Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

Patent Ductus Arteriosus


(PDA)

Oleh :
Zakya Amelia 1940312033
Aisa Mutiara Akbar 1840312759
Ahmad Iqram Bin Mohamed Sufee Al Qasasy 1840312403

Preseptor :
dr. Fitria Rahmadani , Sp. A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul Patent Ductus Arteriosus.
Makalah ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Fitria Rahmadani Sp. A selaku pembimbing
yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, 9 Maret 2020

Penuli
s
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar istilah
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Batasan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Duktus Arteriosus
2.2 Perubahan Sirkulasi Janin ke Neonatus
2.3 Patent Ductus Arteriosus
BAB 3 Laporan Kasus
3.1 Identitas Pasien
3.2 Anamnesis
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.5 Daftar Masalah
3.6 Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
3.7 Penatalaksanaan
3.8 Diagnosis
3.9 Follow Up
BAB 4 Diskusi
DAFTAR GAMBAR

2.1 Pola Pembentukan Arkus Faringeal


2.2 Tahapan Maturasi Duktus
DAFTAR SINGKATAN
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah kegagalan duktus arteriosus untuk
menutup setelah kelahiran. Duktus arteriosus, pada keadaan normal, akan
menutup dua hingga tiga hari setelah bayi dilahirkan. 1 PDA merupakan struktur
pembuluh darah yang menghubungkan aorta desendens bagian proksimal dengan
arteri pulmonalis, biasanya di dekat percabangan kiri arteri pulmonalis. Duktus
arteriosus merupakan struktur normal dan penting bagi janin, tetapi menjadi
abnormal bila tetap terbuka setelah masa neonatus.2
Saat ini, kejadian PDA meliputi 6% hingga 11% dari semua kejadian kelainan
kongenital. Sebanyak 1 bayi menderita PDA dalam setiap 2.500 hingga 5.000
kelahiran hidup.2Di Indonesia, terdapat empat ribu bayi lahir dengan PDA setiap
tahunnya. Insidensi PDA lebih tinggi pada bayi prematur, yaitu delapan setiap
seribu kelahiran bayi kurang bulan.3
PDA sedang dan besar sering menyebabkan gagal jantung dan gangguan
pertumbuhan pada anak. Beberapa komplikasi lain yang berpotensi terjadi setelah
kelahiran antara lain disfungsi ginjal, enterokolitis nekrotikan, perdarahan
intraventrikel, malnutrisi, serta menjadi faktor risiko terhadap perkembangan
penyakit paru kronis.4,5,6
Penanganan terhadap PDA terus berkembang seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada awalnya, penatalaksanaan PDA secara
invasif dilakukan melalui tindakan pembedahan. Operasi bertujuan untuk meligasi
PDA. Ligasi pertama kali dilakukan oleh dr. Robert Gross di Rumah Sakit Anak
Boston pada tahun 1938. Metode transkateter awalnya dikembangkan oleh
Porstman, yang mempraktikkannya pertama kali pada tahun 1967. Perkembangan
alat penutup PDA terus berlanjut hingga dekade – dekade berikutnya, seperti
Gianturco coil yang diperkenalkan oleh Cambier dan Moore pada tahun 1992, dan
Amplatzer Duct Occluder (ADO) yang menjadi alat penutup PDA pertama yang
diakui secara resmi oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat.7,8
Penutupan duktus diindikasikan pada PDA yang menimbulkan gejala dengan
pirau dari kiri ke kanan yang bermakna. Metode transkateter telah menjadi pilihan
utama dalam tata laksana PDA. Keuntungan dari transkateterisasi adalah angka
keberhasilan yang tinggi, mengurangi lama rawat, dan angka morbiditas yang
rendah dibandingkan dengan tindakan bedah.9,10

1.2 Batasan Masalah


Penulisan Case report ini membahas mengenai laporan kasus Patent Ductus
Arteriosus di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan Case report ini adalah membahas mengenai laporan kasus
mengenai Patent Ductus Arteriosus di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.

1.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini diulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang dirujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Duktus Arteriosus


2.1.1. Embriologi duktus arteriosus
Sistem vaskuler embrio dimulai dari prekusor endotel yang membentuk
pleksus endotel di dalam mesoderm splnchnic. Selama perkembangan, terjadi
perubahan bentuk secara intensif. Setelah embrio melipat, pleksus endotel di regio
jantung bergabung di dalam jaringan otot jantung. Pembuluh omphalomesenteric
memasuki jantung pada ujung vena, sementara ujung arteri terhubung dengan
aorta dorsalis melalui arkus arteri faringeal simetris. 11
Perkembangan arteri dimulai dengan diferensiasi sel menjadi sel otot
polos. Perbedaan yang terdapat pada produksi matriks dan pertumbuhan
bertanggungjawab terhadap perkembangan fenotip dari arteri elastis dan
muskular. Pola pembentukan arkus faringeal (gambar 2.1) dipengaruhi oleh
neural crest cell, sel – sel otot polos, dan sistem saraf yang berada di sekeliling
arkus. Duktus arteriosus berkembang dari arteri arkus faringeal keenam, yang
berada pada sisi kiri dalam perkembangan normal. Selama perubahan bentuk
arkus faringeal, pada duktus tersebut terbentuk dinding otot, sedangkan arteri –
arteri besar di sekelilingnya menjadi arteri elastis. Alasan terhadap rangkaian
perkembangan duktus yang spesifik dan unik tersebut masih belum diketahui.11
Gambar 2.1 Pola Pembentukan Arkus Faringeal11

Keterangan : AAo = ascending aorta (aorta asendens), AoSac = aortic sac


(kantung aorta), CoA = coronary arteries (arteri coroner), DA =duktus arteriosus,
DesAo = descending aorta (aorta desendens), PA = pulmonary artery (arteri
pulmonal), PT = pulmonary trunk (trunkus pulmonalis), LDAo = left descending
aorta (aorta desendens kiri), LCA = left carotid artery (arteri karotis kiri), LSA =
left subclavian artery (arteri subklavia kiri), RCA = right carotid artery (arteri
karotis kanan), RDAo = right descending aorta (aorta desendens kanan), RSA =
right subclavian artery (arteri subklavia kanan); III, IV, and VI merujuk pada
arkus.

2.1.2. Maturasi duktus arteriosus


Perubahan struktural yang signifikan dari morfologi vaskular sebagau
persiapan untuk penutupan duktus pada masa setelah kelahiran dimulai pada masa
akhir kehamilan.(gambar 2.2).
Gambar 2.2 Tahapan Maturasi Duktus17

Pada trimester kedua masa kehamilan, struktur duktus merupakan arteri


dengan lapisan otot, lamina interna yang berjumlah satu atau terduplikasi secara
lokal, dan lapisan intima yang sangat tipis. Dalam perkembangan lebih lanjut,
munculah bantalan intima. Pada saat kelahiran, lamina interna yang elastis telah
terpecah dan bantalan intima menjadi semakin jelas. Penebalan intima, bersama
juga dengan konstriksi yang bergantung dengan oksigen, secara fungsional akan
menutup duktus arteriosus selama jam – jam awal setelah kelahiran. Penutupan
anatomis, diferensiasi, apoptosis sel – sel otot polos, dan reorientasi sel endotel
akan berujung pada morfologi definitif ligamentum arteriosum.11
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses penutupan duktus
arteriosus antara lain:
1. peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2) menyebabkan konstriksi duktus,
sebaliknya hipoksia akan menyebabkan duktus melebar, oleh karena itu,
duktus arteriosus persisten lebih banyak ditemukan pada keadaan dengan
PaO2 yang rendah, termasuk bayi dengan sindrom gangguan pernafasan,
prematuritas, dan bayi yang lahir di dataran tinggi;
2. peningkatan kadar katekolamin (norepinefrin, epinefrin) berhubungan dengan
konstriksi duktus;
3. penurunan kadar prostaglandin berhubungan dengan penutupan duktus,
sebaliknya pemberian prostaglandin eksogen menghalangi penutupan
duktus.12,13,14

2.2 Perubahan Sirkulasi Janin Ke Neonatus


2.2.1. Sirkulasi janin
Pada sirkulasi fetus, ventrikel kanan dan kiri berada pada sirkuit yang
paralel, berbeda dengan sirkuit pada bayi baru lahir dan orang dewasa. Pada fetus,
plasenta diperlukan untuk pertukaran gas dan metabolit. Pada paru – paru, tidak
terjadi pertukaran gas, dan pembuluh darah pada sirkulasi paru akan mengalami
vasokonstriksi. Ada tiga struktur unik dari sistem kardiovaskular pada fetus yang
penting untuk mempertahankan sirkulasi paralel tersebut, diantaranya duktus
venosus, foramen ovale dan duktus arteriosus.15
Darah yang kaya oksigen mengalir dari plasenta kepada fetus melaluui
vena umbilikalis dengan tekanan parsial oksigen (PO2) sebesar 30 – 35 mmHg.
Hampir 50% darah dari vena umbilikus masuk ke sirkulasi hepatik, dimana
selebihnya melewati hati, dan bergabung dengan vena cava inferior melalui
duktus venosus, sebagian kecil bercampur dengan darah dengan oksigenasi yang
buruk di vena cava inferior pada tubuh bagian bawah fetus. Pencampuran darah
dari bagian tubuh bawah dengan vena umbilikus (PO2 diperkirakan 26 -28
mmHg) memasuki atrium kanan dan secara langsung melewati foramen oval ke
atrium kiri. Aliran darah selanjutnya masuk ke ventrikel kiri dan dipompakan ke
aorta asendens. Darah dari vena cava superior pada fetus, yang sedikit kadar
oksigennya (PO2 = 12 – 14 mmHg), masuk ke atrium kanan dan diteruskan ke
katup trikuspid lebih banyak dari foramen ovale dan mengalir ke ventrikel
kanan.15
Pada ventrikel kanan, darah dipompakan menuju ateri pulmonalis, tetapi
karena arteri pulmonalis tersebut vasokonstriksi, hanya 10% dari aliran darah
ventrikel kanan masuk ke paru – paru. Sebagian besar jumlah darah, dengan PO2
yang diperkirakan sebesar 18 – 22 mmHg, melewati paru –paru dan mengalir
langsung lewat duktus arteriosus menuju ke aorta asendens untuk memperdarahi
bagian tubuh bawah dari fetus yang kemudian kembali ke plasenta lewat dua
arteri umbilikus. Dengan begitu, bagian tubuh atas dari fetus, termasuk arteri
koronaria, arteri serebri, dan arteri pada ekstermitas atas, dipasok darah dari
ventrikel kiri dengan darah yang memiliki tekanan PO2 sedikit lebih tinggi dari
pancaran darah dari tubuh bagian bawah (yang sebagian besar berasal dari
ventrikel kanan). Hanya sedikit volume darah dari aorta asendens (10% dari
cardiac output fetus) yang lewat melalui isthmus aorta ke aorta desendens.15
Cardiac output total dari bayi sekitar 450 ml/kg/min. Diperkirakan 65%
dari aliran darah aorta desendens kembali ke plasenta dan 35% memperdarahi
organ - organ dan jaringan dari fetus. Pada masa fetus ventrikel kanan
memompakan darah tidak hanya melawan tekanan darah tetapi juga mengeluarkan
volume yang lebih besar dari yang dipompakan ventrikel kiri.15
2.2.2. Sirkulasi neonatus
Pada saat lahir sirkulasi bayi akan dengan cepat beradaptasi dengan
keadaan di luar rahim karena pertukaran gas berpindah dari plasenta ke paru –
paru. Beberapa dari perubahan ini sebenarnya spontan bersama dengan pernafasan
pertama dan yang lain dipengaruhi selama beberapa jam atau beberapa hari. Pada
mulanya, ada penurunan ringan tekanan darah sistemik, kemudian tekanan darah
naik dengan semakin bertambahnya umur. Frekuensi jantung melambat sebagai
akibat respons baroreseptor pada kenaikan tahanan vaskuler sistemik bila sirkulasi
plasenta dihilangkan. Rata - rata tekanan aorta sentral pada neonatus cukup bulan
adalah 75/50 mmHg.
Pada neonatus yang normal, penutupan duktus arteriosus dan penurunan
tekanan darah pulmonal mengakibatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan
ventrikel kanan. Pada minggu pertama kehidupan, penurunan tekanan vaskuler
pulmonal akan lebih banyak akibat perubahan bentuk vaskularisasi pulmonal,
termasuk penipisan otot polos pada pembuluh darah dan pembentukan pembuluh
darah baru. Penurunan tekanan vaskuler ini mempengaruhi gejala klinis pada
penyakit jantung kongenital yang bergantung pada perdarahan sistemik.
Duktus arteriosus yang normal, secara morfologi, berada pada gabungan
aorta dan arteri pulmonalis, serta terdapat otot polos yang berbentuk sirkuler pada
bagian tunika media. Selama kehidupan janin duktus arteriosus digunakan untuk
mengontrol kadar oksigen yang rendah dan memproduksi prostaglandin endogen.
Pada neonatus cukup bulan oksigen merupakan faktor yang penting untuk
menutup duktus arteriosus. Bila PO2 darah yang lewat melalui duktus arteriosus
mencapai sekitar 50 mmHg, maka dinding duktus akan konstriksi. Efek oksigen
pada otot polos di duktus dapat berefek langsung atau diperantarai oleh
pengaruhnya pada sintesis prostaglandin. Umur kehamilan juga berperan penting
dan ductus bayi prematur kurang sensitif terhadap oksigen, walaupun otot –
ototnya berkembang.15

2.3. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


2.3.1. Definisi PDA
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah kegagalan duktus arteriosus untuk
menutup setelah kelahiran. Duktus arteriosus, pada keadaan normal, akan
menutup dua hingga tiga hari
setelah bayi dilahirkan.1Secara fungsional, duktus arteriosus menutup pada sekitar
90% bayi cukup bulan atau aterm dalam 48 jam setelah lahir. Secara persisten,
beberapa intermiten, terbukanya duktus hingga selama sepuluh hari setelah
kelahiran ditemukan pada pasien dengan kelainan sirkulasi dan ventilasi, bahkan
periode patensi yang lebih lama banyak ditemukan pada bayi prematur.16

2.3.2. Epidemiologi PDA


Faktor – faktor yang bertanggung jawab terhadap tetap terbukanya duktus
arteriosus melebihi 24 – 48 jam awal kehidupan bayi baru lahir belum diketahui
secara sempurna. Prematuriras dengan jelas meningkatkan insidensi PDA, dan hal
ini diakibatkan faktor fisiologis yang lebih berhubungan dengan prematuritas
daripada kelainan duktus itu sendiri.16Pada bayi cukup bulan, kasus yang sering
muncul terjadi secara sporadis, tetapi terdapat peningkatan bukti – bukti yang
menunjukkan bahwa faktor genetik berperan pada banyak pasien dengan PDA. Di
samping itu, faktor lain seperti infeksi pada masa kehamilan juga ditemukan
berperan pada beberapa kasus.17
Insidensi PDA pada bayi cukup bulan dilaporkan hanya satu dalam dua
ribu kelahiran, terhitung 5% - 10% dari semua penyakit jantung bawaan.2Insidensi
PDA pada bayi prematur jauh lebih tinggi, dengan angka antara 20% - 60%
(tergantung pada populasi dan kriteria diagnostik). 4 Peningkatan insidensi PDA
pada bayi prematur atau kurang bulan biasanya diakibatkan oleh
ketidaksempurnaan mekanisme penutupan karena imaturitas. Umur kehamilan
dan berat badan lahir sangat berkaitan dengan PDA pada bayi prematur. Secara
spesifik, PDA terdapat pada 80% bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1.200
gram, dibandingkan dengan 40% bayi dengan berat badan kurang dari 2.000
gram.18Lebih jauh, PDA simptomatik ditemukan terdapat pada 48% bayi dengan
berat badan lahir kurang dari 1.000 gram. Hubungan yang berbanding terbalik
antara berat badan lahir dengan
insidensi PDA.19
2.3.3. Faktor risiko PDA
Faktor yang bertanggung jawab atas PDA belum dimengerti sepenuhnya.
Prematuritas secara jelas meningkatkan insidensi PDA dan hal ini lebih
disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis yang berhubungan dengan prematuritas
dari pada abnormalitas duktus. Pada bayi cukup bulan, kasus lebih sering terjadi
secara sporadik, tetapi terdapat peningkatan bukti bahwa faktor genetik berperan
pada pasien dengan PDA. Sebagai tambahan, faktor-faktor lain seperti infeksi
prenatal juga memiliki peran.
PDA lebih sering terjadi pada sindroma-sindroma genetik tertentu,
termasuk dengan perubahan kromosom yang diketahui seperti trisomi 21 dan
sindroma 4p, mutasi gen tunggal seperti Carpenter syndrome dan Holt-Oram
syndrome, mutasi terkait kromosom X seperti inkontinensia pigmenti. Infeksi
rubela pada kehamilan trimester pertama, terutama pada empat minggu pertama
berhubungan dengan insidensi PDA. PDA juga dilaporkan mempunyai hubungan
dengan faktor lingkungan lain seperti fetal valproate syndrome.2

2.3.4. Patofisiologi PDA


Duktus arteriosus berasal dari lengkung aorta dorsal distal ke enam dan
secara utuh dibentuk pada usia ke delapan kehamilan. Perannya adalah untuk
mengalirkan darah dari paru-paru fetus yang tidak berfungsi melalui hubungannya
dengan arteri pulmonal utama dan aorta desendens proksimal. Pengaliran kanan
ke kiri tersebut menyebabkan darah dengan konsentrasi oksigen yang cukup
rendah untuk dibawa dari ventrikel kanan melalui aorta desendens dan menuju
plasenta, dimana terjadi pertukaran udara. Sebelum kelahiran, kira-kira 90%
curahan ventrikel mengalir melalui duktus arteriosus. Penutupan duktus arteriosus
pada bayi kurang bulan berhubungan dengan angka morbiditas yang signifikan,
termasuk gagal jantung kanan. Biasanya, duktus arteriosus menutup dalam 24-72
jam dan akan menjadi ligamentum arteriosum setelah kelahiran cukup bulan. 20
Konstriksi dari duktus arteriosus setelah kelahiran melibatkan interaksi
kompleks dari peningkatan tekanan oksigen, penurunan sirkulasi prostaglandin E2
(PGE2), penurunan resepetor PGE2 duktus dan penurunan tekanan dalam duktus.
Hipoksia dinding pembuluh dari duktus menyebabkan penutupan melalui inhibisi
dari prostaglandin dan nitrik oksida di dalam dinding duktus. 20
Patensi dari duktus arteriosus biasanya diatur oleh tekanan oksigen fetus
yang rendah dan sirkulasi dari prostanoid yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakidonat oleh siklooksigenase (COX) dengan PGE2 yang menghasilkan
relaksasi duktus yang paling hebat di antara prostanoid lain. Relaksasi otot polos
dari duktus arteriosus berasal dari aktivasi reseptor prostaglandin G berpasangan
EP4 oleh PGE2. Setelah aktivasi reseptor prostaglandin EP4, terjadi kaskade
kejadian yang termasuk akumulasi siklik adenosine monofosfat, peningkatan
protein kinase A dan penurunan miosin rantai ringan kinase, yang menyebabkan
vasodilatasi dan patensi duktus arteriosus. 20
Dalam 24-72 jam setelah kelahiran cukup bulan, duktus arteriosus
menutup sebagai hasil dari peningkatan tekanan oksigen dan penurunan sirkulasi
PGE2 dan prostasiklin. Seiring terjadinya peningkatan tekanan oksigen, kanal
potassium dependen voltase pada otot polos terinhibisi. Melalui inhibisi tersebut,
influx kalsium berkontribusi pada konstriksi duktus. Konstriksi yang disebabkan
oleh oksigen tersebut gagal terjadi pada bayi kurang bulan dikarenakan
ketidakmatangan reseptor perabaan oksigen. Kadar dari PGE2 dan prostaglandin
I1 (PGI1) berkurang disebabkan oleh peningkatan metabolisme pada paru-paru
yang baru berfungsi dan juga oleh hilangnya sumber plasenta. Penurunan dari
kadar vasodilator tersebut menyebabkan duktus arteriosus berkontriksi. Faktor-
faktor tersebut berperan dalam konstriksi otot polos yang menyebabkan hipoksia
iskemik dari dinding otot bagian dalam duktus arteriosus. 20
Selagi duktus arteriosus berkonstriksi, area lumen berkurang yang
menghasilkan penebalan dinding pembuluh dan hambatan aliran melalui vasa
vasorum yang merupakan jaringan kapiler yang memperdarahi sel-sel luar
pembuluh. Hal ini menyebabkan peningkatan jarak dari difusi untuk oksigen dan
nutrisi, termasuk glukosa, glikogen dan adenosine trifosfat yang menghasilkan
sedikit nutrisi dan peningkatan kebutuhan oksigen yang menghasilkan kematian
sel. Konstriksi ductal pada bayi kurang bulan tidak cukup kuat. Oleh karena itu,
bayi kurang bulan tidak bias mendapatkan hipoksia otot polos, yang merupakan
hal utama dalam merangsang kematian sel dan remodeling yang dibutuhkan untuk
penutupan permanen duktus arteriosus. Inhibisi dari prostaglandin dan nitrik
oksida yang berasal dari hipoksia jaringan tidak sebesar pada neonatus kurang
bulan dibandingkan dengan yang cukup bulan, sehingga menyebabkan lebih lanjut
terhadap resistensi penutupan duktus arteriosus pada bayi kurang bulan. 20
Pemberi nutrisi utama pada duktus arteriosus di bagian lumen, namun vasa
vasorum juga merupakan pemberi nutrisi penting pada dinding luar duktus. Vasa
vasorum berkembang ke dalam lumen dan memiliki panjang 400-500 μm dari
dinding luar duktus. Jarak antara lumen dan vasa vasorum disebut sebagai zona
avaskular dan melambangkan jarak maksimum yang mengizinkan terjadinya
difusi nutrisi. Pada bayi cukup bulan, zona avaskular tersebut berkembang
melebihi jarak difusi yang efektif sehingga menyebabkan kematian sel. Pada bayi
kurang bulan, zona avaskuler tersebut tidak mengembang secara utuh yang
menyebabkan sel tetap hidup dan menyebabkan terjadinya patensi duktus. Apabila
kadar PGE2 dan prostaglandin lain menurun melalui inhibisi COX, penutupan
dapat terfasilitasi. Sebagai hasil dari defisit nutrisi dan hipoksia iskemik, vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan kombinasinya dengan mediator
peradangan lain menyebabkan remodeling dari duktus arteriosus menjadi ligamen
non kontraktil yang disebut ligamentum arteriosum. 20

2.3.5. Klasifikasi dan manifestasi klinis PDA


Terdapat beberapa bentuk manifestasi klinis PDA yang mempunyai
beberapa perbedaan, tergantung dari klasifikasi PDA, yaitu PDA kecil, PDA
sedang atau moderat, PDA besar, dan PDA besar dengan hipertensi pulmonal.
PDA kecil dengan diameter 1,5-2,5 milimeter biasanya tidak memberi gejala.
Tekanan darah dan tekanan nadi dalam batas normal. Jantung tidak membesar.
Kadang teraba getaran bising di sela iga II kiri sternum. Pada auskultasi terdengar
bising kontinu, machinery murmur yang khas untuk PDA, di daerah subklavikula
kiri. Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, bunyi jantung kedua mengeras dan
bising diastolik melemah atau menghilang.21
PDA sedang atau moderat dengan diameter 2,5-3,5 milimeter biasanya
timbul sampai usia dua sampai lima bulan tetapi biasanya keluhan tidak berat.
Pasien mengalami kesulitan makan, seringkali menderita infeksi saluran nafas,
namun biasanya berat badannya masih dalam batas normal. Anak lebih mudah
lelah tetapi masih dapat mengikuti permainan. PDA besar dengan diameter >3,5-
4,0 milimeter menunjukkan gejala yang berat sejak minggu-minggu pertama
kehidupannya. Ia sulit makan dan minum, sehingga berat badannya tidak
bertambah. Pasien akan tampak sesak nafas (dispnea) atau pernafasan cepat
(takipnea) dan banyak berkeringat bila minum.22
PDA besar yang tidak diobati dan berkembang menjadi hipertensi
pulmonal akibat penyakit vaskular paru, yakni suatu komplikasi yang ditakuti.
Komplikasi ini dapat terjadi pada usia kurang dari satu tahun, namun jauh lebih
sering terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3. Komplikasi ini berkembang secara
progresif, sehingga akhirnya ireversibel, dan pada tahap
tersebut operasi koreksi tidak dapat dilakukan.23

2.3.6. Diagnosis PDA


Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
PDA, antara lain pemeriksaan radiologi, elektrokardiografi, ekokardiografi, serta
kateterisasi dan angiokardiografi. Dalam pemeriksaan radiologi, pada PDA
simpel, gambaran radiografi tergantung pada ukuran defeknya. Jika defeknya
kecil biasanya jantung tidak tampak membesar. Jika defeknya besar kedua atrium
kiri dan ventrikel kiri juga tampak membesar. 24
Pemeriksaan elektrokardiografi, gambaran elektrokardiogram (EKG) bisa
terlihat normal atau mungkin juga terlihat manifestasi dari hipertrofi dari ventrikel
kiri. Hal tersebut tergantung pada besar defeknya. Pada pasien dengan hipertensi
pulmonal yang di sebabkan peningkatan aliran darah paru, hipertrofi pada kedua
ventrikel data tergambarkan melalui EKG atau dapat juga terjadi hipertrofi
ventrikel kanan saja. 24
Melalui pemeriksaan ekokardiografi, dapat dilihat visualisasi secara
langsung dari duktus tersebut dan dapat mengkonfirmasi secara langsung drajat
dari defek tersebut. Pada bayi kurang bulan dengan suspek PDA dapat dilihat dari
ekokardiografi untuk mengkonfirmasi diagnosis. Mendeteksi jika sudah terjadi
shunt dari kiri ke kanan. 24
Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi jantung hanya dilakukan bila
terdapat hipertensi pulmonal, yaitu dimana secara Doppler ekokardiografi tidak
terlihat aliran diastolik. Pada kateterisasi didapat kenaikan saturasi oksigen di
arteri pulmonalis. Bila tekanan di arteri pulmonalis meninggi perlu di ulang
pengukurannya dengan menutup PDA dengan kateter balon. Angiografi ventrikel
kiri dilakukan untuk mengevaluasi fungsinya dan juga melihat kemungkinan
adanya defek septum ventrikel atau kelainan lain yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan ekokardiografi.24

2.3.7. Penatalaksanaan PDA


Terdapat beberapa jenis terapi untuk menangani kasus – kasus PDA, yaitu
terapi medikamentosa, terapi bedah, dan penutupan secara transkateter. Terapi
medikamentosa diberikan terutama pada duktus ukuran kecil, dengan tujuan
terjadinya kontriksi otot duktus sehingga duktus menutup. Salah satu jenis obat
yang sering diberikan adalah indometasin, yang merupakan inhibitor sintesis
prostaglandin yang terbukti efektif mempercepat penutupan duktus arteriosus.
Tingkat efektifitasnya terbatas pada bayi kurang bulan dan menurun seiiring
menigkatnya usia paska kelahiran. Efeknya terbatas pada 3–4 minggu kehidupan.
Obat yang kedua adalah ibuprofen, yaitu inhibitor non selektif dari COX yang
berefek pada penutupan duktus arteriosus. Studi klinik membuktikan bahwa
ibuprofen memiliki efek yang sama dengan indometasin pada pengobatan duktus
arteriosus pada bayi kurang bulan.25
Terapi melalui tindakan pembedahan dilakukan berdasarkan atas beberapa
indikasi. Pada penderita dengan PDA kecil, dilakukan tindakan bedah adalah
untuk mencegah endarteritis atau komplikasi lambat lain. Pada penderita dengan
PDA sedang sampai besar, penutupan diselesaikan untuk menangani gagal
jantung kongestif atau mencegah terjadinya penyakit vaskuler pulmonal. Bila
diagnosis PDA ditegakkan, penangan bedah jangan terlalu ditunda sesudah terapi
medik gagal jantung kongestif telah dilakukan dengan cukup. Karena angka
kematian kasus dengan penanganan bedah sangat kecil kurang dari 1% dan risiko
tanpa pembedahan lebih besar, pengikatan dan pemotongan duktus terindikasi
pada penderita yang tidak bergejala. Hipertensi pulmonal bukan merupakan
kontraindikasi untuk operasi pada setiap umur jika dapat dilakukan pada
kateterisasi jantung bahwa aliran pirau masih dominan dari kiri ke kanan dan
bahwa tidak ada penyakit vaskuler pulmonal yang berat.26 Penutupan PDA secara
transkateter merupakan standar bagi penanganan bagi banyak kasus dan
penutupan PDA diindikasian terhadap semua pasien dengan tanda volume
ventrikel kiri yang terlalu penuh. Pada kasus PDA pirau kiri ke kanan dengan
hipertensi pulmonal berat, penutupan dapat dilakukan dengan kondisi khusus.
Coil dan ADO merupakan alat penutupan PDA secara transkateter yang paling
banyak digunakan di seluruh dunia.27

2.3.8. Komplikasi PDA


Komplikasi yang parah dapat terjadi pada PDA. Adanya penurunan
insidensi dari PDA dikarenakan oleh menutupnya duktus arteriosus dengan cepat
atau pada beberapa keadaan dimana gejala belum terlihat. Pengobatan profilaksis
pada bayi kurang bulan dengan surfaktan yang kurang meningkatkan terjadinya
PDA. Penutupan duktus arteriosus menurunkan resiko pendarahan pada paru.
Intoleransi dari pemberian makanan secara enternal dan nekrosis enterokolitis
juga sering terjadi pada bayi kurang bulan. Sebagaimana disebutkan di atas,
insidensi pada kondisi ini tampaknya terkait dengan penurunan aliran darah
gastrointestinal, dimana telat diteliti pada domba yang menderita PDA. Insiden
nekrosis enterikolitis menurun secara signifikan pada bayi yang duktus
arteriosusnya telah menutup.Bayi dengan PDA yang besar meningkatkan tekanan
arteri pulmonal, dan jika terdapat perpindahan aliran darah dari kiri ke kanan
dalam jumlah yang besar, tekanan atrium kiri dan vena pulmonal akan meningkat,
maka akan meningkatkan transudasi cairan ke jaringan paru dan alveolus. Pada
bayi kurang bulan, kapiler pulmonal lebih permeable dari bayi yang cukup bulan.
Protein plasma dapat masuk ke dalam alveolus dan mengganggu fungsi surfaktan.
Telah diusulkan bahwa faktor-faktor ini berkontribusi pada kerusakan paru yang
kemudian dapat menjadi penyakit paru kronis atau dysplasia bronkopulmonar.
Penutupan yang cepat pada PDA secara signifikan menurunkan risiko displasia
bronkopulmoner.28

2.3.9. Prognosis PDA


Pasien dengan simple PDA dan defek ringan sampai sedang biasanya
dapat bertahan tanpa tindakan pembedahan walaupun pada tiga sampai empat
dekade kehidupan biasanya muncul gejala seperti mudah lelah, sesak nafas bila
beraktifitas dan exercise intolerance dapat muncul. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari hipertensi pulmonal atau gagal jantung kongestif. 24
Penutupan PDAsecara sepontan masih dapat terjadi sampai umur 1 tahun.
Hal ini biasanya terjadi pada bayi kurang bulan. Setelah umur 1 tahun penutupan
secara spontan jarang di temukan karena di sebabkan terjadinya endokarditis
sebagai komplikasi yang paling berpotensi. 24
Prognosis untuk pasien dengan defek yang besar atau hipertensi pulmonal
tidak baik dan terjadi keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan,
pneumonia yang berulang
dan gagal jantung kongestif. Oleh karena itu pasien PDA dengan defek besar
walaupun masih dalam usia baru lahir perlu dilakukan operasi penutupan PDA
segera. 24

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


● Nama : RUA
● Anak ke :2
● Umur : 2 tahun 8 bulan
● Jenis kelamin : Perempuan
● Nama ayah / ibu : DH/RS
● Alamat : Pasaman
● Tanggal masuk : 8 Maret 2020

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
● Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, demam
tinggi di sore hari. Demam tidak berkeringat, tidak menggigil, tidak
disertai kejang.
● Sesak nafas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas
dipengaruhi aktivitas, semakin sesak jika semakin banyak aktivitas. Saat
sesak anak tidak tampak membiru
● Batuk ada sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak
● Penurunan nafsu makan ada sejak 1 tahun ini, anak hanya makan nasi
pakai kuah atau cabe, tidak suka pakai lauk.
● mual muntah tidak ada
● Buang air besar jumlah dan warna biasa.
● Buang air kecil jumlah dan warna biasa.
● Anak sudah dikenal menderita PJB ec PDA sejak usia 1 tahun.
● Anak rutin kontrol ke poliklinik kardiologi dan poliklinik hematologi per 6
bulan.
● Anak lahir, usia kehamilan 37-38 minggu, berat badan lahir 2900 gram,
Panjang badan lahir lupa
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
● Anak dikenal menderita PJB ec PDA.
● Bronkopneumoni berulang
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
● Tidak ada ahli keluarga yang menderita dengan kelainan yang sama.
3.2.5 Riwayat Persalinan

● Lama hamil : cukup bulan


● Cara lahir : normal
● Indikasi : kehamilan aterm
● Ditolong oleh : dokter
● Berat lahir : 2900 gram
● Panjang lahir : 49cm
● Saat lahir : kuat
Kesan: riwayat persalinan normal
3.2.6 Riwayat Makanan dan Minuman
 Bayi
o ASI : sampai umur 12 bulan
o Susu formula : usia 12 bulan
o Bubur susu : usia 6 bulan
 Anak : Makanan utama 3 kali/hari, ½ porsi
o Tidak makan dengan daging, ikan, telur, maupun sayur.
Hanya makan dengan kuah atau cabe
Kesan: kuantitas dan kualitas makanan kurang
3.2.7 Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG 1 bulan, scar (+) -
2 bulan -
DPT 1
4 bulan -
2
6 bulan -
3
Polio 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Hepatitis B 1 lahir -
2 1 bulan -
3 6 bulan -
Campak 9 bulan -
Kesan: imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

3.2.8 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur


Tertawa 1,5 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 4 bulan
Duduk 7 bulan
Merangkak 7,5 bulan
Berdiri 8 bulan
Lari 15 bulan
Gigi pertama 7 bulan
Bicara 12 bulan
Membaca Belum
Prestasi di sekolah Belum
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan normal

3.2.9 Riwayat Keluarga


Ayah Ibu
Nama DH RS
Umur 35 tahun 28 tahun
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp3.500.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita

3.2.10 Riwayat Perumahan dan Lingkungan


● Rumah tempat tinggal : Permanen
● Sumber air minum : Air Galon
● Buang air besar : jamban dalam rumah
● Pekarangan : luas
● Sampah : diangkut ke TPS
Kesan: Higiene dan sanitasi baik

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Umum
● Keadaan umum : sedang
● Kesadaran : CMC
● TD : 90/40 mmhg
● Frekuensi nadi : 96 x/menit
● Frekuensi napas : 22 x/menit
● Suhu : 38°C
● Edema : Tidak ada
● Ikterus : Tidak ada
● Anemia : Tidak ada
● Sianosis : Tidak ada
● Berat badan : 10 kg
● Panjang badan : 88 cm
● BB/U : 76,9%
● TB/U : 95,6%
● BB/TB : 76,9%
● Status Gizi : Gizi Kurang
3.3.2 Khusus
o Kulit : teraba hangat, tidak edema, tidak sianosis,
tidak
ikterik
o Kelenjar getah bening : pembesaran (-)
o Kepala : normocephal
o Rambut : hitam, tidak mudah rontok
o Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik
tidak
ada
o Telinga : tidak ada keluar secret.
o Hidung : napas cuping hidung tidak ada

o Tenggorok : tidak ada kelainan


o Gigi dan mulut : mukosa bibir dan mulut basah
o Leher : Tidak ditemukan pembesaran KGB
o Toraks
o Paru
▪ Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi tidak ada
▪ Palpasi : sulit dinilai
▪ Perkusi : sulit dinilai
▪ Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronki+/+,
wh-/-
o Jantung
▪ Inspeksi : iktus kordis terlihat
▪ Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMC RIC
V
▪ Perkusi : Sulit dinilai
▪ Auskultasi :S1S2, murmur (+) RIC 2-3 parasternal kiri
o Abdomen
 Inspeksi : distensi (-)
 Palpasi : supel
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus normal
o Punggung : tidak ditemukan kelainan
o Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
o Anggota gerak : akral hangat, CRT <2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Darah (8 maret 2020)
● Hb : 11,4 g/dL
● Ht : 33,6 %
● Leukosit : 11,780/mm3
● Trombosit : 392.000/mm3
3.4.2 Echokardiografi
Ekspertise Tanggal 13-11-2019 :
● Situs sollitus
● PDA 4-5mm, right shunt
● Mild moderate PH
● Good LV and RV contractility

3.5 Daftar Masalah


● Demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit
● Sesak nafas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
● Batuk berdahak
● Ronki dikedua lapangan paru
● Murmur parasternal kiri

3.6 Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding


● Diagnosis utama: PJB ec PDA
● Diagnosis sekunder: Riw Kejang
3.7 Penatalaksanaan
● Kegawatdaruratan : oksigen nasal 2 liter/menit, cek darah rutin.
o Nutrisi : KAEN 1B 12tpm, makro.
● Medikamentosa :
o KAEN 1B 12 tpm, makro
o Paracetamol 4X1 syr (p.o)
● Edukasi :
o Pengobatan obat secara teratur dan aman
3.8 Prognosis
● Quo ad vitam : bonam
● Quo ad functionam : bonam
● Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3.9 Follow up
● 9 Maret 2020
o S/ Demam ada, Sesak nafas ada, Anak mampu makan, Muntah
tidak ada, Kejang tidak ada, Batuk tidak ada
o O/

KU Kes TD Nd Nf T
Sedang Sadar - 112 28 38.5
▪ Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
▪ Paru: retraksi tidak ada, pergerakan simetris, ronki di kedua
paru
▪ Jantung: irama tidak reguler, murmur (+)
▪ Akral: hangat, CRT < 2 detik
o A/ PJB ec PDA, riw kejang

o P/

o KAEN 1B 12tpm, makro


o Paracetamol 4X1 syr (p.o)

● 10 Maret 2020
o S/ Demam tidak ada, Sesak nafas tidak ada, Anak mampu minum
susu, Muntah tidak ada, Kejang tidak ada, Batuk tidak ada
o O/

KU Kes TD Nd Nf T
Sedang Sadar - 100 30 38,2
▪ Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik

▪ Paru: retraksi (+) vesikuler, tidak terdapat ronki di kedua


paru, wh +/+

▪ Jantung: irama tidak reguler, gallop (+)

▪ Akral: hangat, CRT < 2 detik

o A/ PJB ec PDA, Obs Febris + riw kejang

o P/

o KAEN 1B 12tpm, makro


o Paracetamol 4X1 syr (p.o)
o Inj Ceftriaxon 500mg
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien anak perempuan berusia 2 tahun 8 bulan datang ke RS


Achmad Muchtar, Bukittinggi dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pada anamnesis didapatkan demam tinggi, batuk berdahak,
dan sesak napas sejak 5 hari sebelum masuk RS yang semakin berat jika anak
beraktifitas berat, saat sesak anak tidak tampak kebiruan. Sejak usia 5 bulan anak
sudah sering mengalami infeksi saluran napas dan pernah mendapatkan obat OAT
selama 6 bulan. Ibu pasien mengaku semenjak 1 bulan ini berat badan anak
berkurang sebanyak 2 kg dan nafsu makan anak menurun. Anak hanya makan
sedikit. Anak telah dikenal dengan PJB ec PDA sejak usia 1 tahun. Saat ini anak
didiagnosis dengan kejang demam. Penegakan diagnosis diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
PDA merupakan suatu kelainan jantung kongenital yang ditandai dengan
kegagalan penutupan duktus arteriosus segera setelah lahir.16 Kelainan ini sering
dijumpai pada bayi kurang bulan dengan insiden 8 per 1000 kelahiran, sedangkan
insiden pada bayi cukup bulan lebih kecil yaitu 1 per 2000 kelahiran. 3 Insiden
PDA di departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta pada bayi kurang bulan dilaporkan sebanyak 32%
sedangkan di departemen IKA Rumah Sakit Mohammad Hoesin, Palembang pada
bayi usia gestasi <37 minggu sebanyak 58,7%. 29 Secara fungsional, duktus
arteriosus (DA) menutup pada umur 10-15 jam setelah lahir, dan penutupan
permanen terjadi pada usia 2-3 minggu.30 Peningkatan tekanan oksigen arteri
(PaO2) menyebabkan kontriksi duktus, sebaliknya keadaan hipoksia menyebabkan
duktus arteriosus melebar. Oleh karena itu, PDA lebih banyak ditemukan pada
bayi aterm. PDA yang kecil mungkin tidak akan menimbulkan gejala sedangkan
pada PDA besar, terdapat darah tambahan yang masuk dalam aliran darah di
dalam arteri pulmonalis sehingga menyebabkan jantung membesar, sebagai upaya
agar jantung bekerja lebih keras untuk memompa beban darah tambahan.20
Gejala yang ditimbulkan akibat PDA pada anak tergantung pada
klasifikasi dari PDA nya yaitu, PDA kecil dengan ukuran 1,5-2,5 mm, PDA
sedang atau moderat dengan ukuran 2,5-3,5, mm dan PDA besar dengan
hipertensi pulmonal ukuran >3,5-4,0 mm.20-21 Dari pemeriksaan ekokardiografi
didapatkan ukuran PDA nya 4-5 mm. Sehingga dapat diklasifikasikan sebagai
PDA besar. Pada PDA yang besar gejala yang dirasakan menunjukkan gejala yang
berat sejak minggu-minggu pertama kehidupannya. Ia sulit makan dan minum,
sehingga berat badannya tidak bertambah. Pasien akan tampak sesak nafas
(dispnea) atau pernafasan cepat (takipnea), mudah lelah dan banyak berkeringat
bila minum.21 Pasien dengan duktus yang besar dengan arah tekanan perpindahan
darah dari kiri-kanan akan berpotensi menjai gagal jantung kongestif yang awal
dengan takikardia, pertumbuhan yang melambat, dan infeksi berulang saluran
pernafasan. Fibrilasi atrium dapat terjadi sebagai akibat dari dilatasi atrium kiri. 31
Pada Duktus arteriosus persisten memungkinkan terjadinya pirau dari aorta ke
arteri pulmonalis sehingga darah yang menuju ke paru-paru akan bertambah.
Tambahan darah tersebut akan meningkatkan tekanan di arteri pulmonalis dan
membuat beban jantung meningkat.32 Dari pemeriksaan ekokardiografi pasien
anak tersebut juga ditemukan adanya hipertensi pulmonal ringan-sedang. Selain
itu, peningkatan aliran darah ke paru juga dapat menyebabkan terjadinya
penumpukan cairan pada paru-paru (edema paru). Terdapatnya cairan diparu-paru
merupakan media yang baik untuk mikroorganisme berkembang sehingga pasien
dengan penyakit jantung bawaan sering mengalami infeksi saluran napas
berulang. Kondisi ini sesuai dengan yang dialami oleh pasien anak tersebut
dimana sejak usia 5 bulan anak sudah sering mengalami keluhan demam dan
batuk, setelah dibawa berobat anak didiagnosis dengan bronkopneumonia.32
Selain itu, status gizi pasien berdasarkan BB dan PB adalah status gizi
kurang. Panjang badan pasien terhadap umur adalah 76,9% yang diinterpretasikan
sebagai gizi kurang, namun tinggi badan pasien terhadap umur adalah 95,6% yang
diinterpretasikan sebagai gizi baik atau normal. Berdasarkan anamnesis pada ibu
pasien, nafsu makan anak sangat kurang dan anak tidak suka makan nasi memakai
lauk, hanya makan nasi dengan kuah atau cabe. Gizi kurang terjadi karena adanya
kekurangan asupan nutrisi atau gangguan absorbsi. Selain itu, penggunaan energi
yang berlebihan juga dapat menyebabkan gizi kurang dimana pada kasus ini
terdapat penambahan beban kerja jantung dan paru-paru akibat darah yang
mengalir bertambah.
Pemeriksaan fisik spesifik pada pasien, tidak terdapat gambaran dismorfik
karakteristik sondroma down berupa mongolid face, epicantal fold, dan low set
ear. Hal tersebut sering berhubungan dengan adanya kelainan jantung
kongenital.31 Pada pemeriksaan toraks didapatkan ronkhi basah halus nyaring di
kedua lapangan paru terutama kanan dan disertai demam dan batuk berdahak,
maka terdapat kecurigaan adanya infeksi saluran pernafasan yaitu
bronkopneumonia. Kecurigaan adanya infeksi diperkuaat dengan hasil
pemeriksaan laboratorium kadar leukosit yang meningkat. Sedangkan pada
pemeriksaan batas jantung dengan perkusi didapatkan batas jantung yang melebar
ke kiri. Pasien telah dilakukan pemeriksaan rontgen toraks namun orangtua tidak
membawa hasil pemeriksaan rontgennya sehingga tidak bisa dikonfirmasi. Pada
auskultasi jantung didapatkan bunyi jantung I dan II normal dan terdengar
murmur kontinu kasar di RIC II-III linea parasternalis sinistra yang merupakan
murmur khas pada kelainan jantung duktus arteriosus persisten (PDA). Murmur
ini terbentuk akibat aliran darah yang mengalir melalui duktus arteriosus. Adanya
murmur kontinu kasar ini menandakan defek PDA besar karena semakin besar
diameter duktus arteriosus maka semakin besar aliran pirau yang mengalir dari
aorta ke arteri pulmonalis.
Demam yang timbul akibat adanya infeksi pada paru dapat menjadi
pencetus kejang yang dialami oleh pasien. Hal tersebut dikenal dengan istilah
kejang demam. Suatu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu akibat
suatu proses ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5
tahun. Jika kejang terjadi pada anak usia < 6 bulan atau > 5 tahun maka hal
tersebut bukanlah suatu kejang demam. Pikirkan kemungkinan epilepsi atau
infeksi SSP.33 Saat ini pasien berusia 2 tahun 8 bulan, sehingga kejang yang
terjadi kemungkinan akibat demam yang disebabkan oleh karena infeksi yang
terjadi pada parunya. Ibu pasien mengatakan anak seringkali kejang tiap demam,
hal tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya faktor risiko berupa
temperatur yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang timbul setelah anak
demam. Untuk mengatasi hal tersebut, sehingga pada rawatan ini anak di berikan
terapi medikamentosa dengan paracetamol 4x1 syr (PO) dan untuk terapi nutrisi
nya diberikan KAEN 1B 12 tpm makro. Sedangkan untuk masalah jantungnya
diberikan terapi dengan captopril 2 kali sehari. Pada bulan maret 2020 anak akan
melanjutkan kontrol ke-2 di subbagian kardiologi RSUP. Dr. M.Djamil Padang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Khalid OM, Busse J. Patent Ductus Areteriosus. In: Abdulla R, editor.


Heart Diseases
in Children. New York: Springer; 2011.p:113.
2. Schneider D, Moore J. Patent Ductus Arteriosus. Circulation. 2006 Oct
24;114(17):1873-82.
3. Djer MM. Current Management of Congenital Heart Disease: Where We
Are In: Lestari ED, Hidayah D, Riza M, editors. Proceedings of The 6 th
Child Health Annual Scientific Meeting of Indonesian Pediatric Society,
Solo October 5–9, 2013. Solo: UNS Press; 2013. p. 272–6.
4. El Hajjar M. Severity of The Ductal Shunt: a Comparison of Different
Markers. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition.
2005 Sep 1;90(5):419-22.
5. Koch J. Prevalence of Spontaneous Closure of the Ductus Arteriosus in
Neonates at a Birth Weight of 1000 Grams or Less. Pediatrics. 2006 Apr
1;117(4):1113-21.
6. Rojas M, et al. Changing Trends In The Epidemiology and Pathogenesis
of Neonatal Chronic Lung Disease. The Journal of Pediatrics. 1995 Apr
30;126(4):605-10.
7. Bergersen L, et al. Congenital Heart Disease : The Catheterization Manual.
New York: Springer; 2009.p:123–6.
8. Yarrabolu TR, Syamasundar RP. Transcatheter Closure of Patent Ductus
Arteriosus. Pediatrics & Therapeutics. 2012 Jan 23;01(S5).
9. Gournay V. The Ductus Arteriosus: Physiology, Regulation, and
Functional and Congenital Anomalies. Archives of Cardiovascular
Diseases. 2011 Nov 30;104(11):57885.
10. Schneider D. The Patent Ductus Arteriosus in Term Infants, Children, and
Adults. Seminars in Perinatology. 2012 Apr 30;36(2):146-53.
11. Bö kenkamp R.Developmental Anatomy of The Ductus Arteriosus. In:
Obladen M, Koehne P, editors. Interventions for Persisting Ductus
Arteriosus in The Preterm Infant. Heidelberg: Springer Medizin; 2005.p:2-
4.
12. Clynmann RI. Developmental Physiology of The Ductus Arteriosus. In:
Long WA, editor. Fetal and Neonatal Cardiology. Philadelphia: WB
Saunders;1990;p.64-75. In: Rahayuningsih SE, Sumarna N, Firman A,
Sinaga Y. Terapi Nonsteroid Anti Inflammatory pada Bayi Prematur
dengan Duktus Arteriosus Persisten. Sari Pediatri. 2004 Sep;6(2):71-4.
13. Breinstein D. Fetal Circulation. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics 16th Edition. Philadelphia:
WB Saunders, 2000.p.1365. In: Rahayuningsih SE, Sumarna N, Firman
A, Sinaga Y. Terapi Nonsteroid Anti Inflammatory pada Bayi Prematur
dengan Duktus Arteriosus Persisten. Sari Pediatri. 2004 Sep;6(2):71-4.
14. Clynmann RI. Medical Treatment of Patent Ductus Arteriosus in
Premature Infants. In: Long WA, editor. Fetal and Neonatal Cardiology.
Philadelphia: WB Saunders, 1990. p. 682-759. In: Rahayuningsih SE,
Sumarna N, Firman A, Sinaga Y. Terapi Nonsteroid Anti Inflammatory
pada Bayi Prematur dengan Duktus Arteriosus Persisten. Sari Pediatri.
2004 Sep;6(2):71-4.
15. Gowen CW. Fetal and Neonatal Medicine. In: Marcdante K, Kliegman
RM, editors. Nelson essentials of pediatrics 7th edition. Philadelphia:
Elsevier; 2015.p:189-91.
16. Keane J, Lock J, Fyler D, Nadas A. Nadas' Pediatric Cardiology.
Philadelphia: Saunders; 2006.p.617-24.
17. Kitterman JA, Edmunds LH Jr, Gregory GA, Heyman MA, Tooley WH,
Rudolph AM. Patent Ductus Arteriosus in Premature Infants: Incidence,
Relation to Pulmonary Disease And Management. N Engl J Med. 1972
Sep 7;287(10):473–7.
18. Hammerman C. Patent Ductus Arteriosus. Clinical Relevance of
Prostaglandins and Prostaglandin Inhibitors in PDA Pathophysiology and
Treatment. Clin Perinatol 1995 Jun 22;22(2):457-79.
19. Ellison RC, Peckman GJ, Lang P, et al. Evaluation of The Preterm Infant
for Patent Ductus Arteriosus. Pediatrics. 1983 Mar 1;71(3):364-72.
20. Dice J E, Bhatia J. Patent Ductus Arteriosus : An Overview. The Journal
Of Pediatric Pharmacology and Therapeutics. 2007 Sep 1;12(3):138-46.
21. Cassidy HD, Cassidy LA, Blackshear JL. Incidental Discovery of a Patent
Ductus Arteriosus in Adults. The Journal of the American Board of Family
Medicine. 2009 Mar 1;22(2):214-8.
22. Kumar RK, Nair AC. Coil Occlusion of The Large Patent Ductus
Arteriosus. Images in Paediatric Cardiology. 2008 Mar 1;10(1):8.
23. Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro
S, Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 1994.p:165-233.
24. Sondheimer HM, et al. Cardiovascular Diseases. In : Hay WW,
Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Lange: Current
Pediatric Diagnosis and Treatment in Pediatrics 19th Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies; 2009.p:535-8.
25. Gomella TL, et al. Lange Clinical Manual Neonatology: Management
Procedures On- Call Problems, Diseases, and Drugs 5 th Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies; 2004.p.361-3.
26. Bernstein D. Patent Ductus Arteriosus. In: Kliegman RM, et al, editors.
Nelson Textbook of Pediatrics Volume 1 20 th Edition. Philadelphia:
Elsevier; 2016.p:2198.
27. Baruteau AE, Hascoë t ,SBaruteau J, Boudjemline Y, Lambert V, Angel
CY, Belli E, Petit J, Pass R. Transcatheter Closure of Patent Ductus
Arteriosus: Past, Present and Future. Archives of Cardiovascular Diseases.
2014 Feb 28; 107 (2): 122-32.
28. Rudolph A. Congenital Diseases of The Heart: Clinical Physiological
Consideration. Chichester: Wiley-Blackwell; 2009.p:128.
29. Deselina B, Putra ST, Suradi R. Prevalence of patent ductus arteriosus in
premature infants at the neonatal ward, Cipto Mangunkusumo hospital,
Jakarta. Paediatr Indones 2004;44:223-27.
30. Moore P, Brooke MM, Heymann MA. Patent ductus arteriosus and
aortopulmonary window. Dalam: Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE,
Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children,
and adolescents: including the fetus and young adults, Edisi ke-7.
Lippincott: Williams & Wilkins; 2008. 683-701
31. Rahman MA, Ontoseno T. Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan pada
Neonatus: Diagnosis dan Saat Rujukan. [Internet]. 2006. Available from:
http://www.pediatrik.com/buletin/20060220-f18q56-buletin.pdf. Diakses
tanggal 25 Agustus 2018 (20:00)
32. Hasan R, Alatas H. Penyakit Jantung Bawaan. In: Buku ajar ilmu
kesehatan anak. Jilid II. Jakarta : BP. FKUI. 2007. 705-18
33. Irdawati. Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu
Keperawatan. 2009: 2(3); 143-6

Anda mungkin juga menyukai