Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

FRAKTUR MULTIPEL COSTAE

Disusun Oleh:

Izzatunnisa Istiqomah

41211396100024

Pembimbing:

dr. Widya Trianita S., Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIADAYATULLAH JAKARTA


PERIODE 10 OKTOBER-16 DESEMBER 202
LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan Judul:

“FRAKTUR MULTIPEL COSTAE”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai persayaratan untuk dapat
menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu Bedah di RSUP Fatmawati

Jakarta, 28 Oktober 2022

dr. Widya Trianita S., Sp.BTKV

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala karena
hanya atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah Referat dengan
topik “Fraktur Multipel Costae” dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah Referat ini tak lepas dari
bantuan, bimbingan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar- besarnya kepada para pengajar,
fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Bedah RSUP Fatmawati khususnya dr. Widya
Trianita S., Sp.BTKV selaku pembimbing penulis dalam Referat pada kesempatan ini.
Semoga Allah membalas kebaikan yang telah diberikan kepada semuanya.

Demi meningkatkan perbaikan, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran
yang membangun. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya. Semoga
makalah Referat ini bermanfaat baik bagi penulis khususnya bagi mahasiswa yang menempuh
pendidikan. Sekian yang dapat penulis sampaikan, Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 28 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR PUSTAKA iii
BAB I PENDHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2. 1. Anatomi Toraks 2
2. 2. Fraktur Multipel Costae 4
2. 2. 1. Definisi Fraktur Multipel Costae 5
2. 2. 2. Etiologi dan Faktor Risiko Fraktur Multipel Costae 5
2. 2. 3. Patofisiologi Fraktur Multipel Costae 6
2. 2. 4. Klasifikasi Fraktur Multipel Costae 7
2. 2. 5. Manifestasi Klinis Fraktur Multipel Costae 8
2. 2. 6. Diagnosis Fraktur Multipel Costae 10
2. 2. 7. Tatalaksana Fraktur Multipel Costae 11
2. 2. 8. Komplikasi Fraktur Multipel Costae 19
2. 2. 9. Diagnosis Banding Fraktur Multipel Costae 20
BAB III KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia yang
1
menyebabkan kematian dalam empat dekade pertama kehidupan. Umumnya pada trauma
toraks, trauma tumpul lebih sering terjadi dibandingkan trauma tajam. Meskipun demikian
hanya 15% dari seluruh trauma toraks yang memerlukan tindakan bedah karena sebagian besar
kasus dapat ditatalaksana dengan tindakan sederhana seperti chest tube.2

Trauma toraks sering terjadi pada pengendara kendaraan bermotor roda dua akibat
trauma tumpul toraks. Fraktur costae merupakan kasus yang banyak terjadi dan terdeteksi
sekitar 10%.3 Kasus fraktur costae baik tunggal maupun multipel paling sering terjadi pada
orangtua sebesar 12%. Fraktur costae dapat memengaruhi organ lainnya seperti paru,
mediastinum dan organ abdomen. Komplikasi paling sering pada pasien dengan fraktur costae
multipel yaitu hemotoraks dan pneumotoraks sekitar 32%. 1

Posisi dari fraktur costae mempermudah identifikasi potensial cedera spesifik suatu
organ. Seperti fraktur costae posisi bawah dicurigai adanya masalah pada organ abdomen, kiri
bawah organ limfa, kanan bawah organ hati, serta fraktur costae 11 dan 12 masalah pada ginjal.
Fraktur costae pertama digambarkan memiliki hubungan yang erat dengan cedera tulang
belakang atau vaskular dan memiliki risiko tinggi kematian. Sedangkan, fraktur costae bawah
dengan fraktur pelvis dikaitkan dengan insidensi cedera organ solid.4

Fraktur multipel costae dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal napas.
Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan fragmen, ekimosis dan
juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat inspirasi dan pasien berusaha untuk
mengurangi gerakan rongga dada yang berakibat pada hipoventilasi. Faktor–faktor tersebut
menyebabkan penurunan lung compliance hingga hipoksemia) maka penanganan kegawatan
sangat diperlukan.1

Makalah ini dibuat untuk mengetahui salah satu trauma toraks yakni fraktur multipel
costae. Morbiditas dan mortalitas akibat fraktur costae diketahui berkaitan erat dengan
penyebab cederanya. Oleh karena itu, penting sekali mengetahui prinsip diagnosis dan
penatalaksanaanya secara efektif sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
pada kasus fraktur costae.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Anatomi dan Fisiologi Toraks

A. Anatomi Toraks

Toraks (rongga dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara leher dan abdomen. Toraks
terdiri dari dinding toraks dan kavum toraks. Toraks dibentuk oleh tulang dada (os sternum)
di bagian depan, 12 ruas tulang punggung (vertebra thoracalis) di bagian belakang dan 12
pasang tulang costae (os costae) yang membatasi di sisi kiri-kanan rongga dada. 5
Bentuk rongga dada menyerupai kerucut, di atas dan bawah kerucut ini terdapat pintu rongga
yang masing-masing disebut apertura superior meliputi esofagus, trakea, sejumlah
pembuluh darat dan syaraf, serta apertura inferior yaitu rongga sebelah bawah.
Fungsi toraks sebagai berikut:5
a. Melindungi organ-organ tubuh seperti tersebut di atas
b. Tempat bertambatnya otot-otot gelang bahu dan sebagai otot-otot spinal
c. Mekanisme gerakan pernafasan lebih baik, oleh karena kontruksi dan struktur sendi dan
tulang rawan costae yang ada disini.
d. Tempat bersandarnya gelang bahu dan anggota atas.

Gambar 1. Anatomi Kerangka Dinding Toraks

2
Tulang Costae (Os Costae)

Dua belas (12) pasang tulang costae dalam tubuh manusia merupakan dinding dari toraks yang
melindungi organ-organ yang berada di dalamnya. Tujuh pasang tulang costae yang teratas
berhubungan langsung dengan os sternum melalui rawan costae (cartilago costalis). Oleh
karenanya, ketujuh pasang costae ini dinamakan rusuk sejati (costae fluctuamtus). 5

Pada tiap costae terdapat:

1. Ujung belakang yang berhubungan dengan vertebrae thoracalis, dinamakan kepala tulang
costae (capitulum costae)

2. Di belakang capitulum terdapat bagian yang menyerupai leher, dinamakan leher tulang costae
(collum costae)

3. Ke sebelah belakang sedikit dari collum ini terdapat tonjolan kecil yang disebut tuberculum
costae

4. Bagian yang merupakan batang dinamakan badan tulang costae atau corpus costae

5. Di antara corpus dan collum terdapat lengkungan sudut maka bagian ini dinamakan sudut
tulang costae (angulus costae)

Gambar 2. Anatomi Tulang Costae

Tulang costae terdiri 12 pasang, 7 pasang (Costae ke-1 sampai ke- 7) langsung berhubungan
dengan sternum (true ribs), 3 pasang (costae ke–8 sampai ke–10) di bagian anterior menyatu di sternum

3
(false ribs) dan 2 pasang (costae ke–11 dan ke–12) di bagian anterior bebas, tidak menyatu dengan
sternum (floating ribs). Saat inspirasi costae ke–1 relatif tetap tidak bergerak, costae ke–2 sampai ke–
6 bergerak ke atas dan ke depan (diameter antero–posterior rongga toraks bertambah), costae ke–7
sampai ke–10 bergerak ke atas dan ke luar (meningkatkan diameter lateral rongga toraks). Di antara
tulang costae terdapat muskulus interkostalis, arteri, vena dan nervus interkostalis. Rongga toraks di
bagian puncak (apeks) mengecil (mengerucut) berukuran lebar 10 cm dan jarak antero–posterior 5 cm
membentuk suatu kubah (thoracic inlet). Daerah ini berisi organ penting yang dilindungi oleh tulang
costae–1, manubrium sterni, vertebra torakal ke–1 dan klavikula. Di dalam thoracic inlet berisi (1)
pleksus brakialis, (2) arteri dan vena subklavia, (3) vena kava superior, (4) nervus frenikus, (5) duktus
torasikus, (6) esofagus, dan (7) trakea.2

Gambar 3. Anatomi Rongga Toraks

Di dalam cavitas thoracis terdapat pulmo, pleura dan mediastinum. Mediastinum sendiri adalah
struktur yang terletak di bagian tengah cavitas thoracis, berada di antara pleura parietalis sinister dan
pleura parietalis dexter (pleura mediastinalis sinister et dexter). Meluas dari sternum di bagian ventral
sampai columna vertebralis di bagian dorsal. Di sebelah cranial dibatasi oleh apertura thoracis superior,
dan di bagian caudal dibatasi oleh apertura thoracis inferior. 5
Di dalam mediastinum terdapat mediastinal dan jantung, pembuluh darah besar (aorta, arteri dan
vena), trachea, oesophagus, nervus vagus, nervus phrenicus, ductus thoracicus, kelenjar thymus,
lymphonodus paratrachealis, jaringan ikat. Oleh suatu bidang horizontal, yang melalui angulus
sternalis Louisi dan tepi caudal corpus vertebrae thoracalis IV, mediastinum dibagi menjadi dua bagian,

4
yaitu mediastinum superius dan mediastinum inferius. Mediastinum inferius dibagi menjadi
mediastinum anterius yang berada di sebelah ventral pericardium, mediastinum medius yang ditempati
oleh pericardium dan mediastinum posterius yang terletak di sebelah posterior pericardium.5

Gambar 4. Bagian Rongga Mediastinum

B. Fisiologi Toraks

Menurut Guyton untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi
empat mekanisme dasar, yaitu : 6

a. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan atmosfer.

b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

c. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel.

d. Pengaturan ventilasi

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas tenang, tekanan
intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan,
inspirasi menurun sampai - 6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang
5
dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam
paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana
tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan
seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru.6

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks
berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan
intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.6

Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveoli ke dalam
pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah
yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi
gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah
proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru
dengan bantuan aliran darah.6

2. 2. Fraktur Multipel Costae

2. 2. 1. Definisi dan Epidemiologi

Fraktur adalah rusaknya kontuinitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal
yang lebih besar dari yang diserap oleh tulang. Fraktur multipel costae merupakan keadaan
dimana terjadi hilangnya atau terputusnya kontuinitas jaringan dua tulang atau lebih dari satu
garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal. Fraktur multipel costae salah satu trauma tumpul
toraks yang dapat menyebabkan kegawatdaruratan toraks akut. 3

Berdasarkan Western Trauma Association (WTA) kematian pada orang dewasa akibat
cedera patah tulang rusuk yang melibatkan kepala, perut dan ekstremitas sekitar 10%. Fraktur
costae memiliki hubungan erat dengan penyebab cedera, jumlah tulang costae yang patah serta
komplikasi yang meningkat seiring dengan jumlah tulang costae yang patah. 7

Fraktur costae meningkat sesuai dengan pertambahan umur, dimana kasus orangtua
dengan umur lebih dari 65 tahun berisiko mortalitasnya mencapai lima kali serta peningkatan
insidens terjadinya pneumonia. Pneumonia berhubungan dengan jumlah costae yang patah
6
karena setiap penambahan tulang costae yang patah akan meningkatkan mortalitas dan
pneumonia sekitar 20%.7 Selanjutnya, insidens fraktur costae pada anak-anak lebih rendah
daripada dewasa dikarenakan tulang costae pada anak-anak masih cukup lentur dan diperlukan
tenaga besar sehingga terjadinya fraktur costae pada anak-anak.8
2.2.2 Etiologi dan faktor Resiko
Fraktur tulang costae bisa terjadi secara traumatik atau atraumatik. Sebagian besar fraktur
costae terjadi akibat adanya benturan secara langsung atau trauma tumpul pada daerah dada.
Tulang costae ke–4 sampai ke–9 adalah area yang paling sering terjadi fraktur. Fraktur costae
dapat menyebabkan hematopneumotorak dimana darah yang dihasilkan oleh setiap patahan
tulang costae dapat mencapai 100–150 mL. 7

Fraktur costae ke–1 dan ke–2 diketahui dapat terjadi akibat benturan yang besar karena
kedua tulang costae tersebut dilindungi oleh otot–otot yang cukup tebal. Tempat yang paling
sering terjadi fraktur pada costae ke–1 adalah di daerah sulkus subklavia dan di bagian posterior.
Sementara itu, costae ke-11 dan ke-12 lebih mobile dan lebih sulit untuk dipatahkan.7

Pada orangtua, kasus jatuh merupakan penyebab utama dari fraktur costae dan
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang lebih besar dibandingkan dewasa muda.
Fraktur costae juga bisa terjadi secara patologis akibat metastasis kanker dari organ lain. Pada
atlet, fraktur costae terjadi akibat melalui stress berulang dan microtrauma.7

Fraktur costae spontan dapat terjadi akibat batuk yang berat dan cenderung memiliki
penyakit lain seperti osteoporosis atau penyakit paru yang mendasarinya. Pada kasus anak,
tulang costae pada anak-anak cenderung lebih elastis dibandingkan dewasa.7 Apabila terdapat
kasus anak dengan fraktur costae dapat dicurigai adanya kekerasan terhadap anak. 8

Faktor risiko yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas pada fraktur costae
menurut Coary, yaitu: 9

1. Usia, pasien berusia > 65 tahun memiliki kematian 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan
usia dibawahnya pada kondisi fraktur costae lebih dari dua. Kemudian, pasien dengan
komorbid dan kondisi paru-paru yang buruk (misal: perokok) sering menjadi faktor
penyulit. Faktor pemulihan juga bisa menjadi terhambat disebabkan osteoporosis dan
sistem pernafasan yang buruk yang dapat dilihat dari masa rawat inap.

2. Jumlah patah tulang, dari beberapa penelitian metaanalisis diperoleh hasil jumlah
absolut fraktur tulang costae yang berjumlah >2 memilik dua kali lebih kemungkinan
meninggal dunia dibandingkan pasien dengan 1-2 fraktur tulang costae.

7
3. Posisi anatomi patah tulang, Fraktur costae bilateral memiliki resiko kematian lebih
tinggi dimana segmen flail chest menghasilkan gerakan paradoks yang menyebabkan
pergerakan dinding dada mengarah kedalam saat inspirasi sedangkan tulang costae
yang sehat bergerak keluar sehingga ventilasi tidak adekuat dan terjadi depresi
pernafasan dan kematian.

2. 2. 3. Patofisiologi
Pada keadaan normal dinding dada melindungi struktur sensitif dengan mengelilingi
organ-organ internal dimana struktur osseus yang keras meliputi tulang costae, clavicula,
sternum dan skapula. Dinding dada yang utuh diperlukan untuk respirasi secara normal.
Fraktur tulang costae dapat membahayakan ventilasi dengan berbagai macam mekanisme.
Nyeri dari fraktur costae dapat menyebabkan respiratory splinting sehingga akibatnya
terjadi atelektasis dan pneumonia. Pada kasus fraktur costae multipel segmental (flail chest),
adanya segmen yang mengembang (flail) menyebabkan gangguan pergerakan otot
costovertebral dan diafragma sehingga terjadi gerakan napas paradoksal. Fungsi ventilasi
menurun menyebabkan penurunan oksigen dan peningkatan karbonmonoksida akibatnya
pasien sesak napas. Selain itu, gerakan fragmen costae yang patah menimbulkan gesekan
antara ujung fragmen dengan jaringan sekitarnya yang mana menstimulasi sistem saraf
sehingga terasa nyeri di dada.7
Fragmen tulang costae yang retak juga dapat bertindak dalam penetrasi suatu organ yang
menyebabkan terjadinya hemothorax atau pneumothorax. Diketahui area paling sering
mengalami cedera yaitu fragmen tulang costae yang mengalami fraktur atau pada sudut
posterior (area terlemah secara struktural) tulang costae ke- 4 sampai ke-9. Sementara itu,
untuk Mekanisme cedera tulang costae pertama diketahui dapat disebabkan oleh kecelakaan
bermotor yang mengalami kontraksi besar dari otot scalene akibat gerakan kepala dan leher
yang bergerak kedepan. 10

2.2. 4. Manifestasi Klinis


1. Sesak nafas
Pada fraktur costae terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur ke rongga pleura sehingga
mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada lalu dapat terjadi
penumothoraks dan hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan ventilasi ditandai dengan
sesak nafas.
2. Tanda-tanda insufisiensi pernapasan: Sianosis, Takipnea
Pada fraktur costae terjadi gangguan pernapasan yang disertai meningkatnya CO2 dalam
8
darah dan bermanifetasi terjadinya sianosis.
3. Nyeri tekan pada dinding dada
Nyeri pada fraktur costae terjadi akibat terdorongnya ujung-ujung fraktur masuk ke rongga
pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada
dan terjadi stimulasi pada saraf mengakibatkan terjadinya nyeri tekan pada dinding dada.
4. Gerakan nafas paradoksal
Gerak paradoksal terjadi akibat adanya fraktur costae yang multiple, yaitu adanya garis
patahan lebih dari satu dan terjadi di beberapa costae (kurang lebih 3 costae) dan
mengakibatkan adanya Flail Chest. Costae yang biasanya menempel atau terhubung dengan
costae lainnya oleh dikarenakan fraktur costae multiple maka coste tidak lagi terhubung
dengan rongga dada. Akibat tidak lagi terhubung dengan rongga dada, maka saat bernafas
seharusnya rongga dada mengembang maka daerah yang terkena flail chest tersebut tidak
bergerak dan mempertahankan posisinya sehingga seperti bergerak ke dalam. Sedangkan saat
Ekspirasi, rongga dada seharusnya mengempis tetapi daerah yang terkena flail chest tetap
mempertahankan posisinya sehingga terlihat seperti menonjol keluar.11
2.2. 5. Klasifikasi Fraktur Costae
Berikut ini beberapa klasifikasi Fraktur Costae:12

1. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :


- Fraktur simple
- Fraktur multiple
2. Menurut jumlah fraktur pada setiap costa:
- Fraktur segmental
- Fraktur simple
- Fraktur comminutif
3. Menurut letak fraktur dibedakan :
- Superior (costa 1-3 )
- Median (costa 4-9)
- Inferior (costa 10-12 )
4. Menurut posisi:
- Anterior, garis vertikal dari perpotongan batas posterior m. pektoralis mayor dan tulang
costae kedua
- Lateral, antara garis aksila anterior dan posterior
- Posterior, posterior ke garis aksila posterior (garis vertikal melalui ujung skapula)

9
2.2. 6. Diagnosis

Penegakkan diagnosis pada pasien dengan fraktur multipel costae dapat dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
mekanisme trauma baik itu trauma tajam atau tumpul yang mengenai toraks.

Pemeriksaan fisik
1. Airway
- Look → benda-benda asing di jalan nafas, fraktur tulang wajah, fraktur laring, fraktur
trakea
- Listen → dapat bicara, mengororok, berkumur-kumur, stridor
- Feel
2. Breathing
- Look → Pergerakan dada (Asimetris/simetris), warna kulit, memar, deformitas, gerakan
paradoksal.
- Listen → vesikuler paru, suara jantung, suara tambahan
- Feel → krepitasi, nyeri tekan
3. Circulation
- Tingkat kesadaran
- Warnakulit
- Tanda-tanda laserasi
- Perlukaaan eksternal
4. Disability
- Tingkat kesadaran
- Respon pupil
- Tanda-tanda lateralisasi
- Tingkat cedera spipnal
5. Exposure
Apabila terdapat tanda-tanda vital abnormal seperti hipoksia, takipneu, atau tanda-tanda
distress pernapasan lain, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk evaluasi kemungkinan
terjadi pneumothoraks, hemothoraks, serta kontusio jantung dan paru. Pemeriksaan rontgen dapat
digunakan untuk mendiagnosa fraktur costae secara cepat, namun rontgen hanya dapat
mendiagnosa sekitar 50% dari fraktur costae yang terisolasi. Pemeriksaan penunjang yang menjadi
gold standard untuk fraktur costae adalah CT Scan. Meskipun fraktur yang terdeteksi belum tentu
bermakna secara klinis. Melalui CT Scan, kita dapat menilai kebutuhan fiksasi costae berdasarkan
10
derajat keparahan secara anatomis. Adapun pemeriksaan lain seperti EKG, monitor laju nafas,
analisa gas darah, pulse oksimetri.

2. 2. 7. Tatalaksana Fraktur Costae Multipel

Manajemen fraktur costae dibagi menjadi 4 area yakni kontrol kerusakan, manajemen nyeri,
fiksasi interna dan kualitas hidup.

A. Tatalaksana Trauma

Tatalaksana pasien dengan fraktur costae multipel pertama sama dengan kasus trauma pada
umumnya, antara lain

▪ Primary survey

1. Airway
a. Memastikan jalan napas bebas dengan cara mendengar suara napas pasien. Apabila ada bunyi
tambahan cek sumbatan sesuai bunyi:
- stridor: sumbatan anatomis seperti edema laring, dapat dibebaskan dengan intubasi
- gargling: sumbatan cairan atau darah, dapat dibebaskan dengan suction
- snoring: kemungkinan lidah jatuh, dapat dibebaskan dengan jaw thrust dan chin lift atau
pemasangan OPA
- suara serak: sumbatan pada laring atau trakea
b. Menilai adanya trauma cervical atau tidak
c. Memasangkan proteksi leher seperti C-spine apabila terdapat trauma leher atau maksillofacial

2. Breathing
Penilaian breathing dapat dilakukan dengan periksa cepat look, listen, feel.

a. Look: Nilai kesimetrisan gerakan kedua dinding dada. Apabila salah satu segmen dinding dada
yang gerakannya tertinggal, curiga flail chest.
b. Listen: Auskultasi suara jantung dan paru. Apabila terdapat penurunan suara vesikuler, curiga
adanya pneumonia atau hemothorax.
c. Feel: Palpasi seluruh dinding dada. Raba apakah terdapat fraktur costae atau tidak. Apabila
teraba fraktur, nilai krepitasi.

Management:

- Pemberian oksigen
- Pemberian analgetik → mengurangu nyeri dan membantu pengembangan dada.
- Blok nervus interkostalis → digunakan untuk mengatasi nyeri berat akibat fraktur costae
11
3. Circulation
Perfusi jaringan dapat memberi petunjuk keadaan pasien, terutama apabila pasien cenderung
mengalami syok. Perfusi jaringan dapat dinilai dengan cara melihat:

a. Kesadaran pasien
b. Akral pasien: Apabila sianosis mengindikasikan gangguan perfusi
c. Irama jantung: Apakah terdapat takikardia atau tidak
d. Nadi: Pada perabaan, apabila teraba lemah dapat mengarah ke perfusi jaringan yang tidak
adekuat
e. Tekanan darah: Apabila terdapat penurunan sistolik hingga <90 mmHg, pasien mengalami
syok.

Management:

- Penekanan langsung sumber perdarahan eksternal


- Pasang kateter IV dua jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, golongan darah dan analisa gas darah.
- Beri cairan kristaloid 1-2 L dengan tetesan cepat pemberian cairan awal
- Pemasangan kateter urin untuk monitoring indeks perfusi jaringan
- Transfusi darah j→ jika perdarahn masif dan tidak respon terhadap
4. Disability
Meliputi: a. Tingkat kesadaran b. Respon pupil c. Tanda-tanda lateralisasi d. Tingkat cedera
spinal e. Kaji refleks cahaya, pupil, Babinski.
5. Eksposure
Meliputi: a. Buka pakaian pasien tetap pertahankan suhu tubuh pasien agar tidak mengalami
hipotermi. b. Kaji DOTS (Deformitas, Open Wounds, Tenderness, dan Swelling).
▪ Resusitasi fungsi vital dan Re-evaluasi
Meliputi anatara lain:
- Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal
- Nila perfusi organ → nadi, warna kulit, kesadaran, produksi urin, awasi-tanda-tanda syok)
▪ Secondary survey
1. Anamnesis → AMPLE dan mekanisme trauma
2. Pemeriksaan fisik → kepala dan maksilofasial, vertebra servikal dan lehe,
thorax, abdomen, perineum, muskuloskeletal, neurologis, reevaluasi penderita.

12
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:

1. Rontgen standar
a. Rontgen rhorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hemothoraks dan
pneumothoraks ataupun kontusio paru, dan untuk mengetahui jenis dan letak fraktur.
b.Foto oblique untuk mengetahui fraktur multiple
2. EKG
3. Monitor laju pernapasan
4. Pemeriksaan Laboratorium (analisa gas darah), pulse oksimetri dan laju nafas

B. Manajemen Nyeri

Tatalaksana nyeri untuk fraktur multipel costae berbeda sesuai dengan derajat keparahannya yang
diukur menggunakan Rib Score:

Rib Score = (Patahan x Sisi) + Faktor Usia

● Patahan: Jumlah fraktur


● Sisi: Unilateral = 1, Bilateral = 2
● Faktor Usia:

< 50 Tahun = 0

51-60 Tahun = 1

61-70 Tahun = 2

71-80 Tahun = 3

>80 Tahun = 4

Untuk manajemen nyeri, apabila didapatkan skor 3-6, dapat diberikan tatalaksana
konservatif dengan analgesik. Western Trauma Association (WTA) merekomendasikan
pemberian parasetamol, baik secara oral maupun intravena. Apabila nyeri belum berkurang,
pemberian parasetamol dapat dibarengi dengan NSAID, baik secara oral maupun intravena.
Pemberian parasetamol dan NSAID dapat mengurangi kebutuhan analgesik opioid. 1

Jika skor 7-10, dapat diberikan analgesik opioid yaitu morfin secara intravena dengan dosis
0.1-0.2 mg/kgBB dengan titrasi. Apabila nyeri sudah berkurang, morfin dapat diberikan dalam
tablet lepas lambat dengan dosis 10-20 mg dua kali sehari atau dcostaenti dengan parasetamol
dan NSAID. Sedangkan, pada pasien dengan skor 11-15 dapat diberikan morfin intravena dengan
Gabapentin.1

13
Untuk pasien dengan skor >15 dapat dipertimbangkan pemberian anestesi regional dengan
pilihan anestesi blok serratus anterior, blok paravertebral, atau epidural thorakal. Perlu
dipertimbangkan juga keperluan pasien untuk fiksasi interna. 1

Gambar 5. Algoritma Manajemen Nyeri Fraktur Multiple Costae

Teknik anastesi regional

▪ Epidural thorakal

Pemberian analgetik epidural diberikan apabila analgesia opiod tidak adekuat. Pasien dengan
fraktur costae yang lebih tinggi, multilevel atau bilateral, flail chest, drainage intercostal,
gangguan pernapasan akibat nyeri sekunder. 1

Beberapa penelitian retrospektif dan percobaan prospektif menujukkan adanya peningkatan


fungsi paru termasuk volume tidal dan maximal inspiratory force, peningkatan analgesia dengan
outcome yang lebih baik secara keseluruhan dibandingkan pengobatan opioid sistemik. 1

Saat pemberian analgesia secara epidural toraks costae, ketika insersi idealnya dibagian
tengah tulang costae yang patah. Berikut ini pilihan anaestesi lokal, loading dose bersama regimen
infusnya. 1

14
Penambahan opioid misalnya diamorphine, terbukti sangat bermanfaat, terutama pada kasus-kasus
yang tidak efektif dengan pemberian epidural saja. Namun, jumlah tulang costae yang patah, cedera yang
menyertai, usia, komorbiditas, dan status hemodinamik semuanya akan berdampak pada volume anestesi
lokal yang digunakan, penambahan opioid, dan kecepatan awal infus. Selama durasi epidural toraks,
luasnya blok (baik sensorik dan motorik) perlu dipantau setiap 4 jam meliputi termasuk tekanan arteri dan
denyut nadi dan saturasi oksigen. 1

▪ Blok paravertebral

Injeksi anestesi lokal ke dalam ruang paravertebral toraks yang memberikan blok sensorik, motorik,
dan simpatis secara unilateral. Paravertebral space berhubungan dengan epidural space di medial dan
intercostal space di lateral dan dengan volume yang adekuat yang menyebar ke kaudal dan kranial sehingga
mencakup minimal lima sensory dermatom. Satu kateter bisa memberikan efek pada enam tulang costae
yang fraktur berturut-turut, kateter kedua bisa di insersi lebih dari level ke enam atau fraktur bilateral, atau
kontraindikasi thoracic epidural. Insesi pada bagian vertebrae idealnya tepat setinggi di bagian tengah yang
fraktur costae.

Rekomendasikan bolus 40 ml levobupivacaine 0,25%, diikuti dengan infus levobupivacaine 0,1%


pada 5-10 ml h-1 melalui elastomeric pump. Infus dapat dilanjutkan hingga 7 hari. Blok multipel atau
bilateral dapat dilakukan, tetapi pastikan anestesi lokal dalam batas aman. Memiliki efektifitas yang sama
dengan epidural toraks tanpa banyak kontra indikasi, komplikasi dan efek samping. 1

▪ Serratus plane block

Anestesi regional pada hemithoraks untuk operasi pada dinding dada anterolateral. Serratus plane
block digunakan sebagai alternatif dari paravertebral block dan thoracic block. Injeksi diberikan
menggunakan bantuan USG untuk identifikasi costae 5 di garis midaxilla. Anestesi diberikan pada
serratus plane yang terletak diantara latissimus dorsi dan m. serratus anterior, sekitar 1-2 cm di bawah
kulit, dengan a. thoracodorsal melewati di atasnya. Anestesi yang direkomendasikan adalah
levobuvipacaine 0.25% dalam bolus 40 ml. 0.1% levobuvipacaine dalam kecepatan 5-10 ml/jam yang
diberikan melalui pompa elastomerik dapat bekerja selama 7 hari apabila tidak ada tanda infeksi. 1

Serratus plane block mudah dikerjakan dan merupakan anestesi superfisial yang diberikan saat
pasien dalam posisi supine, sehingga meminimalisir perubahan posisi pasien seperti miring atau duduk.
Karena posisi saat pemberiannya, jenis anestesi ini cocok untuk pasien fraktur costae yang berhubungan
dengan trauma spinal atau trauma kepala, yang termasuk kontraindikasi paravertebral block dan epidural
15
block. 1

C. Fiksasi Interna

Tidak semua pasien fraktur multipel costae dapat dibantu dengan fiksasi interna. Apabila
fraktur terjadi pada costae 1-3 maka pasien tidak memerlukan fiksasi interna. Hal ini karena letak
costae 1-3 yang posisinya berada di dalam, sehingga sulit untuk diekspos dan memiliki mobilitas
rendah. Karena letaknya yang tinggi, fraktur pada costae 1-3 jarang atau hanya sedikit
menimbulkan masalah pada pernapasan. Costae 1-3 juga mempunyai pembuluh darah dan
jaringan saraf yang penting, sehingga risiko operasi menjadi tinggi. Maka dari itu, fiksasi interna
tidak direkomendasikan pada pasien dengan fraktur pada costae 1-3, kecuali jika fraktur
berdampak pada pembuluh darah dan jaringan saraf. 1

Fraktur pada costae 11-12 juga tidak direkomendasikan untuk dilakukan fiksasi interna,
kecuali fraktur berdampak pada hepar atau lien. 1

Stabilitas thorax secara umum dipertahankan oleh costae 4-10, sehingga fiksasi interna harus
didahului pada area ini. Apabila bagian tengah costae sudah stabil dan immobile, dislokasi dan
mobilitas costae di atasnya serta risiko cedera organ lain akan berkurang. Namun apabila
pemasangan fiksasi interna memerlukan insisi yang panjang atau akan lebih banyak jaringan ikat
yang terdampak, pemasangan fiksasi interna tidak direkomendasikan meskipun fraktur berada
pada costae 4-10. 1

Pemasangan fiksasi interna juga direkomendasikan pada fraktur costae posterior kiri 5-9
apabila terdapat risiko patahan fraktur dapat menusuk aorta dan menyebabkan ulkus pada aorta.
Selanjutnya, material yang digunakan untuk fiksasi interna pada umumnya berbahan besi, yang
tidak elastis, sehingga fiksasi interna dapat meningkatkan rasa tidak nyaman postoperatif. Indikasi
klinis yang dapat dilakukan rib fixation dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

16
Gambar 6. Indikasi Klinis Fiksasi Interna

Dengan adanya perkembangan dalam teknik bedah mikroinvasif yang dapat diintegrasikan ke
dalam fiksasi bedah internal, kita dapat melindungi fungsi dari otot dan jaringan sendi sejauh mungkin.
Dapat diketahui insisi mikroinvasif memiliki kerusakan yang lebih kecil dan dapat mencerminkan nilai
pembedahan sebagai pilihan analgesik dan pereda nyeri yang lebih efektif. Seperti teknik minimally
invasive osteosynthesis (MIO) (Figure 2), biological osteosynthesis (BO), dan minimally invasive plate
osteosynthesis (MIPO) (Figure 3) yang memberikan keuntungan dalam meminimalisir cedera pada
jaringan. 12

17
Gambar 7. Teknik Pembedahan Fraktur Costa

18
2.2.8 Komplikasi

1. Flail chest

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi akibat fraktur costae adalah flail chest. Flail
chest dapat terjadi apabila dua costae atau lebih mengalami fraktur dan patahannya
berada di dua tempat yang berbeda. Flail chest mengakibatkan salah satu segmen
dinding dada bergerak dengan irama yang terpisah dari segmen lainnya.13

2. Gagal napas akut

Penurunan kemampuan bernapas pada pasien fraktur multiple costae pada umumnya
terjadi akibat kontusio dan nyeri paru. Pasien dapat mengalami gagal napas akut akibat
usaha napas yang tidak adekuat serta penurunan compliance paru sehingga dapat terjadi
hipoksemia hingga gagal napas akut. Apabila pasien mengalami kegagalan ventilasi,
alat bantu napas seperti ventilasi mekanik dan stabilisasi operasi mungkin dibutuhkan.
13

3. Pneumonia

Bagian dari costae yang patah atau bagian dari patahan costae yang berpindah tempat
atau displaced dapat menyebabkan nyeri hebat akibat penekanan respirasi yang dapat
menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Pneumonia merupakan salah satu komplikasi
yang sering muncul dan dapat bervariasi tergantung pada patah tulang costae dan usia
pasien. 13

4. Kontusio Paru

Trauma tumpul thoraks menyebabkan kontusio paru merupakan kasus yang sering
terjadi dari semua pasien yang masuk rumah sakit dengan angka kematian. Fraktur
costae selalu berhubungan dengan kontusio paru. Fraktur Multiple Costae ditemukan
menjadi faktor predisposisi atau faktor penyebab terjadinya penurunan fungsi paru dan
compromised ventilation. 13

5. Pneumothoraks

Adanya akumulasi udara dalam rongga pleura yang menekan paru-paru dapat dilihat
pada pemeriksaan diagnostik foto polos thoraks. Pneumothoraks adalah suatu kondisi
adanya udara yang terperangkap di rongga pleura akibat robeknya pleura viseral, dapat
terjadi spontan atau karena trauma yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
19
negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Pneumothoraks
terjadi karena trauma tumpul atau tembus thorak. Dapat pula terjadi karena robekan
pleura viseral yang disebut dengan barotrauma atau robekan pleura mediastinal yang
disebut dengan trauma trakheobronkial. 13

6. Hemothoraks

Hemothoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada rongga thoraks dan
memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage. Terakumulasinya darah pada
rongga thoraks terjadi akibat trauma tumpul atau tembus pada thoraks. Sumber
perdarahan umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri mamaria interna. Perlu
diingat bahwa rongga hemothoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehinnga pasien
hemothoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya
kegagalan sirkulasi tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh karena perdarahan
massif yang terjadi terkumpul di dalam rongga thoraks. 13

7. Kerusakan organ visceral

Organ padat yang dapat terjadi akibat fraktur multipel costae termasuk cedera hepar dan
spleen. Fraktur costae bagian bawah lebih berdampak pada organ abdomen dibanding
pada parenkim paru. Fraktur pada costae bagian bawah kiri berhubungan dengan trauma
lien, sedangkan fraktur pada costae bagian bawah kanan berhubungan dengan trauma
hepar. Fraktur pada costae 11 dan 12 berhubungan dengan cedera ginjal. 13

2.2.9 Diagnosis Banding

1. Costochondritis

Costochondritis adalah inflamasi kartilago costal pada artikulasi sternal. Nyeri yang timbul
dapat dikeluhkan pasien sebagai nyeri seperti ditusuk-tusuk. Pada pemeriksaan fisik, dapat
ditemukan nyeri tekan pada palpasi dinding dada, namun tidak ditemukan krepitasi atau teraba
patahan fraktur. Diagnosa juga dapat disingkirkan melalui pemeriksaan rontgen. Pada
costochondritis tidak didapatkan gambaran fraktur pada rontgen thoraks dan gambaran rontgen
thoraks pada umumnya normal.7

2. Kontusio pulmonal

Kontusio pulmonal dapat terjadi pada pasien yang mengalami trauma tumpul thoraks dan
terjadi kerusakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada parenkim paru sehingga
20
terjadi edema paru atau hematoma alveolar serta penurunan fungsi paru. Apabila kontusio
pulmonal ringan, pasien dengan riwayat trauma dapat asimptomatik. Sedangkan pada kontusio
berat, dapat ditemukan hipoksia, takipneu, serta takikardia. Pada auskultasi, dapat ditemukan
penurunan suara napas pada area yang mengalami kontusio. Fraktur costae dapat terjadi
bersamaan dengan kontusio pulmo, terutama pada pasien usia lanjut. 7

3. Fraktur Sternum

Fraktur sternum dapat terjadi akibat mekanisme yang sama dengan fraktur multipel costae.
Gejala yang dialami pasien dengan fraktur sternum dapat berupa sesak napas yang diperberat
dengan menarik napas panjang atau batuk. Namun, pada pemeriksaan fisik, nyeri tekan. 7

21
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur multipel costae merupakan salah satu trauma tumpul toraks yang dapat menyebabkan
keadaan kegawatdaruratan toraks akut. Morbiditas dan mortalitas diketahui berhubungan dengan
penyebab cedera, jumlah tulang costae yang patah, umur serta komplikasi yang meningkat seiring
dengan jumlah tulang costae yang patah. Manifestasi klinis berhubungan dengan fungsi sistem
respiratori dan kardiovaskular seperti pernapasan cepat dan dangkal, krepitasi dan rasa sakit pada
daerah fraktur serta emfisema subkutis. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kunci dalam mengolala kasus ini meliputi tatalaksana
emergency kontrol kerusakan, manajemen nyeri, fiksasi interna dan peningkatan kualitas hidup pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. May L, Hillermann C, Patil S. Rib fracture management. BJA Educ [Internet]. 2016;16(1):26–
32. Available from: http://dx.doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkv011

2. Prasenohadi, Sunartomo T. Penatalaksanaan Pasien Trauma dengan Fraktur Iga Multipel. Maj
Kedokt Ter Intensif. 2012;

3. D C, P O, H D. Management of Multiple Rib Fractures-Results from a Major Trauma Centre


with Review of the Existing Literature. Int J Crit Care Emerg Med. 2020;6(4):1–6.

4. Ian Ayenga Sammy, Hridesh Chatha, Fiona Lecky, Omar Bouamra, Marisol Fragoso-Iñiguez,
Abdo Sattout, Michael Hickey JEE. Are first rib fractures a marker for other life-threatening
injuries in patients with major trauma? A cohort study of patients on the UK Trauma Audit
and Research Network database. Emerg Med J. 2017;34(4):205–11.

5. Cael Christy. Anatomy Functional : Musculoskeletal Anatomy, Philadelpia : Lippincott


Williams & Wilkins Health. 2010.

6. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Elsevier Singapore; 2016.

7. Kevin Kuo AMK. Rib Fracture [Internet]. StatPearls Publishing; 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541020/

8. Kemp AM, Dunstan F, Harrison S, Morris S, Mann M, Rolfe K, Datta S, Thomas DP, Sibert
JR MS. Patterns of skeletal fractures in child abuse: systematic review. 2008;337:a1518.

9. Coary, R., Skerritt, C., Carey, A., Rudd, S., & Shipway D. New horizons in rib fracture
management in the older adult. Age and Ageing,. 2020;49(2), 161.

10. Lee SJ, Chu SJ TS. Isolated Bilateral First-rib Fractures. J Emerg Med. J Emerg Med. 2008;

11. Joshil Vinod Lodhia, Konstantinos Konstantinidis KP. Surgical management of multiple rib
fractures/flail chest. Dep Thorac Surgery, St James Univ Hosp Leeds Teach Hosp NHS Trust.
Vol 11,(No 4).

12. Surgery D of, School. Management of Multiple Rib Fractures. Dep Surg McGovern Med Sch
[Internet]. 2019; Available from: https://med.uth.edu/surgery/management-of-multiple-rib-
fractures/

13. Fabiana Meijon Fadul. Fraktur Multipel Costae. 2019;

23
24

Anda mungkin juga menyukai