2021
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penulis menyusun tugas presentasi
kasus yang berjudul “Cedera Otak Ringan, Trauma Thoraks (Contusio Pulmo,
Emfisema Subkutis, Close Fracture Costae Multiple) Close Fracture Clavicula Sinistra”.
Terwujudnya tugas presentasi kasus ini berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Budi Susanto, Sp.B
selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi
masukan-masukan kepada penyusun dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut
membantu dan membimbing penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang
sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dapat
menjadi lebih baik dan sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhoi
kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya
Peserta Pendamping
Pembimbing Materi
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5
A. IDENTITAS PENDERITA..........................................................................................6
B. PRIMARY SURVEY....................................................................................................6
C. SECONDARY SURVEY..............................................................................................7
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................................53
BAB V PENUTUP..................................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................58
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 69 tahun
Alamat : Klegenrejo, Kebumen
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Swasta
Masuk RS : 20 September 2021 Pukul 15.24 WIB
No. CM : 473444
B. PRIMARY SURVEY
A : Airway
Look : Agitasi (-) Sianosis (-) Retraksi (-) Penggunaan otot nafas tambahan
(-) secret (-) epistaksis (+)
Pengelolaan:
Posisikan pasien dalam keadaan head-tilt, chin lift, atau jaw thrust.
Pasang suction jika terdapat cairan atau darah yang menyumbat jalan nafas
B : Breathing
Dispnea (+) Kussmaul (-) Thorak simetris (+/+) perkusi sonor (+) wheezing
(-/-) ronkhi basah kasar (-/-), RR 28x/m, SpO2 79% roomair
Pengelolaan:
Pasang O2 konsentrasi tinggi dengan nasal kanul, NRM, atau face mask
6
Melakukan pemasangan pulse oximetry untuk evaluasi saturasi pasien
C : Circulation
Takikardi (+) irama nadi regular (+) akral hangat (+) edema (-) sianosis
sentral (-) warna kulit coklat kehitaman
Pengelolaan:
D : Disability
GCS: 15 Composmentis, pupil isokor (+/+) Plegi (-) Parese (-) Fraktur
E : Enviroment
Suhu : 36,7 C
C. SECONDARY SURVEY
1. Anamnesa
Pasien datang ke IGD RSUD DR. Soedirman Kebumen dengan keluhan sesak
nafas dan nyeri bahu kiri post KLL antara sepeda motor dan mobil. Pasien
mengaku tidak mengingat kejadian setelahnya. Pasien menyangkal riwayat
penyakit seperti DM dan Hipertensi. Alergi : (-) Medikal : (-) Past Illness : (-)
Last Meal : (-) Environtment : Post KLL dengan sepeda motor
2. Pemeriksaan Fisik
7
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), racoon eyes (-/-) edema palpebra (+/+)
pupil isokor (+/+) dislokasi lensa (-/-)
Jantung :
Paru-paru:
h. Abdomen :
i. Ektremitas :
- Superior : Akral hangat (+ /+), edema (-/-) krepitasi (+) di shoulder region
sinistra, VL digiti manus III dextra
8
Gambar 2.1 Foto Klinis VL Regio Parietooccipital
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 17.30)
9
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematokrit (L) 36 % 40 – 52
MCH 29 Pg 26 – 34
MCHC 34 g/dL 32 – 36
MCV 86 fL 80 – 100
Diff Count
Golongan Darah O
Kimia Klinik
Ureum 38 mg/dL 10 – 50
Elektrolit
Natrium 3,5
Kalium 10
140
Chloride 113
Tabel 2. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 19.00)
Hematokrit (L) 32 % 40 – 52
MCH 29 Pg 26 – 34
MCHC 34 g/dL 32 – 36
MCV 87 fL 80 – 100
Diff Count
11
Tabel 3. Hasil pemeriksaan Laboratorium (20 September 2021 22.00)
Hematokrit (L) 32 % 40 – 52
MCH 29 Pg 26 – 34
MCHC 34 g/dL 32 – 36
MCV 87 fL 80 – 100
Diff Count
12
b. Radiologi
13
Gambar 2.4 Rontgen Thorax
Kesan :
Contusio Pulmo Sinistra
Fractura complete multiple arcus costa sin 3,4,5,6,7 aposisi sebagian
buruk
Fractura complete os clavicula sinistra 1/3 distal
Emfisema subcutis hemithorax sinistra sampai colli sinistra
4. Diagnosis
- Cedera Otak Ringan
- Trauma Thoraks (Contusio pulmo, close fracture costae multiple,
emfisema subcutis)
- Fraktur klavicula sinistra komplit 1/3 distal
6. Follow Up
20/09/2021
S OS post KLL mengeluh nyeri bahu kiri (+), perdarahan hidung (+), pasien
sadar penuh, sesak (-)
15
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra
P - Awasi keadaan umum dan vital sign
- Awasi akut abdomen
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
21/09/2021
S OS post KLL mengeluh nyeri bahu kiri (+), perdarahan hidung (-), pasien
sadar penuh, sesak (-)
16
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Awasi keadaan umum dan vital sign
- Diet biasa
22/09/2021
17
23/08/2021
S Nyeri bahu kiri (+), sesak (-), dada kiri terasa sakit jika batuk
24/09/2021
18
RR : 18 x/m S : 36,9⁰C
Kepala : CA -/- , SI -/-, VL (+) parietooccipital +/- 3 cm post hecting
Leher : JVP tidak meningkat, krepitasi shoulder sinistra (+)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/+ wheezing -/- , krepitasi hemithorax
sinistra (+)
Abdomen : Distensi (-), BU (+), NT (-), supel, jejas (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai -/-, VL digiti III
manus dextra
25/09/2021
26/09/2021
20
- Close Fracture clavicula complete 1/3 distal sinistra post ORIF
P - Post ORIF Clacivula Sinistra
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Clinimix
- Inj ranitidine 50 mg/12 jam
- Inj ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj asam tranexamat 500 mg/8 jam
- Inj pantoprazole 40 mg/24 jam
- Diet biasa
27/09/2021
BAB III
21
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera Otak Ringan adalah cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-
15 yang diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa disertai riwayat hilang kesadaran,
muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus (Servadei et al, 2001).
B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
klasifikasi, yaitu berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi.
Mekanisme Cedera
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan
benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak.
Berat Ringan Cedera
Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari
nilai GCS enam jam pertama atau sesudah resusitasi, dibagi atas 3 kategori :
- Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada
pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
- Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi
kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan
permanen.
- Cedera kepala Berat : GCS 3 – 8
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti,
bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga
dalam hal ini status vegetatif persisten (Nasution, 2014).
Dalam praktek klinis dapat diurai lagi :
- Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran.
22
- Cedera kepala kritis : GCS 3 – 4
- Mati otak/mati batang otak (Brain death/Brainsteam death) : GCS 3 tanpa adanya
fungsi otak/batang otak.
Morfologi
Cedera kepala dapat menimbulkan kelainan struktur kepala dan otak berupa :
Fraktur tulang :
o Kalvaria :
- Linear
- Diastasis
- Depressed
o Basis Kranii :
- Fossa anterior
- Fossa media
- Fossa posterior
Lesi intrakranial :
o Fokal :
- Epidural hematoma
- Subdural hematoma
- Intraserebral hematoma
o Difus :
- Konkusi
- Kontusio Multipel
- Hipoksia/iskemik
- Aksonal injury (Iskandar, 2017)
23
Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary
survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi
dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level
kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.
o E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan
menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).
- Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai
secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Pemeriksaan Status Generalis
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan
khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka
tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
24
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita
dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik
mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.
3. Pemeriksaan Status Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan cedera otak ringan GCS 13 – 15
b. Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar &
bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri Tanda-tanda
lesi saraf VII perifer.
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.
e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani (UNAIR, 2016).
Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
CT Scan direkomendasikan pada pasien dengan COR. CT Scan dipilih untuk
evaluasi di UGD. Pada beberapa literatur disebutkan didapatkan kelainan CT
Scan pada 5% pasien dengan GCS 15 dan 30% pada pasien dengan GCS 13.
Insiden kelainan CT Scan yang membutuhkan tindakan bedah 1%. CT Scan
dikerjakan pada pasien COR dengan salah satu kelainan berikut:
- GCS < 15 2 jam setelah cedera
- Curiga fraktur ossa cranium terbuka atau impresi
- Tanda fraktur basis cranii : hemotympanum, racoon eyes, battle’s sign,
kebocoran LCS
- Usia 65 tahun atau lebih
- Dua atau lebih episode muntah
25
- Lupa ingatan sebelum kejadin 30 menit atau lebih
- Mekanisme terjadinya cedera
2. MRI
MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional atau perdarahan
kecil, cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra aksial. Pada pasien COR,
didapatkan sebanyak 15% kelainan MRI yang pada CT Scan-nya normal.
3. CT Scan Whole Body
Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil (UNAIR, 2016).
Tatalaksana
1. Operasi
Bila didapatkan lesi intrakranial yang indikasi untuk dilakukan operasi
(perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral).
2. Konservatif
Pasien COR dirawat di RS pada pasien dengan GCS <15. Selain itu,
pasien dengan CT Scan abnormal seperti perdarahan intrakranial atau
edema serebri. Pasien yang mengalami kejang juga perlu dilakukan
perawatan di RS. Kelainan parameter perdarahan dengan penyebab yang
melatar belakangi seperti pemakaian antikoagulasi oral perlu dirawat
untuk dilakukan monitorin efek samping perdarahan. Saat dirawat di RS,
kepala pasien diposisikan Head Up 30 derajat. Berikan cairan secukupnya
(normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi
hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10
gr/dl. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh
lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik. Berikan obat-
obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan
sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita. Berikan obat-
obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti
ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita
muntah. Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema
atau cedera yang tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan
sebagai bolus 0,5 – 1 g/kgBB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil
berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20% dalam 24 jam.
Penghentian mannitol dilakukan secara gradual. Berikan Phenytoin
(PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan dosis
26
300 mg/hari atau 5-10 mg/kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi
kejang, PHT diberikan sebagai terapi (UNAIR, 2016).
Prognosis
- Ad Vitam (Hidup) : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam (sembuh) : Dubia ad bonam
- Ad Fungsionam (fungsi) : Dubia ad bonam
Prognosis dipengaruhi:
- Usia
- Status Neurologis awal
- Jarak antara trauma dan tindakan bedah
- Edema cerebri
- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan
hematom epidural
- Faktor ekstrakranial (UNAIR, 2016).
TRAUMA THORAKS
A. Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks
dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan
kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya
dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Trauma tumpul
thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks, fraktur tulang
kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru, trauma
pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan hematotoraks.
(Milisavljevic, et al., 2012). Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya
trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma.Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks
38%, hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69%
(Eggiimann, 2001; Jean, 2005).
B. Anatomi Paru
27
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki
peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida
(CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui
sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2
lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain
yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada
paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Di antara lobus –
lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura
obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri
terdapat fissura obliqua. Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh
manusia yang di kenal sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki
fungsi yang sangat vital dan penting, maka cavum thoraks ini memiliki
dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik.
Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum,
dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum
thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk
extremitas superior.
C. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul dan trauma
tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor
(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact)
yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh
karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap
karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma
thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat
energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti
pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks
yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa
menyebabkan pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat,
2003).
29
Gambar 3.2 Pneumothoraks
D. Patofisiologi
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang dapat
menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress. Kompresi
terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika
jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan pada jaringan kulit
yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Akibat
kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di dalamnya dapat menganggu
fungsi fisiologi dari system pernafasan dannkardiovaskuler. Gangguan faal
pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik.
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling
sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan
massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan,
otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak
membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang cenderung sedikit
(Milisavljevic, et al). Trauma thoraks yang membutuhkan tindak darurat adalah
obstruksi jalan nafas, hemotoraks massif, tamponade jantung, pneumotoraks
desak, flail chest, pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea bronkus.
30
KONTUSIO PULMO
A. Definisi
Kontusio pulmo didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum
yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru
adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera
tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan
elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam
pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus
yang lebih serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya,
memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan
hipoksia. Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan
cairan kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya.
Kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil
menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang
interstisial paru. Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar
edema, perdarahan, dan robeknya alveoli. Kontusio paru ditandai oleh
microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli yang
traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan pembuluh darah.
Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian edema
terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area perdarahan di
paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah
edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbondioksida berdifusi
melintasi endotelium kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel
alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu
pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan
robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar daerah cedera,
kompromi pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi. Kontusio
paru dapat menyebabkan bagian paru mengalami konsolidasi, kolaps
alveoli, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total) terjadi. Konsolidasi
terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan udara
digantikan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Makrofag,
31
neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa
memasuki jaringan paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai
respon terhadap peradangan, terjadilah hipersekresi mukus, Jika
peradangan ini cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi paru- paru
seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan akut.
Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi
perfusi adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli
(ventilasi) adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi.
Rasio ini menurun pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat
terisi dengan udara, oksigen tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan
darah meninggalkan paru- paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen.
Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari ventilasi mekanis tidak memadai
atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga dapat berkontribusi untuk
ketidakseimbangan ventilasi/perfusi. Sebagai ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi
dapat terjadi pada paru yang mengalami hipoksia, di mana pembuluh darah
di dekat alveoli yang hipoksia mengerut sebagai respons terhadap kadar
oksigen rendah. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
analisis gas darah, rontgen thoraks dan CT Scan.
B. Penatalaksanaan
EMFISEMA SUBKUTIS
A. Definisi
Emfisema subkutis adalah infiltrasi udara di jaringan subkutis. Kulit terdiri
dari dermis dan epidermis, dengan jaringan subkutan berada di bawah dermis.
Emfisema cubkutan menunjukkan adanya ekstravasasi udara yang menempati area
tubuh yang lebih dalam yang tidak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang.
Walaupun perkembangan klinisnya tidak membahayakan, emfisema subkutis dapat
menyebabkan pneumothoraks, pneumoperitoneum, pneumoretroperitoneum, dan
pneumomediastinum. Udara yang terperangkap di jaringan subkutan akan menyebar
melalui fascia dan dapat menyebabkan gangguan respirasi serta kardiovaskular
(Kukuruza et al, 2021).
B. Etiologi
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh tindakan operasi, trauma, infeksi
atau spontan. Trauma thoraks, cavum sinus, tulang cranium, barotrauma, perforasi
usus atau pulmonary blebs juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema subkutis.
Penyebab iatrogenik dapat disebbakan karena malfungsi atau gangguan sirkuit
ventilator, peningkatan tekanan thoraks saat manuver valsava dan trauma pada jalan
napas. Udara juga masuk ke jaringan subkutan melalui trauma mukosa yang kecil
pada trachea atau faring saat intubasi atau saat overinflasi endotracheal cuff
(Kukuruza et al, 2021).
C. Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang berperan dalam patofisiologi emfisema subkutis adalah :
- Trauma pada pleura parietalis yang memungkinkan lewatnya udara ke dalam
jaringan pleura atau subkutan
- Udara dari alveolus menyebar ke lapisan endovascular dan hilus pulmoner ke dalam
fascia endothoraks
- Udara di mediastinum menyebar ke viscera servikal dan jaringan lain
33
- Udara yang berasal dari sumber eksternal
- Pembentukan gas yang lokal diproduksi akibat infeksi terutama infeksi nekrotikans
(Abu Omar & Catarini, 2002).
E. Imaging
Imaging seperti xray dan CT scan sangat membantu diagnosis. Pada xray thoraks
akan terlihat gambaran radiolusen pada batas luar dinding thoraks atau abdomen.
Kadang dijumpai gingko leaf sign yang muncul berupa garis garis gas yang melewati
musculus pectoralis mayor seperti daun gingko. Pada CT Scan akan ditunjukkan
kantung gelap di jaringan subkutan yang menandakan adanya gas. CT scan lebih
sensitive menunjukkan sumber trauma yang mungkin tidak terlihat pada Xray AP
atau lateral. Pada pemeriksaan menggunakan USG, emfisema akan menunjukkan
daerah hiperekoik (Medeiros, 2018).
F. Tatalaksana
Sumber penyebab emfisema subkutis harus diobati terlebih dahulu karena
berpengaruh pada proses penyembuhan atau resolusi emfisema. Jika faktor pencetus
sudah teratasi, pasien yang tidak mempunyai gejala berat akibat emfisema dapat
hanya dilakukan observasi saja. Emfisema akan mengalami resolusi kurang lebih 10
hari jika sumber penyebabnya sudah dikendalikan (Balaji, 2015). Jika emfisema
menimbulkan ketidak nyamanan pada pasien dapat diberikan oksigen konsentrasi
tinggi. Pada pasien dengan emfisema subkutan yang luas dapat dilakukan insisi
34
infraklavikula +/- 2 cm secara bilateral untuk mengurangi ekspansi udara
(Aghajanzadeh et al, 2015).
FRAKTUR COSTAE
A. Definisi
Fraktur dapat didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas struktural
jaringan baik pada tulang, lempeng epifisis ataupun kartilago. Fraktur costae
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang/tulang rawan yang disebabkan
oleh trauma pada spesifikasi lokasi pada tulang costae. (Salter , 1999). Fraktur
costae akan menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu proses respirasi,
disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan
perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini (Salter, 1999).
B. Etiologi
Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena
tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka
setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costae. Fraktur
costae dapat terjadi dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua belas
pasang costae yang ada, 3 costae pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini
disebabkan karena costae tersebut sangat terlindung. Costae ke 4-9 paling banyak
mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang
sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costae ke 10- 12 juga jarang
mengalami fraktur oleh karena sangat mobile. Pada olahragawan biasanya lebih
banyak dijumpai fraktur costae yang “undisplaced”, oleh karena pada
olahragawan otot intercostalnya sangat kuat sehingga dapat mempertahankan
fragmen costae pada tempatnya (Salter, 1999). Secara garis besar penyebab
fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok (Kilic et al, 2011):
1. Disebabkan trauma
Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan fraktur costae antara lain
kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costae adalah luka
tusuk dan luka tembak.
2. Disebabkan bukan trauma
35
Gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau stress
fraktur seperti pada gerakan olahraga lempar martil, soft ball, tennis dan golf
dapat menyebabkan terjadinya fraktur costae.
C. Patofisiologi
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan, samping ataupun
dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costae, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costae pada dinding
dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costae. Pada trauma
langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costae pada tempat
traumanya. Pada trauma tidak langsung, fraktur costae dapat terjadi apabila
energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costae tersebut.
Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan
belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costae,
dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur
costae yang “displace” akan mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ
dibawahnya. Fraktur pada costae ke 4-9 dapat mencederai arteri intercostalis,
pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya
hematothorax, pneumothorax ataupun laserasi jantung (Ernest et al, 2016).
D. Klasifikasi
Menurut jumlah costae yang mengalami fraktur, fraktur costae dapat
dibedakan menjadi fraktur costae simpel dan multipel. Menurut jumlah fraktur
pada setiap costae dapat dibedakan menjadi fraktur costae segmental, simpel dan
kominutif. Menurut letak fraktur dibedakan menjadi fraktur costae superior
(costae 1-3), median (costae 4-9) dan inferior (costae 10-12). Menurut posisi
dibedakan menjadi fraktur costae anterior, lateral dan posterior. Pada beberapa
kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus flail chest, dimana pada
keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costae atau lebih yang letaknya
berurutan (Ernest et al, 2016)
36
E. Diagnosis
Sebanyak 25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis dan baru
terdiagnosis setelah timbul komplikasi, seperti hematothorax dan
pneumothorax.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
38
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu
mendiagnosis adanya hematothorax dan pneumothorax ataupun
kontusio pulmonal. Pemeriksaan ini dapat mengetahui jenis dan letak
fraktur costaenya. Pemeriksaan foto oblique hanya dapat membantu
diagnosis fraktur multipel pada orang dewasa. Rontgen abdomen
apabila ada kecurigaan trauma abdomen yang mencederai hati,
lambung ataupun limpa akan menimbulkan gambaran peritonitis.
Sedangkan pada kasus yang sulit terdiagnosis dilakukan dengan
“Helical CT Scan” (Rasjad, 2009).
F. Komplikasi
G. Penatalaksanaan
39
Tatalaksana untuk fraktur costae sederhana hanya konservatif dengan
menggunakan analgesia, tirah baring dan kompres es. Blok saraf
interkostal juga kadang dilakukan untuk mengontrol rasa nyeri. Rib
taping sudah jarang dilakukan karena dapat menghalangi usaha
inspirasi. Jika terapi konservatif tidak gagal atau fraktur costae derajat
berat, operasi dapat menjadi pilihan. Indikasi operasi pada fraktur
costae adalah fraktur costae nonunion, defek atau deformitas dinding
thoraks, nyeri berulang akibat fraktur costae yang menyebabkan gagal
napas serta flail chest. Jika dijumpai adanya pneumothoraks atau
hematothoraks dapat dilakukan chest tube (Kuo & Kim, 2020).
1. Pre Hospital
40
Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan,
sedangkan pada pasien dengan fraktur multipel dan kominutif
serta dicurigai adanya komplikasi perlu perawatan di RS.
Pasien yang dirawat di RS perlu mendapatkan analgetik yang
adekuat, bahkan kadang diperlukan narkotik dan pemberian
latihan nafas (fisioterapi nafas). Fraktur costae dengan
komplikasi kadang memerlukan terapi bedah, dapat dilakukan
drainase atau torakotomi, untuk itu evaluasi terhadap
kemungkinan adanya komplikasi harus selalu dilakukan secara
berkala dengan melakukan foto kontrol pada 6 jam,12 jam dan
24 jam pertama (Rasjad, 2009).
FRAKTUR KLAVIKULA
A. Epidemiologi
Pada anak-anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun
hampir selalu terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang
dewasa, fraktur klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur
klavikula pada orang dewasa sering terjadi, insidensinya 2,6-4% dari
semua fraktur dan kurang lebih 35% merupakan cedera dari gelang bahu.
Fraktur pada midshaft merupakan yang terbanyak 69-82%, fraktur lateral
21-28%, dan fraktur medial yang paling jarang 2- 3% (Blom et al, 2018).
B. Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita
jatuh pada bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu
mendapat trauma kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk
mempertahankan posisi adalah klavikula dan artikulasinya. Bila traumanya
41
melebihi kapasitas struktur ini untuk menahan, terjadi kegagalan melalui 3
cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak, klavikula akan patah, atau
sendi sternoklavikular akan mengalami dislokasi. Trauma pada sendi
sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya berhubungn dengan trauma
langsung ke klavikula bagian medial dengan arah lebih posterior (dislokasi
posterior) atau trauma dari arah posterior yang langsung mengenai gelang
bahu (menyebabkan dislokasi proksimal klavikula ke anterior). Pada
fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke bawah karena berat lengan,
fragmen medial tertarik oleh muskulus sternocleidomastoideus. Pada
fraktur 1/3 lateral, bila ligamen intak, ada sedikit pergeseran; namun bila
terjadi robekan ligamen korakoklavikula, atau bila garis fraktur terletak
medial dari ligamen ini, pergeseran yang terjadi mungkin lebih berat dan
tindakan reduksi tertutup tidak mungkin dilakukan. Klavikula juga
merupakan bagian yang sering mengalami fraktur patologis (Blom et al,
2018; Court-Brown et al, 2015)
A
B
Gambar 3.3 A. Mekanisme trauma fraktur klavikula; B.
Muskulus dan gaya gravitasi yang terjadi pada fraktur
klavikula (Court-Brown et al, 2015)
C. Gambaran Klinis
Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar
penanganan pasien dapat optimal. Selain data demografik standar,
42
mekanisme trauma juga penting untuk diketahui. Fraktur klavikula yang
disebabkan oleh trauma ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ
lainnya atau trauma intra toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian, harus dicari cedera lainnya. Lengan pasien biasanya
didekatkan ke dada untuk mencegah pergerakan. Biasanya dapat terlihat
adanyan penonjolan pada subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang
yang melukai kulit. Adanya deformitas pada gelang bahu paling baik
diperiksa saat pasien berdiri. Bila terjadi fraktur midshaft dengan
pergeseran besar, tampak gambaran shoulder ptosis. Meskipun komplikasi
pada vaskular jarang terjadi, perabaan pulsasi vaskular di leher sebaiknya
dikerjakan. Adanya perlukaan pada sendi akromioklavikular sering
terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral (Blom et al, 2018; Court-Brown et al,
2015; Canale et al, 2016)
D. Imaging
Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen
dengan proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya
didapatkan fraktur pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar
biasanya terletak lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3
lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih
rendah, kecuali jika rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi
sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga lebih baik dikerjakan. Saat
menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union biasanya
mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya. CT scan
dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan
derajat pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur
dislokasi sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur
(Blom et al, 2018).
43
Gambar 3.4 Rontgen klavikula
(a) fraktur klavikula 1/3 tengah displaced – paling sering
terjadi,
(b) fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya
‘tonjolan’ (Blom et al, 2018)
E. Klasifikasi
Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur
oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal
(Group III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan
pendekatan klinis yang akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed
union and non-union pada fraktur 1/3 distal, Neer membaginya menjadi
tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi ligamentum dan derajat pergeseran.
Neer tipe I (ligamentum korakoklavikular masih intak), Neer tipe II
(ligamentum korakoklavikular robek atau lepas dari fragmen medial tetapi
ligamentum trapezoid tetap intak dengan segmen distal), dan Neer tipe III
(intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan menjadi dua oleh
Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada fragmen
distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial Klasifikasi yang
lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna
44
untuk pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Blom et al, 2018;
Court-Brown et al, 2015; Canale et al, 2016).
45
besar adalah bagian koronal yang memberi bentuk huruf S (konveks
anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi lateral).
Bentuk topografik anatomi dari klavikula ini diperlukan untuk menentukan
implan yang akan digunakan dengan tepat. Pada bagian diafisis yang tipis
yang merupakan tulang kortikal yang keras, implan yang digunakan adalah
cortical screw; sedangkan untuk sisi medial dan lateral yang merupakan
tulang cancellous yang lebih lunak, digunakan larger pitch cancellous
screws yang dapat diinsersi tanpa tapping (Court-Brown et al, 2015;
Paladini et al, 2012)
46
pertama yang berinsersi di aspek inferior dari klavikula. Fossa
rhomboideus, fossa kecil yang terletak inferomedial merupakan tempat
perlekatan dari ligamentum tersebut, yang menahan translasi dari klavikula
medial (Court-brown et al, 2015).
Lateral
Ligamentum korakoklavikular adalah trapezoid (lebih lateral) dan konoid
(lebih medial) merupakan ligamentum tebal yang berasal dari basis
korakoid dan berinsersi ke tonjolan kecil di inferior klavikula (trapezoid)
dan tuberkulum konoid klavikula (konoid). Ligamentum ini sangat kuat
dan merupakan penahan utama untuk terjadinya pergeseran ke superior
dari klavikula lateral. Integritas ligamentum ini merupakan penentu
tindakan fiksasi yang akan dikerjakan pada fraktur 1/3 distal klavikula
displaced. Sering terdapat avulsi fragmen inferior bila terjadi fraktur pada
daerah ini, terutama pada pasien usia muda. Inklusi fragmen ini dalam
fiksasi surgikal akan menjamin stabilitas fiksasi. Kapsul sendi
akromioklavikula menebal di bagian superior dan berfungsi menahan
pergeseran sendi ke antero-posterior. Sangatlah penting untuk
memperbaiki struktur ini, yang merupakan lapisan miofasial profunda, saat
melakukan pembedahan sisi lateral klavikula. Saat memasang fiksasi hook
plate untuk fraktur yang sangat distal, defek kecil dapat dibuat di aspek
posterolateral kapsul untuk insersi bagian hook ke ruang subakromial
posterior (Court-brown et al, 2015).
Anatomi Muskulus dari Klavikula
Klavikula tidak sepenting skapula dalam hal origo muskulus, namun
merupakan insersio dari beberapa muskulus besar. Di sisi medial,
muskulus pektoralis mayor berorigo di shaft klavikula anteroinferior, dan
muskulus sternokleidomastoideus berorigo di bagian superiornya. Origo
pektoralis dan origo anterior deltoid bergabung di bagian lateral,
sementara insersi trapezius bergabung dengan origo deltoid. Insersio
muskulus memegang peranan yang signifikan terhadap terjadinya
deformitas setelah fraktur: fragmen medial klavikula terangkat oleh tarikan
muskulus sternokleidomastoideus, sedangkan fragmen distal tertarik ke
47
bawah oleh deltoid, dan ke medial oleh pektoralis mayor. Di sisi bawah
klavikula merupakan insersi dari muskulus subklavius, yang fungsinya
sedikit, namun merupakn soft tissue buffer pada ruang subklavikula
superior dari pleksus brachialis dan pembuluh subklavia. Plastisma atau
“shaving muscle” bervariasi dalam ketebalan dan panjangnya, biasanya
membungkus aspek anterior dan superior klavikula, berada di jaringan
subkutan, yang dibelah saat operasi, dan dijahit kembali (Court-brown et
al, 2015).
Anatomi Neurovaskular dari Klavikula
Nervus supraklavikula berasal dari cabang servikal C3 dan C4 dan keluar
dari common trunk di belakang batas posterior dari muskulus
sternokleidomastoideus. Terdapat tiga buah cabang besar (anterior, media,
dan posterior) yang melewati klavikula dari medial ke lateral, dan berisiko
cedera saat tindakan operasi. Jika saraf ini terpotong, maka terdapat area
yang mati rasa inferior dari luka operasi, yang akan membaik dengan
berjalannya waktu. Masalah yang lebih sulit adanya terbentuknya neuroma
yang nyeri pada bekas luka operasi, yang walaupun jarang terjadi, dapat
memperburuk outcome operasi. Struktur neurovaskular yang lebih vital
terletak inferior dari klavikula. Vena subklavia berjalan di bawah
muskulus subklavius dan di atas costa pertama, yang mudah diakses
(untuk akses vena sentral) dan rentan terhadap trauma. Arteri subklavia
dan pleksus brakialis terletak lebih posterior, terpisah dari vena dan
klavikula oleh lapisan muskulus skalenus anterior di bagian medial.
Pleksus terletak paling dekat dengan klavikula pada bagian tengahnya,
sehingga tidak dianjurkan menggunakan bor, screw, atau instrumen lain
pada subclavicular space (Court-Brown et al, 2015)
48
Gambar 3.7 Anatomi klavikula (Court-Brown et al, 2015)
G. Penatalaksanaan
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non
displaced seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan
berlanjut dengan union yang baik, dengan kemungkinan non union di
bawah 5% dan kembali ke fungsi normal. Manajemen non operatif
meliputi pemakaian simple sling untuk kenyamanan. Sling dilepas setelah
nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien disarankan untuk mulai
menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat
berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan
pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf; bahkan akan
meningkatkan risiko terjadinya non-union (Paladini et al, 2012)
49
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3
tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan
lebih dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion
simptomatik – terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat pergerakan
bahu – dan peningkatan insidens terjadinya non-union. Sehingga
dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur klavikula akut yang
mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang
dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang
spesifik) dan fiksasi intramedular (Blom et al, 2018).
50
Gambar 3.9 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran berat
yang dilakukan fiksasi dengan lockable, large diameter intramedullary
nail (Court-Brown et al, 2015).
51
Gambar 3.10 Fraktur klavikula 1/3 distal (Blom et al, 2018)
52
Lanjut
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union terjadi pada 1-
15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua, besar
pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun prediksi
akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit dikerjakan.
Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan graft tulang
jika diperlukan. Tindakan ini biasanya memuaskan dan memiliki tingkat
union yang tinggi. Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-
union yang tinggi (11,5- 40%). Pilihan terapi untuk non-union
simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari klavikula (bila fragmen kecil
dan ligamentum korakoklavikular intak) atau reduksi terbuka, fiksasi
interna dan graft tulang bila fragmen besar. Implan yang digunakan adalah
locking plates and hooked plates (Blom et al, 2018; Court-Brown et al,
2015).
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh dengan posisi
nonanatomis dengan pemendekan dan angulasi, meskipun tidak
menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri periskapular, yang
biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5 cm. Pada kasus ini,
operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat dapat dipertimbangkan
(Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).
Kekakuan bahu
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara (Blom et al, 2018)
53
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan nyeri bahu sebelah kiri
post kecelakaan lalu lintas antara sepeda motor dan mobil. Pasien memakai
helm. Pasien merupakan seorang pria berusia 69 tahun. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Pasien
datang ke IGD dalam kesadaran compos mentis namun kesan umumnya
lemah dan tampak sesak nafas. Pasien juga mengeluh nyeri pada bahu kiri.
Saat pasien mengeluh sesak nafas, maka harus dicurigai ada hambatan
baik pada airway atau breathing. Pada saat memeriksa airway pasien, ada tiga
aspek yang dapat dinilai yakni yang dapat dilihat, yang dapat didengar, dan
dirasakan/dipalpasi. Dapat dinilai apakah ada obstruksi pada jalan nafas,
sumbatan yang mengganggu saluran pernafasan, fraktur pada os nasal, os
maksila atau pada tulang wajah yang lainnya. Pasien tampak sesak nafas, dan
didapatkan perdarahan, namun tidak ditemukan tanda-tanda hipoksia seperti
agitasi, sianosis, dan retraksi dada. Amati pula suara tambahan paru yang
mungkin didapat dengan auskultasi. Pada pasien ini tidak didapatkan suara
nafas tambahan wheezing pada kedua lapang paru dan ronkhi basah kasar di
kedua lapang paru.
Pada pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak ada hambatan
pernafasan, sedangkan pada pasien dengan GCS < 8 membutuhkan airway
definitif dengan intubasi maupun krikotiroidotomi. Pada pasien ini diberikan
oksigenasi dengan NK 3 – 4 liter per menit. Setelah memastikan gangguan
pada airway maupun breathing teratasi, maka nilai sirkulasi pasien. Pada
pemeriksaan ini, tim medis harus menemukan apakah terdapat perdarahan-
perdarahan yang besar. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda
perdarahan masif. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan memeriksa tingkat
kesadaran, menilai tekanan darah, nadi, akral, dan warna kulit pasien. Pada
pasien ini tidak terjadi penurunan keadaan yang mengarah ke keadaan syok.
Tekanan darah dan nadi pasien stabil walaupun nadi meningkat. Juga tidak
ada perubahan akral menjadi dingin dan warna kulit menjadi pucat.
54
Aspek selanjutnya yang penting untuk diperiksa adalah disability.
Aspek ini meliputi kesadaran pasien, pemeriksaan pupil, pemeriksaan
kekuatan anggota tubuh, adanya jejas maupun fraktur. Pada pasien ini tidak
terjadi perubahan ukuran pupil yang menandakan kesadaran pasien masih
baik. Namun ditemukan nyeri tekan pada bahu dan dada kiri yang
menunjukkan tanda-tanda trauma ataupun fraktur pada tempat tersebut.
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan krepitasi di regio shoulder
joint sinistra dan hemithorax sinistra. Krepitasi menandakan adanya udara
yang terjebak di dalam jaringan subkutan atau jaringan bawah kulit. Trauma
tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisema subkutis, dimana udara
yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Trauma
pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal
dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis
juga dapat terjadi pada pasien dengan fraktur costae, dimana costae melukai
parenkim paru yang menyebabkan rupturnya alveolus.
Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada gambaran rongga hitam
di bawah kulit. Udara yang tadinya terjebak di dalam mediastinum lambat
laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi yaitu daerah leher. Di
sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara sehingga
bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak, akan mendesak jaringan ikat
tersebut dan menyebabkan bunyi krepitasi saat palpasi. Emfisema subkutis
dapat mengakibatkan terjadinya pneumothorax akan tetapi pada pasien ini
tidak dijumpai tanda-tanda pneumothorax.
Pada pemeriksaan foto rontgen thorax, didapatkan beberapa kelainan
salah satunya adalah tampak gambaran opasitas inhomogen di lobus superior
pulmo sinistra mengarah gambaran contusio pulmo. Kontusio pulmo akan
menyebabkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam paru-paru. Dalam
perkembangannya selama 72 jam, keadaan ini akan menyebabkan akumulasi
cairan yang akan menyebabkan terganggunya proses difusi atau pertukaran
gas oleh alveoli. Jika perdarahannya luas, maka keadaan ini akan memicu sel
55
parenkim paru melakukan konsolidasi. Konsolidasi akan menyebabkan
inaktivasi surfaktan dan peningkatan tegangan permukaan paru yang
berakibat pada kompromi pernafasan yang lebih parah.
Selain itu, pada pemeriksaan foto thorax ditemukan pula gambaran
fraktur tertutup os costa III - VII serta os clavicula sinistra yang menyebabkan
pasien mengeluh nyeri di bagian dada dan bahu kiri. Kondisi ini mungkin
berhubungan dengan keluhan sesak nafas pasien.
Pasien juga mengalami cedera otak ringan berdasarkan penilaian
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera Otak Ringan (COR)
adalah cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran yang
diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-15 yang
diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa disertai riwayat hilang kesadaran,
muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus. Pada pasien dijumpai GCS 15 dari
awal sampai 30 menit setelah trauma. Pasien juga mengingat kejadian dengan
tepat. Tidak dijumpai mual, muntah, ataupun nyeri kepala hebat. Pasien juga
tidak ada keluhan pingsan. Pasien sempat mengalami hematuria saat
dilakukan pemasangan kateter urin. Setelah dilakukan irigasi 500 cc, urin
kembali jernih. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan foto rontgen pelvis
yang menunjukkan fraktur ramus superior os pelvis dextra dengan aposisi
baik. Kejadian kecelakaan yang melibatkan trauma pada pelvis dapat
menyebabkan trauma uretra. Hematuria pada saat berkemih pertama setelah
trauma dapat menjadi tanda cedera uretra, meskipun sebenarnya hematuria
adalah tanda klinis nonspesifik. Kebanyakan kasus ruptur uretra dutandai
dengan darah yang menetes dari meatus uretra, bukan hematuria. Perlu dicatat
bahwa banyak sedikitnya hematuria tidak berhubungan dengan keparahan
cedera uretra. Hematuria dalam jumlah banyak mungkin ditemukan pada
kontusio mukosa uretra, kontusio mukosa buli atau ruptur uretra parsial,
sementara hematuria dalam jumlah sedikit tetap dapat ditemukan pada ruptur
komplit uretra (Martinez, 2007).
Setelah 5 hari perawatan pasien dilakukan reduksi tertutup pada os
clavicula sinistra yang mengalami fraktur. Fraktur klavikula 1/3 distal
displaced berhubungan dengan robeknya ligamentum korakoklavikula dan
56
merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak studi menyebutkan fraktur ini
mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila ditatalaksana secara non
operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan.
Sedangkan pada fraktur costae multiple tidak dilakukan pembedahan, hanya
konservatif saja. Tatalaksana untuk fraktur costae sederhana hanya
konservatif dengan menggunakan analgesia, tirah baring dan kompres es.
Blok saraf interkostal juga kadang dilakukan untuk mengontrol rasa nyeri.
Rib taping sudah jarang dilakukan karena dapat menghalangi usaha inspirasi.
Jika terapi konservatif tidak gagal atau fraktur costae derajat berat, operasi
dapat menjadi pilihan. Indikasi operasi pada fraktur costae adalah fraktur
costae nonunion, defek atau deformitas dinding thoraks, nyeri berulang akibat
fraktur costae yang menyebabkan gagal napas serta flail chest. Jika dijumpai
adanya pneumothoraks atau hematothoraks dapat dilakukan chest tube (Kuo
& Kim, 2020).
57
BAB V
PENUTUP
58
DAFTAR PUSTAKA
59
Kilic D, Findikcioglu A, Akin S, Akay TH, Kupeli E, Aribogan A, et al. Factors
affecting morbidity and mortality in flail chest:comparison of anterior and
lateral location. Thorac Cardiovasc Surg;2011.p.45-8.
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84.
Kukuruza K, Aboeed A. Subcutaneous Emphysema. [Updated 2021 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542192/
Kuo K, Kim AM. Rib Fracture. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541020
Martinez -Pineiro L. Urethral Trauma. Emergency in Urology. Berlin; Springer:
2007
Medeiros BJDC. Subcutaneous emphysema, a different way to diagnose. Rev
Assoc Med Bras (1992). 2018 Feb;64(2):159-163.
Milisavljevic Slobodan,. Spasic Marko, Milosevic Bojan. PNEUMOTHORAX
— DIAGNOSIS AND TREATMENT. Anamed. 2015; 10(3): 221–228
Nasution, SH. MILD HEAD INJURY. Medula. Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
Ovári A, Just T, Dommerich S, Hingst V, Böttcher A, Schuldt T, Guder E,
Mencke T, Pau HW. Conservative management of post-intubation tracheal
tears-report of three cases. J Thorac Dis. 2014 Jun;6(6):E85-91
Paladini P, Pellegrini A, Merolla G, Campi F, Porcellini G. Treatment of Clavicle
Fracture. Translational Medicine @ UniSa 2012; 2(6):47-58
Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. p.
325-6; 355-420.
Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. 3rb
ed. Pensylvania: Lippincott Williams & Wilkins;1999.p.417-35.
Servadei F, Teasdale G, Merry G. Neurotraumatology Committee of the World
Federation of Neurosurgical Societies. Defining acute mild head injury in
adults: a proposal based on prognostic factors, diagnosis, and management.
J Neurotrauma 2001; 18:657
UNAIR. 2016. Modul Trauma. Surabaya : Program Pendidikan Dokter Spesialis
Bedah Saraf Universitas Airlangga.
60
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan
untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84,
Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan
berkelanjutan
untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84,
61