Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga dapat diselesaikan penulisan makalah ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah
ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah, yang mana
makalah ini berjudul “Kegawatatdaruratan Multiple Trauma”.
Disadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
diharapkan semua kritik dan saran yang bersifat membangun demi kepentingan pembuatan
makalah ini yang lebih baik lagi kedepannya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi
mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Cendrawasih.

Jayapura, 11 Oktober 2019

Kelompok 7

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... 1


Daftar Isi ........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 4
B. Tujuan ................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Multi Trauma ................................................................... 5
B. Manajemen Trauma ........................................................................... 5
C. Jenis Trauma ...................................................................................... 9
D. Tahap Pengelolaan Penderita ............................................................. 18
BAB III PEMBAHASAN
A. Definisi Fraktur .................................................................................. 19
B. Etiologi .............................................................................................. 20
C. Kategori Fraktur ................................................................................. 20
D. Manifestasi Klinis Fraktur.................................................................. 21
E. Patofisiologi ...................................................................................... 22
F. Penatalaksanaan ................................................................................ 23
G. Auhan Keperawatan pada klien dengan Fraktur ............................... 26
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 27
B. Saran .................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh salah satu
sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, olah
raga dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12
ribu per tahun. Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal
berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem musculoskeletal
cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita. (Rasjad
C,2003). Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di
seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) kecelakaan
di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020,
cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan
(Peden, 2004). Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan
untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera
yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh.
Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan
trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat
membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990).
Permasalahan yang paling sering terjadi akibat multitrauma adalah fraktur. fraktur adalah
terputusnya kontiunitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas,
gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi (Dongoes, 2002). Dampak masalah dari fraktur
yaitu dapat mengalami perubahan pada bagian tubuh yang terkena cidera, merasakan cemas
akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang dirasakannya, resiko terjadinya infeksi, resiko
perdarahan, gangguan integritas kulit serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan
dasar lainnya, selain itu fraktur juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur

3
diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan fisik.
Kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui mobilisasi persendian yaitu dengan
latihan range of motion (ROM). Range of motion adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan
persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter
& Perry, 2005)
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka kelompok tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
tindakan dan cara penanganan kegawatdaruratan multiple trauma khususnya pada pasien
dengan fraktur.

1.2 Tujuan
Umum : Mengetahui penanganan pada klien dengan kasus kegawatdaruratan multiple
trauma
Khusus :
1. Mengetahui Pengertian Fraktur
2. Mengetahui Etiologi Fraktur
3. Mengetahui Kategori Atau Jenis Fraktur
4. Mengetahui Manifestasi Klinis dari Fraktur
5. Mengetahui Patofisiologi Fraktur
6. Mengetahui Penatalaksaaan pada Kasus Fraktur
7. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Kasus Fraktur

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Multi Trauma


Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang
telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).

2.2 Manajemen Trauma


Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa
terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang menderita
perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C
merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts,2002). Jika mengancam jiwa
namun perdarahan eksternal dapat dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa diikuti. Pada
korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit, mengamankan jalan napas
pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan
dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004). Selama manajemen
berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan tulang belakang lumbal
thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher
dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).

2.3 Jenis Trauma


a. Cidera Kepala (Traumatic Brain injury)
Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat
menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau
menetap. Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan TBI adalah
kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan/perkelahian (assaults). Klasifikasi

5
mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan
penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal
pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score, GCS terlepas
dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS
sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan
untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan
berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, sedang, GCS 9-12, dan berat,
GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).

b. Trauma Thoraks
Trauma thoraks dibagi menjadi dua yaitu :
1) Trauma thoraks yang langung mengancam nyawa
a) Flail chest yaitu Fraktur pada costae dimana terjadi fraktur lebih dari dua
segmen pada satu ruas coastae. Bagian/segmen yang tidak stabil bergerak
sendiri dan berlawanan dengan dinding dada pada saat bernafas. Hal ini
menyebabkan distres nafas karena aliran udara didalam paru menjadi tidak
efisien. Tindakan pada flail chest adalah analgetik dan assisted ventilasi atau
perlu intubasi (semua perlu kolaborasi dokter).
b) Tension Pneumotoraks yakni Keadaan yang berbahaya ini terjadi jika
udara masuk kedalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar lagi sehingga
tekanan dalam dada meningkat tinggi dan mediastinum tergeser. Pasien
menjadi sesak dan hipoksia. Trakhea yang terdorong kesisi yang sehat
adalah tanda khas pneumotoraks yang sudah berjalan lanjut. Needle
thoracostomy harus segera dikerjakan sebelum pemasangan drain toraks
agar pasien dapat bernafas dengan baik.
c) Hemotoraks sering terjadi pada luka tembus/tusuk pada dada. Perdarahan
yang banyak menyebabkan pasien jatuh dalam syok hemoragik yang berat.
Distres nafas juga akan terjadi karena paru di sisi hemotoraks akan kolaps
akibat tertekan volume darah. Terapi yang optimal adalah pemasangan
pipa/chest tube ukuran besar.

6
 Hemotoraks 500 - 1500 ml yang berhenti setelah pemasangan pipa toraks
cukup dilanjutkan dengan drain saja.
 Hemotoraks lebih dari 1500 - 2000 ml atau yang perdarahannya berlanjut
lebih dari 200 - 300 ml/jam perlu diperiksa lebih lanjut atau perlu
torakotomi.
d) Luka dada terbuka atau luka yang menghisap udara (sucking)
Perlukaan pada dinding dada ini menyebabkan paru kolaps karena terpapar
pada tekanan udara luar. Selanjutnya mediastinum akan terdorong ke sisi
yang sehat. Keadaan ini harus segera ditolong karena cepat menyebabkan
kematian. Gunakan selembar plastik yang diplester pada tiga sisinya untuk
menutup luka terbuka tersebut sebagai katup penahan udara masuk.
Lakukan hal ini sampai korban tiba di rumah sakit. Selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa toraks, intubasi trakhea dan pernafasan buatan tekanan
positif.
e) Pericardial tamponade Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera
tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung,
pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.
2) Trauma Thoraks yang potensial mengancam nyawa
a) Ruptur aorta Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan
mobil dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita
yang selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat
diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan
operas (Williams, 2004).
b) Cedera tracheobronkial Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi
pada 1 inci dari karina. Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis
dan tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya
pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah
dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.
c) Cedera diafragma Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa
pada sisi kiri karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada

7
sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun
terjadinya ruptur diafragma kanan.
d) Kontusio paru Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada
pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat
timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi
setelah kejadian.

c. Trauma Abdomen
Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cedera abdominal
sampai terbukti lain. Cedera abdominal yang tidak diketahui masih merupakan
sebab tersering dari kematian yang dapat dicegah (preventable death) setelah trauma.
Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004):
a) Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian
duodenum, dan sebagian usus besar
b) Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.
c) Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada
wanita
Ada dua jenis dari trauma abdominal :
Trauma penetrasi dimana penting dilakukan konsultasi bedah sbb.:
a) Luka tembak
b) Luka tusuk
Trauma non-penetrasi sbb.:
a) Kompresi
b) Hancur (crash)
c) Sabuk pengaman (seat belt)
d) Cedera akselerasi / deselerasi.

d. Trauma Spinal
Hanya 2%-3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi
untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya

8
sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari
semua fraktur servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi servikal.

e. Trauma Muscoloscaletal
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010).
Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya
mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel
mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama.
Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya
dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam
penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap :
inflamasi, proliferasi, pembentukan callus, konsolidasi, remodelling. Proses
penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan – kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur
dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik.
Faktor lokal:
a) Lokasi fraktur
b) Jenis tulang yang mengalami fraktur
c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil
d) Adanya kontak antar fragmen
e) Ada tidaknya infeksi
Faktor sistemik :
a) Umur
b) Nutrisi
c) riwayat penyakit sistemik
d) hormonal
e) obat-obatan

9
2.4 Tahap Pengelolaan Penderita
Tahap Pengelolaan Penderita
a. Tahap Pra-Rumah Sakit
Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit yang membawanya biasanya adalah
keluarga sendiri atau orang sekitar yang berhati baik. Prinsip utama adalah bahwa tidak
boleh membuat keadaan menjadi lebih parah. Keadaan yang ideal adalah dimana Unit
Gawat Darurat (UGD) yang datang ke penderita dan bukan sebaliknya, karena itu
ambulans yang datang sebaiknya memiliki peralatan yang lengkap. Petugas/paramedis
yang datang membantu penderita juga sebaiknya mendapatkan latihan khusus, karena
pada saat manangani penderita mereka harus mengusai keterampilan yang khusus yang
dapat menyelamatkan nyawa. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahu sebelum penderita
diangkat dari tempat kejadian,dan koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit
dengan petugas lapangan sehingga akan mengguntungkan penderita. Yang harus
dilakukan oleh seorang paramedic adalah:
1) Menjaga airway dan breating
2) Control perdarahan dan syok
3) Imobilisasi penderita
4) Pengiriman ke rumah sakit terdekat

b. Tahap Rumah Sakit


1) Evakuasi Penderita
Dalam keadaan dimana penderiata trauma di rumah sakit yang di bawah tanpa
persiapan pada pra-rumah sakit maka sebaiknya evakuasi dari kendaraan ke brankar
dilakukan oleh petugas rumah sakit dengan berhati-hati.Selalu harus diperhatikan
control servikal.
2) Triase
Triase adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia.pada umumnya kita akan melakukan triase, tidak peduli apakah
penderita hanya satu atau banyak. Pemilahan akan didasarkan pada keadaan ABC
(Aiway, Breathing, dan Circulation) .Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :

10
 Jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan
petugas.Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat-darurat dan
multi-trauma akan dilayani terlebih dahulu,sesuai prinsip ABC.
 Jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan
petugas.Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah
penderita dengan kemungkinan kemampuan bertahan hidup yang terbesar dan
membutuhakan waktu,perlengkapan dan tenaga paling sedikit.

c. Survei Primer (Primary Survey) Dan Resusitasi


Pada keadaan ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memengan penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk menghindari
tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS. Lakukan primary survey atau mencari
keadaan yang mengancam nyawa adalah :
1) Airway dengan control servikal(gangguan airway adalah pembunuh tercepat)
2) Breathing dengan oksigenasi dan ventilasi
3) Circulation dengan control perdarahan
4) Disability status neurologis dan nilai GCS
5) Exposure /environmental,buka baju penderita tetapi cegah hipotermia

1) Menjaga Airway Dengan Kontrol Servikal


Kemungkinan patahnya tulang servikal diguga bila ada :
 Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran
 Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula
 Setiap multi-trauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih)
 Juga harus waspada kemungkinan patah servikal bila biomekanik trauma
mendukung (misalnya ditabrak dari belakang)
Perhatikan airway adakah penderita berbicara, apabila penderita dapat berbicara
dengan jelas dan dengan kalimat panjang, maka untuk sementara dapat dianggap
bahwa airway dan breathing dalam keadaan baik.Sumbatan pada jalan napas akan
menyebabkan sesak yang harus dibedakan dengan sesak karena gangguan breathing.
Pada obstruksi jalan napas biasanya akan ditemukan pernafasan yang berbunyi

11
seperti: bunyi gurgling (bunyi kumur-kumur karena adanya cairan), bunyi mengorok
(snoring, karena pangkal lidah yang jatuh ke dorsal) ataupun stridor karena adanya
penyempitan/oedem laring.
Pemasangan pipa oropharingeal airway (Guedel/mayo) jangan dilakukan apabila
penderita masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut (masih ada gang
reflex). Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasofaringeal. Harus diingat
bahwa pemasang pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita
ada kecurigaan fraktur basic kranial bagian depan, karena pipa dapat masuk ke
rongga kranium.
Apabila penderita henti nafas, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman aspirasi
lebih baik memasang jalan nafas definitif (pipa dalam trakea). Jalan nafas definitif ini
dapat melalui hidung (nasotrakeal), melaui mulut (orotrakeal), ataupun langsung
melalui suatu tindakan kriko-tiroidotomi.
2) Breathing Dan Ventilasi
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas adalah mutlak untuk pertukaran oksigen dan
karbondioksida dari tubuh. Tiga hal yang harus dilakukan dalam breathing :
a) Menilai pernafasan
Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang, tanpa ada kesan kesak,
umumnya breathingnya baik. Pernafasan yang baik adalah pernafasan yang :
 Frekuensinya normal(dewasa rata-rata tidak lebih sekitar 20
kali/menit,anak 30 kali/menit,bayi 40 kali/menit.
 Tidak ada gejala dan tanda sesak
 Pada pemeriksaan fisik baik
Lakukan pemeriksaan dengan cara :
1. Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasan yang
baik.lihat pakah ada jejas,luka terbuka,dan ekspansi kedua paru.
2. Auskultasi dilakukan untuk memastika masuknya udara kedalam kedua
paru dengan mendengarkan bising nafas(jangan lupa sekaligus memeriksa
jantung).

12
3. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara(hipersonor) atau darah
(dull) dalam rongga pleura.
4. Palpasi merasakan ada atau tidaknya suara krepitasi yang menandakan
adanya fraktur,dislokasi,atau keadaanya mengancam laianya.

Cedera thorax yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan
dapat ditemukan pada saat melakukan survai primer adalah:
 Tension pneumothorax
 Flail chest dengna kontusio paru
 Pneumotoraks terbuka
 Hematothoraks

Kelainan-kelainan di atas harus segera ditangani, untuk menghindari


kematian.
b) Ventilasi tambahan
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan pernafasan(assisted
ventilation). Di UGD sebaiknya membantu pernafasan dengan memakai Bag-
Valve Mask(Ambu Bag), yang lebih dikenal dengan tindakan banging ataupun
memakai ventilator untuk mendapatkan konsentrasi oksigen 100%.
c) Oksigen
Berikan oksigen, apabila diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi dengan
memakai rebreathingatau non-rebreathing mask, atau dengan kanul (berikan 5-6
LPM)

3) Circulatioan Dengan Kontrol Perdarahan


Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-bedah yang mungkin dapat
diatasi dengan terapi yag cepat dan tepat di rumah sakit. Syok pada penderita
trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemik sampai terbukti sebalikanya.
Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik
penderita.

13
a) Pengenal syok
Ada dua pemeriksaan yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengengai keadaan hemodinamik, yakni keadaan kulit akral dan nadi.
 Keadaan kulit akral, penderita trauma yang kulitnya kemerahan,
terutama pada wajah dan ekstermitas, jarang yang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat serta dingin, merupakan tanada syok.
 Nadi, pada syok nadi akan kecil dan cepat.
b) kontrol perdarahan
perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dikendalikan dengan penekanan
langsung pada luka.
Perdarahan internal (tidak terlihat) dapat dilakukan pemasangan spalk /bidai
untuk mengontrol perdarahan. Perdarahan ini yang berasal dari :
 Rongga toraks
 Rongga abdomen
 Fraktur velvis
 Fraktur tulang panjang
 Jarang : perdarahan retro-peritoneal karena robekan vena cava/aorta atau
perdarahan massif dari ginjal
c) Perbaikan volume
Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, namun penyediaan darah
memerlukan waktu, karena itu pada awalnya akan diberikan cairan kristaloid 1-
2 liter untuk mengatasi syok hemoragik melalui 2 jalur dengan jarum intravena
yang besar. Cairan ini diberikan dengan tetesan cepat/guyur.Cairan ini juga
harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya hipotermia.

4) Disability (deficit neurologis) perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan


kematian dengan sangat cepat sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
a) GCS (Glasgow coma scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat
meramal kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat

14
disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau
disebabkan perlukaan pada otak sendiri.
b) Pupil Pupil yang tidak sama besar (anisokor) kemungkinan menandakan
adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan). Perlu diingat bahwa lesi
biasanya (tidak selalu) akan terjadi pada sisi pupil yang melebar.
c) Resusitasi Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang dapat
dilakukan, manun hindari cedera otak sekunder dan yang harus dilakukan terapi
dengan agresif adalah adanya hipovolemia, hipoksia,dan hiperkarbia untuk
menghindari cedera otak tersebut.
5) Exposure / kontrol lingkungan
Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi
kelalinan atau injury/jelas pada tubuh pada penderita,dan harus dipasang selimut
agar penderita tidak kedinginan. Apabila pada primary survey dicurigai ada
perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan ‘log roll’ untuk mengetahui
sumber perdarahan.
6) Folley Catheter/ Kateter Urin
Produksi urin merupakan indicator yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik
penderita. Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan rupture eretra yan ditandai
oleh :
 Adanya darah di lubang uretra bagian luar (OUE/Orifisium Uretra External)
 Henatom di skrotum
 Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
7) Gastric Tube/ Kateter Lambung
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah
muntah.
8) Heart Monitoring/ Monitoring EKG
Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
 Airway : seharusnya sudah diatasi.
 Breathing : pemantauan laju nafas (sekaligus memantau airway)dan kalau
ada: pulse eximetry.

15
 Circulation : nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urin
setiap jam. Bila ada sebaliknya terpasang monitor EKG.
 Disability : nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.
9) Foto Rotgen
Pemakaian foto rontgen harus selektif, dan jangan mengganggu proses resusitasi.
Pada penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin : Servikal,
Toraks (AP), Pelvis (AP)
d. Survai Sekunder dan Pengelolaanya
pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari depan
sampai belakang dan keadaan penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih adanya
tanda syok, namun tidak bertambah berat.
1) Anamnesia
Anamnesis haris lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang
mungkin diderita. Beberapa contoh :
 Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tampa sabuk pengaman : cedera
wajah, maksilo-vaksial, servika, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
 Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra – karnial, fraktur servikal
atau veterbra lain, frektur ekstremitas.
Anamnesisi juga harus meliputi :
A : Alergic / Alergi
M : Medication / Obat – obatan
P : Penyakit sebelumnya yang diderita : hipertensi, DM
L : Last meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : Events, hal – hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga, atau petugas pra RS.
2) Pemeriksaan fisik (Meliputi inpeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi)
a) Kulit kepala, Seluruh kulit kepala diperiksa. Lakukan inpeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusin fraktur, dan luka termal.
b) Wajah, Apabila cedera sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjut-nya
menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.

16
 Mata : periksa cornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta
refleks cahaya, acies visus dan acies campus.
 Hidung : apabila ada pembengkakan, lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
 Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum.
 Rahang : periksa stabilitas rahang dan fraktur.
c) Vertebra servikalis dan leher, pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas
dan lakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tunpul atau tajam,deviasi
trakea, dan pemakaian otot servikal. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan simetri pulpasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.
d) Toraks, pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel. Inpeksi dinding dada
bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul /tajam,
pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral. Aukultasi pada
bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising jantung.
Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutam, nyeri tekan dan kreptasi.Perkusi untuk adanya hipesonor dan keredupan
(dullness).
e) Abdomen, Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul, dam adanya perdarahan internal. Aukulitasi bising usus, perkusi
abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri
tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil.Bila ragu
akan adanya pendarahan intra abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(diagnostic peritoneal lavage) ataupun USG (ultra-sonography).
f) Pelvis, pada cedara berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan
syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG / gurita untuk
kontrol pendarahan dan fraktur pelvis.
g) Ekstremitas, saat inpeksi jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah
fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpalis jangan lupa untuk memeriksa denyut

17
nadi distal dari fraktur, pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas
fraktur.
h) Bagian punggung, periksa dilakukan dengan “log roll’(memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh).
e. Re-valuasi Penderita
Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi
penderita dan respon terhadap resusiasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin
mutlat dilakukan.
f. Transfer ke Pelayanan Definitif
Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan kebutuhan penderita selama perjalanan, dan
cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.

18
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Fraktur


Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson,
2006 dalam Nanda Nic-Nic 2015).

3.2 Etiologi
Klasifikasi fraktur (Chairudin, 2003 dalam Nanda Nic-Nic 2015)
a. Klasifikasi etiologis
1) Fraktur traumatic
2) Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakityang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat
terjadi secara spontan atau akibat trauma jaringan.
3) Fraktur stress terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan.
b. Klasifikasi klinis
1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar
2) Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit
3) Fraktur dengan komplikasi misal malunion, delayed, infeksi tulang

19
c. Klasifikasi radiologis
1) Lokalisasi : diafisial, mtafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi
2) Konfigurasi : F. transversal, F. oblik, F. spiral, F. Avulsi dan sebagainya
3) Ekstensi : F. total, F. tidak total, F. green stick
4) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak bergeser, bergeser
(bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi)

3.3 Kategori Fraktur


Fraktur dikategorikan berdasarkan :
a. Jumlah garis
1) Simple fraktur : terdapat satu garis fraktur
2) Multiple fraktur : lebih dari satu garis fraktur
3) Comminutive Fr : lebih banyak garis fr dan patah menjadi fragmen kecil
b. Luas garis fraktur
1) Fr. inkiomplit : tulang tidak terpotong secara total
2) Fr. Komplikasi : tulang terpotong total
3) Hair line Fr : garis fr tidak tampak
c. Bentuk fragmen
1) Green stick : retak pada sebelah dari sisi tulang (sering pada anak-anak)
2) Fr. Transversal : fr. Fragmen melintang
3) Fr. Obligue : fr. Fragmen miring
4) Fr. Spiral : fr. Fragmen melingkar

20
3.4 Manifestasi Klinis
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri dan pembengkakan
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh di kamar mandi
pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)
d. Gangguan fungsio anggota gerak
e. Deformitas
f. Kelainan gerak
g. Krepitasi

3.5 Patofiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontiunitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit dan infiltasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang (Dongoes, 2000:629).

21
Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontiunitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri Akut

Perub. Jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tek. Sumsum tulang lebih


tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tek. kapiler


Melepaskan katekolamin

Gangg. Fungsi ekstremitas Pelepasan histman


Metabolisme asam lemak

Hambatan Mobilitas Fisik Protein plasma hilang


Bergabung dg trombosit

Edema
Laserasi kulit emboli

Penekanan pemb. darah


Menyumbat pembuluh
darah
Putus vena/arteri Kerusakan integritas kulit
Resiko infeksi
Ketidakefektifan perfusi
Perdarahan Kehilangan vol. cairan jaringan perifer

Resiko Syok
Sumber : Nanda NIC NOC 2015
(hipovolemia)
22
3.6 Pemeriksaan Penunjang
a. X-ray untuk menentukan lokasi/luasnya fratur
b. Scan tulang, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
c. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan,
peningkatan leokosit sebagai respon terhadap peradangan
e. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
f. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cidera hati

3.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi :
a. Proteksi (tanpa reduksi atau imbolisasi)
Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan
sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkatpada anggota gerak biasa.
b. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup yakni mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang
digunakan biasanya traksi, bidai dan alat dan yang lainnya. Reduksi terbuka dengan
pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat.
c. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna mempertahankan dan
mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah,
nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan
tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.

23
3.8 Asuhan Keperawatan Pada Fraktur
Diagnosa 1 : nyeri akut b/d agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cidera jaringan lunak

Diagnosa NOC NIC


Nyeri akut  Pain level Pain management :
 Pain control  Lakukan pengkajian nyeri
Definisi: pengalaman sensori  Comfort level secara komprehensif
yang tidak menyenangkan  Observasi reaksi non
yang muncul akibat Kriteria hasil : verbal dari
kerusakan jaringan yang  Mampu mengontrol nyeri ketidakyamanan
aktual atau potensial atau  Melaporkan nyeri  Gunakan komunikasi
digambarkan dalam hal berkurang terapeutik untuk
kerusakan sedemikian rupa  Merasakan rasa nyaman megetahui pengalam
setelah nyeri berkurang nyeri pasien
Batasan karakteristik :  Kontrol lingkungan yang
 Perubahan TD dpat mempengaruhi nyeri
 Perubahan frekuensi  Kurangi faktor prespitasi
nafas Nyeri
 Laporan isyarat  Ajarkan teknik non
 Mengekspresikan farmakologi
perilaku (gelisah)  Kolaborasi dengan dokter
 Sikap melindungi jika ada keluhan dan
area nyeri tindakan nyeri tidak
 Melaporkan nyeri berhasil
secara verbal Pemberian analgetik :
 Gangguan tidur  Cek instruksi ttg dosis,
frekuensi, jenis obat
Faktor yang berhubungan :  Cek riwayat alergi
 Agen cidera  Monitor vital sign sebelum
(bilogis, kimia,fisik, dan sesudah pemberian
psikologis) analgetik
 Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat

24
Diagnosa 2 : ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d penurunan suplai darah ke jaringan

Diagnosa NOC NIC


Ketidakefektifan perfusi  Ciculation status Management sensasi
jaringan perifer perifer :
Kriteria hasil :  Monitor adanya daerah
Definisi: penurunan sirkulasi  Mendemonstrasikan tertentu yang hanya peka
darah ke perifer yang dapat status sirkulasi yang terhadap
menganggu kesehatan ditandai dengan : panas/dingin/tajam/tumpul
- Tekanan sistole dan  Instruksikan kepada
Batasan karakteristik : diastole dalam keluarga untuk
 Perubahan fungsi rentang yang mengobservasi kulit jika
motorik diharapkan terdapat laserasi
 Perubahan  Kolaborasi pemberian
karakteristik kulit analgetik
 Perubahan tekanan  Monitor adanya
darah tromboplebitis
 Waktu pengisian  Diskusikan mengenai
kapiler >3 dtk penyebab perubahan
 Warna tdk kembali ke sensasi
tungkai waktu tungkai
diturunkan
 Edema
 Nyeri ekstremitas

Faktor yang berhubungan :


 Kurang pengetahuan
tentang faktor
pemberat (trauma,
imobilitas)

25
Diagnosa 3 : hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromascular, nyeri, imobilisasi

Diagnosa NOC NIC


Hambatan mobilitas fisik  Mobility level Excersise therapy
 Self care : ADL ambulation :
Definisi: keterbatasan pada   Konsultasikan
Transfer performance dengan
pergerakan fisik tubuh satu terapi fisik ttg rencana
atau lebih ekstremitas secara Kriteria hasil : ambulasi sesuai dg
mandiri dan terarah.  Klien meningkat dalam kebutuhan
aktivitas fisik  Kaji kemampuan klien
Batasan karakteristik :  Mengerti tujuan dari dalam mobilisasi
 Penurunan waktu peningkatan mobilitas  Latih pasien dalam
reaksi Memperagakan pemenuhan kebutuhan
 Kesulitan membolak penggunaan alat bantu ADL secara mandiri sesuai
balik posisi untuk mobilisasi kemampuan
 Keterbatasan  Dampingi dan bantu pasien
kemampuan saat mobilisasi dan bantu
melakukan penuhi kebutuhan ADL
keterampilan motorik  Berikan alat batu jika klien
halus memerlukan
 Keterbatasan  Ajarkan pasien bagaimana
kemampuan merubah posisi dan
melakukan berikan bantuan jika
keterampilan motorik diperlukan
kasar
 Pergerakan lambat

Faktor yang berhubungan :


 Gangguan
muskuloskaletal
 Program pembatasan
gerak

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan
cedera yang lain (Kroupa J, 1990). Permasalahan yang paling sering terjadi akibat
multitrauma adalah fraktur. fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang yang
ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan
dan krepitasi (Dongoes, 2002).
Adapun diagnosa yang mungkin muncul pada Masalah Keperawatan Fraktur
adalah : nyeri akut, hambatan moblitas fisik dan ganggua perfusi jaringan perifer.
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi dan evaluasi dilakukan secara
terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.

4.2 Saran
Untuk profesi perawat dalam membuat dan memberikan asuhan keperawatan pada
pasien selalu melibatkan tim kesehatan lain dan yang paling utama adalah keluarga
yang merupakan orang paling dekat dengan pasien. Disiplin dan tanggung jawab
dalam bekerja yang tinggi perlu dipupuk pada diri seorang perawat. hal ini perlu
untuk meningkatkan Asuhan keperawatan kepada pasien yang dapat diberikan secara
optimal.

27
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis Dan Nanda NIC-NOC.Mediaction. Jogjakarta Dilihat pada tanggal 15
Oktober 2019
Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118.2018.BT&CLS. Yayasan Ambulans Gawat Darurat
118.Tanggerang Selatan. Dilihat pada tanggal 12 Oktober 2019
Fauzi, Hanifan.2016.Laporan Pendahuluan Fraktur.Smart Nurse
Dari https://hanifanfauzi.blogspot.com/2016/03/laporan-pendahuluan-fraktur.html?m=1
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019
Diana, Nulhijah.Asuhan Kperawatan Klien Dengan Fraktur. Academia
Dari
https://www.academia.ede.375780996/ASUHAN_KEPERAWATAN_KLIEN_DENGAN_
FRAKTUR Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019

28

Anda mungkin juga menyukai