Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA OTAK RINGAN

A. Definisi
Cedera Otak Ringan adalah cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-15
yang diukur 30 menit setelah trauma serta tanpa disertai riwayat hilang kesadaran,
muntah, amnesia, dan nyeri kepala difus (Servadei et al, 2001).

B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
klasifikasi, yaitu berdasarkan mekanisme cedera, berat-ringannya dan morfologi.
Mekanisme Cedera
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau pukulan benda
tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh luka bacok atau luka tembak.
Berat Ringan Cedera
Untuk mengukur berat-ringannya cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) dengan nilai minimal 3 dan nilai maksimal 15. Ini tercermin dari nilai GCS
enam jam pertama atau sesudah resusitasi, dibagi atas 3 kategori :
- Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada
pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
- Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga
drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif
maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
- Cedera kepala Berat : GCS 3 – 8
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan
perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini
status vegetatif persisten (Nasution, 2014).
Dalam praktek klinis dapat diurai lagi :
- Cedera kepala minimal : GCS 15 tanpa gangguan kesadaran.
- Cedera kepala kritis : GCS 3 – 4
- Mati otak/mati batang otak (Brain death/Brainsteam death) : GCS 3 tanpa adanya
fungsi otak/batang otak.
Morfologi
Cedera kepala dapat menimbulkan kelainan struktur kepala dan otak berupa :
Fraktur tulang :
o Kalvaria :
- Linear
- Diastasis
- Depressed
o Basis Kranii :
- Fossa anterior
- Fossa media
- Fossa posterior
Lesi intrakranial :
o Fokal :
- Epidural hematoma
- Subdural hematoma
- Intraserebral hematoma
o Difus :
- Konkusi
- Kontusio Multipel
- Hipoksia/iskemik
- Aksonal injury (Iskandar, 2017)
C. Diagnosis dan Tatalaksana
Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-prinsip
berikut:
- Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
o A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap cervical spine).
o B = Breathing (pernafasan).
o C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).
o D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut
AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive).
Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey,
meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala
cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan
dapat memprediksi outcome pasien.
o E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan
menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).
- Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai
secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Pemeriksaan Status Generalis
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus
untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka
tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita
dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata
depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan
dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera
pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik,
sensorik, dan autonomik.
3. Pemeriksaan Status Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan cedera otak ringan GCS 13 – 15
b. Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk,
reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri Tanda-tanda lesi saraf
VII perifer.
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda
lateralisasi.
e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani (UNAIR, 2016).

Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
CT Scan direkomendasikan pada pasien dengan COR. CT Scan dipilih untuk
evaluasi di UGD. Pada beberapa literatur disebutkan didapatkan kelainan CT
Scan pada 5% pasien dengan GCS 15 dan 30% pada pasien dengan GCS 13.
Insiden kelainan CT Scan yang membutuhkan tindakan bedah 1%. CT Scan
dikerjakan pada pasien COR dengan salah satu kelainan berikut:
- GCS < 15 2 jam setelah cedera
- Curiga fraktur ossa cranium terbuka atau impresi
- Tanda fraktur basis cranii : hemotympanum, racoon eyes, battle’s sign,
kebocoran LCS
- Usia 65 tahun atau lebih
- Dua atau lebih episode muntah
- Lupa ingatan sebelum kejadin 30 menit atau lebih
- Mekanisme terjadinya cedera
2. MRI
MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional atau perdarahan
kecil, cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra aksial. Pada pasien COR,
didapatkan sebanyak 15% kelainan MRI yang pada CT Scan-nya normal.
3. CT Scan Whole Body
Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk mengurangi
waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
(UNAIR, 2016).
Tatalaksana
1. Operasi
Bila didapatkan lesi intrakranial yang indikasi untuk dilakukan operasi
(perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral).
2. Konservatif
Pasien COR dirawat di RS pada pasien dengan GCS <15. Selain itu, pasien
dengan CT Scan abnormal seperti perdarahan intrakranial atau edema
serebri. Pasien yang mengalami kejang juga perlu dilakukan perawatan di
RS. Kelainan parameter perdarahan dengan penyebab yang melatar
belakangi seperti pemakaian antikoagulasi oral perlu dirawat untuk
dilakukan monitorin efek samping perdarahan. Saat dirawat di RS, kepala
pasien diposisikan Head Up 30 derajat. Berikan cairan secukupnya (normal
saline) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang
terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl. Periksa tanda
vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik. Berikan obat-obatan analgetik
(misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan sedang) bila
didapatkan keluhan nyeri pada penderita. Berikan obat-obatan anti muntah
(misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti ulkus gastritis H2 bloker
(misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita muntah. Berikan Cairan
hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang
tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1
g/kgBB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x
100
cc manitol 20% dalam 24 jam. Penghentian mannitol dilakukan secara
gradual. Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko
tinggi kejang dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg/kg BB/hari selama 10
hari. Bila telah terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi (UNAIR, 2016).
Prognosis
- Ad Vitam (Hidup) : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam (sembuh) : Dubia ad bonam
- Ad Fungsionam (fungsi) : Dubia ad bonam
Prognosis dipengaruhi:
- Usia
- Status Neurologis awal
- Jarak antara trauma dan tindakan bedah
- Edema cerebri
- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan
hematom epidural
- Faktor ekstrakranial (UNAIR, 2016).

TRAUMA THORAKS

A. Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan
atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma
tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi
dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio
dan hematoma dinding thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum,
trauma tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor,
pneumotoraks dan hematotoraks. (Milisavljevic,et al., 2012). Di Amerika
didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena
trauma thoraks langsung. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga
thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas
pada pasien dengan trauma.Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat
pneumothoraks 38%, hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail
chest 69% (Eggiimann, 2001; Jean, 2005).
B. Anatomi Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki
peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida
(CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem
kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada
paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus
superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya
terdapat lobus superior dan lobus inferior. Di antara lobus – lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara
di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting,
maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru,
terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang
tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra
thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel
di luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak
untuk extremitas superior.
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru
juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan
embriologi dari coelom extra embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi
menjadi tiga yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian
penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan
substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura
yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pleura bagian
penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini
merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pleura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma.
Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum
thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan
sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura
thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal
akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam
aliran limfe pleura.
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan
yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting
pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru,
dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik
menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru
akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan
ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura.

C. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul dan trauma
tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor
(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang
berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu
harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap
orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh karena
trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi
rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi
seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya
tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumothoraks
seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).
D. Patofisiologi
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan
dannkardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan
fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks
yang paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding
thoraks, perdarahan massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh
darah pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta.
Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan,
karena jumlah darah yang cenderung sedikit (Milisavljevic, et al). Trauma
thoraks yang membutuhkan tindak darurat adalah obstruksi jalan nafas,
hemotoraks massif, tamponade jantung, pneumotoraks desak, flail chest,
pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea bronkus.

KONTUSIO PULMO

A. Definisi
Kontusio pulmo didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum
yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru
adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera
tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan
elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam
pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus
yang lebih serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya,
memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan
hipoksia. Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan
cairan kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya.

Kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil


menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang
interstisial paru. Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar
edema, perdarahan, dan robeknya alveoli. Kontusio paru ditandai oleh
microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli yang
traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan pembuluh darah.
Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian edema
terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area perdarahan di
paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah
edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbondioksida berdifusi
melintasi endotelium kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel
alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu
pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan
robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar daerah cedera,
kompromi pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi. Kontusio
paru dapat menyebabkan bagian paru mengalami konsolidasi, kolaps
alveoli, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total) terjadi. Konsolidasi
terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan udara
digantikan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Makrofag,
neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa
memasuki jaringan paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai
respon terhadap peradangan, terjadilah hipersekresi mukus, Jika
peradangan ini cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi paru- paru
seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan akut.

Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi


perfusi adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli
(ventilasi) adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi.
Rasio ini menurun pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat
terisi dengan udara, oksigen tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan
darah meninggalkan paru- paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen.
Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari ventilasi mekanis tidak memadai
atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga dapat berkontribusi untuk
ketidakseimbangan ventilasi/perfusi. Sebagai ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi
dapat terjadi pada paru yang mengalami hipoksia, di mana pembuluh darah
di dekat alveoli yang hipoksia mengerut sebagai respons terhadap kadar
oksigen rendah. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
analisis gas darah, rontgen thoraks dan CT Scan.

B. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan Utama: Patensi airway, oksigenasi adekuat, kontrol nyeri
 Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah
cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif ambal
menunggu luka memar paru sembuh.
 Penatalaksanaan pada kontusio ringan
o Nebulisasi
o Postural drainase
o Fisioterapi dada
o Suctioning
o Nyeri: Anastesi Spinal, Opioid
o Oksigenasi 24-36 Jam pertama
o Antibiotik
 Penatalaksanaan pada kontusio sedang
o Intubasi
o Ventilator PEP
o Diuretik
o NGT
o Cek Kultur
 Penatalaksanaan pada kontusio berat
o Intubasi Endotracheal
o Ventilator
o Diuretik
o Anti mikrobal
o Pembatasan cairan

EMFISEMA SUBKUTIS

A. Definisi
Emfisema subkutis adalah infiltrasi udara di jaringan subkutis. Kulit terdiri dari
dermis dan epidermis, dengan jaringan subkutan berada di bawah dermis. Emfisema
cubkutan menunjukkan adanya ekstravasasi udara yang menempati area tubuh yang
lebih dalam yang tidak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang. Walaupun
perkembangan klinisnya tidak membahayakan, emfisema subkutis dapat
menyebabkan pneumothoraks, pneumoperitoneum, pneumoretroperitoneum, dan
pneumomediastinum. Udara yang terperangkap di jaringan subkutan akan menyebar
melalui fascia dan dapat menyebabkan gangguan respirasi serta kardiovaskular
(Kukuruza et al, 2021).

B. Etiologi
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh tindakan operasi, trauma, infeksi atau
spontan. Trauma thoraks, cavum sinus, tulang cranium, barotrauma, perforasi usus
atau pulmonary blebs juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema subkutis.
Penyebab iatrogenik dapat disebbakan karena malfungsi atau gangguan sirkuit
ventilator, peningkatan tekanan thoraks saat manuver valsava dan trauma pada jalan
napas. Udara juga masuk ke jaringan subkutan melalui trauma mukosa yang kecil
pada trachea atau faring saat intubasi atau saat overinflasi endotracheal cuff
(Kukuruza et al, 2021).

C. Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang berperan dalam patofisiologi emfisema subkutis adalah :
- Trauma pada pleura parietalis yang memungkinkan lewatnya udara ke dalam
jaringan pleura atau subkutan
- Udara dari alveolus menyebar ke lapisan endovascular dan hilus pulmoner ke dalam
fascia endothoraks
- Udara di mediastinum menyebar ke viscera servikal dan jaringan lain
- Udara yang berasal dari sumber eksternal
- Pembentukan gas yang lokal diproduksi akibat infeksi terutama infeksi nekrotikans
(Abu Omar & Catarini, 2002).

D. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis yang lengkap merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk
mengetahui penyebab terjadinya emfisema subkutis serta komplikasi yang dapat
terjadi. Pada pemeriksaan biasanya akan dijumpai krepitasi pada area yang terkena
(Ahmed et al, 2016). Dengan melakukan palpasi pada area emfisema biasanya akan
dijumpai krepitasi dan suara crackling. Walaupun krepitasi bukan tanda
patognomonik terjadinya emfisema subkutis, akan tetapi krepitasi dapat menjadi
tanda adanya udara yang terjebak di fascia penghubung seperti mediastinum atau
pleura (Medeiros, 2018). Emfisema subkutis yang luas dapat menyebabkan
gangguan hemodinamik dan respirasi. Pemakaian kortikosteroid inhalasi juga dapat
meningkatkan resiko trauma pada trachea saat intubasi endotracheal akibat mukosa
yang tipis dan rapuh. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui riwayat pengobatan
pasien terutama pasien asma dan PPOK yang lebih berisiko terkena emfisema
subkutis (Ovari et al, 2014).

E. Imaging
Imaging seperti xray dan CT scan sangat membantu diagnosis. Pada xray thoraks
akan terlihat gambaran radiolusen pada batas luar dinding thoraks atau abdomen.
Kadang dijumpai gingko leaf sign yang muncul berupa garis garis gas yang melewati
musculus pectoralis mayor seperti daun gingko. Pada CT Scan akan ditunjukkan
kantung gelap di jaringan subkutan yang menandakan adanya gas. CT scan lebih
sensitive menunjukkan sumber trauma yang mungkin tidak terlihat pada Xray AP
atau lateral. Pada pemeriksaan menggunakan USG, emfisema akan menunjukkan
daerah hiperekoik (Medeiros, 2018).

F. Tatalaksana
Sumber penyebab emfisema subkutis harus diobati terlebih dahulu karena
berpengaruh pada proses penyembuhan atau resolusi emfisema. Jika faktor pencetus
sudah teratasi, pasien yang tidak mempunyai gejala berat akibat emfisema dapat
hanya dilakukan observasi saja. Emfisema akan mengalami resolusi kurang lebih 10
hari jika sumber penyebabnya sudah dikendalikan (Balaji, 2015). Jika emfisema
menimbulkan ketidak nyamanan pada pasien dapat diberikan oksigen konsentrasi
tinggi. Pada pasien dengan emfisema subkutan yang luas dapat dilakukan insisi
infraklavikula +/- 2 cm secara bilateral untuk mengurangi ekspansi udara
(Aghajanzadeh et al, 2015).

FRAKTUR KLAVIKULA
A. Epidemiologi
Pada anak-anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu terjadi
union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur klavikula
merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa sering
terjadi, insidensinya 2,6-4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35% merupakan
cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang terbanyak 69-82%,
fraktur lateral 21-28%, dan fraktur medial yang paling jarang 2- 3% (Blom et al,
2018).

B. Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita jatuh pada bahu,
biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu mendapat trauma kompresi
dari sisi lateral, penopang utama untuk mempertahankan posisi adalah klavikula dan
artikulasinya. Bila traumanya melebihi kapasitas struktur ini untuk menahan, terjadi
kegagalan melalui 3 cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak, klavikula akan
patah, atau sendi sternoklavikular akan mengalami dislokasi. Trauma pada sendi
sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya berhubungn dengan trauma langsung ke
klavikula bagian medial dengan arah lebih posterior (dislokasi posterior) atau trauma
dari arah posterior yang langsung mengenai gelang bahu (menyebabkan dislokasi
proksimal klavikula ke anterior). Pada fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke
bawah karena berat lengan, fragmen medial tertarik oleh muskulus
sternocleidomastoideus. Pada fraktur 1/3 lateral, bila ligamen intak, ada sedikit
pergeseran; namun bila terjadi robekan ligamen korakoklavikula, atau bila garis
fraktur terletak medial dari ligamen ini, pergeseran yang terjadi mungkin lebih berat
dan tindakan reduksi tertutup tidak mungkin dilakukan. Klavikula juga merupakan
bagian yang sering mengalami fraktur patologis (Blom et al, 2018; Court-Brown et
al, 2015)

A B
Gambar 2.1 A. Mekanisme trauma fraktur klavikula; B. Muskulus dan
gaya gravitasi yang terjadi pada fraktur klavikula (Court-Brown et al,
2015)

C. Gambaran Klinis
Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar penanganan pasien dapat
optimal. Selain data demografik standar, mekanisme trauma juga penting untuk
diketahui. Fraktur klavikula yang disebabkan oleh trauma ringan biasanya tidak
menyebabkan cedera organ lainnya atau trauma intra toraks. Namun, pada
kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian, harus dicari cedera lainnya. Lengan
pasien biasanya didekatkan ke dada untuk mencegah pergerakan. Biasanya dapat
terlihat adanyan penonjolan pada subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang
yang melukai kulit. Adanya deformitas pada gelang bahu paling baik diperiksa saat
pasien berdiri. Bila terjadi fraktur midshaft dengan pergeseran besar, tampak
gambaran shoulder ptosis. Meskipun komplikasi pada vaskular jarang terjadi,
perabaan pulsasi vaskular di leher sebaiknya dikerjakan. Adanya perlukaan ada sendi
akromioklavikular sering terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral (Blom et al, 2018;
Court-Brown et al, 2015; Canale et al, 2016)

D. Imaging
Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan proyeksi
anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan fraktur pada 1/3
tengah dari tulang, fragmen bagian luar biasanya terletak lebih rendah dari fragmen
bagian dalam. Fraktur pada 1/3 lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat
pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika rontgen proyeksi bahu juga
dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga lebih baik
dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union
biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya. CT scan
dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan derajat
pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur dislokasi sternoklavikula
dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur (Blom et al, 2018).

Gambar 2.3 Rontgen klavikula


(a) fraktur klavikula 1/3 tengah displaced – paling sering terjadi,
(b) fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya ‘tonjolan’
(Blom et al, 2018)

E. Klasifikasi
Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur oleh
Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal (Group III) third
fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan pendekatan klinis yang
akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed union and non-union pada fraktur
1/3 distal, Neer membaginya menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi
ligamentum dan derajat pergeseran. Neer tipe I (ligamentum korakoklavikular masih
intak), Neer tipe II (ligamentum korakoklavikular robek atau lepas dari fragmen
medial tetapi ligamentum trapezoid tetap intak dengan segmen distal), dan Neer tipe
III (intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan menjadi dua oleh Rockwood
menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada fragmen distal dan tipe IIB:
konoid lepas dari fragmen medial Klasifikasi yang lebih detail untuk fraktur midshaft
dibuat oleh Robinson, yang berguna untuk pengolahan data dan membandingkan
hasil klinis (Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015; Canale et al, 2016).
Gambar 2.4 Klasifikasi fraktur klavikula (Court-brown et al, 2015).

F. Patoanatomi yang Berhubungan dengan Fraktur Klavikula


Anatomi tulang klavikula Tulang klavikula relatif tipis, bagian paling lebar adalah
sisi medial dan lateral tempatnya berartikulasi dengan sternum dan akromion. Tulang
ini mempunyai dua lengkungan: yang lebih besar adalah bagian koronal yang
memberi bentuk huruf S (konveks anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi
lateral).
Bentuk topografik anatomi dari klavikula ini diperlukan untuk menentukan implan
yang akan digunakan dengan tepat. Pada bagian diafisis yang tipis yang merupakan
tulang kortikal yang keras, implan yang digunakan adalah cortical screw; sedangkan
untuk sisi medial dan lateral yang merupakan tulang cancellous yang lebih lunak,
digunakan larger pitch cancellous screws yang dapat diinsersi tanpa tapping (Court-
Brown et al, 2015; Paladini et al, 2012)

Gambar 2.5 Potongan cross-sectional dan anatomi topografik dari klavikula

Anatomi Ligamentum dari Klavikula Medial


Hanya ada sedikit gerakan pada sendi sternoklavikula dan struktur jaringan lunak
yang menyokongnya tebal. Di sisi medial, klavikula dan sternum dibatasi oleh kapsul
sternoklavikula, penebalan kapsul bagian posterior merupakan jaringan lunak yang
terpenting yang membatasi bagian anterior dan posterior dari klavikula. Ligamentum
interklavikular yang berjalan dari ujung medial klavikula pada aspek superior dari
sternum di bagian sternal notch, dan melekat pada ujung medial klavikula
kontralateral. Ligamentum ini bekerja seperti tension wire pada basis klavikula, yang
mencegah terjadinya angulasi inferior atau translasi dari klavikula. Selain itu,
terdapat ligamentum besar yang berasal dari costa pertama yang berinsersi di aspek
inferior dari klavikula. Fossa rhomboideus, fossa kecil yang terletak inferomedial
merupakan tempat perlekatan dari ligamentum tersebut, yang menahan translasi dari
klavikula medial (Court-brown et al, 2015).

Lateral
Ligamentum korakoklavikular adalah trapezoid (lebih lateral) dan konoid (lebih
medial) merupakan ligamentum tebal yang berasal dari basis korakoid dan berinsersi
ke tonjolan kecil di inferior klavikula (trapezoid) dan tuberkulum konoid klavikula
(konoid). Ligamentum ini sangat kuat dan merupakan penahan utama untuk
terjadinya pergeseran ke superior dari klavikula lateral. Integritas ligamentum ini
merupakan penentu tindakan fiksasi yang akan dikerjakan pada fraktur 1/3 distal
klavikula displaced. Sering terdapat avulsi fragmen inferior bila terjadi fraktur pada
daerah ini, terutama pada pasien usia muda. Inklusi fragmen ini dalam fiksasi
surgikal akan menjamin stabilitas fiksasi. Kapsul sendi akromioklavikula menebal di
bagian superior dan berfungsi menahan pergeseran sendi ke antero-posterior.
Sangatlah penting untuk memperbaiki struktur ini, yang merupakan lapisan miofasial
profunda, saat melakukan pembedahan sisi lateral klavikula. Saat memasang fiksasi
hook plate untuk fraktur yang sangat distal, defek kecil dapat dibuat di aspek
posterolateral kapsul untuk insersi bagian hook ke ruang subakromial posterior
(Court-brown et al, 2015).
Anatomi Muskulus dari Klavikula
Klavikula tidak sepenting skapula dalam hal origo muskulus, namun merupakan
insersio dari beberapa muskulus besar. Di sisi medial, muskulus pektoralis mayor
berorigo di shaft klavikula anteroinferior, dan muskulus sternokleidomastoideus
berorigo di bagian superiornya. Origo pektoralis dan origo anterior deltoid
bergabung di bagian lateral, sementara insersi trapezius bergabung dengan origo
deltoid. Insersio muskulus memegang peranan yang signifikan terhadap terjadinya
deformitas setelah fraktur: fragmen medial klavikula terangkat oleh tarikan muskulus
sternokleidomastoideus, sedangkan fragmen distal tertarik ke bawah oleh deltoid,
dan ke medial oleh pektoralis mayor. Di sisi bawah klavikula merupakan insersi dari
muskulus subklavius, yang fungsinya sedikit, namun merupakn soft tissue buffer
pada ruang subklavikula superior dari pleksus brachialis dan pembuluh subklavia.
Plastisma atau “shaving muscle” bervariasi dalam ketebalan dan panjangnya,
biasanya membungkus aspek anterior dan superior klavikula, berada di jaringan
subkutan, yang dibelah saat operasi, dan dijahit kembali (Court-brown et al, 2015).
Anatomi Neurovaskular dari Klavikula
Nervus supraklavikula berasal dari cabang servikal C3 dan C4 dan keluar dari
common trunk di belakang batas posterior dari muskulus sternokleidomastoideus.
Terdapat tiga buah cabang besar (anterior, media, dan posterior) yang melewati
klavikula dari medial ke lateral, dan berisiko cedera saat tindakan operasi. Jika saraf
ini terpotong, maka terdapat area yang mati rasa inferior dari luka operasi, yang akan
membaik dengan berjalannya waktu. Masalah yang lebih sulit adanya terbentuknya
neuroma yang nyeri pada bekas luka operasi, yang walaupun jarang terjadi, dapat
memperburuk outcome operasi. Struktur neurovaskular yang lebih vital terletak
inferior dari klavikula. Vena subklavia berjalan di bawah muskulus subklavius dan di
atas costa pertama, yang mudah diakses (untuk akses vena sentral) dan rentan
terhadap trauma. Arteri subklavia dan pleksus brakialis terletak lebih posterior,
terpisah dari vena dan klavikula oleh lapisan muskulus skalenus anterior di bagian
medial. Pleksus terletak paling dekat dengan klavikula pada bagian tengahnya,
sehingga tidak dianjurkan menggunakan bor, screw, atau instrumen lain pada
subclavicular space (Court-Brown et al, 2015)

Gambar 2.6 Anatomi klavikula (Court-Brown et al, 2015)

G. Penatalaksanaan
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced seharusnya
diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union yang baik,
dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke fungsi normal.
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk kenyamanan. Sling
dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien disarankan untuk mulai
menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan
figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat berisiko terjadinya
peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan pada bagian fraktur dan
mencederai struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya non-union
(Paladini et al, 2012)
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens terjadinya
non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur klavikula
akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang
dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang spesifik) dan
fiksasi intramedular (Blom et al, 2018).

Gambar 2.7 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran berat (dilakukan
reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan plate dan screw)
(Blom et al, 2018)
Ga
mbar 2.8 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran berat yang dilakukan
fiksasi dengan lockable, large diameter intramedullary nail (Court-Brown et al,
2015).

Fraktur Klavikula 1/3 Distal


Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal dan
ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah pergeseran jauh
dan manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi
pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang, dilanjutkan dengan
mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat diterima. Fraktur klavikula 1/3 distal
displaced berhubungan dengan robeknya ligamentum korakoklavikula dan
merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak studi menyebutkan fraktur ini
mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila ditatalaksana secara non operatif.
Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan. Teknik operasi
menggunakan plate dan screw korakoklavikular, fiksasi plat hook, penjahitan dan
sling techniques dengan graft ligamen Dacron dan yang terbaru adalah locking plates
klavikula (Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).
Gambar 2.9 Fraktur klavikula 1/3 distal (Blom et al, 2018)

Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal


Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali jika
pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur
berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari implan ke
mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi lain yang
digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru locking plates (Blom
et al, 2018). Komplikasi Awal Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat
dengan struktur vital, kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan
cedera pleksus brachialis jarang terjadi (Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).

Lanjut
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union terjadi pada 1-15% kasus.
Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua, besar pergeseran, komunitif fraktur,
dan pasien perempuan, namun prediksi akurat mengenai fraktur yang akan
mengalami non-union sulit dikerjakan. Non-union yang simptomatik diterapi dengan
fiksasi plat dan graft tulang jika diperlukan. Tindakan ini biasanya memuaskan dan
memiliki tingkat union yang tinggi. Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat
non-union yang tinggi (11,5- 40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik
adalah eksisi bagian lateral dari klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum
korakoklavikular intak) atau reduksi terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila
fragmen besar. Implan yang digunakan adalah locking plates and hooked plates
(Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh dengan posisi nonanatomis
dengan pemendekan dan angulasi, meskipun tidak menunjukkan gejala. Beberapa
akan mengalami nyeri periskapular, yang biasanya terjadi pada pemendekan lebih
dari 1,5 cm. Pada kasus ini, operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat dapat
dipertimbangkan (Blom et al, 2018; Court-Brown et al, 2015).
Kekakuan bahu
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara (Blom et al, 2018)

FRAKTUR COSTAE

A. Definisi
Fraktur dapat didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas struktural jaringan
baik pada tulang, lempeng epifisis ataupun kartilago. Fraktur costae adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang/tulang rawan yang disebabkan oleh
trauma pada spesifikasi lokasi pada tulang costae. (Salter , 1999). Fraktur costae
akan menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu proses respirasi, disamping itu
adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian
khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini (Salter, 1999).

B. Etiologi
Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena
tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka
setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costae. Fraktur
costae dapat terjadi dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua belas
pasang costae yang ada, tiga costae pertama paling jarang mengalami fraktur hal
ini disebabkan karena costae tersebut sangat terlindung. Costae ke 4-9 paling
banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki
pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costae ke
10- 12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat mobile. Pada
olahragawan biasanya lebih banyak dijumpai fraktur costae yang “undisplaced”,
oleh karena pada olahragawan otot intercostalnya sangat kuat sehingga dapat
mempertahankan fragmen costae pada tempatnya (Salter, 1999). Secara garis
besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok (Kilic et al, 2011):
1. Disebabkan trauma
Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan fraktur costae antara lain
kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.

Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costae adalah luka
tusuk dan luka tembak.
2. Disebabkan bukan trauma
Gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau stress
fraktur seperti pada gerakan olahraga lempar martil, soft ball, tennis dan golf
dapat menyebabkan terjadinya fraktur costae.

C. Patofisiologi
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan, samping ataupun dari
arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma
costae, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costae pada dinding dada,
maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costae. Pada trauma langsung
dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costae pada tempat traumanya.
Pada trauma tidak langsung, fraktur costae dapat terjadi apabila energi yang
diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costae tersebut. Seperti pada
kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan belakang,maka akan
terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costae, dimana pada tempat
tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur costae yang “displace”
akan mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur
pada costae ke 4-9 dapat mencederai arteri intercostalis, pleura visceralis, paru
maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematothorax,
pneumothorax ataupun laserasi jantung (Ernest et al, 2016).

D. Klasifikasi
Menurut jumlah costae yang mengalami fraktur, fraktur costae dapat dibedakan
menjadi fraktur costae simpel dan multipel. Menurut jumlah fraktur pada setiap
costae dapat dibedakan menjadi fraktur costae segmental, simpel dan kominutif.
Menurut letak fraktur dibedakan menjadi fraktur costae superior (costae 1-3),
median (costae 4-9) dan inferior (costae 10-12). Menurut posisi dibedakan
menjadi fraktur costae anterior, lateral dan posterior. Pada beberapa kasus timbul
fraktur campuran, seperti pada kasus flail chest, dimana pada keadaan ini
terdapat fraktur segmental, 2 costae atau lebih yang letaknya berurutan (Ernest et
al, 2016)
E. Diagnosis

Sebanyak 25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis dan baru
terdiagnosis setelah timbul komplikasi, seperti hematothorax dan
pneumothorax.

Anamnesis

Perlu ditanyakan mengenai mekanisme trauma, apakah oleh karena jatuh dari
ketinggian atau akibat jatuh dan dadanya terbentur pada benda keras,
kecelakan lalu lintas atau oleh sebab lain. Nyeri merupakan keluhan paling
sering biasanya menetap pada satu titik dan akan bertambah pada saat
bernafas. Pada saat inspirasi maka rongga dada akan mengembang dan
keadaan ini akan menggerakkan fragmen costae yang patah, sehingga akan
menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan jaringan lunak
sekitarnya dan keadaan ini akan menimbulkan rangsangan nyeri. Apabila
fragmen costae ini menimbulkan kerusakan pada vaskuler akan dapat
menimbulkan hematothorax, sedangkan bila fragmen costae mencederai
parenkim paru-paru akan dapat menimbulkan pneumothorax. Penderita
dengan kesulitan bernafas atau bahkan saat batuk keluar darah, hal ini
menandakan adanya komplikasi berupa adanya cedera pada paru. Riwayat
penyakit dahulu seperti bronkitis, neoplasma, asma, haemoptisis atau sehabis
olahraga akan dapat membantu mengarahkan diagnosis adanya fraktur
costae. Pada anak dapat terjadi cedera paru maupun jantung,meskipun tidak
dijumpai fraktur costae. Keadaan ini disebabkan costaenya masih sangat
lentur, sehingga energi trauma langsung mengenai jantung ataupun paru-paru
(Rasjad, 2009).

Pemeriksaan fisik

Kondisi lokal pada dinding dada seperti adanya plester, deformitas dan
asimetris sangat mengarahkan ke diagnosis, diperlukan juga pemeriksaan
fisik secara keseluruhan yang berkaitan dengan kemungkinan adanya
komplikasi akibat adanya fraktur costae sendiri maupun penyakit penyerta
yang kadang ada. Adanya fraktur costae 1-2 yang merupakan costae yang
terlindung oleh sendi bahu, otot leher bagian bawah dan clavicula,
mempunyai makna bahwa fraktur tersebut biasanya diakibatkan oleh trauma
langsung dengan energi yang hebat. Pada fraktur daerah ini perlu dipikirkan
kemungkinan adanya komplikasi berupa cidera terhadap vasa dan saraf yang
melewati apertura superior. Pemisahan costocondral memiliki mekanisme
trauma seperti pada fraktur costae. Pemisahan costocondral atau dislokasi
pada artikulasi antara parsosea dengan parscartilago akan menimbulkan
gejala yang sama dengan fraktur costae dengan nyeri yang terlokalisir pada
batas costocondral, apabila terdapat dislokasi secara komplit akan teraba
defek oleh karena ujung parsoseanya akan lebih menonjol dibandingkan
dengan parscartilagonya. Adapun pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan
antara lain:

a. Nyeri tekan, krepitasi dan deformitas dinding dada.

b. Adanya garakan paradoksal.

c. Tanda – tanda insufisiensi pernafasan (sianosis, takipnea).

d. Kadang akan nampak ketakutan dan cemas karena saat bernafas


bertambah nyeri.

e. Periksa paru dan jantung dengan memperhatikan adanya tanda-tanda


pergeseran trakea, pemeriksaan EKG dan saturasi oksigen.

f. Periksa abdomen terutama pada fraktur costae bagian inferior


(diafragma, hati, limpa, ginjal dan usus).

g. Periksa tulang rangka (vertebrae, sternum, clavicula dan fungsi anggota


gerak).

h. Nilai status neurologis (plexus brakialis, intercostalis dan subclavia).

Pemeriksaan penunjang

Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu mendiagnosis


adanya hematothorax dan pneumothorax ataupun kontusio pulmonal.
Pemeriksaan ini dapat mengetahui jenis dan letak fraktur costaenya.
Pemeriksaan foto oblique hanya dapat membantu diagnosis fraktur multipel
pada orang dewasa. Rontgen abdomen apabila ada kecurigaan trauma
abdomen yang mencederai hati, lambung ataupun limpa akan menimbulkan
gambaran peritonitis. Sedangkan pada kasus yang sulit terdiagnosis
dilakukan dengan “Helical CT Scan” (Rasjad, 2009).

F. Komplikasi

Komplikasi akibat adanya fraktur costae dapat timbul segera setelah terjadi
fraktur atau dalam beberapa hari kemudian. Besarnya komplikasi
dipengaruhi oleh besarnya energi trauma dan jumlah costae yang patah.
Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa terdapat komplikasi akibat
fraktur costae. Fraktur costae ke 1-3 akan menimbulkan cedera pada vasa dan
nervus subclavia, fraktur costae ke 4-9 akan mengakibatkan cedera pada vasa
dan nervus intercostalis serta pada parenkim paru, ataupun terhadap organ
yang terdapat di mediastinum, sedangkan fraktur costae ke 10-12 perlu
dipikirkan kemungkinan adanya cedera pada diafragma dan organ
intraabdominal seperti hati, limpa, lambung maupun usus besar. Pada kasus
fraktur costae simpel pada satu costae tanpa komplikasi, aktifitas dapat secara
normal dilakukan setelah 3-4 minggu kemudian, meskipun costae baru akan
sembuh setelah 4-6 minggu (Kaneda et al, 2013). Komplikasi awal dapat
berupa pneumothorax, efusi pleura, hematothorax dan flail chest. Komplikasi
lanjut antara lain kontusio pulmonal, pneumonia dan emboli paru. Flail chest
dapat terjadi apabila terdapat fraktur dua atau lebih dari costae yang
berurutan dan tiap-tiap costae terdapat fraktur segmental, keadaan ini akan
menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas dan dapat mengakibatkan
gagal nafas (Kaneda et al, 2013).

G. Penatalaksanaan

Tatalaksana untuk fraktur costae simpel hanya konservatif dengan


menggunakan analgesia, tirah baring dan kompres es. Blok saraf interkostal
juga kadang dilakukan untuk mengontrol rasa nyeri. Rib taping sudah jarang
dilakukan karena dapat menghalangi usaha inspirasi. Jika terapi konservatif
tidak gagal atau fraktur costae derajat berat, operasi dapat menjadi pilihan.
Indikasi operasi pada fraktur costae adalah fraktur costae nonunion, defek
atau deformitas dinding thoraks, nyeri berulang akibat fraktur costae yang
menyebabkan gagal napas serta flail chest. Jika dijumpai adanya
pneumothoraks atau hematothoraks dapat dilakukan chest tube (Kuo & Kim,
2020).

1. Pre Hospital

Pada tahap ini tindakan terhadap pasien terutama ditujukan untuk


memperbaiki suplai oksigenasi.

2. Penanganan saat di IGD

Tindakan darurat terutama ditujukan untuk memperbaiki jalan nafas,


pernafasan dan sirkulasi. Terapi fraktur costae simpel 1-2 buah ditujukan
untuk menghilangkan nyeri dan memberikan kemudahan untuk pembuangan
lendir/dahak, namun sebaiknya jangan diberikan obat mukolitik yang dapat
merangsang terbentuknya dahak dan malah menambah kesulitan dalam
bernafas. Fraktur 3 buah costae atau lebih dapat dilakukan tindakan blok saraf,
namun tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa pneumothorax dan
hematothorax, sedangkan fraktur costae lebih dari 4 buah sebaiknya diberikan
terapi dengan anastesi epidural dengan menggunakan morfin atau bupivacain
0,5%. Pada saat dijumpai flail chest atau gerakan paradoksal, segera dilakukan
tindakan padding untuk menstabilkan dinding dada, bahkan kadang
diperlukan ventilator untuk beberapa hari sampai didapatkan dinding dada
yang stabil (Rasjad, 2009).

3. Penanganan di ruang rawat inap

Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan, sedangkan pada
pasien dengan fraktur multipel dan kominutif serta dicurigai adanya
komplikasi perlu perawatan di RS. Pasien yang dirawat di RS perlu
mendapatkan analgetik yang adekuat, bahkan kadang diperlukan narkotik dan
pemberian latihan nafas (fisioterapi nafas). Fraktur costae dengan komplikasi
kadang memerlukan terapi bedah, dapat dilakukan drainase atau torakotomi,
untuk itu evaluasi terhadap kemungkinan adanya komplikasi harus selalu
dilakukan secara berkala dengan melakukan foto kontrol pada 6 jam,12 jam
dan 24 jam pertama (Rasjad, 2009).

4. Penanganan di rawat jalan

Penderita rawat jalan juga memerlukan pemberian analgetik yang adekuat


untuk memudahkan gerakan pernafasan. Latihan nafas harus selalu dilakukan
untuk memungkinkan pembuangan dahak (Rasjad, 2009).

Anda mungkin juga menyukai