TRAUMA THORAKS
Disusun oleh :
Kelompok 4
1. Rio Sanjaya
2. Sucita Efendi
3. Tria Rizky Ananda
i
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam menyelesaikan
makalah ini kami dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah, serta semua pihak yang dengan caranya masing-masing
telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
ii
Sebagai makhluk yang lemah kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak, kami terima dengan lapang dada.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
terutama dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................1
Perumusan Masalah.............................................................................2
Tujuan Penulisan.................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
2.1 Konsep Dasar Penyakit Trauma Thoraks..........................................3
Definisi trauma thoraks................................................................3
Etiologi.........................................................................................3
Klasifikasi.....................................................................................3
Manifestasi Klinis.........................................................................6
Patofisiologi..................................................................................6
Pathways.......................................................................................8
Pemeriksaan Penunjang...............................................................10
Penatalaksanaan...........................................................................12
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.................................................17
Pengkajian...................................................................................17
Diagnosa......................................................................................20
Intervensi.....................................................................................20
BAB III PENUTUP.......................................................................................30
3.1 Kesimpulan........................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi trauma thoraks ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi trauma thoraks.
2. Untuk mengetahui etiologi trauma thoraks.
3. Untuk mengetahui manifestasi trauma thoraks.
4. Untuk mengetahui patofisiologi trauma thoraks.
5. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan trauma thoraks.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Keadaan ini sering disebabkan oleh adanya penetrasi langsung dari
benda tajam pada dinding dada penderita sehingga menimbulkan luka atau
defek pada dinding dada. Dengan adanya defek tersebut yang merobek
pleura parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura.
Terjadinya hubungan antara udara pada rongga pleura dan udara
dilingkungan luar, sehingga menyebabkan samanya tekanan pada rongga
pleura dengan udara diatmosper. Akibat masuknya udara lingkungan luar
ke dalam rongga pleura ini, berlangsung lama kolaps paru tak
terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi dan perfusi oksigen
kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis samoai distress
respirasi.
2) Hemathoraks
Hemothoraks merupakan semua kelainan yang menyebabkan
perdarahan dari sumber nontrauma di rongga dada sehingga terjadi
penumpukan darah pada dinding dada (rongga pleura).
3) Trauma tracheobronkhial
Cedera di trakea atau bronkus dapat disebabkan oleh trauma tajam
atau tumpul dan sering kali disertai dengan kerusakan esophagus dan
vaskuler. Rupture bronkus sering terjadi terkait dengan fraktur iga atas dan
pneumothoraks (Morton, 2012).
4) Rupture diafragma
Ruptur diafragma merupakan ruptur sekat rongga dada dengan
abdomen yang dapat menyebabkan herniasi organ intraabdominal ke
dalam rongga thoraks.
5) Trauma mediastinal
Trauma mediastinal adalah rongga di antara paru-paru kanan dan
kiri yang berisi jantung, aorta, dan arteri besar, pembuluh darah vena
besar, trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.
4
b. Trauma Tumpul
1) Tension pneumothoraks
Terjadi bila tusukan pada dinding paru memungkinkan udara masuk
api tidak keluar rongga pleura. Udara yang terperangkap ini menyebabkan
peningkatan tekanan intrapleura yang akhirnya menekan paru-paru
menyebabkan paru kolaps. Selain itu, isi rongga mediastinum (jantung dan
pembuluh-pembuluh darah besar) pindah ke sisi yang tidak sakit (Engram,
1998).
2) Trauma tracheobronkhial
Cedera di trakea atau bronkus dapat disebabkan oleh trauma tajam
atau tumpul dan sering kali disertai dengan kerusakan esophagus dan
vaskuler. Rupture bronkus sering terjadi terkait dengan fraktur iga atas dan
pneumothoraks (Morton, 2012).
3) Flail chest
Flail chest adalah cedera yang melibatkan fraktur iga multiple.
Fraktur ini dapat terjadi dibagian depan, belakang, atau samping dan
biasanya terjadi fraktur sternum. Stabilitas thoraks terganggu dan rangka
iga tidak lagi bergerak berbarengan (Morton, 2012).
4) Kontusion paru
Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Kontusio paru adalah memar atau
peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat
kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
5) Ruptur diafragma
Ruptur diafragma merupakan ruptur sekat rongga dada dengan
abdomen yang dapat menyebabkan herniasi organ intraabdominal ke
dalam rongga thoraks.
6) Trauma mediastinal
5
Trauma mediastinal adalah rongga di antara paru-paru kanan dan
kiri yang berisi jantung, aorta, dan arteri besar, pembuluh darah vena
besar, trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.
7) Fraktur kosta
Fraktur iga atau kosta adalah cedera yang serius karena organ-organ
yang di bawahnya (jantung, hati, limpa, paru-paru, esophagus, diafragma)
berisiko untuk rusak (Engram, 1998).
4. Gejala Klinis
Tanda-tanda dan gejala pada trauma thorak :
a. Ada jejas pada thorak
b. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
c. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
d. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
e. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
f. Penurunan tekanan darah
g. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
h. Bunyi muffle pada jantung
i. Perfusi jaringan tidak adekuat
j. Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan
pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.
5. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian dada/thoraks baik dalam bentuk
kompresi maupun ruda-paksa (deselarasi/akselarasi), biasanya menyebabkan
memar/jejas traua pada bagian yang terkena. Jika mengenai sternum, trauma
tumpul dapat menyebabkan kontusio miocard jantung atau kontusio paru.
6
Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan temponade pada jantung, atau
tampak kesukaran bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding thoraks
juga seringkali menyebabkan frkatur baik yang berbentuk tertutup maupun
terbuka. Fraktur iga, merupakan komponen dari dinding thoraks yang paling
sering mengalami trauma. Perlukaan pada iga sering bermakna nyeri pada
pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan
menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan
sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara
bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru.
Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara
pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan
bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari
pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena
adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di
dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas
menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat
ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks
adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari
garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi
saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan
dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks
dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi
umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita
dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai
dipasang chest tube.
7
Sedangkan trauma dada/thoraks dengan benda tajam seringkali berdampak
lebih buruk daripada yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam
dapat langsung menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek pembuluh
darah intercosta, dan menembus organ yang berada pada posisi tusukannya.
Kondisi ini menyebabkan perdarahan pada rongga dada (Hemathoraks), dan jika
berlangsung lama akan menyebabkan peninggkatan tekanan didalam rongga
thoraks maupun rongga pleura jika tertembus. Kemudian dampak negative akan
terus meningkat secara progresif dalam waktu yang relatif singkat seperti
Pneumothoraks, penurunan ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga
gagal nafas dan jantung.
6. Pathway
Trauma thorax
nyeri akut
stimulasi saraf
nyeri thorak
intercosta
9
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
A. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pengembangan dari kedua sisi thoraks harus terlihat simetris pada
waktu inspirasi. Bila tangan diletakkan pada kedua sisi sternum, maka
dapat diraba gerakan anteroposterior dan bila diletakkan pada bagian
bawah thoraks, maka akan dapat diraba gerakan keluar dan ke dalam.
Mengamati dinding dada (keadekuatan nafas, kedalaman pernapasan),
karena gerakan pernapasan juga berubah oleh berbagai penyakit
(Tabrani, 2013).
2) Palpasi
Palpasi terhadap nyeri tekan, krepitus, dan posisi trakea. Trakea
yang pendek (jarak antara tulang rawan krikoid ke sudut sternum)
disebabkan oleh karena hiperinflasi dari paru-paru (Tabrani, 2013).
3) Perkusi
Membandingkan antara kiri dan kanan, antara daerah yang satu
dengan yang lainnya. Pada daerah paru-paru sendiri perkusi seharusnya
sonor, akan tetapi apabila terdapat konsolidasi, maka akan menjadi
pekak. Pekak didapat pada efusi pleura, atelektasis dan konsolidasi.
Selain itu perhatikan juga jika hipersonor. Hipersonor disebabkan oleh
hiperinflasi kedua paru (Tabrani, 2013).
4) Auskultasi
Membandingkan bising napas kanan dan kiri. Pada pasien dalam
posisi berbaring maka terdengarnya bising pernapasan selalu
berhubungan dengan sumbatan dari saluran pernapasan dan berbanding
lurus dengan faal obstruktif paru, akan tetapi kedua tanda ini hanya
terdapat pada bronchitis kronis dan asma, dan tidak terdapat pada
emfisema.
10
Mendengarkan suara napas yang menghilang atau tidak. Suara
pernapasan yang menghilang pada suatu daerah menunjukkan adanya
pneumothoraks, efusi pleura, bula, atau atelektasis. Suara pernapasan
yang kasar dengan nada yang tinggi menunjukkan adanya penghantaran
oleh konsolidasi.
Penyebaran bunyi dengan nada yang tinggi menunjukkan adanya
kavitas yang diselaputi oleh konsolidasi yang disebut dengan wishpered
pectoriloquy (pengahantaran bunyi dari kata-kata yang dibisikkan
melalui dinding dada), biasanya bunyi ini diserati dengan ronki,
wheezing, atau gesekan pleura (Tabrani, 2013).
B. Pemeriksaan Diagnostik
11
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostic pada pasien
dengan terauma thorax . pemeriksaan kelinis harus selalu di hubungkan
dengan hasil pemeriksaan foto thoraks. Lebih dari 90%kelainan serius
terauma thoraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto thoraks.
d. Ct-Scan
12
Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis
dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum
pada pemeriksaan torak foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini
sebelum dilakukan aortografi.
e. Ekhokardiografi
f. EKG
13
konduksi, tachiaritma semuanya dapat menunjukkan kemungkinan
adanya kontusi jantung, hati-hati keadaan tertentu seperti hipoksia,
gangguan erektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan
seperti konstusi jantung.
g. Agiografi
7. Penatalaksanaan
14
b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga
pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
d. Pada prinsipnya semua trauma yang mengenai mediastinum dan jantung
harus dilakukan tindakan eksplorasi torakotomi.
1) Bila terdapat pneumotorax, maka nilai apakah pneumotoraks tersebut
bersifat “ tension” atau tidak, apabila terdapat “tension pneomotoraks”
maka segera di lakukan aspirasidengan memasukan kanula pada ICS II
mid klavikula,kemudian dilanjutkan dengan pemasangan WSD.
2) Bila terdapat fraktur iga maka nilai apakah di sertai dengan
hemotoraks atau tidak, apabila disertai hemotoraks maka dapat
dilakukan drainase. Bila timbul rasa nyeri dapat di berikan analgetik
sehingga pasien dapat bernafas lebih dalam.
3) Bila terdapat kontusio paru pertimbangkan kemungkinan terjadinya
kegagalan pernafasan. Akan tetapi kegagalan pernafasan hanya terjadi
pada trauma yang keras dan yang mengenai permkaan paru yang luas
saja dan pengobatan yang diberikan sama seperti pada kegagalan
pernafasan (respiratory failure)
4) Bila terdapat kontusio jantung maka nilai apakah yang menyebabakan
teradinya gangguan hemodinamik atau tidak. Bila terjadi lakukan
toraktomi.
5) Bila terjadi tamponade jantung, maka lakukan tindakan
perikardioktom.
6) Bila terjadi ruptur aorta, maka diagnosis tidak dapat di tegakan dari
adanya poelebaran mediastinum, akan tetapi segera lakukan autografi
dan kemudian selanjutnya dilakukan tindakan toraktomi.
7) Bila terdapat ruptur diafragma, maka lakukan eksplorasi abdomen dan
selanjutnya diafragma di jahit kembali
15
8) Bila terdapat ruptur trakea, maka lakukan pemasangan intubasi yang
cukup panjang dan selanjutnya dilakukan eksplorasi dan trakea di jahit
kembali
9) Pniomomediastinum di tandai denga adanya infesema yang hebat,
dimana pada pemeriksaan radiologi tampak bayangan “radiolucent”.
Bila terjadi keadaan demikian, maka di lakukan pengeluaran udara
dengan cara insisi yang multipel.
10) Bila terdapat sindroma dada tumpul (flail chest ) atau yang di sebut
dengan “wet lung” ( edema paru ), maka tetapi yang di berikan akan di
arahkan kepada manipulasi endobronkial, yakni berupa lavase bronkus
dan kemungkinan di lakukan pemasangan PEEP.
e. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
1) Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh
pasien.
2) Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang
hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
3) Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
a) Penetapan slang
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di
bagian masuknya slang dapat dikurangi.
b) Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan
pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan,
atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
4) Mendorong berkembangnya paru-paru.
16
a) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
b) Latihan napas dalam.
c) Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan
batuk waktu slang diklem.
d) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
5) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan
torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan
juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
6) Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan
setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
a) Perhatiakan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien,
warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekann darah.
b) Perlu sering dicek apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk
jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari
terlentang, ke ½ terlentang atau ½ duduk ke posisi miring bagian
operasi di bawah atau di cari penyebabnya missal : slang tersumbat
oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang
slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
7) Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
a) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan
yang keluar kalau ada dicatat.
b) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan
adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
c) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk
yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
d) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan keselamatan
kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
17
e) Cegah bahaya yang mengganggu tekanan negatip dalam rongga
dada, missal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
f) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol
dan slang harus tetap steril.
B. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.
c. Pemasangan infuse
d. Pemeriksaan kesadaran
e. Jika dalam keadaan gawat darurat, dapat dilakukan massage jantung
f. Dalam keadaan stabil dapat dilakukan pemeriksaan radiology seperti Foto
thorak
8. Komplikasi
a. Iga : Fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
b. Pleura, paru-paru, bronchi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema
pembedahan.
c. Jantung : temponade jantung, rupture jantung, rupture otot papilar, rupture
klep jantung.
18
d. Pembulu darah besar : hematothoraks.
e. Esofagus : mediastimitis
f. Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limfa dan ginjal.
19
Perlu dikaji apakah pasien pernah menderita penyakit yang sama atau
pernah terdapat riwayat sebelumnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama seperti penyakit diderita pasien.
c. Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1) Alergi terhap obat, makanan tertentu.
2) Pengobatan terakhir
3) Pengalaman pembedahan
d. Pemeriksaan diagnostic :
1) Sianar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
2) Saturasi O2 menurun (biasanya).
3) Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
4) Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
e. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
a) Sesak nafas
b) Nyeri, batuk-batuk
c) Terdapat retraksi klavikula/dada
d) Pengembangan paru-paru tidak simetris.
e) Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
f) Pada perkusi ditemukan adanya suara sonor/hipersonor/timpani
hematotraks
g) Pada auskultasi suara nafas menurun, bising nafas yang
berkurang/menghilang.
h) Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i) Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j) Gerakan dada tidak sama waktu bernafas.
2) Sistem kardovaskular :
20
a) Nyeri dada meningkat karena pernafsan dan batuk
b) Takhikardia,lemah
c) Pucat,hb turun/normal
d) Hipotensi
3) Sistem persyarafan :
a) Tidak ada kelainan
4) Sistem perkemihan :
a) Tidak ada kelainan
5) Sistem percernaan :
a) Tidak ada kelainan
6) Sistem musculoskeletal- integument
a) Kemampuan sendi terbatas
b) Ada luka bekas tusukan benda tajam
c) Terdapat kelemahan
d) Kulit pucat, sianosis, berkeringatan, atau adanya kripitas subkutan.
7) Sistem endokrin :
a) Terjadi peningkatan metabolisme
b) Kelemahan
2. Diagnosa keperawatan
21
4. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
fungsi ventilasi.
5. Ansietas, penurunan kesadaran berhubungan dengan kebutuhan oksigen yang
tidak adekuat.
3. Intervensi Keperawatan
22
No Diagnosa NOC NIC
23
No Diagnosa NOC NIC
perifer
30. Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi yang
melebar,
bradikardi,penngkat
an sistolik)
31. Identifikasi
penyebab dari
perubaahan vital
sign
2. Perubahan 1. Pain level, Pain management
kenyamanan : Nyeri 2. Pain control
akut berhubungan 3. Comfort level 1. Lakukan pengkajian
dengan trauma Kriteria hasil : nyeri secara
jaringan dan reflek komprehensip
spasme otot sekunder. 1. Mampu mengontrol termasuk lokasi,
nyeri (tahu penyebab karakteristik, durasi,
nyeri, mampu frekuensi, kualitas,
menggunakan tehnik dan faktor presipitasi
nonfarmokologi 2. Observasi reaksi
untuk menggurangi nonverbal dari
nyeri, mencari ketidak nyamanan
bantuan) 3. Gunakan teknik
2. Melaporkan bahwa komunikasi
nyeri berkurang terapeutik untuk
dengan menggunakan mengetahui
manajmen nyeri pengalaman nyeri
3. Mampu mengenali pasien
nyeri (skala, intesitas, 4. Kaji kultur yang
frekuwensi dan tanda mempengaruhi
nyeri) respon nyeri
4. Menyatakan rasa 5. Evaluasi
nyaman setelah nyeri pengalaman nyeri
berkurang masa lampau
6. Evaliasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain
tentang ketidak
efektifan kontrol
nyeri masa lampu
7. Bantu pasien dan
kelurga untuk
24
No Diagnosa NOC NIC
mencari dan
menemukan
dukungan
8. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaru nyeri
seperti suhu
ruaangan,
pencahanyaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmokologi dan
interpersonal)
11. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi
12. Ajarurkan tentang
teknik non
farmokologi
13. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatan istirahat
16. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
17. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic
administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik,
25
No Diagnosa NOC NIC
26
No Diagnosa NOC NIC
27
No Diagnosa NOC NIC
28
No Diagnosa NOC NIC
29
No Diagnosa NOC NIC
relaksasi
4. Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, sebagai tempat
untuk menuangkan rencana asuhan ke dalam tindakan. Setelah rencana di
kembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien, perawat melakukan
intervensi keperawatan yang spesifik, yang mencakup tindakan perawat dan
tindakan dokter.
5. Evaluasi
Dalam proses keperawatan, evaluasi adalah suatu aktivitas yang
direncanakan, terus menerus, aktifitas yang disengaja dimana klien, keluarga dan
perawat serta tenaga kesehatan professional lainnya ikut serta dalam
menentukan(Potter & perry 2005). dengan menggunakan prinsip SOAP hendaknya
memperhatikan beberapa point sebagai berikut:
1. memantau apakah pasien menunjukan ketidak efektifan pola nafas
2. memantau adanya perubahan kenyamanan : nyeri akut
3. memantau adanya kerusakan integritas kulit.
4. memantau tingkat kesadran pasien
30
c. Edukasi
d. Konsep dalam pengkajian ulang pasien
e. Sumber data riset penelitian
f. Audit pemantauan perkembangan pasien
g. Dokumentasi legal
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma thoraks adalah suatu trauma yang mengenai dinding thoraks yang
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada organ didalamnya, baik
sebagai akibat dari suatu trauma tumpul atau trauma tajam. Perubahan bentuk pada
thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ
bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru-paru, sehingga dapat terjadi
beberapa kondisi patologis traumatik seperti Haematothorax, Pneumothorax, Flail
Chest, dan sebagainya.
Klien dengan trauma dada memiliki manifestasi klinik utama yaitu gangguan
pola bernafas dan nyeri yang timbul akibat terjadinya patahan pada tulang di
31
thoraks. Manifestasi klinis lainnya yaitu: ada jejas pada thorak, tekanan darah
menurun, dyspnea, takipnea, gelisah dan banyak lagi.
Daftar Pustaka
Nyoman, N. I., Widyastuti, S. R. I., Putu, N. I., Juli, E. V. A., & Sumadi, A. A. G. P. (n.d.).
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KLIEN DENGAN TRAUMA
THORAX. (0802105055), 0–26.
Rab Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.
32
33