Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Semakin berkembangnya jaman maka semakin maju pula pola pikir
manusia misalnya, manusia dapat menciptakan tranportasi yang sangat dibutuhkan
oleh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari, tapi selain segi positif timbul
pula segi negatif misalnya dengan alat tranportasi yang digunakan untuk
beraktifitas dapat menyebabkan kecelakaan, salah satu contohnya adalah fraktur
pada tulang dan dapat pula terjadi trauma pada dada.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut
digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang.
Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan
atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya
bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome
disorder.
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan
diseluruh kota besar di dunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian
akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika.
Sedangkan insiden penderita traumatoraks di Amerika Serikat diperkirakan 12
penderita per seribu populasi per hari dankematian yang disebabkan oleh
trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-15%  penderita trauma
tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian  besar
hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari
ancaman kematian. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama
5 tahun pada "UrbanTrauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul
toraks sebanyak 96.3% dariseluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak
3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks
masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan
mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih tinggi
(15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks(12.8%). Pengelolaan trauma
toraks, apapun jenis dan penyebabnya tetap harus menganut kaidah klasik dari

1
pengelolaan trauma pada umumnya yakni pengelolaan jalan nafas, pemberian
ventilasi dan kontrol hemodinamik. Pada trauma dada biasanya disebabkan
oleh benda tajam, kecelakaan lalulintas atau luka tembak. Bila tidak
mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga  paru-paru.
Mekanisme penyebabnya bisa satu tusukan kuat ataupun satu gerakan
mendadak yang hebat. Akibatnya, selain terjadi peradarahan dari rongga
paru-paru,udara juga akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh
karena itu, paru-paru padasisi yang luka akan mengempis. Penderita
nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan gerakan
iga disisi yang luka menjadi berkurang (Kartono,M. 1991).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru,
diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang
dapat menyebabkan gangguan system pernafasan
Gejala yang dapat dirasakan oleh pasien trauma dada yaitu: Nyeri pada
tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi, pembengkakan lokal dan krepitasi
yang sangat palpasi, pasien menahan dadanya dan bernafas pendek, dyspnea,
takipnea, takikardi, tekanan darah menurun, gelisah dan agitas, kemungkinan
cyanosis, batuk mengeluarkan sputum bercak darah, hypertympani pada perkusi
di atas daerah yang sakit dan ada jejas pada thorak.
Peran perawat pada kasus ini adalah mampu membantu proses
kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis, memberi motivasi dan menjaga
pasien. Selain itu perawat harus dapat menentukan asuhan keperawatan yang tepat
dalam menangani pasien dengan penyakit trauma dada.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus trauma dada, karena
peran dan fungsi perawat dalam merawat pasien trauma dada sangat penting,
selain trauma dada itu berbahaya, bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada
sistem saraf dan organ serta terganggunya pada sistem sirkulasi dalam darah.
Maka dari itu peran perawat dalam kasus trauma dada ini adalah membantu proses
kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis, mengayomi, memberi motivasi
dan menjaga pasien.

2
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Trauma Thorax ?
2.      Bagaimana anatomi fisiologi Thorax ?
3.      Apa penyebab Trauma Thorax ?
4.      Apa Manifestasi Klinik dari Trauma Thorax ?
5.      Apa komplikasi yang ditimbulkan dari Trauma thorax ?
6.      Bagaimana penanganan Trauma Thorax ?

C.     Tujuan Penulisan


1.      Untuk mengetahui pengertian Trauma Thorax
2.      Memberikan informasi tentang anatomi fisiologi Thorax
3.      Untuk mengetahui penyebab Trauma Thorax
4.      Untuk mengetahui Manifestasi Klinik dari Trauma Thorax
5.      Untuk mengetahui komplikasi yang di timbulkan Trauma Thorax
6.      Memberikan informasi tentang cara penanganan Trauma Thorax

D.    Manfaat Penulisan


1.      Sebagai bahan bacaan bagi Mahasiswa khususnya bidang Keperawatan
2.      Sebagai salah satu tugas dalam Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
3.      Memberikan informasi bagi para pembaca tentang Trauma Thorax

3
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
atau dada yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax atau dada
ataupun isi dari cavum thorax (rongga dada) yang disebabkan oleh benda tajam
atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan sakit pada dada.
Cidera pada dada secara luas diklasifikasikan menjadi dua kelompok
yaitu, cidera penetrasi dan tumpul. Cidera penetrasi (missal, pneumotoraks
terbukaa, hemotoraks, cidera trakeobronklial, kontusio pulmonal, ruptur
diagfragma) menggangu intergritas dinding dada dan mengakibatkan perubahan
dalam tekanan intratoraks. Cidera tumpul (missal, pneumotoraks tertutup,
pneumotoraks tensi, cidera trakeobronklial, fail chest, rupture diagfragma, cidera
mediastinal, fraktur rusuk) merusak struktur di dalam rongga dada ntanpa
mengganggu integritas dinding dada.
B.     Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Thorax
a. Dinding dada
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada
adalah tulang iga, columna vertebralis torakalis, sternum, tulang clavicula dan
scapula. Jaringan lunak yang membentuk dinding dada adalah otot serta
pembuluh darah terutama pembuluh darah intrerkostalis dan torakalis interna.
b. Kerangka dinding toraks
Kerangka dinding torak membentuk sangkar dada osteokartilogenous yang
melindungi jantung, paru-paru dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar).
Kerangka torak terdiri dari:
1)      Vertebra thoracica (12) dan discus intervertebralis
2)      Costa (12 pasang) dan cartilage costalis
3)      Sternum

4
c. Dasar toraks
Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus dan merupakan
struktur yang menyerupai kubah (dome-like structure). Diafragma membatasi
abdomen dari rongga torak serta terfiksasi pada batas inferior dari sangkar dada.
Diafragma termasuk salah satu otot utama pernapasan dan mempunyai lubang
untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior serta esophagus
d. Rongga toraks (Cavitas thoracis).
Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi oleh pleura
visceralis dan parietalis.
Rongga dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu ;
1)      Rongga dada kanan (cavum pleura kanan )
2)      Rongga dada kiri (cavum pleura kiri)
3)      Rongga dada tengah (mediastinum).
Pleura (selaput paru) adalah selaput tipis yang membungkus paru – paru :
Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;
1)      Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru –paru.
2)      Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.
Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk kantong
tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantong terisi
sedikit cairan pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut.
Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada. Mediastinum meluas dari
aperture thoracis superior ke diafragma di sebelah kaudal, dan dari sternum dan
cartilage costalis di sebelah ventral ke corpus vertebrae thoracica di sebelah
dorsal. Struktur dalam mediastinum diliputi oleh jaringan ikat, pembuluh darah
dan limfe, kelenjar limfe dan lemak. Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-
paru dan pleura parietalis memungkinkan mediastinum menyesuaikan diri kepada
perubahan gerak dan volume dalam rongga torak.
Mediastinum dibagi menjadi bagian cranial (mediastinum superius) dan bagian
kaudal. Mediastinum bagian atas meluas ke arah kaudal dari aperture thoracis
superior sampai pada bidang melalui angulus sterni dan tepi bawah veftebra T4.
Mediastinum bagian bawah yang meluas antara bidang tersebut dan diafragma,
dibedakan atas sektor ventral (mediastinum anterius), sector tengah (mediastinum

5
medius), dan sektor dorsal (mediastinum posterior). Dalam mediastinum medius
terdapat jantung dan pembuluh besar. Beberapa bangunan melintasi mediastinum
secara vertikal (misalnya esophagus) dan dengan demikian melewati lebih dari
satu sektor.
2. Fisiologi Torak
Pada inspirasi gerak dinding torak dan diafragma menghasilkan bertambahnya
ukuran torak vertical, tranversal dan dorsoventral serta volume intratorakal.
Perubahan tekanan menyebabkan inspirasi dan ekspirasi udara secara bergantian
ke dalam/keluar dari paru-paru melalui hidung, mulut, laring dan trakea, dan
sebaliknya. Pada ekspirasi, diafragma, muskulus intercostalis dan otot lainnya
mengalami relaksasi sehingga volume intratorakal berkurang dan tekanan
intratorakal meningkat. Jaringan paru-paru yang lentur dan teregang menebal
kekeadaan semula (recoil), dan cukup banyak udara terdesak keluar. Bersamaan
dengan ini tekanan intraabdominal berkurang.
a.       Inspirasi : dilakukan secara aktif
b.      Ekspirasi : dilakukan secara pasif
c.       Fungsi respirasi :
1)      Ventilasi : memutar udara.
2)      Distribusi : membagikan
3)      Diffusi : menukar CO2 dan O2
4)      Perfusi : darah arteriel dibawah ke jaringan.

C.     Penyebab
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
1.      Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy
ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada
tanpa pelonggaran balutan.
2.      Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
3.      Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa
benda berat.
4.      Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
5.      Fraktur tulang iga

6
6.      Tindakan medis (operasi)
7.      Pukulan daerah torak
D.    Manifestasi Klinik
v  Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
v  Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
v  Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
v  Dyspnea, takipnea
v  Takikardi
v  Tekanan darah menurun.
v  Gelisah dan agitasi
v  Kemungkinan cyanosis.
v  Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
v  Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
v  Ada jejas pada thorak
v  Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
v  Bunyi muffle pada jantung
v  Perfusi jaringan tidak adekuat
v  Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan
pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

E.     Komplikasi Trauma Thorax


1. Yang terkait dengan tidak stabilnya dinding dada :
a. Nyeri berkepanjangan, meskipun luka sudah sembuh. Mungkin karena callus atau
jaringan parut yang menekan saraf interkostal. Terapi konservatif dengan
analgesik atau pelunak jaringan parut.
b. Osteomylitis, dilakukan squesterisasi dan fiksasi.
c. Retensi sputum, karena batuk tidak adequat dan dapat menimbulkan pneumoni.
Diperlukan pemberian mukolitik.
2. Yang terkait dengan perlukaan dan memar paru:
a. Infiltrat paru dan efusi pleura, yang memerlukan pemasangan WSD untuk waktu
yang lama.
b. Empiema, yang terjadi lambat dan memerlukan WSD dan antibiotik.

7
c. Pneumoni, merupakan komplikasi yang berbahaya dan perlu diberi pengobatan
yang optimal. Bila distress pernafassan berkelanjutan maka diperlukan
pemasangan respirator.
d. Fistel bronkopleural, ditandai dengan gejala kolaps paru yang tidak membaik.
Memerlukan tindak bedah lanjut berupa torakotomi eksploratif dan penutupan
fistelnya.
e. Chylotoraks lambat.
3. Komplikasi lain di luar paru dan pleura :
a. Mediastinitis, merupakan komplikasi yang sering fatal. Bila terjadi pernanahan
maka harus dilakukan drainase mediastinum.
b. Fistel esofagus, dapat ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis atau ke
pleura dan menimbulkana empiema atau efusi pleua. Diperlukan tindakan bedah
untuk menutup fistel.
c. Hernia diafragmatika lambat, memerlukan koreksi bedah.
d. Kalainan jantung, terutama pada luka tembus dan trauma tajam pada jantung.
Memerlukan tindakan bedah dan pembedahan jantung terbuka.
F.      Penanganan Trauma Thorax
1. Konservatif
a. Pemberian analgetik
b. Pemasangan plak/plester
c. Jika perlu antibiotika
d. Fisiotherapy
2. Operatif/invasif
a. Pamasangan Water Seal Drainage (WSD).
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan
udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum
dengan menggunakan pipa penghubung.
·   Indikasi
1.      Pneumothoraks
2.      Hemothoraks
3.      Thorakotomy
4.      Efusi pleura

8
5.      Emfiema
·   Tujuan
a.       Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
b.      Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
c.       Mengembangkan kembali paru yang kolaps
d.      Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
·   Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
ü anterolateral interkosta ke 1-2
ü fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
ü postero lateral interkosta ke 8-9
ü fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
·   Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
ü Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks
ü Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang
yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol

ü Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm
untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan
kolaps paru

ü Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi


udara dari rongga pleura keluar

ü Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi

ü Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :


v  Inspirasi akan meningkat
ü Ekpirasi menurun
b. WSD dengan sistem 2 botol
ü Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2
botol water seal

9
ü Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan
hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di
botol 2 yang berisi water seal
ü Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga
pleura masuk ke water seal botol 2
ü Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui
selang masuk ke WSD
ü Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks,
efusi peural
c. WSD dengan sistem 3 botol
ü Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah
hisapan yang digunakan
ü Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
ü Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3.
Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam
dalam air botol WSD
ü Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
ü Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
 Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
 Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
 Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka
ke atmosfer
·   Komplikasi Pemasangan WSD
ü  Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial
aritmia
ü  Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
·   Prosedur pemasangan WSD
a. Pengkajian
ü Memeriksa kembali instruksi dokter
ü Mencek inform consent
ü Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan

10
b. Persiapan pasien
ü Siapkan pasien
ü Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
c. Persiapan alat
ü Sistem drainage tertutup
ü Motor suction
ü Slang penghubung steril
ü Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau
jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut dan jarumnya, duk
bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor,
set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat
dilaksanakan dengan baik, dan perawat member dukungan moril pada pasien.
e. Tindakan setelah prosedur
ü Perhatikan undulasi pada sleng WSD
ü Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
 Motor suction tidak berjalan
 Slang tersumbat
 Selang terlipat
 Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa
kondisi sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas
 Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar.
 Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang
telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air.
 Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui
jumlah cairan yg keluar.
 Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama.
 Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan.
 Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan
jangan sampai slang terlipat.

11
 Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi.
 Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu.
 Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan
yang dibuang.
 Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran.
 Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis,
emphysema subkutan.
 Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk
efektif .
 Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh.
 Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD.
 Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan
latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
b. Pemasangan alat bantu nafas.
c. Pemasangan drain.
d. Aspirasi (thoracosintesis).
e. Operasi (bedah thoraxis)
f. Tindakan untuk menstabilkan dada:
1) Miring pasien pada daerah yang terkena.
2) Gunakan bantal pasien pada dada yang terkena
g. Gunakan ventilasi mekanis dengan tekanan ekspirai akhir positif, didasarkan pada
kriteria sebagai berikut:
1) Gejala contusio paru
2) Syok atau cedera kepala berat.
3) Fraktur delapan atau lebih tulang iga.
4) Umur diatas 65 tahun.
5) Riwayat penyakit paru-paru kronis.
h. Pasang selang dada dihubungkan dengan WSD, bila tension Pneumothorak
mengancam.
i. Oksigen tambahan.

12
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
atau dada yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax atau dada
ataupun isi dari cavum thorax (rongga dada) yang disebabkan oleh benda tajam
atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan sakit pada dada.
Thorax terdiri dari dinding dada, kerangka dinding dada, dasar thorax,
rongga thorax. Pada inspirasi gerak dinding torak dan diafragma menghasilkan
bertambahnya ukuran torak vertical, tranversal dan dorsoventral serta volume
intratorakal.
Trauma dada dapat disebabkan oleh : Tension pneumothorak-trauma
dada pada selang dada, penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan,
penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan,
Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM, Kontusio paru-cedera
tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat,
Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak), Fraktur
tulang iga, Tindakan medis (operasi), Pukulan daerah torak.
Tanda dan gejala Trauma Thorax : Nyeri pada tempat trauma, bertambah
pada saat inspirasi, Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi, Pasien
menahan dadanya dan bernafas pendek, Dyspnea, takipnea, Takikardi, Tekanan
darah menurun, Gelisah dan agitasi, Kemungkinan cyanosis, Batuk mengeluarkan
sputum bercak darah, Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
Komplikasi Trauma Thorax dapat berupa nyeri berkepanjangan,
meskipun luka sudah sembuh. Mungkin karena callus atau jaringan parut yang
menekan saraf interkostal. Terapi konservatif dengan analgesik atau pelunak
jaringan parut, Osteomylitis, dilakukan squesterisasi dan fiksasi, Retensi sputum,
karena batuk tidak adequat dan dapat menimbulkan pneumoni. Diperlukan
pemberian mukolitik, Infiltrat paru dan efusi pleura, yang memerlukan
pemasangan WSD untuk waktu yang lama, Empiema, yang terjadi lambat dan
memerlukan WSD dan antibiotik, Pneumoni, merupakan komplikasi yang

13
berbahaya dan perlu diberi pengobatan yang optimal. Bila distress pernafassan
berkelanjutan maka diperlukan pemasangan respirator, Fistel bronkopleural,
ditandai dengan gejala kolaps paru yang tidak membaik. Memerlukan tindak
bedah lanjut berupa torakotomi eksploratif dan penutupan fistelnya, Chylotoraks
lambat.
B.     Saran
Dalam penyusunan Makalah ini penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan
saran bagi para pembaca demi penyempurnaan penyusunan Makalah selanjutnya.
Kepada para pembaca, perbanyaklah dan perluaslah pengetahuan dan
wawasan kita dengan rajin membaca. Jangan pernah merasa puas dengan ilmu
yang sudah kita miliki karena ilmu pengetahuan semakin hari semakin meningkat
seiring dengan perkembangan zaman.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus kedokteran. EGC: Jakarta.

FKUI. 1995. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Binarupa Aksara: Jakarta.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi 6. EGC:


Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan medikal-bedah brunner and suddarth.


Edisi 8 Volume 3. EGC: Jakarta.

Syamsuhidayat,R., Wim De Jong. 1995. Buku ajar bedah. EGC: Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai