
belakang thorakal yang bergeser.

Tension pneumotoraks adalah diagnosis klinis yang mencerminkan


udara di bawah tekanan di ruang pleura yang terkena. Jangan menunda
perawatan untuk mendapatkan konfirmasi radiologis. Pasien yang bernafas
spontan sering memanifestasikan takipnea ekstrem dan kelaparan udara
pasien yang secara mekanis berventilasi mengalami kolaps hemodinamik.
Tension pneumotoraks ditandai oleh beberapa atau semua tanda dan gejala
berikut:

• Nyeri dada
• Kelaparan udara
• Takipnea

12

• Gangguan pernapasan
• Takikardia
• Hipotensi
• Penyimpangan trakea menjauh dari sisi cedera
• Tidak adanya suara napas yang unilateral
• Hemitoraks yang meningkat tanpa pernapasan gerakan
• Distensi vena leher
• Sianosis (manifestasi lanjut)

Lakukan penilaian pernapasan, seperti dijelaskan di atas. Nada


hyperresonant pada perkusi, trakea yang menyimpang, vena leher buncit,
dan bunyi napas yang tidak ada adalah tanda-tanda ketegangan
pneumotoraks. Saturasi arteri harus dinilai menggunakan pulse oximeter
dan akan menurun ketika tension pneumothorax. Ketika USG tersedia,
tension pneumothorax bisa terjadi didiagnosis menggunakan pemeriksaan
FAST (eFAST) yang diperpanjang.

13

Tension pneumotoraks membutuhkan dekompresi segera dan dapat


dikelola pada awalnya dengan memasukkan kateter jarum yang besar ke
ruang pleura. Karena ketebalan dinding dada yang bervariasi, kerutan
kateter, dan komplikasi teknis atau anatomi lainnya, dekompresi jarum
mungkin tidak berhasil. Ketebalan dinding dada mempengaruhi
kemungkinan keberhasilan dengan dekompresi jarum.

Bukti menunjukkan bahwa kateter jarum 5 cm akan mencapai


ruang pleura> 50% dari waktu, sedangkan kateter jarum jarum 8 cm akan
mencapai ruang pleura> 90% dari waktu. Penelitian juga menunjukkan
bahwa penempatan kateter jarum di lapangan ke dinding dada anterior
oleh paramedis terlalu medial pada 44% pasien.

Bukti terbaru mendukung penempatan kateter besar, over-the-


needle di interspace kelima, sedikit anterior ke garis midaxillary. Namun,
bahkan dengan kateter over-the-needle dengan ukuran yang sesuai,
manuver tidak akan selalu berhasil. Dekompresi jarum yang berhasil
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana.
Namun, ada kemungkinan pneumotoraks selanjutnya sebagai akibat dari
manuver, sehingga perlu dilakukan penilaian ulang terus menerus terhadap
pasien. Tube thoracostomy adalah wajib setelah dekompresi jarum atau
jari pada dada.

2. Open Pneumothorax

14

Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga
udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan
intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.

Cedera besar pada dinding dada yang tetap terbuka dapat


menyebabkan pneumotoraks terbuka, yang juga dikenal sebagai luka dada
mengisap / Sucking Wound. Kesetimbangan antara tekanan intrathoracic
dan tekanan atmosfer langsung terjadi. Karena udara cenderung mengikuti
jalur paling tidak resistensi, ketika lubang di dinding dada kira-kira dua
pertiga diameter trakea atau lebih besar, udara lewat secara istimewa
melalui cacat dinding dada dengan masing-masing inspirasi.

Ventilasi yang efektif karenanya terganggu, menyebabkan hipoksia


dan hiperkarbia. Pneumotoraks terbuka biasanya ditemukan dan diobati di
tempat kejadian oleh personel pra-rumah sakit. Tanda-tanda dan gejala
klinisnya adalah nyeri, kesulitan bernapas, takipnea, penurunan suara
napas di sisi yang sakit, dan pergerakan udara yang bising melalui cedera
dinding dada. Untuk manajemen awal pneumotoraks terbuka, segera tutup
cacat dengan pembalut steril yang cukup besar untuk menutupi tepi luka.
Pembalut oklusif (mis. Pembungkus plastik atau kasa petrolatum) dapat
digunakan sebagai tindakan sementara untuk memungkinkan penilaian
cepat untuk melanjutkan.

Tanda dan gejala dapat berupa:

• Rasa sakit/nyeri

• Sulit bernafas

• Takipneu

• Penurunan suara nafas di sisi yang sakit

15

• Pergerakan udara yang bising pada dinding dada yang cedera.

Terapi yang diberikan adalah:

• Umumnya dilakukan di tempat kejadian

• Wound dressing pada luka dengan ditutup pada 3 sisi yang


bertindak sebagai flutter-valve

c. Circulation

Cidera toraks utama yang mempengaruhi sirkulasi dan harus


dikenali dan ditangani selama survei primer adalah hemotoraks masif,
tamponade jantung, dan henti sirkulasi darah traumatis. Aktivitas listrik
pulseless (PEA) dimanifestasikan oleh elektrokardiogram (EKG) yang
menunjukkan ritme sementara pasien tidak memiliki denyut nadi yang

16

dapat diidentifikasi. Disritmia ini dapat terjadi dengan tamponade jantung,


tension pneumothorax, atau hipovolemia berat.

Cedera tumpul yang parah dapat menyebabkan ruptur atrium atau


ventrikel yang tumpul, dan satu-satunya manifestasi adalah henti PEA.
Penyebab lain henti PEA termasuk hipovolemia, hipoksia, hydrogen ion
(asidosis), hipokalemia / hiperkalemia, hipoglikemia, hipotermia, racun,
tamponade jantung, tension pneumothorax, dan trombosis (koroner atau
paru).

Periksa kulit apakah ada bintik-bintik, sianosis, dan pucat. Vena


leher harus dinilai untuk distensi, meskipun mungkin tidak buncit pada
pasien dengan hipovolemia bersamaan. Dengarkan keteraturan dan
kualitas detak jantung. Nilai pulsa pusat untuk kualitas, laju, dan
keteraturan. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi distal mungkin
tidak ada karena penurunan volume. Palpasi kulit untuk menilai suhunya
dan tentukan apakah kulitnya kering atau berkeringat.

Ukur tekanan darah dan tekanan nadi, dan pantau pasien dengan
elektrokardiografi dan oksimetri nadi. Pasien dengan cedera dada tumpul
berisiko mengalami disfungsi miokard, yang meningkat dengan adanya
hipoksia dan asidosis. Dysrhythmias harus dikelola sesuai dengan protokol
standar.

1. Massive Hemothorax

17

Akumulasi >1500 ml darah secara cepat ke dalam rongga dada


yang menekan paru-paru dan mengganggu proses pernafasan. Umumnya
akibat trauma penetrasi yang merobek vaskular sistemik atau hilar, namun
juga dapat terjadi akibat trauma tumpul.

Gejala:

• Suara paru menurun pada sisi yang sakit

• Perkusi redup

• Pantau tanda vital

• Pulseless electrical activity (PEA)

Nadi tidak teraba namun EKG menunjukan aktivitas


elektrik jantung

Terapi:

Dekompresi

• Chest tube di interkosta 5 anterior dari linea midaksilaris

Resusitasi cairan

• Cateter diameter besar

• Infus cairan kristaloid dan transfusi darah

Indikasi thoracotomy:

• Transfusi >1500 ml, atau

• Perdarahan <1500 ml yang terus berlanjut sebanyak 200


ml/jam selama 2-4 jam

18

2. Cardiac Tamponade

Terjadi akibat trauma penetratif, namun bisa juga akibat trauma


tumpul yang menyebabkan perikardium terisi darah yang berasal dari
jantung atau pembuluh darah. Perikardium tidak bersifat fleksibel,
sehingga adanya darah dalam rongga perikardium dapat mengganggu
kontraksi jantung. Menurunnya cardiac input menyebabkan penurunan
cardiac output. Tanda dan gejala:

• Dapat muncul perlahan maupun cepat

• Beck’s triad:

Penurunan suara bunyi jantung

Hipotensi

Distensi v. Jugular

• Kussmaul’s sign -> dapat dijadikan indikasi peningkatan tekanan


vena saat inspirasi spontan

• Tanda PEA

Diagnosis:

• Focussed assessment with sonography for trauma (FAST)

19

• Cepat dan akurat dalam mendiagnosis cardiac tamponade

Bila tidak terdapat USG:

• Echocardiogram

• Pericardial window

Terapi:

• Definitif:

Thoracotomy

Sternotomy

• Pericardiocentesis sebagai penanganan awal

Resusitasi cairan

2.8 Secondary Survey


Survei sekunder pasien dengan trauma toraks melibatkan lebih lanjut,
pemeriksaan fisik mendalam, EKG berkelanjutan dan pemantauan oksimetri nadi,
pengukuran gas darah arteri (ABG), x-ray dada tegak pada pasien tanpa dugaan
ketidakstabilan tulang belakang, dan pemindaian CT scan dada pada pasien
tertentu dengan dugaan cedera aorta atau tulang belakang. Selain ekspansi paru-
paru dan adanya cairan, film dada harus ditinjau untuk pelebaran mediastinum,
pergeseran garis tengah, dan hilangnya detail anatomi. Beberapa patah tulang
rusuk dan patah tulang rusuk pertama atau kedua menunjukkan bahwa kekuatan
signifikan dikirim ke dada dan jaringan di bawahny

a. Simple Penumothorax

20

Pneumotoraks dihasilkan dari udara yang memasuki ruang


potensial antara visceral dan pleura parietal. Thoraks biasanya terisi penuh
oleh paru-paru, yang dipegang oleh dinding dada oleh tegangan
permukaan antara permukaan pleura. Udara di pleural ruang mengganggu
kekuatan kohesif antara visceral dan pleura parietal, memungkinkan paru
paru kolaps. Cacat ventilasi-perfusi terjadi karena darah yang perfusi
daerah tanpa ventilasi tidak teroksigenasi. Baik trauma penetrasi maupun
non-penetrasi bisa menyebabkan cedera ini. Laserasi paru-paru dengan
kebocoran udara adalah penyebab paling umum dari pneumotoraks akibat
trauma tumpul.

Lakukan pemeriksaan fisik dada yang komprehensif, termasuk


pemeriksaan memar dan laserasi. Menilai pergerakan dinding dada dan
menilai dan membandingkan suara napas secara bilateral. Ketika
pneumotoraks hadir, bunyi napas sering menurun pada sisi yang terkena.
Perkusi dapat menunjukkan hipersonor, meskipun temuan ini sangat sulit
didengar di ruang resusitasi yang bising.

21

Terapi:

• Pemasangan chest tube pada ICS 4 atau 5 linea axillaris anterior.

• Lakukan X-ray thorax post pemasangan chest tube untuk


memastikan re-ekspansi paru dan lokasi chest tube

b. Flail Chest dan Kontusio Paru

Flail chest terjadi ketika bagian dinding dada tidak memiliki


kontinuitas bertulang dengan sisa dari kandang toraks. Kondisi ini
biasanya hasil dari trauma yang terkait dengan patah tulang rusuk multipel
(yaitu,dua atau lebih tulang rusuk yang berdekatan retak di dua tempat
atau lebih), meskipun juga dapat terjadi ketika ada pemisahan
costochondral dari tulang rusuk tunggal dari thorax.

Pasien dengan hipoksia yang signifikan (mis., PaO2 <60 mm Hg


[8,6 kPa] atau SaO2 <90%) pada udara kamar mungkin memerlukan
intubasi dan ventilasi dalam satu jam pertama setelah cedera. Kondisi

22

medis terkait, seperti penyakit paru obstruktif kronis dan gagal ginjal,
meningkatkan kemungkinan diperlukan intubasi dini dan ventilasi
mekanis.

Perawatan pasti flail chest dan kontusio paru melibatkan


memastikan oksigenasi yang memadai, pemberian cairan secara bijaksana,
dan memberikan analgesia untuk meningkatkan ventilasi. Rencana untuk
manajemen definitif dapat berubah seiring waktu dan respons pasien, yang
menjamin pemantauan dan evaluasi ulang pasien secara cermat.

Analgesia dapat dicapai dengan narkotika intravena atau


pemberian anestesi lokal, yang menghindari potensi depresi pernapasan
yang umum dengan narkotika sistemik. Pilihan untuk pemberian anestesi
lokal meliputi blok saraf interkostal intermiten dan intrapleural transkutan,
ekstrapleural, atau epidural.

c. Blunt Cardiac Injury

Tinjauan literatur terbaru menunjukkan 50% Blunt Cardiac Injury


(BCI) terkait dengan kecelakaan kendaraan bermotor (MVC), diikuti oleh
pejalan kaki yang tertabrak kendaraan, kecelakaan sepeda motor, dan
kemudian jatuh dari ketinggian lebih dari 20 kaki (6 meter). Blunt Cardiac
Injury dapat menyebabkan kontusi otot miokard, ruptur ruang jantung,
diseksi dan / atau trombosis arteri koroner, serta gangguan katup.

Ruptur jantung biasanya disertai tamponade jantung dan harus


dikenali selama survei primer. Namun, sesekali tanda-tanda dan gejala
tamponade lambat untuk berkembang dengan ruptur atrium. Penggunaan
dini FAST dapat memudahkan diagnosis.

Perubahan EKG:

• Multiple VES/PVC

23

• Sinus takikardia idiopatik

• AF

• RBBB

• perubahan segmen ST -> terkait dengan MI

Pasien dengan EKG abnormal perlu diobservasi 24 jam pertama


karena risiko disritmia.

d. Traumatic Aortic Disruption

Pecahnya aorta traumatis merupakan penyebab umum kematian


mendadak setelah tabrakan kendaraan atau jatuh dari ketinggian. Orang
yang selamat dari cedera ini sering sembuh jika ruptur aorta segera
diidentifikasi dan diobati dengan segera. Pasien-pasien dengan
kemungkinan terbaik untuk bertahan hidup cenderung memiliki laserasi
tidak lengkap di dekat ligamentum arteriosum aorta.

24

Darah dapat lolos ke mediastinum, tetapi satu karakteristik yang


dimiliki oleh semua korban adalah mereka memiliki hematoma yang
terkandung. Hipotensi yang persisten atau berulang biasanya disebabkan
oleh lokasi perdarahan yang terpisah dan tidak teridentifikasi. Meski pecah
bebas dari yang ditranseksi aorta ke dada kiri memang terjadi dan dapat
menyebabkan hipotensi, biasanya fatal kecuali tim trauma dapat
memperbaikinya dalam beberapa menit.

Tanda dan gejala spesifik gangguan aorta traumatis sering tidak


ada. Pertahankan indeks kecurigaan yang tinggi yang dipicu oleh riwayat
deselerasi kekuatan dan temuan karakteristiknya pada rontgen dada, dan
evaluasi pasien lebih lanjut. Tanda-tanda radiografi lain dari cedera tumpul
aorta meliputi:

• Pelebaran mediastinum

• Obliterasi aortic knob

• Deviasi trakea ke sisi kanan

• Depresi dari bronkus principalis kiri

• Elevasi dari bronkus principalis kanan

• Obliterasi ruang antara arteri pulmoner dan aorta

• Deviasi esophagus ke kanan

• Pelebaran garis paratrakeal

• Pelebaran paraspinal interfaces

• Adanya pleural / apical cap

• Hemothoraks kiri

25

• Fraktur dari costae I/II atau skapula

Diagnosis:

• Helical CT scan Thorax

• Aortography

• Transesophageal Echocardiography (TEE)

Terapi:

• Reparasi atau reseksi pada bagian yang robek dan digantikan


dengan graft

• Endovascular repair

e. Traumatic Diaphragmatic Injury

Traumatic Diaphragmatic Injury lebih sering didiagnosis pada sisi


kiri, mungkin karena hati menghilangkan defek atau melindunginya pada
sisi kanan, sedangkan penampakan tuba, lambung, dan / atau nasogastrik
(NG) yang lebih mudah dideteksi di dada kiri. Trauma tumpul
menghasilkan robekan radial yang besar yang mengarah ke herniasi,

26

sedangkan trauma tembus menghasilkan perforasi kecil yang dapat tetap


tanpa gejala selama bertahun-tahun.

Diagnosis

• Jika curiga laserasi pada diafragma kiri ! pasang NGT.

• Bila NGT muncul dalam rongga thorax pada pemeriksaan foto X-


ray thorax maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan kontras

• Jika meragukan lakukan pemeriksaan dengan kontras

• Cairan peritoneal lavage dapat keluar pada chest tube

• Laparascopy / thoracoscopy

Operasi untuk cedera perut lainnya sering menunjukkan robekan


diafragma. Perawatan dengan perbaikan langsung. Perawatan harus
diambil ketika menempatkan tabung dada pada pasien dengan kecurigaan
cedera diafragma, sebagai tabung secara tidak sengaja dapat melukai isi
perut yang telah dipindahkan ke rongga dada.

f. Blunt Esophageal Rupture

27

Trauma esofagus paling sering terjadi akibat cedera penetrasi.


Meskipun jarang, trauma tumpul esofagus, yang disebabkan oleh
pengusiran paksa isi lambung ke kerongkongan akibat pukulan parah ke
perut bagian atas, bisa mematikan jika tidak dikenali. Ejeksi yang kuat ini
menghasilkan robekan linier pada esofagus bagian bawah, memungkinkan
kebocoran ke mediastinum. Mediastinitis yang dihasilkan dan ruptur
segera atau tertunda ke dalam ruang pleura menyebabkan empiema.
Gambaran klinis pasien dengan ruptur esofagus tumpul identik dengan
gambaran esofagus postemetik pecah. Pengaturan klinis cedera
kerongkongan biasanya pasien dengan pneumotoraks kiri atau hemotoraks
tanpa fraktur tulang rusuk yang telah menerima pukulan hebat pada tulang
dada bagian bawah atau epigastrium dan dalam rasa sakit atau syok di luar
proporsi cedera yang tampak.

Dapat dicurigai pada:

• Hemotoraks atau pneumotoraks kiri tanpa adanya fraktur

• Trauma pada bagian sternum bawah atau epigastrik

• Klinis dengan nyeri hebat atau syok berat yang tidak sesuai dengan
klinis

28

Tatalaksana

• Drainase luas pada kavum pleura dan mediastinum

• Direct repair terhadap luka melalui torakotomi

• Semakin cepat dilakukan maka prognosis semakin baik

2.9 Manifestasi Lain Trauma Thoraks


a. Emfisema Subkutan

Emfisema subkutan dapat terjadi akibat cedera saluran napas,


cedera paru-paru, atau, jarang, cedera ledakan. Meskipun kondisi ini tidak
memerlukan perawatan, dokter harus mengenali cedera yang
mendasarinya dan mengobatinya. Jika ventilasi tekanan positif diperlukan,
pertimbangkan untuk melakukan torakostomi tabung di sisi emfisema
subkutan jika terjadi pneumotoraks tension.

b. Crushing Injury (Asfiksia Traumatik)

Tanda dan gejala:

• Petekie pada torso atas, wajah, dan lengan akibat kompresi vena
cava superior.

• Pembengkakan masif bagian atas tubuh

• Dapat terjadi edema serebri

c. Fraktur Costae, Sternum dan Skapula

1. Fraktur costae

• Nyeri saat bernafas ! gangguan ventilasi, oksigenasi, dan batuk


yang efektif ! atelektasis dan pneumonia

2. Fraktur skapula, costae I-II, sternum

29

• Beresiko terhadap cedera kepala, leher, medulla spinalis, paru,


pembuluh darah besar

3. Fraktur costae IV-IX

• Ujung tulang dapat menusuk ke dalam ! pneumothorax /


hemothorax

4. Fraktur costae X-XII

• Perlu dicurigai adanya cedera hepatosplenikus

Diagnosis: X-ray Thorax

Tatalaksana : Pemberian analgesik, intercostal block, anestesi epidural,


analgesik sistemik

ANATOMI ABDOMEN

Cavum Abdominalis

Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara


diaphragma dan apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga
yang terbesar dari ketiga rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum
thoracalis, dan cavum pelvicum. Cavum abdominalis dibatasi oleh :

• Kranial : diaphragma

• Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus

• Dorsal : columna vertebralis

m. psoas major

m. psoas minor

m. quadratuslumborum

30




• Kaudal : apertura pelvis superior mencakup pelvis major

Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :

1. Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis


sampai setinggi costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira – kira 2,5 cm
lebih rendah.

2. Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum


pelvicum dan mencakup pelvis major.

Lapisan Dinding Abdomen

1. Stratum superficialis (lapisan dangkal)

c. Cutis

d. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)

• Lamina superficialis (fascia camperi)

• Lamina profunda (fascia scarpae)

2. Stratum intermedius (lapisan tengah)

a. Fascia abdominalis

b. Otot – otot dinding perut

c. Aponeurosis otot dinding perut

d. Tulang

3. Stratum profunda (lapisan dalam)

a. Fascia transversalis

b. Panniculus adiposus preperitonealis

c. Peritoneum parietale

31

Otot-otot Dinding Perut

1. Musculi anterolaterales

c. mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)

• m. Obliqus externus abdominis

• m. Obliqus internus abdominis

• m. Transversus abdominis

b. mm. Recti (otot lurus dinding anterior)

• m. Rectus abdominis

• m. Pyramidalis

2. Musculi posteriores

a. m. psoas major

b. m. psoas minor

c. m.iliacus

Actio otot – otot dinding perut :

1. Fixatio organa viscerales abdominales

2. Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :

• Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)

• Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)

3. Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)

4. Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut


(buik-persen)

32

Vaskularisasi Dinding Abdomen

Pembuluh Nadi

Dinding abdomen diperdarahi oleh :

1. Aa. Intercostales VII – XII

2. Aa. Lumbales

3. A. Epigastrica superior

4. A. Epigastrica inferior

5. Aa. Inguinales superficiales

6. A. Circumflexa ilium profunda

Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di


dalam sulcus costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales
terletak diantara m. Transversus abdominis an m. Obliqus internus abdominis. Aa.
Intercostales mempercabangkan :

a. Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung

b. Rr. Laterales aa. Intercostales

c. Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus


abdominis

Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta


abdominalis setinggi vertebrae lumbales I – IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral
pada corpora vertebrae lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.

A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria


interna (A. thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI.
Setelah meninggalkan cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina
m. Rectus abdominis di sebelah dorsal cartilago costae VIII. Mula – mula terletak

33



dorsal terhadap m. Rectus abdominis lalu menembus otot tersebut untuk


beranastomosis dengan A. epigastrica inferior.

A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A.


iliaca externa tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah
ventral di dalam jaringan subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior
berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi medial annulus inguinalis profundus.

Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di


sebelah ventral linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus
abdominis dan lamina posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap
umbilicus, A. epigastrica superior dan Aa. Intercostales.

A.epigastrica inferior mempercabangkan :

• cremasterica (A. spermatica externa)

• R. pubicus a. epigastrica inferior

• Rr. Musculares

Pembuluh Balik Dinding Abdomen

1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).

Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu


bermuara ke dalam :

• V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V.


Femoralis

• V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris

34


Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang


dinamakan Vv. Paraumbilikalis Sappeyi dan berjalan disepanjang
ligamentum teres hepatis mulai dari umbilikus sampai ke dalam sisa V.
Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan pada V. Porta
(misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi mengalami
varises dan membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.

2. Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya

Persarafan Dinding Abdomen

1. Nn. Thoracales VII – XII

Rr.ventrales nn thoracales VII – XII (Nn intercostales) berjalan


diantara m. Obliqus internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr.
Cutanei anteriores dipercabangkan setelah menembus vagina M. Rectus
abdominis, sedangkan RR cutanei laterales dipercabangkan sekitar
umbilikus.

Nn thoracales VII –XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis


sehingga kerusaka saraf tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m.
Rectus abdominis.

Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi


proc. xiphoideus, Nn thoracales VIII – IX antara proc. xiphoideus dan
umbilikus, N.thoracalis X setingi umbilikus sedangkan N. Thoracalis XII
mengurus pertengahan antara umbilikus dan symphisis osseus pubis.

2. N. Lumbales I

N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan


mempercabangkan :

• N. iliohypogastricus

35




• N. Iloinguinalis

Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m.


Obliqusinternus abdominis dan m. Transversus abdominis sampai spina
iliaca anterior superior. Kira – kira 2,5 cm disebelah kranial annulus
inguinalis superficialis, Nn. Iliohypogastricus menembus aponeurosis otot
serong dinding perut dan berubah menjadi saraf kulit.

N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi


kulit disekitar radix penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas
didekatnya.

N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf


yang paling penting karena keduanya mempersarafi alat – alat penting di
bagian kaudal dinding abdomen.

II.2 TRAUMA ABDOMEN

Definisi

Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan


cedera. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi
dan Trauma non penetrasi.

1) Trauma penetrasi
a. Luka tembak
b. Luka tusuk

2) Trauma non-penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

36







Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :


1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding
abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen


yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau
sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.

Etiologi
1. Penyebab trauma penetrasi
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam
- Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh

37


















- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi
pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda
iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran
klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-
tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam
trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan
distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan
suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin
belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang
muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi
harus dilakukan.

Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi:
nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan
muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat
adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
− Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual,
muntah, dan BAB hitam (melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding

38














abdomen.¬

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:


- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/
memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Diagnosa
Pada penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya
menentukan apakah ada cedera abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya.
Penderita yang normal hemodinamiknya tanpa tanda – tanda peritonitis dapat
dilakukan evaluasi yang lebih teliti untuk menentukan cedera fisik yang ada
(trauma tumpul).
A. Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan
kemungkinan cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus
diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera,
tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan
kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital,
kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam
catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan
fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien

39









dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat


keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-
abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang
terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan
dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus
diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang tertancap
serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati
untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau
tidak. Darah intraperitoneum yang bebas atau kebocoran
(ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan
hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti
tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus
meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak
adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan
dapat menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan.
Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi
lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada
hemiperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen
(voluntary guarding) dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen.
Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda
yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah
mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan

40




superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi
ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan
biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah
atau isi usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus yang
membesar dan diperkirakan umur janin.

C. Pemeriksaan penunjang
Selanjutnya, luka retroperitoneal dan panggul tidak dapat
dikesampingkan hanya didasarkan pada temuan fisik. Kami menganggap
bahwa evaluasi abdomen yang objektif diperlukan dan harus didapatkan
dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang tersedia di
samping pemeriksaan fisik. Tes pilihan akan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang
memadai dievaluasi oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah
lain mengambil prioritas dan pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum
evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage
diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan
cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien
trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi
dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber
hilangnya darah dan hipotensi.

Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP),
dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita
dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik normal maka
pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri
(sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui

41


uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah


diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi segera. Hilangnya
bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau
patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left
lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.

42

BAB III
KESIMPULAN

Trauma thoraks & abdomen umum terjadi pada pasien multi trauma dan
dapat menimbulkan masalah yang mengancam jiwa jika tidak segera diidentifikasi
dan diobati selama survei primer. Pasien-pasien ini biasanya dapat dirawat atau
kondisinya untuk sementara dikurangi dengan tindakan yang relatif sederhana,
seperti intubasi, ventilasi, torakostomi, dan resusitasi cairan. Kemampuan untuk
mengenali cedera penting ini dan keterampilan untuk melakukan prosedur yang
diperlukan dapat menyelamatkan nyawa.

Dokter dengan kemampuan untuk mengenali cedera penting ini dan


keterampilan untuk melakukan prosedur yang diperlukan dapat menyelamatkan
nyawa. Survei utama meliputi manajemen obstruksi jalan napas, cedera laring,
cedera dada bagian atas, cedera pohon trakeobronkial, tension pneumothorax,
pneumothorax terbuka, hemothorax masif, tamponade jantung, tamponade
jantung, dan henti peredaran darah traumatis.

Survei sekunder meliputi identifikasi, menggunakan studi tambahan


seperti x-ray, tes laboratorium, EKG, USG dan pengobatan awal dari cedera yang
berpotensi mengancam jiwa berikut: pneumotoraks sederhana, hemotoraks,
memar paru, dada flail, cedera jantung tumpul, gangguan aorta traumatis, cedera
diafragma traumatis, dan ruptur esofagus tumpul.

Beberapa manifestasi trauma toraks dapat mengindikasikan risiko lebih


besar dari cedera terkait, termasuk emfisema subkutan, crush cedera dada, dan
cedera tulang rusuk, tulang belikat, dan tulang dada.

43


DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi FC. Schwartsz’s Principles of Surgery. 10th ed. Los
Angeles: Mc Graw Hill Education Lange; 2016.
Drake R. Gray’s Atlas of Anatomy. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2020.
Farquharson M. Farquharson’s Textbook of Operative General
Surgery. 10th ed. Boca Raton: CRC Press; 2015.
Sellke FW. Sabiston & Spencer Surgery of the Chest. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc.; 2019.
Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta:
EGC; 2010.
Stewart R, Rotondo M, Henry S. Advanced trauma life support
(ATLS). 10th ed. American College of Surgeons; 2018.
Townsend CM. Sabiston Textbook of Surgery. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc.; 2017.

44

Anda mungkin juga menyukai