Anda di halaman 1dari 61

PRESENTASI KASUS

CEDERA OTAK RINGAN, TRAUMA THORAKS (EMFISEMA SUBKUTIS, CLOSE


FRACTURE COSTAE MULTIPLE, CONTUSIO PULMO), CLOSE FRACTURE
CLAVICULA SINISTRA

Disusun oleh : dr. Tyas Ratna Pangestika

Pembimbing : dr. Budi Susanto, Sp.B

Pendamping : dr. Agung Nugroho

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD DR SOEDIRMAN KEBUMEN

2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penulis menyusun tugas presentasi
kasus yang berjudul “Cedera Otak Ringan, Trauma Thoraks (Contusio Pulmo,
Emfisema Subkutis, Close Fracture Costae Multiple) Close Fracture Clavicula Sinistra”.
Terwujudnya tugas presentasi kasus ini berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Budi Susanto, Sp.B
selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi
masukan-masukan kepada penyusun dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut
membantu dan membimbing penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang
sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dapat
menjadi lebih baik dan sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhoi
kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Kebumen, Oktober 2021

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

CEDERA OTAK RINGAN, TRAUMA THORAKS (EMFISEMA SUBKUTIS, CLOSE


FRACTURE COSTAE MULTIPLE, CONTUSIO PULMO), CLOSE FRACTURE
CLAVICULA SINISTRA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Program Internsip Dokter Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soedirman Kebumen

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Telah diterima dan disetujui


Kebumen, Oktober 2021

Peserta Pendamping

dr. Tyas Ratna Pangestika dr. Agung Nugroho

Pembimbing Materi

dr. Budi Susanto, Sp.B

3
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5

BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................................6

A. IDENTITAS PENDERITA..........................................................................................6

B. PRIMARY SURVEY....................................................................................................6

C. SECONDARY SURVEY..............................................................................................7

BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................................53

BAB V PENUTUP..................................................................................................................57

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................58

BAB I
PENDAHULUAN

Kejadian trauma terjadi ketika adanya perpindahan energi dari luar ke


dalam tubuh manusia. Proses perpindahan energi ini bisa berupa trauma
tumpul atau trauma tajam. Trauma tumpul terjadi saat sebuah energi yang
dipaparkan ke tubuh tidak berbentuk tajam, sedangkan trauma tajam atau
4
trauma tembus adalah trauma yang diakibatkan oleh masuknya suatu objek ke
dalam tubuh dan terkadang menembus hingga menyebabkan kerusakan
jaringan didalamnya. Trauma bisa saja mengenai seluruh bagian tubuh,
seperti kepaala, thoraks, abdomen, ekstremitas dan organ-organ dalam
lainnya. Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks
dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan
kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada
parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan
hematotoraks. (Milisavljevic,et al., 2012). Fraktur klavikula adalah cedera
yang sering terjadi terutama pada usia muda dan individu yang aktif.
Insidensinya sekitar 2.6% dari semua fraktur. Fraktur klavikula merupakan
salah satu cedera tulang yang paling sering, yang jarang memerlukan reduksi
terbuka.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA 

Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 69 tahun 
Alamat : Klegenrejo, Kebumen
Agama : Islam
Suku : Jawa 
Pekerjaan : Swasta
Masuk RS : 20 September 2021 Pukul 15.24 WIB
No. CM : 473444

B. PRIMARY SURVEY

A : Airway

Look : Agitasi (-) Sianosis (-) Retraksi (-) Penggunaan otot nafas tambahan
(-) secret (-) epistaksis (+)

Listen : Stridor (-) Wheezing (-/-) Ronkhi basah kasar (-/-)

Feel : deviasi trakea (-)

Pengelolaan:

 Posisikan pasien dalam keadaan head-tilt, chin lift, atau jaw thrust.

 Pasang suction jika terdapat cairan atau darah yang menyumbat jalan nafas

B : Breathing

Dispnea (+) Kussmaul (-) Thorak simetris (+/+) perkusi sonor (+) wheezing
(-/-) ronkhi basah kasar (-/-), RR 28x/m, SpO2 79% roomair

Pengelolaan:

 Pasang O2 konsentrasi tinggi dengan nasal kanul, NRM, atau face mask

 Mengatasi emfisema subcutis dengan insisi multiple pada bagian kutis


pasien jika memungkinkan

6
 Melakukan pemasangan pulse oximetry untuk evaluasi saturasi pasien

C : Circulation

Takikardi (+) irama nadi regular (+) akral hangat (+) edema (-) sianosis
sentral (-) warna kulit coklat kehitaman

Tekanan Darah: 126/88 mmHg , Heart Rate 111 x/m

Pengelolaan:

 Pemasangan IVFD dengan NaCl 0,9% 20 tpm

 Pemasangan cateter urin untuk memantau balance cairan

 Pengambilan sampel darah pasien

 Menyelimuti pasien untuk mencegah hipotermia

D : Disability

GCS: 15 Composmentis, pupil isokor (+/+) Plegi (-) Parese (-) Fraktur

clavicula sinistra. Jejas (-) Luka (-)

E : Enviroment

Suhu : 36,7 C

C. SECONDARY SURVEY

1. Anamnesa

Pasien datang ke IGD RSUD DR. Soedirman Kebumen dengan keluhan sesak
nafas dan nyeri bahu kiri post KLL antara sepeda motor dan mobil. Pasien
mengaku tidak mengingat kejadian setelahnya. Pasien menyangkal riwayat
penyakit seperti DM dan Hipertensi. Alergi : (-) Medikal : (-) Past Illness : (-)
Last Meal : (-) Environtment : Post KLL dengan sepeda motor

2. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala : Rambut warna hitam, hematom (-), perdarahan (+), VL regio


parietooccipital uk 3x2 cm

7
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), racoon eyes (-/-) edema palpebra (+/+)
pupil isokor (+/+) dislokasi lensa (-/-)

c. Hidung : Deformitas (-) rinorrhea (+)

d. Telinga : Simetris kanan kiri, otorrhea (-)

e. Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab, darah (-)

f. Leher : Deviasi trakhea (-) penggunaan otot tambahan nafas(-)


Pembengkakan (-)

g. Thorax : Pembengkakan (-) Krepitasi (+) regio hemithorax sinistra

Jantung :

- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada sela iga V

- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)

Paru-paru:

- Inspeksi : Simetris, retraksi (-) flail chest (-)

- Palpasi : Vokal fremitus simetris (+)

- Perkusi : Sonor (+/+)

- Auskultasi : Vesikuler (-/-), ronkhi basah kasar (-/-) wheezing (-/-)

h. Abdomen :

- Inspeksi : Hematom (-) , jejas (-)

- Auskultasi : Peristaltik (+)

- Perkusi : Timpani (+)

- Palpasi : Supel (+) Pembengkakan (-) nyeri tekan (-)

i. Ektremitas :

- Superior : Akral hangat (+ /+), edema (-/-) krepitasi (+) di shoulder region
sinistra, VL digiti manus III dextra

- Inferior : Akral hangat (+ /+), edema (-/-) krepitasi (-)

8
Gambar 2.1 Foto Klinis VL Regio Parietooccipital

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 17.30)

9
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Paket Darah Otomatis

Hemoglobin (L) 12 g/dL 13,2 – 17,3

Leukosit (H) 15,6 103 /ul 3,8 – 10,6

Hematokrit (L) 36 % 40 – 52

Eritrosit (L) 4,1 106 /ul 3,80 – 5,20

Trombosit 220 103 /ul 150 – 440

MCH 29 Pg 26 – 34

MCHC 34 g/dL 32 – 36

MCV 86 fL 80 – 100

Diff Count

Eosinofil (L) 0,30 % 2–4

Basofil 0,10 % 0–1

Netrofil (H) 86,60 % 50 – 70

Limfosit (L) 7,70 % 22 – 40

Monosit 5,30 % 2–8

Absolut Neutrofil Count (H) 13,75 103 /ul 1,80 – 8,00

Absolut Limfosit Count 1,22 103 /ul 0,9 – 5,2

Neutrofil Limfosit Rasio 11,27

Golongan Darah O

Masa Perdarahan/BT 2,00 Menit 1–3

Masa Pembekuan 4,00 Menit 2–6

Kimia Klinik

GDS (H) 145 mg/dL 80 – 100

Ureum 38 mg/dL 10 – 50

Creatinin (L) 0,76 mg/dL 0,9 – 1,3

SGOT (H) 69 U/L <37

SGPT (H) 44 U/L <42

Elektrolit

Natrium 3,5

Kalium 10
140

Chloride 113
Tabel 2. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 19.00)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Paket Darah Otomatis

Hemoglobin (L) 10,7 g/dL 13,2 – 17,3

Leukosit (H) 19,5 103 /ul 3,8 – 10,6

Hematokrit (L) 32 % 40 – 52

Eritrosit (L) 3,7 106 /ul 3,80 – 5,20

Trombosit 195 103 /ul 150 – 440

MCH 29 Pg 26 – 34

MCHC 34 g/dL 32 – 36

MCV 87 fL 80 – 100

Diff Count

Eosinofil (L) 0,10 % 2–4

Basofil 0,10 % 0–1

Netrofil (H) 88,10 % 50 – 70

Limfosit (L) 4,20 % 22 – 40

Monosit 7,50 % 2–8

Absolut Neutrofil Count (H) 17,21 103 /ul 1,80 – 8,00

Absolut Limfosit Count (L) 0,81 103 /ul 0,9 – 5,2

Neutrofil Limfosit Rasio 21,25

11
Tabel 3. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 22.00)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Paket Darah Otomatis

Hemoglobin (L) 10,8 g/dL 13,2 – 17,3

Leukosit (H) 19,3 103 /ul 3,8 – 10,6

Hematokrit (L) 32 % 40 – 52

Eritrosit (L) 3,7 106 /ul 3,80 – 5,20

Trombosit 183 103 /ul 150 – 440

MCH 29 Pg 26 – 34

MCHC 34 g/dL 32 – 36

MCV 87 fL 80 – 100

Diff Count

Eosinofil (L) 0,00 % 2–4

Basofil 0,10 % 0–1

Netrofil (H) 90,60 % 50 – 70

Limfosit (L) 3,30 % 22 – 40

Monosit 6,00 % 2–8

Absolut Neutrofil Count (H) 17,52 103 /ul 1,80 – 8,00

Absolut Limfosit Count (L) 0,64 103 /ul 0,9 – 5,2

Neutrofil Limfosit Rasio 27,38

12
b. Radiologi

Gambar 2.2 Rontgen Humerus Sinistra dan Cranium 3 Posisi


Kesan :
- Tak tampak fraktur os humerus sinistra
- Tak tampak fractura pada tulang neurocranium maupun
viscerocranium yang tervisualisasi

Gambar 2.3 Rontgen Ossa Pelvis


Kesan :
Tampak fractura ramus superior os pubis dextra dengan aposisi baik

13
Gambar 2.4 Rontgen Thorax

Kesan :
Contusio Pulmo Sinistra
Fractura complete multiple arcus costa sin 3,4,5,6,7 aposisi sebagian
buruk
Fractura complete os clavicula sinistra 1/3 distal
Emfisema subcutis hemithorax sinistra sampai colli sinistra

4. Diagnosis
- Cedera Otak Ringan
- Trauma Thoraks (Contusio pulmo, close fracture costae multiple,
emfisema subcutis)
- Fraktur klavicula sinistra komplit 1/3 distal

5. Rencana Tindak Lanjut


a. Terapi di IGD
- Rawat luka
- Hecting situasi
- O2 3 – 4 lpm
- Inj ATS extra
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
14
- Inj ketorolac 30 mg
- Inj ranitidine 50 mg
- Inj citicoline 500 mg
- Inj asam tranexamat 500 mg
- Pasang DC  hematuria  irigasi 500 cc  jernih
b. Terapi di Bangsal
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Awasi akut abdomen
- Rawat ICU
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam

6. Follow Up

20/09/2021

(Perawatan hari ke-1 di ICU)

S OS post KLL mengeluh nyeri bahu kiri (+), perdarahan hidung (+), pasien
sadar penuh, sesak (-)

O KU : Tampak lemah, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 132/92 mmHg HR : 108 x/m SpO2 : 99% NRM 15 lpm
RR : 23 x/m S : 36,2⁰C
Kepala : CA +/+ , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting,
epistaksis (+)
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra

15
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - Awasi keadaan umum dan vital sign
- Awasi akut abdomen
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam

21/09/2021

(Perawatan hari ke-2 di ICU)

S OS post KLL mengeluh nyeri bahu kiri (+), perdarahan hidung (-), pasien
sadar penuh, sesak (-)

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 171/84 mmHg HR : 83 x/m SpO2 : 91% on NRM 10 lpm
RR : 19 x/m S : 36⁰C
Kepala : CA +/+ , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting,
epistaksis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam

16
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Diet biasa

22/09/2021

(Perawatan hari ke-3 di ICU)

S OS post KLL mengeluh nyeri bahu kiri (+), sesak (-)

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 169/83 mmHg HR : 105 x/m SpO2 : 100% NRM 10 lpm
RR : 20 x/m S : 36,8⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Diet biasa

17
23/08/2021

(Perawatan hari ke-4 di Bangsal Teratai)

S Nyeri bahu kiri (+), sesak (-), dada kiri terasa sakit jika batuk

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 186/103 mmHg HR : 105x/m SpO2 : 97% NK 3 lpm
RR : 20 x/m S : 36,9 ⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Diet biasa

24/09/2021

(Perawatan hari ke-5 di Bangsal Teratai)

S Nyeri bahu kiri (+), sesak (-)

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 186/69 mmHg HR : 90 x/m SpO2 : 97% NK 3 lpm

18
RR : 18 x/m S : 36,9⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Diet biasa
- Program ORIF Clavicula Sinistra besok pagi
- Puasa

25/09/2021

(Perawatan hari ke-6 di Bangsal Teratai)

S Nyeri bahu berkurang

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 186/109 mmHg HR : 90 x/m SpO2 : 97% NK 3 lpm
RR : 20 x/m S : 36,4⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
19
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra post ORIF
P - Post ORIF Clacivula Sinistra
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Diet biasa

26/09/2021

(Perawatan hari ke-7 di Bangsal Teratai)

S Nyeri bahu berkurang

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 180/77 mmHg HR : 89 x/m SpO2 : 96% room air
RR : 22 x/m S : 36,8⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra

20
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra post ORIF
P - Post ORIF Clacivula Sinistra
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Diet biasa

27/09/2021

(Perawatan hari ke-8 di Bangsal Teratai)

S Nyeri bahu berkurang

O KU : Tampak sakit sedang, GCS 15 (E4M6V5)


TD : 173/81 mmHg HR : 84 x/m SpO2 : 98% room air
RR : 20 x/m S : 36,4⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra

A - Cedera Otak Ringan


- Emfisema subcutis
- Contusio pulmo
- Close Fracture os costae 3,4,5,6,7 sinistra
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra post ORIF
P - BLPL
- Arm sling sinistra
- PO Meloxicam 2 x 7,5 mg
- PO Kalk 1x1 tab

BAB III

21
TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA OTAK RINGAN

A. Definisi
Cedera Otak Ringan adalah cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-
15 yang diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa disertai riwayat hilang kesadaran,
muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus (Servadei et al, 2001).

B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
klasifikasi, yaitu berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi.
Mekanisme Cedera
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan
benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak.
Berat Ringan Cedera
Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari
nilai GCS enam jam pertama atau sesudah resusitasi, dibagi atas 3 kategori :
- Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada
pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
- Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi
kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan
permanen.
- Cedera kepala Berat : GCS 3 – 8
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti,
bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga
dalam hal ini status vegetatif persisten (Nasution, 2014).
Dalam praktek klinis dapat diurai lagi :
- Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran.

22
- Cedera kepala kritis : GCS 3 – 4
- Mati otak/mati batang otak (Brain death/Brainsteam death) : GCS 3 tanpa adanya
fungsi otak/batang otak.

Morfologi
Cedera kepala dapat menimbulkan kelainan struktur kepala dan otak berupa :
Fraktur tulang :
o Kalvaria :
- Linear
- Diastasis
- Depressed
o Basis Kranii :
- Fossa anterior
- Fossa media
- Fossa posterior
Lesi intrakranial :
o Fokal :
- Epidural hematoma
- Subdural hematoma
- Intraserebral hematoma
o Difus :
- Konkusi
- Kontusio Multipel
- Hipoksia/iskemik
- Aksonal injury (Iskandar, 2017)

C. Diagnosis dan Tatalaksana


Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-prinsip
berikut:
- Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
o A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap cervical spine).
o B = Breathing (pernafasan).
o C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).
o D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut
AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive).

23
Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary
survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi
dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level
kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.
o E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan
menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).

- Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai
secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Pemeriksaan Status Generalis
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan
khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka
tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.

24
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita
dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik
mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.
3. Pemeriksaan Status Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan cedera otak ringan GCS 13 – 15
b. Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar &
bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri Tanda-tanda
lesi saraf VII perifer.
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.
e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani (UNAIR, 2016).

Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
CT Scan direkomendasikan pada pasien dengan COR. CT Scan dipilih untuk
evaluasi di UGD. Pada beberapa literatur disebutkan didapatkan kelainan CT
Scan pada 5% pasien dengan GCS 15 dan 30% pada pasien dengan GCS 13.
Insiden kelainan CT Scan yang membutuhkan tindakan bedah 1%. CT Scan
dikerjakan pada pasien COR dengan salah satu kelainan berikut:
- GCS < 15 2 jam setelah cedera
- Curiga fraktur ossa cranium terbuka atau impresi
- Tanda fraktur basis cranii : hemotympanum, racoon eyes, battle’s sign,
kebocoran LCS
- Usia 65 tahun atau lebih
- Dua atau lebih episode muntah

25
- Lupa ingatan sebelum kejadin 30 menit atau lebih
- Mekanisme terjadinya cedera
2. MRI
MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional atau perdarahan
kecil, cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra aksial. Pada pasien COR,
didapatkan sebanyak 15% kelainan MRI yang pada CT Scan-nya normal.
3. CT Scan Whole Body
Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil (UNAIR, 2016).

Tatalaksana
1. Operasi
Bila didapatkan lesi intrakranial yang indikasi untuk dilakukan operasi
(perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral).
2. Konservatif
Pasien COR dirawat di RS pada pasien dengan GCS <15. Selain itu,
pasien dengan CT Scan abnormal seperti perdarahan intrakranial atau
edema serebri. Pasien yang mengalami kejang juga perlu dilakukan
perawatan di RS. Kelainan parameter perdarahan dengan penyebab yang
melatar belakangi seperti pemakaian antikoagulasi oral perlu dirawat
untuk dilakukan monitorin efek samping perdarahan. Saat dirawat di RS,
kepala pasien diposisikan Head Up 30 derajat. Berikan cairan secukupnya
(normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi
hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10
gr/dl. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh
lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik. Berikan obat-
obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan
sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita. Berikan obat-
obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti
ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita
muntah. Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema
atau cedera yang tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan
sebagai bolus 0,5 – 1 g/kgBB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil
berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20% dalam 24 jam.
Penghentian mannitol dilakukan secara gradual. Berikan Phenytoin
(PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan dosis

26
300 mg/hari atau 5-10 mg/kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi
kejang, PHT diberikan sebagai terapi (UNAIR, 2016).

Prognosis
- Ad Vitam (Hidup) : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam (sembuh) : Dubia ad bonam
- Ad Fungsionam (fungsi) : Dubia ad bonam
Prognosis dipengaruhi:
- Usia
- Status Neurologis awal
- Jarak antara trauma dan tindakan bedah
- Edema cerebri
- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan
hematom epidural
- Faktor ekstrakranial (UNAIR, 2016).

TRAUMA THORAKS

A. Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks
dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan
kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya
dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Trauma tumpul
thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks, fraktur tulang
kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru, trauma
pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan hematotoraks.
(Milisavljevic, et al., 2012). Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya
trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma.Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks
38%, hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69%
(Eggiimann, 2001; Jean, 2005).

B. Anatomi Paru

27
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki
peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida
(CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui
sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2
lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain
yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada
paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Di antara lobus –
lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura
obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri
terdapat fissura obliqua. Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh
manusia yang di kenal sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki
fungsi yang sangat vital dan penting, maka cavum thoraks ini memiliki
dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik.
Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum,
dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum
thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk
extremitas superior.

Gambar 3.1 Anatomi Paru


Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru
juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan
embriologi dari coelom extra embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi
28
menjadi tiga yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian
penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan
substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura
yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pleura bagian
penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini
merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura
visceral.
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pleura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula
pleura. Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke
diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke
mediastinum thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan
dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang
melewati apertura thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan
pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan
akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura.
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan
yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat
penting pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru,
dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik
menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka
paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya
ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding
dalam pleura.

C. Etiologi

Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul dan trauma
tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor
(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact)
yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh
karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap
karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma
thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat
energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti
pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks
yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa
menyebabkan pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat,
2003).

29
Gambar 3.2 Pneumothoraks

D. Patofisiologi

Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang dapat
menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress. Kompresi
terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika
jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan pada jaringan kulit
yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Akibat
kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di dalamnya dapat menganggu
fungsi fisiologi dari system pernafasan dannkardiovaskuler. Gangguan faal
pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik.

Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling
sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan
massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan,
otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak
membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang cenderung sedikit
(Milisavljevic, et al). Trauma thoraks yang membutuhkan tindak darurat adalah
obstruksi jalan nafas, hemotoraks massif, tamponade jantung, pneumotoraks
desak, flail chest, pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea bronkus.

30
KONTUSIO PULMO

A. Definisi
Kontusio pulmo didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum
yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru
adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera
tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan
elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam
pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus
yang lebih serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya,
memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan
hipoksia. Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan
cairan kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya.
Kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil
menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang
interstisial paru. Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar
edema, perdarahan, dan robeknya alveoli. Kontusio paru ditandai oleh
microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli yang
traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan pembuluh darah.
Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian edema
terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area perdarahan di
paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah
edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbondioksida berdifusi
melintasi endotelium kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel
alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu
pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan
robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar daerah cedera,
kompromi pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi. Kontusio
paru dapat menyebabkan bagian paru mengalami konsolidasi, kolaps
alveoli, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total) terjadi. Konsolidasi
terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan udara
digantikan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Makrofag,

31
neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa
memasuki jaringan paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai
respon terhadap peradangan, terjadilah hipersekresi mukus, Jika
peradangan ini cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi paru- paru
seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan akut.
Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi
perfusi adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli
(ventilasi) adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi.
Rasio ini menurun pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat
terisi dengan udara, oksigen tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan
darah meninggalkan paru- paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen.
Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari ventilasi mekanis tidak memadai
atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga dapat berkontribusi untuk
ketidakseimbangan ventilasi/perfusi. Sebagai ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi
dapat terjadi pada paru yang mengalami hipoksia, di mana pembuluh darah
di dekat alveoli yang hipoksia mengerut sebagai respons terhadap kadar
oksigen rendah. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
analisis gas darah, rontgen thoraks dan CT Scan.

B. Penatalaksanaan

 Penatalaksanaan Utama: Patensi airway, oksigenasi adekuat, kontrol nyeri


 Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah
cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif menunggu luka
memar paru sembuh.
 Penatalaksanaan pada kontusio ringan
o Nebulisasi
o Postural drainase
o Fisioterapi dada
o Suctioning
o Nyeri: Anastesi Spinal, Opioid
o Oksigenasi 24-36 Jam pertama
o Antibiotik
 Penatalaksanaan pada kontusio sedang
o Intubasi
o Ventilator PEP
o Diuretik
32
o NGT
o Cek Kultur
 Penatalaksanaan pada kontusio berat
o Intubasi Endotracheal
o Ventilator
o Diuretik
o Anti mikrobal
o Pembatasan cairan

EMFISEMA SUBKUTIS

A. Definisi
Emfisema subkutis adalah infiltrasi udara di jaringan subkutis. Kulit terdiri
dari dermis dan epidermis, dengan jaringan subkutan berada di bawah dermis.
Emfisema cubkutan menunjukkan adanya ekstravasasi udara yang menempati area
tubuh yang lebih dalam yang tidak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang.
Walaupun perkembangan klinisnya tidak membahayakan, emfisema subkutis dapat
menyebabkan pneumothoraks, pneumoperitoneum, pneumoretroperitoneum, dan
pneumomediastinum. Udara yang terperangkap di jaringan subkutan akan menyebar
melalui fascia dan dapat menyebabkan gangguan respirasi serta kardiovaskular
(Kukuruza et al, 2021).

B. Etiologi
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh tindakan operasi, trauma, infeksi
atau spontan. Trauma thoraks, cavum sinus, tulang cranium, barotrauma, perforasi
usus atau pulmonary blebs juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema subkutis.
Penyebab iatrogenik dapat disebbakan karena malfungsi atau gangguan sirkuit
ventilator, peningkatan tekanan thoraks saat manuver valsava dan trauma pada jalan
napas. Udara juga masuk ke jaringan subkutan melalui trauma mukosa yang kecil
pada trachea atau faring saat intubasi atau saat overinflasi endotracheal cuff
(Kukuruza et al, 2021).

C. Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang berperan dalam patofisiologi emfisema subkutis adalah :
- Trauma pada pleura parietalis yang memungkinkan lewatnya udara ke dalam
jaringan pleura atau subkutan
- Udara dari alveolus menyebar ke lapisan endovascular dan hilus pulmoner ke dalam
fascia endothoraks
- Udara di mediastinum menyebar ke viscera servikal dan jaringan lain

33
- Udara yang berasal dari sumber eksternal
- Pembentukan gas yang lokal diproduksi akibat infeksi terutama infeksi nekrotikans
(Abu Omar & Catarini, 2002).

D. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis yang lengkap merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk
mengetahui penyebab terjadinya emfisema subkutis serta komplikasi yang dapat
terjadi. Pada pemeriksaan biasanya akan dijumpai krepitasi pada area yang terkena
(Ahmed et al, 2016). Dengan melakukan palpasi pada area emfisema biasanya akan
dijumpai krepitasi dan suara crackling. Walaupun krepitasi bukan tanda
patognomonik terjadinya emfisema subkutis, akan tetapi krepitasi dapat menjadi
tanda adanya udara yang terjebak di fascia penghubung seperti mediastinum atau
pleura (Medeiros, 2018). Emfisema subkutis yang luas dapat menyebabkan
gangguan hemodinamik dan respirasi. Pemakaian kortikosteroid inhalasi juga dapat
meningkatkan resiko trauma pada trachea saat intubasi endotracheal akibat mukosa
yang tipis dan rapuh. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui riwayat pengobatan
pasien terutama pasien asma dan PPOK yang lebih berisiko terkena emfisema
subkutis (Ovari et al, 2014).

E. Imaging
Imaging seperti xray dan CT scan sangat membantu diagnosis. Pada xray thoraks
akan terlihat gambaran radiolusen pada batas luar dinding thoraks atau abdomen.
Kadang dijumpai gingko leaf sign yang muncul berupa garis garis gas yang melewati
musculus pectoralis mayor seperti daun gingko. Pada CT Scan akan ditunjukkan
kantung gelap di jaringan subkutan yang menandakan adanya gas. CT scan lebih
sensitive menunjukkan sumber trauma yang mungkin tidak terlihat pada Xray AP
atau lateral. Pada pemeriksaan menggunakan USG, emfisema akan menunjukkan
daerah hiperekoik (Medeiros, 2018).

F. Tatalaksana
Sumber penyebab emfisema subkutis harus diobati terlebih dahulu karena
berpengaruh pada proses penyembuhan atau resolusi emfisema. Jika faktor pencetus
sudah teratasi, pasien yang tidak mempunyai gejala berat akibat emfisema dapat
hanya dilakukan observasi saja. Emfisema akan mengalami resolusi kurang lebih 10
hari jika sumber penyebabnya sudah dikendalikan (Balaji, 2015). Jika emfisema
menimbulkan ketidak nyamanan pada pasien dapat diberikan oksigen konsentrasi
tinggi. Pada pasien dengan emfisema subkutan yang luas dapat dilakukan insisi

34
infraklavikula +/- 2 cm secara bilateral untuk mengurangi ekspansi udara
(Aghajanzadeh et al, 2015).

FRAKTUR COSTAE

A. Definisi
Fraktur dapat didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas struktural
jaringan baik pada tulang, lempeng epifisis ataupun kartilago. Fraktur costae
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang/tulang rawan yang disebabkan
oleh trauma pada spesifikasi lokasi pada tulang costae. (Salter , 1999). Fraktur
costae akan menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu proses respirasi,
disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan
perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini (Salter, 1999).

B. Etiologi
Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena
tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka
setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costae. Fraktur
costae dapat terjadi dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua belas
pasang costae yang ada, 3 costae pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini
disebabkan karena costae tersebut sangat terlindung. Costae ke 4-9 paling banyak
mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang
sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costae ke 10- 12 juga jarang
mengalami fraktur oleh karena sangat mobile. Pada olahragawan biasanya lebih
banyak dijumpai fraktur costae yang “undisplaced”, oleh karena pada
olahragawan otot intercostalnya sangat kuat sehingga dapat mempertahankan
fragmen costae pada tempatnya (Salter, 1999). Secara garis besar penyebab
fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok (Kilic et al, 2011):
1. Disebabkan trauma
Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan fraktur costae antara lain
kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costae adalah luka
tusuk dan luka tembak.
2. Disebabkan bukan trauma

35
Gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau stress
fraktur seperti pada gerakan olahraga lempar martil, soft ball, tennis dan golf
dapat menyebabkan terjadinya fraktur costae.

C. Patofisiologi
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan, samping ataupun
dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costae, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costae pada dinding
dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costae. Pada trauma
langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costae pada tempat
traumanya. Pada trauma tidak langsung, fraktur costae dapat terjadi apabila
energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costae tersebut.
Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan
belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costae,
dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur
costae yang “displace” akan mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ
dibawahnya. Fraktur pada costae ke 4-9 dapat mencederai arteri intercostalis,
pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya
hematothorax, pneumothorax ataupun laserasi jantung (Ernest et al, 2016).

D. Klasifikasi
Menurut jumlah costae yang mengalami fraktur, fraktur costae dapat
dibedakan menjadi fraktur costae simpel dan multipel. Menurut jumlah fraktur
pada setiap costae dapat dibedakan menjadi fraktur costae segmental, simpel dan
kominutif. Menurut letak fraktur dibedakan menjadi fraktur costae superior
(costae 1-3), median (costae 4-9) dan inferior (costae 10-12). Menurut posisi
dibedakan menjadi fraktur costae anterior, lateral dan posterior. Pada beberapa
kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus flail chest, dimana pada
keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costae atau lebih yang letaknya
berurutan (Ernest et al, 2016)

36
E. Diagnosis

Sebanyak 25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis dan baru
terdiagnosis setelah timbul komplikasi, seperti hematothorax dan
pneumothorax.

Anamnesis

Perlu ditanyakan mengenai mekanisme trauma, apakah oleh karena


jatuh dari ketinggian atau akibat jatuh dan dadanya terbentur pada
benda keras, kecelakan lalu lintas atau oleh sebab lain. Nyeri
merupakan keluhan paling sering biasanya menetap pada satu titik
dan akan bertambah pada saat bernafas. Pada saat inspirasi maka
rongga dada akan mengembang dan keadaan ini akan menggerakkan
fragmen costae yang patah, sehingga akan menimbulkan gesekan
antara ujung fragmen dengan jaringan lunak sekitarnya dan keadaan
ini akan menimbulkan rangsangan nyeri. Apabila fragmen costae ini
menimbulkan kerusakan pada vaskuler akan dapat menimbulkan
hematothorax, sedangkan bila fragmen costae mencederai parenkim
paru-paru akan dapat menimbulkan pneumothorax. Penderita dengan
kesulitan bernafas atau bahkan saat batuk keluar darah, hal ini
menandakan adanya komplikasi berupa adanya cedera pada paru.
Riwayat penyakit dahulu seperti bronkitis, neoplasma, asma,
haemoptisis atau sehabis olahraga akan dapat membantu
mengarahkan diagnosis adanya fraktur costae. Pada anak dapat terjadi
cedera paru maupun jantung,meskipun tidak dijumpai fraktur costae.
Keadaan ini disebabkan costaenya masih sangat lentur, sehingga
energi trauma langsung mengenai jantung ataupun paru-paru (Rasjad,
2009).

Pemeriksaan fisik

Kondisi lokal pada dinding dada seperti adanya plester, deformitas


dan asimetris sangat mengarahkan ke diagnosis, diperlukan juga
pemeriksaan fisik secara keseluruhan yang berkaitan dengan
kemungkinan adanya komplikasi akibat adanya fraktur costae sendiri
maupun penyakit penyerta yang kadang ada. Adanya fraktur costae 1-
2 yang merupakan costae yang terlindung oleh sendi bahu, otot leher
bagian bawah dan clavicula, mempunyai makna bahwa fraktur
tersebut biasanya diakibatkan oleh trauma langsung dengan energi
yang hebat. Pada fraktur daerah ini perlu dipikirkan kemungkinan
adanya komplikasi berupa cidera terhadap vasa dan saraf yang
melewati apertura superior. Pemisahan costocondral memiliki
mekanisme trauma seperti pada fraktur costae. Pemisahan
costocondral atau dislokasi pada artikulasi antara parsosea dengan
parscartilago akan menimbulkan gejala yang sama dengan fraktur
costae dengan nyeri yang terlokalisir pada batas costocondral, apabila
terdapat dislokasi secara komplit akan teraba defek oleh karena ujung
parsoseanya akan lebih menonjol dibandingkan dengan
parscartilagonya. Adapun pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan
antara lain:

a. Nyeri tekan, krepitasi dan deformitas dinding dada.

b. Adanya garakan paradoksal.

c. Tanda – tanda insufisiensi pernafasan (sianosis, takipnea).

d. Kadang akan nampak ketakutan dan cemas karena saat


bernafas bertambah nyeri.

e. Periksa paru dan jantung dengan memperhatikan adanya


tanda-tanda pergeseran trakea, pemeriksaan EKG dan
saturasi oksigen.

f. Periksa abdomen terutama pada fraktur costae bagian


inferior (diafragma, hati, limpa, ginjal dan usus).

g. Periksa tulang rangka (vertebrae, sternum, clavicula dan


fungsi anggota gerak).

h. Nilai status neurologis (plexus brakialis, intercostalis dan


subclavia).

Pemeriksaan penunjang

38
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu
mendiagnosis adanya hematothorax dan pneumothorax ataupun
kontusio pulmonal. Pemeriksaan ini dapat mengetahui jenis dan letak
fraktur costaenya. Pemeriksaan foto oblique hanya dapat membantu
diagnosis fraktur multipel pada orang dewasa. Rontgen abdomen
apabila ada kecurigaan trauma abdomen yang mencederai hati,
lambung ataupun limpa akan menimbulkan gambaran peritonitis.
Sedangkan pada kasus yang sulit terdiagnosis dilakukan dengan
“Helical CT Scan” (Rasjad, 2009).

F. Komplikasi

Komplikasi akibat adanya fraktur costae dapat timbul segera


setelah terjadi fraktur atau dalam beberapa hari kemudian. Besarnya
komplikasi dipengaruhi oleh besarnya energi trauma dan jumlah
costae yang patah. Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa
terdapat komplikasi akibat fraktur costae. Fraktur costae ke 1-3 akan
menimbulkan cedera pada vasa dan nervus subclavia, fraktur costae
ke 4-9 akan mengakibatkan cedera pada vasa dan nervus intercostalis
serta pada parenkim paru, ataupun terhadap organ yang terdapat di
mediastinum, sedangkan fraktur costae ke 10-12 perlu dipikirkan
kemungkinan adanya cedera pada diafragma dan organ
intraabdominal seperti hati, limpa, lambung maupun usus besar. Pada
kasus fraktur costae simpel pada satu costae tanpa komplikasi,
aktifitas dapat secara normal dilakukan setelah 3-4 minggu kemudian,
meskipun costae baru akan sembuh setelah 4-6 minggu (Kaneda et al,
2013). Komplikasi awal dapat berupa pneumothorax, efusi pleura,
hematothorax dan flail chest. Komplikasi lanjut antara lain kontusio
pulmonal, pneumonia dan emboli paru. Flail chest dapat terjadi
apabila terdapat fraktur dua atau lebih dari costae yang berurutan dan
tiap-tiap costae terdapat fraktur segmental, keadaan ini akan
menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas dan dapat
mengakibatkan gagal nafas (Kaneda et al, 2013).

G. Penatalaksanaan

39
Tatalaksana untuk fraktur costae sederhana hanya konservatif dengan
menggunakan analgesia, tirah baring dan kompres es. Blok saraf
interkostal juga kadang dilakukan untuk mengontrol rasa nyeri. Rib
taping sudah jarang dilakukan karena dapat menghalangi usaha
inspirasi. Jika terapi konservatif tidak gagal atau fraktur costae derajat
berat, operasi dapat menjadi pilihan. Indikasi operasi pada fraktur
costae adalah fraktur costae nonunion, defek atau deformitas dinding
thoraks, nyeri berulang akibat fraktur costae yang menyebabkan gagal
napas serta flail chest. Jika dijumpai adanya pneumothoraks atau
hematothoraks dapat dilakukan chest tube (Kuo & Kim, 2020).

1. Pre Hospital

Pada tahap ini tindakan terhadap pasien terutama ditujukan


untuk memperbaiki suplai oksigenasi.

2. Penanganan saat di IGD

Tindakan darurat terutama ditujukan untuk memperbaiki jalan


nafas, pernafasan dan sirkulasi. Terapi fraktur costae simpel 1-
2 buah ditujukan untuk menghilangkan nyeri dan memberikan
kemudahan untuk pembuangan lendir/dahak, namun sebaiknya
jangan diberikan obat mukolitik yang dapat merangsang
terbentuknya dahak dan malah menambah kesulitan dalam
bernafas. Fraktur 3 buah costae atau lebih dapat dilakukan
tindakan blok saraf, namun tindakan ini dapat menimbulkan
komplikasi berupa pneumothorax dan hematothorax,
sedangkan fraktur costae lebih dari 4 buah sebaiknya diberikan
terapi dengan anastesi epidural dengan menggunakan morfin
atau bupivacain 0,5%. Pada saat dijumpai flail chest atau
gerakan paradoksal, segera dilakukan tindakan padding untuk
menstabilkan dinding dada, bahkan kadang diperlukan
ventilator untuk beberapa hari sampai didapatkan dinding dada
yang stabil (Rasjad, 2009).

3. Penanganan di ruang rawat inap

40
Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan,
sedangkan pada pasien dengan fraktur multipel dan kominutif
serta dicurigai adanya komplikasi perlu perawatan di RS.
Pasien yang dirawat di RS perlu mendapatkan analgetik yang
adekuat, bahkan kadang diperlukan narkotik dan pemberian
latihan nafas (fisioterapi nafas). Fraktur costae dengan
komplikasi kadang memerlukan terapi bedah, dapat dilakukan
drainase atau torakotomi, untuk itu evaluasi terhadap
kemungkinan adanya komplikasi harus selalu dilakukan secara
berkala dengan melakukan foto kontrol pada 6 jam,12 jam dan
24 jam pertama (Rasjad, 2009).

4. Penanganan di rawat jalan

Penderita rawat jalan juga memerlukan pemberian analgetik


yang adekuat untuk memudahkan gerakan pernafasan. Latihan
nafas harus selalu dilakukan untuk memungkinkan
pembuangan dahak (Rasjad, 2009).

FRAKTUR KLAVIKULA
A. Epidemiologi
Pada anak-anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun
hampir selalu terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang
dewasa, fraktur klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur
klavikula pada orang dewasa sering terjadi, insidensinya 2,6-4% dari
semua fraktur dan kurang lebih 35% merupakan cedera dari gelang bahu.
Fraktur pada midshaft merupakan yang terbanyak 69-82%, fraktur lateral
21-28%, dan fraktur medial yang paling jarang 2- 3% (Blom et al, 2018).

B. Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita
jatuh pada bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu
mendapat trauma kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk
mempertahankan posisi adalah klavikula dan artikulasinya. Bila traumanya

41
melebihi kapasitas struktur ini untuk menahan, terjadi kegagalan melalui 3
cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak, klavikula akan patah, atau
sendi sternoklavikular akan mengalami dislokasi. Trauma pada sendi
sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya berhubungn dengan trauma
langsung ke klavikula bagian medial dengan arah lebih posterior (dislokasi
posterior) atau trauma dari arah posterior yang langsung mengenai gelang
bahu (menyebabkan dislokasi proksimal klavikula ke anterior). Pada
fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke bawah karena berat lengan,
fragmen medial tertarik oleh muskulus sternocleidomastoideus. Pada
fraktur 1/3 lateral, bila ligamen intak, ada sedikit pergeseran; namun bila
terjadi robekan ligamen korakoklavikula, atau bila garis fraktur terletak
medial dari ligamen ini, pergeseran yang terjadi mungkin lebih berat dan
tindakan reduksi tertutup tidak mungkin dilakukan. Klavikula juga
merupakan bagian yang sering mengalami fraktur patologis (Blom et al,
2018; Court-Brown et al, 2015)

A
B
Gambar 3.3 A. Mekanisme trauma fraktur klavikula; B.
Muskulus dan gaya gravitasi yang terjadi pada fraktur
klavikula (Court-Brown et al, 2015)

C. Gambaran Klinis
Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar
penanganan pasien dapat optimal. Selain data demografik standar,

42
mekanisme trauma juga penting untuk diketahui. Fraktur klavikula yang
disebabkan oleh trauma ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ
lainnya atau trauma intra toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian, harus dicari cedera lainnya. Lengan pasien biasanya
didekatkan ke dada untuk mencegah pergerakan. Biasanya dapat terlihat
adanyan penonjolan pada subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang
yang melukai kulit. Adanya deformitas pada gelang bahu paling baik
diperiksa saat pasien berdiri. Bila terjadi fraktur midshaft dengan
pergeseran besar, tampak gambaran shoulder ptosis. Meskipun komplikasi
pada vaskular jarang terjadi, perabaan pulsasi vaskular di leher sebaiknya
dikerjakan. Adanya perlukaan pada sendi akromioklavikular sering
terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral (Blom et al, 2018; Court-Brown et al,
2015; Canale et al, 2016)

D. Imaging
Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen
dengan proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya
didapatkan fraktur pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar
biasanya terletak lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3
lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih
rendah, kecuali jika rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi
sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga lebih baik dikerjakan. Saat
menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union biasanya
mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya. CT scan
dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan
derajat pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur
dislokasi sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur
(Blom et al, 2018).

43
Gambar 3.4 Rontgen klavikula
(a) fraktur klavikula 1/3 tengah displaced – paling sering
terjadi,
(b) fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya
‘tonjolan’ (Blom et al, 2018)

E. Klasifikasi
Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur
oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal
(Group III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan
pendekatan klinis yang akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed
union and non-union pada fraktur 1/3 distal, Neer membaginya menjadi
tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi ligamentum dan derajat pergeseran.
Neer tipe I (ligamentum korakoklavikular masih intak), Neer tipe II
(ligamentum korakoklavikular robek atau lepas dari fragmen medial tetapi
ligamentum trapezoid tetap intak dengan segmen distal), dan Neer tipe III
(intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan menjadi dua oleh
Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada fragmen
distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial Klasifikasi yang
lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna

44
untuk pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Blom et al, 2018;
Court-Brown et al, 2015; Canale et al, 2016).

Gambar 3.5 Klasifikasi fraktur klavikula (Court-brown et al,


2015).

F. Patoanatomi yang Berhubungan dengan Fraktur Klavikula


Anatomi tulang klavikula tulang klavikula relatif tipis, bagian
paling lebar adalah sisi medial dan lateral tempatnya berartikulasi dengan
sternum dan akromion. Tulang ini mempunyai dua lengkungan: yang lebih

45
besar adalah bagian koronal yang memberi bentuk huruf S (konveks
anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi lateral).
Bentuk topografik anatomi dari klavikula ini diperlukan untuk menentukan
implan yang akan digunakan dengan tepat. Pada bagian diafisis yang tipis
yang merupakan tulang kortikal yang keras, implan yang digunakan adalah
cortical screw; sedangkan untuk sisi medial dan lateral yang merupakan
tulang cancellous yang lebih lunak, digunakan larger pitch cancellous
screws yang dapat diinsersi tanpa tapping (Court-Brown et al, 2015;
Paladini et al, 2012)

Gambar 3.6 Potongan cross-sectional dan anatomi topografik dari


klavikula

Anatomi Ligamentum dari Klavikula Medial


Hanya ada sedikit gerakan pada sendi sternoklavikula dan struktur
jaringan lunak yang menyokongnya tebal. Di sisi medial, klavikula dan
sternum dibatasi oleh kapsul sternoklavikula, penebalan kapsul bagian
posterior merupakan jaringan lunak yang terpenting yang membatasi
bagian anterior dan posterior dari klavikula. Ligamentum interklavikular
yang berjalan dari ujung medial klavikula pada aspek superior dari
sternum di bagian sternal notch, dan melekat pada ujung medial klavikula
kontralateral. Ligamentum ini bekerja seperti tension wire pada basis
klavikula, yang mencegah terjadinya angulasi inferior atau translasi dari
klavikula. Selain itu, terdapat ligamentum besar yang berasal dari costa

46
pertama yang berinsersi di aspek inferior dari klavikula. Fossa
rhomboideus, fossa kecil yang terletak inferomedial merupakan tempat
perlekatan dari ligamentum tersebut, yang menahan translasi dari klavikula
medial (Court-brown et al, 2015).
Lateral
Ligamentum korakoklavikular adalah trapezoid (lebih lateral) dan konoid
(lebih medial) merupakan ligamentum tebal yang berasal dari basis
korakoid dan berinsersi ke tonjolan kecil di inferior klavikula (trapezoid)
dan tuberkulum konoid klavikula (konoid). Ligamentum ini sangat kuat
dan merupakan penahan utama untuk terjadinya pergeseran ke superior
dari klavikula lateral. Integritas ligamentum ini merupakan penentu
tindakan fiksasi yang akan dikerjakan pada fraktur 1/3 distal klavikula
displaced. Sering terdapat avulsi fragmen inferior bila terjadi fraktur pada
daerah ini, terutama pada pasien usia muda. Inklusi fragmen ini dalam
fiksasi surgikal akan menjamin stabilitas fiksasi. Kapsul sendi
akromioklavikula menebal di bagian superior dan berfungsi menahan
pergeseran sendi ke antero-posterior. Sangatlah penting untuk
memperbaiki struktur ini, yang merupakan lapisan miofasial profunda, saat
melakukan pembedahan sisi lateral klavikula. Saat memasang fiksasi hook
plate untuk fraktur yang sangat distal, defek kecil dapat dibuat di aspek
posterolateral kapsul untuk insersi bagian hook ke ruang subakromial
posterior (Court-brown et al, 2015).
Anatomi Muskulus dari Klavikula
Klavikula tidak sepenting skapula dalam hal origo muskulus, namun
merupakan insersio dari beberapa muskulus besar. Di sisi medial,
muskulus pektoralis mayor berorigo di shaft klavikula anteroinferior, dan
muskulus sternokleidomastoideus berorigo di bagian superiornya. Origo
pektoralis dan origo anterior deltoid bergabung di bagian lateral,
sementara insersi trapezius bergabung dengan origo deltoid. Insersio
muskulus memegang peranan yang signifikan terhadap terjadinya
deformitas setelah fraktur: fragmen medial klavikula terangkat oleh tarikan
muskulus sternokleidomastoideus, sedangkan fragmen distal tertarik ke

47
bawah oleh deltoid, dan ke medial oleh pektoralis mayor. Di sisi bawah
klavikula merupakan insersi dari muskulus subklavius, yang fungsinya
sedikit, namun merupakn soft tissue buffer pada ruang subklavikula
superior dari pleksus brachialis dan pembuluh subklavia. Plastisma atau
“shaving muscle” bervariasi dalam ketebalan dan panjangnya, biasanya
membungkus aspek anterior dan superior klavikula, berada di jaringan
subkutan, yang dibelah saat operasi, dan dijahit kembali (Court-brown et
al, 2015).
Anatomi Neurovaskular dari Klavikula
Nervus supraklavikula berasal dari cabang servikal C3 dan C4 dan keluar
dari common trunk di belakang batas posterior dari muskulus
sternokleidomastoideus. Terdapat tiga buah cabang besar (anterior, media,
dan posterior) yang melewati klavikula dari medial ke lateral, dan berisiko
cedera saat tindakan operasi. Jika saraf ini terpotong, maka terdapat area
yang mati rasa inferior dari luka operasi, yang akan membaik dengan
berjalannya waktu. Masalah yang lebih sulit adanya terbentuknya neuroma
yang nyeri pada bekas luka operasi, yang walaupun jarang terjadi, dapat
memperburuk outcome operasi. Struktur neurovaskular yang lebih vital
terletak inferior dari klavikula. Vena subklavia berjalan di bawah
muskulus subklavius dan di atas costa pertama, yang mudah diakses
(untuk akses vena sentral) dan rentan terhadap trauma. Arteri subklavia
dan pleksus brakialis terletak lebih posterior, terpisah dari vena dan
klavikula oleh lapisan muskulus skalenus anterior di bagian medial.
Pleksus terletak paling dekat dengan klavikula pada bagian tengahnya,
sehingga tidak dianjurkan menggunakan bor, screw, atau instrumen lain
pada subclavicular space (Court-Brown et al, 2015)

48
Gambar 3.7 Anatomi klavikula (Court-Brown et al, 2015)

G. Penatalaksanaan
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non
displaced seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan
berlanjut dengan union yang baik, dengan kemungkinan non union di
bawah 5% dan kembali ke fungsi normal. Manajemen non operatif
meliputi pemakaian simple sling untuk kenyamanan. Sling dilepas setelah
nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien disarankan untuk mulai
menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat
berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan
pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf; bahkan akan
meningkatkan risiko terjadinya non-union (Paladini et al, 2012)

49
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3
tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan
lebih dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion
simptomatik – terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat pergerakan
bahu – dan peningkatan insidens terjadinya non-union. Sehingga
dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur klavikula akut yang
mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang
dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang
spesifik) dan fiksasi intramedular (Blom et al, 2018).

Gambar 3.8 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran


berat (dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi
internal dengan plate dan screw) (Blom et al,
2018)

50
Gambar 3.9 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran berat
yang dilakukan fiksasi dengan lockable, large diameter intramedullary
nail (Court-Brown et al, 2015).

Fraktur Klavikula 1/3 Distal


Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal
dan ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah
pergeseran jauh dan manajemen non operatif biasanya dipilih.
Penatalaksanaannya meliputi pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai
nyeri menghilang, dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas nyeri yang
dapat diterima. Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan
robeknya ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak
stabil. Banyak studi menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-
union yang tinggi bila ditatalaksana secara non operatif. Pembedahan
untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan. Teknik operasi
menggunakan plate dan screw korakoklavikular, fiksasi plat hook,
penjahitan dan sling techniques dengan graft ligamen Dacron dan yang
terbaru adalah locking plates klavikula (Blom et al, 2018; Court-Brown et
al, 2015).

51
Gambar 3.10 Fraktur klavikula 1/3 distal (Blom et al, 2018)

Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal


Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif
kecuali jika pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi
pada fraktur berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti
migrasi dari implan ke mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire.
Metode stabilisasi lain yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft,
dan yang terbaru locking plates (Blom et al, 2018). Komplikasi Awal
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital,
kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera
pleksus brachialis jarang terjadi (Blom et al, 2018; Court-Brown et al,
2015).

52
Lanjut
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union terjadi pada 1-
15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua, besar
pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun prediksi
akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit dikerjakan.
Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan graft tulang
jika diperlukan. Tindakan ini biasanya memuaskan dan memiliki tingkat
union yang tinggi. Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-
union yang tinggi (11,5- 40%). Pilihan terapi untuk non-union
simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari klavikula (bila fragmen kecil
dan ligamentum korakoklavikular intak) atau reduksi terbuka, fiksasi
interna dan graft tulang bila fragmen besar. Implan yang digunakan adalah
locking plates and hooked plates (Blom et al, 2018; Court-Brown et al,
2015).
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh dengan posisi
nonanatomis dengan pemendekan dan angulasi, meskipun tidak
menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri periskapular, yang
biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5 cm. Pada kasus ini,
operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat dapat dipertimbangkan
(Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).
Kekakuan bahu
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara (Blom et al, 2018)

53
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan nyeri bahu sebelah kiri
post kecelakaan lalu lintas antara sepeda motor dan mobil. Pasien memakai
helm. Pasien merupakan seorang pria berusia 69 tahun. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Pasien
datang ke IGD dalam kesadaran compos mentis namun kesan umumnya
lemah dan tampak sesak nafas. Pasien juga mengeluh nyeri pada bahu kiri.
Saat pasien mengeluh sesak nafas, maka harus dicurigai ada hambatan
baik pada airway atau breathing. Pada saat memeriksa airway pasien, ada tiga
aspek yang dapat dinilai yakni yang dapat dilihat, yang dapat didengar, dan
dirasakan/dipalpasi. Dapat dinilai apakah ada obstruksi pada jalan nafas,
sumbatan yang mengganggu saluran pernafasan, fraktur pada os nasal, os
maksila atau pada tulang wajah yang lainnya. Pasien tampak sesak nafas, dan
didapatkan perdarahan, namun tidak ditemukan tanda-tanda hipoksia seperti
agitasi, sianosis, dan retraksi dada. Amati pula suara tambahan paru yang
mungkin didapat dengan auskultasi. Pada pasien ini tidak didapatkan suara
nafas tambahan wheezing pada kedua lapang paru dan ronkhi basah kasar di
kedua lapang paru.
Pada pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak ada hambatan
pernafasan, sedangkan pada pasien dengan GCS < 8 membutuhkan airway
definitif dengan intubasi maupun krikotiroidotomi. Pada pasien ini diberikan
oksigenasi dengan NK 3 – 4 liter per menit. Setelah memastikan gangguan
pada airway maupun breathing teratasi, maka nilai sirkulasi pasien. Pada
pemeriksaan ini, tim medis harus menemukan apakah terdapat perdarahan-
perdarahan yang besar. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda
perdarahan masif. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan memeriksa tingkat
kesadaran, menilai tekanan darah, nadi, akral, dan warna kulit pasien. Pada
pasien ini tidak terjadi penurunan keadaan yang mengarah ke keadaan syok.
Tekanan darah dan nadi pasien stabil walaupun nadi meningkat. Juga tidak
ada perubahan akral menjadi dingin dan warna kulit menjadi pucat.

54
Aspek selanjutnya yang penting untuk diperiksa adalah disability.
Aspek ini meliputi kesadaran pasien, pemeriksaan pupil, pemeriksaan
kekuatan anggota tubuh, adanya jejas maupun fraktur. Pada pasien ini tidak
terjadi perubahan ukuran pupil yang menandakan kesadaran pasien masih
baik. Namun ditemukan nyeri tekan pada bahu dan dada kiri yang
menunjukkan tanda-tanda trauma ataupun fraktur pada tempat tersebut.
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan krepitasi di regio shoulder
joint sinistra dan hemithorax sinistra. Krepitasi menandakan adanya udara
yang terjebak di dalam jaringan subkutan atau jaringan bawah kulit. Trauma
tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisema subkutis, dimana udara
yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Trauma
pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal
dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis
juga dapat terjadi pada pasien dengan fraktur costae, dimana costae melukai
parenkim paru yang menyebabkan rupturnya alveolus.
Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada gambaran rongga hitam
di bawah kulit. Udara yang tadinya terjebak di dalam mediastinum lambat
laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi yaitu daerah leher. Di
sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara sehingga
bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak, akan mendesak jaringan ikat
tersebut dan menyebabkan bunyi krepitasi saat palpasi. Emfisema subkutis
dapat mengakibatkan terjadinya pneumothorax akan tetapi pada pasien ini
tidak dijumpai tanda-tanda pneumothorax.
Pada pemeriksaan foto rontgen thorax, didapatkan beberapa kelainan
salah satunya adalah tampak gambaran opasitas inhomogen di lobus superior
pulmo sinistra mengarah gambaran contusio pulmo. Kontusio pulmo akan
menyebabkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam paru-paru. Dalam
perkembangannya selama 72 jam, keadaan ini akan menyebabkan akumulasi
cairan yang akan menyebabkan terganggunya proses difusi atau pertukaran
gas oleh alveoli. Jika perdarahannya luas, maka keadaan ini akan memicu sel

55
parenkim paru melakukan konsolidasi. Konsolidasi akan menyebabkan
inaktivasi surfaktan dan peningkatan tegangan permukaan paru yang
berakibat pada kompromi pernafasan yang lebih parah.
Selain itu, pada pemeriksaan foto thorax ditemukan pula gambaran
fraktur tertutup os costa III - VII serta os clavicula sinistra yang menyebabkan
pasien mengeluh nyeri di bagian dada dan bahu kiri. Kondisi ini mungkin
berhubungan dengan keluhan sesak nafas pasien.
Pasien juga mengalami cedera otak ringan berdasarkan penilaian
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera Otak Ringan (COR)
adalah cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran yang
diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-15 yang
diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa disertai riwayat hilang kesadaran,
muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus. Pada pasien dijumpai GCS 15 dari
awal sampai 30 menit setelah trauma. Pasien juga mengingat kejadian dengan
tepat. Tidak dijumpai mual, muntah, ataupun nyeri kepala hebat. Pasien juga
tidak ada keluhan pingsan. Pasien sempat mengalami hematuria saat
dilakukan pemasangan kateter urin. Setelah dilakukan irigasi 500 cc, urin
kembali jernih. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan foto rontgen pelvis
yang menunjukkan fraktur ramus superior os pelvis dextra dengan aposisi
baik. Kejadian kecelakaan yang melibatkan trauma pada pelvis dapat
menyebabkan trauma uretra. Hematuria pada saat berkemih pertama setelah
trauma dapat menjadi tanda cedera uretra, meskipun sebenarnya hematuria
adalah tanda klinis nonspesifik. Kebanyakan kasus ruptur uretra dutandai
dengan darah yang menetes dari meatus uretra, bukan hematuria. Perlu dicatat
bahwa banyak sedikitnya hematuria tidak berhubungan dengan keparahan
cedera uretra. Hematuria dalam jumlah banyak mungkin ditemukan pada
kontusio mukosa uretra, kontusio mukosa buli atau ruptur uretra parsial,
sementara hematuria dalam jumlah sedikit tetap dapat ditemukan pada ruptur
komplit uretra (Martinez, 2007).
Setelah 5 hari perawatan pasien dilakukan reduksi tertutup pada os
clavicula sinistra yang mengalami fraktur. Fraktur klavikula 1/3 distal
displaced berhubungan dengan robeknya ligamentum korakoklavikula dan

56
merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak studi menyebutkan fraktur ini
mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila ditatalaksana secara non
operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan.
Sedangkan pada fraktur costae multiple tidak dilakukan pembedahan, hanya
konservatif saja. Tatalaksana untuk fraktur costae sederhana hanya
konservatif dengan menggunakan analgesia, tirah baring dan kompres es.
Blok saraf interkostal juga kadang dilakukan untuk mengontrol rasa nyeri.
Rib taping sudah jarang dilakukan karena dapat menghalangi usaha inspirasi.
Jika terapi konservatif tidak gagal atau fraktur costae derajat berat, operasi
dapat menjadi pilihan. Indikasi operasi pada fraktur costae adalah fraktur
costae nonunion, defek atau deformitas dinding thoraks, nyeri berulang akibat
fraktur costae yang menyebabkan gagal napas serta flail chest. Jika dijumpai
adanya pneumothoraks atau hematothoraks dapat dilakukan chest tube (Kuo
& Kim, 2020).

57
BAB V
PENUTUP

Cedera Otak Ringan adalah cedera otak yang diklasifikasikan


berdasarkan tingkat kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala GCS
(Glasgow Coma Scale) 13-15 yang diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa
disertai riwayat hilang kesadaran, muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus.
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau
organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma
tajam. Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding
thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada
parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan
hematotoraks.
Akibat trauma thoraks, akan ada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan dan
kardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Pasien dengan trauma harus segera ditangani menggunakan prinsip
Advanced Trauma Life Support (ATLS) yang terdiri dari Primary Survey dan
Secondary Survey. Primary Survey meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Environment/Exposure. Sedangkan secondary survey meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan setelah memastikan bahwa komponen
primary survey stabil.

58
DAFTAR PUSTAKA

Abu-Omar Y, Catarino PA. Progressive subcutaneous emphysema and respiratory


arrest. J R Soc Med. 2002 Feb;95(2):90-1
Aghajanzadeh M, Dehnadi A, Ebrahimi H, Fallah Karkan M, Khajeh Jahromi S,
Amir Maafi A, Aghajanzadeh G. Classification and Management of
Subcutaneous Emphysema: a 10-Year Experience. Indian J Surg. 2015
Dec;77(Suppl 2):673-7
Ahmed Z, Patel P, Singh S, Sharma RG, Somani P, Gouri AR, Singh S. High
negative pressure subcutaneous suction drain for managing debilitating
subcutaneous emphysema secondary to tube thoracostomy for an iatrogenic
post computed tomography guided transthoracic needle biopsy
pneumothorax: Case report and review of literature. Int J Surg Case
Rep. 2016;26:138-41. 
Balaji SM. Subcutaneous emphysema. J Maxillofac Oral Surg. 2015
Jun;14(2):515-7
Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. Apley & Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma (10th edition). New York: CRC Press, 2018
Canale ST, Beaty SH, editors. Campbell’s Operative Orthopedics (13th edition).
Tennessee: Elsevier, 2016
Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen MM, Ricci WM, Tornetta III P,
editors. Rockwood and Green’s Fracture in Adults (8 th edition).
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2015
David A Fullerton, Frederick L.Grover (2005) , Pathophysiology and initial
management of Thorac Injury In Thoracic Surgery, 1523-1534
Eggiimann P et al (2001), Infection control In The ICU. Chest 120: 2059-82
Ernest GC, Erica S, Jonathan DC. Rib Fixation Following Trauma: A
Cardiothoracic Surgeon's Perspective. J Trauma Treat; 2016
Iskandar, 2017. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”. Banda Aceh.
Syiah Kuala University
Jean Deslauriers (2005), Empyema And Bronchopleural Fistel. In Thoracic
Surgery. 1017-1025,
Kaneda H, Nakano T, Taniguchi Y, Saito T, Konobu T, Saito Y. Three-step
management of pneumothorax: time for a re-think on initial
management.Interactive Cardiovascular and Thoracic Surgery.
2013;16(2):186-192.

59
Kilic D, Findikcioglu A, Akin S, Akay TH, Kupeli E, Aribogan A, et al. Factors
affecting morbidity and mortality in flail chest:comparison of anterior and
lateral location. Thorac Cardiovasc Surg;2011.p.45-8.
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84.
Kukuruza K, Aboeed A. Subcutaneous Emphysema. [Updated 2021 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542192/
Kuo K, Kim AM. Rib Fracture. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541020
Martinez -Pineiro L. Urethral Trauma. Emergency in Urology. Berlin; Springer:
2007
Medeiros BJDC. Subcutaneous emphysema, a different way to diagnose. Rev
Assoc Med Bras (1992). 2018 Feb;64(2):159-163.
Milisavljevic Slobodan,. Spasic Marko, Milosevic Bojan. PNEUMOTHORAX
— DIAGNOSIS AND TREATMENT. Anamed. 2015; 10(3): 221–228
Nasution, SH. MILD HEAD INJURY. Medula. Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
Ovári A, Just T, Dommerich S, Hingst V, Böttcher A, Schuldt T, Guder E,
Mencke T, Pau HW. Conservative management of post-intubation tracheal
tears-report of three cases. J Thorac Dis. 2014 Jun;6(6):E85-91
Paladini P, Pellegrini A, Merolla G, Campi F, Porcellini G. Treatment of Clavicle
Fracture. Translational Medicine @ UniSa 2012; 2(6):47-58
Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. p.
325-6; 355-420.
Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. 3rb
ed. Pensylvania: Lippincott Williams & Wilkins;1999.p.417-35.
Servadei F, Teasdale G, Merry G. Neurotraumatology Committee of the World
Federation of Neurosurgical Societies. Defining acute mild head injury in
adults: a proposal based on prognostic factors, diagnosis, and management.
J Neurotrauma 2001; 18:657
UNAIR. 2016. Modul Trauma. Surabaya : Program Pendidikan Dokter Spesialis
Bedah Saraf Universitas Airlangga.

60
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan
untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84,
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan
untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84,

61

Anda mungkin juga menyukai